29 || Eternity

========

29

e t e r n i t y

========




Malam harinya, sesuai rencana Arraf, dia mendatangi kampus lagi untuk mengikuti pembukaan Oksigen.

Lapangan parkir Fisip agak jauh dari gymnasium tempat terselenggaranya Oksigen. Sehingga mudah bagi Riv dan Arraf untuk mendatangi kampus tanpa ketahuan mereka sedang bersama dari suatu tempat. Usai Riv menurunkan Arraf di depan lapangan parkir Fisip, Arraf duluan pergi ke gymnasium agar datang tak bersamaan dengan Riv.

Memasuki pintu utama gymnasium, Arraf mendengar jargon FMIPA. Senyumnya otomatis terbentuk melihat gymnasium sudah disulap untuk pembukaan Oksigen malam itu. Semua fakultas sudah mengisi tribun masing-masing yang telah dihias dengan banner dan properti simbolis bagi masing-masing fakultas. Masih banyak panitia Oksigen berjalan ke sana kemari untuk mempersiapkan acara yang dalam hitungan menit akan dimulai.

Lelaki itu baru saja melangkahkan kaki menuju ketika melihat Riv menyusul bersama Nirvana. Di sebelah Nirvana, ada lelaki jangkung dengan ikat kepala yang juga menatapnya.

Arraf kontan menyengir sambil melambaikan tangan. "WOI! JAGAT!"

"WOEH!" seru Jagat Raya, lelaki dengan ikat kepala batik itu. Dia merupakan teman seangkatan Arraf di FMIPA yang belum juga lulus. Tangannya terentang sembari mendekati Arraf. "ONTA ARAP KESAYANGAN!" lanjutnya sambil memeluk Arraf dan menepuk-nepuk punggungnya.

"Lama kita tak bersua ya, Sahabat," ujar Arraf dengan nada sarkastik, lalu menepuk bahu Jagat. "Bagaimana kabarnya, Sahabat? Terakhir kali cek, apa status Sahabat masih jadi mahasiswa abadi?"

"Wah, Sahabat, saya tersanjung sekali dengan pertanyaan Sahabat. Ternyata Sahabat sebegitu pedulinya kepada saya," balas Jagat dengan senyum lebar yang dibuat-buat. "Sahabat sendiri bagaimana kabarnya? Terakhir kali cek, apa Sahabat masih takut kecoak?"

Arraf tertawa dibuat-buat. Dia sebenarnya jengkel karena Jagat malah mengingatkan pada kejadian masa lampau. Mana Riv dengar pula, pikir Arraf, makin meradang. "Wah, Sahabat perhatian sekali ya sampai mengingat itu. Saya tidak pernah takut kecoak, Sahabat. Saya cuma kaget waktu itu tiba-tiba muncul kecoak."

"Kebanyakan berkilah tidak bagus untuk kesehatan jiwa, Sahabat," balas Jagat dengan tawa. Dia pun beralih ke Nirvana dan Riv yang berdiri di belakangnya. "Eh, iya, Raf. Ini kenalin, temannya cewek gue. Namanya Riv."

Arraf tersenyum paksa. Merasa canggung. Jagat jelas tak tahu bahwa dia dan Riv sudah saling kenal. Baru saja Arraf ingin mengatakan sesuatu, Nirvana lebih dulu berucap, "Riv sama Bang Arraf udah saling kenal, kok."

"Eh. Iya?" tanya Jagat. Melirik ke arah Riv dan Arraf. "Kenal dari mana?"

"Skripsi," jawab Riv dan Arraf bersamaan. Mereka lalu saling melirik, kemudian membuang muka.

"Ohh, kenapa sama skripsi kalian? Bahannya sama? Dosbing sama?" tanya Jagat.

"Dua-duanya," ujar Riv dan Arraf bersamaan. Lagi, mereka melirik satu sama lain, kemudian mengalihkan mata. Entah mengapa backstreet ini justru membuat Arraf lebih terpicu adrenalinnya. Makin waswas sekaligus antusias. Baik antusias terhadap reaksi orang-orang jika tahu tentang hubungannya dengan Riv, serta antusias untuk berkamuflase atau berkilah menyembunyikan status hubungan mereka.

Jagat pun ber-oh ria menanggapi respons itu, lalu memandangi Riv dan Arraf bergantian dengan mata menyipit curiga. Namun, Jagat tak ingin terlalu menekan temannya sekarang. Alih-alih, dia tersenyum dan berkata, "Okelah. Ayo ke tribun!"

Mereka ke tribun FMIPA bersama-sama dan seperti yang sudah Arraf duga, adik-adik tingkatnya yang aktif ketika dulu dia ada di BEM maupun menjadi koas seketika mengenalinya. Arraf sibuk bertegur-sapa dengan adik-adik tingkatnya bersama Jagat sementara Riv dan Nirvana sudah duduk di bagian belakang tribun yang kosong.

Usai bertegur-sapa, Arraf menoleh untuk mencari sosok Riv. Mata Arraf sempat bertemu dengan mata Riv ketika gadis itu menatapnya. Mencipta waktu henti di benak Arraf untuk sesaat. Rasanya sulit dideskripsikan. Arraf tak pernah terlalu paham makna berbagai puisi, tetapi detik ini rasanya Arraf bisa memahami makna puluhan puisi cinta yang dulunya tak dia pahami. Momen magis, atau momen di saat dia merasa bumi sedang berhenti berputar untuk sesaat, dan itu terjadi hanya karena matanya bertemu dengan mata seseorang yang begitu memahaminya tengah Arraf rasakan sekarang. Rasanya indah dan kompleks seperti semesta ini.

Riv adalah kekasih yang dia banggakan, tetapi Arraf tak bisa mendeklarasikan hal itu kepada dunia. Rasanya agak terkekang. Arraf tak biasa seperti ini. Namun, Arraf tahu ini tak perlu berlangsung lama. Riv lebih nyaman seperti ini dan Arraf hanya mengikuti apa yang Riv inginkan. Tidak lama. Hanya dua bulan dan Arraf bisa lebih bebas menunjukkan kepada semua orang mengenai hubungannya dengan Riv. Dan, Arraf yakin tak semua orang bisa memiliki hubungan seperti hubungannya dengan Riv yang lebih dewasa dan memiliki visi besar. It's more than just physical attraction and he's proud with that.

Acara pembukaan Oksigen pun dimulai dengan sambutan dari MC yang masuk. Riv menatap Arraf yang naik ke mimbar tinggi untuk pemimpin supporter dan duduk di sana bersama Jagat dan adik tingkat yang menjadi jenderal supporter fakultasnya. Tak lama, datanglah kesempatan untuk perang jargon. Tabuh drum menyemarakkan suasana supporter itu.

Berbeda dari dugaan Riv, Arraf justru turun dari mimbar ketika perang jargon dimulai dan memilih untuk ikut dalam barisan supporter lainnya di tribun, membiarkan para adik tingkatnya yang bekerja untuk memimpin supporter.

Sambil mengikuti arahan dari jenderal supporter fakultasnya, Riv jadi teringat masa-masa Oksigen dulu ketika FMIPA menang. Dari awal pembukaan hingga penutupan Oksigen, Arraf memimpin di mimbar kayu itu tiap ada kesempatan. Dan sambil berdiri di tribun belakang, Riv melihat Arraf begitu bersinar. Seolah memang di situlah tempatnya berada. Di bawah sorotan dan dilihat oleh semua orang dalam ruangan. Dan karena semua orang sudah tahu dia berprestasi baik di akademik maupun non-akademik, makin tinggilah rasa respek mereka kepada Arraf.

Karenanya, Arraf dipuja-puja bagai dewa. Dijunjung tinggi bagai raja. Sempurna dari segala sisi hingga semua orang merasa tak punya pilihan selain mengaguminya.

Dialah sang matahari.

Pada momen seperti itulah Riv makin sadar betapa berbedanya dunia mereka. Ini bukanlah berbeda 'dunia' di mana Arraf adalah langit dan dia adalah bumi. Bukan. Riv tak merasa rendah. Tak ada yang rendah dan tinggi dalam perbedaan semacam ini. Yang ada hanya berbeda dalam konsep yang setara. Namun, dengan visi dan misi yang sama, Riv cukup yakin mereka bisa senantiasa berada dalam satu irisan meski domainnya berbeda.

Setelah perang jargon diselesaikan untuk lanjut ke acara berikutnya, Riv beranjak untuk ke kamar mandi. Arraf tak menyadari kepergian gadis itu. Baru di tengah menyimak sambutan dari ketua panitia, Arraf mencari-cari keberadaan Riv di tribun belakang. Namun, dia hanya melihat sosok Nirvana duduk di sana bersama anak FMIPA lainnya. Kepala Arraf pun celingukan dengan mata memindai. Mungkin Riv ada di kamar mandi. Atau, apa dia udah balik duluan? pikir Arraf.

Sebuah tangan terasa melingkari leher Arraf dengan akrab. Arraf tahu siapa pemilik tangan ini. "Raf," panggil Jagat. "Lo nyariin siapa?"

Arraf membatu. Sempat menahan napas. "Nggak nyariin siapa-siapa."

Jagat bergumam. Dia melirik ke samping, kemudian duduk lebih dekat dengan Arraf, semakin memojok untuk menghindari perbincangannya terdengar orang lain. Menatap Arraf, Jagat pun bertanya, "Lo nyari Riv?"

Arraf membatu. Berusaha terlihat santai, lalu menatap Jagat. "Kenapa lo mikir kayak gitu?"

"Dari pas lo ketemu Riv di pintu depan, lo merhatiin dia mulu," ujar Jagat dengan nada sesantai membicarakan cuaca hari ini. "Naksir lo sama dia?"

Bukan naksir lagi, Gat. Gue udah pacaran sama dia, pikir Arraf. "Apaan sih, Gat."

"Lah, kok apaan-apaan. Tinggal jawab aja," balas Jagat, masih dengan gaya santainya. Jagat memandangi ketua panitia Oksigen tahun ini yang masih berbicara di panggung lapangan indoor gymnasium. Kernyitannya muncul begitu terpikirkan suatu kemungkinan. Menoleh, matanya menatap Arraf penuh selidik. "Bentar, apa jangan-jangan lo udah pacaran sama si Riv?"

Memejamkan mata, Arraf menahan diri agar tak mengerang. Demi Tuhan, Arraf tak paham. Ada apa dengan dunia? Kenapa semua orang rasa-rasanya jadi jago untuk membaca dirinya? Apa mungkin dia memang semudah itu untuk dibaca intensinya?

Namun, Arraf teringat siapa gadis yang merupakan pacar Jagat. "Lo tahu dari Nirvana?" tebak Arraf.

"Dari Nirva apaan. Orang dari tadi Nirva duduk di belakang, gue duduk di sini sama lo." Jagat menggeleng. "Gue baru kepikiran barusan. Dari cara lo ngelihat Riv."

"Emang gue ngelihatnya gimana?"

"Nggak selow. Kayak mau meraup itu cewek cuma buat lo dan hanya lo."

Arraf terdiam. Dia ingin berkilah, tetapi tahu bahwa Jagat bukanlah orang yang mudah dibohongi ataupun dimanipulasi. Terlebih, Jagat sudah mengenalnya semenjak mereka sama-sama menjadi mahasiswa baru di FMIPA. Akhirnya, Arraf tak membalas apa pun atas ucapan Jagat.

Jagat mendengus dan memutar bola mata. Acara sambutan pun berlanjut dengan penampilan dari UKM seni tradisional. Para panitia dan perwakilan mulai menyiapkan properti untuk tampil. Jagat menoleh kepada Arraf. "Kenapa dirahasiain, Raf? Kalau pada tahu emang apa ruginya buat lo?"

Arraf menjawab diplomatis, "Nggak ada ruginya buat gue. Ruginya ada di Riv."

"Ah, kayaknya gue tahu, deh." Jagat menggoyangkan telunjuknya. "Karena Riv nggak suka 'dipertontonkan' sama lo, kan?"

Mata Arraf setengah terpicing. "Tahu dari mana?"

"Ya kan cewek gue dekat sama si Riv. Beberapa kali dia cerita tentang Riv ke gue, sih. Gue cuma menyimpulkan aja," ujar Jagat. Pandangannya sejenak properti-properti yang diletakkan di panggung untuk acara selanjutnya. "Kesimpulan gue, Riv itu tipe cewek yang nggak suka jadi pusat perhatian hanya karena dia menyandang predikat 'pacarnya Arraf'." Satu sudut bibir Jagat tertarik. "Yah, gue juga risi sih kalau kayak gitu."

"Menurut lo, gimana?" tanya Arraf. "Apa mending gue tetap jalanin kayak gini? Atau, apa mending gue terang-terangan aja dari awal?"

"Jalanin aja sih, Raf. Orang nggak ada ruginya juga buat lo."

"Rugi buat gue kalau misal ada cowok yang mau deketin Riv, dan semua orang fine-fine aja karena mereka tahunya Riv masih jomblo. Berhubung dia minta gue menyembunyikan status kami."

"Wailah." Jagat memijat-mijat pundak Arraf. "Santai, Sahabat. Nggak usah posesif-posesif alay gitu. Perasaan, dulu lo sama mantan lo nggak sampai segininya dah."

Arraf menarik napas. Tahu bahwa Jagat benar.

Tak lama, sosok Riv muncul dari bawah untuk naik ke tribun belakang. Arraf memandangi sosok Riv yang baru saja naik ke tribun, terlihat sehabis dari kamar mandi. Mereka sempat bertukar pandangan sesaat, kemudian Riv melempar senyum. Arraf membalasnya dengan senyum canggung. Senyum Riv pun jadi ikutan terlihat canggung ketika melihat senyum Arraf. Arraf ingin tertawa dan mengacak rambut Riv karena gemas melihat kecanggungan di wajah gadis itu. Ah, jauh sih jadi nggak bisa ngacak rambut dia.

"Ah, benar ternyata," ujar Jagat, membuat Arraf tertegun dan menoleh ke arah temannya itu. Senyum Jagat muncul, terlihat culas. "Backstreet ya lo berdua."

Membisu, Arraf tak menjawab dan hanya memerhatikan UKM seni tradisional yang sudah siap tampil dengan alat musik mereka. Lampu-lampu gymnasium dimatikan dan mulailah terdengar suara angklung yang disusul dengan gamelan dan nyanyian tradisional. Dia menikmati acara bersama yang lain. Setelah penampilan selesai dan disusul tepuk tangan meriah, dari belakang Arraf muncul bisik-bisik dan obrolan yang terdengar hingga ke telinganya yang duduk di tribun paling depan. Bisikan itu pun jadi obrolan dengan pertanyaan, "Oh, Bang Icak jadi datang?"

Kalimat itu seketika jadi kartu merah untuk kehadiran Arraf malam ini.

Usai mengetahui bahwa Icak atau Wisaka Abimanyu malam itu akan hadir sebentar lagi, Arraf beranjak, menepuk pundak Jagat dan pamitan. "Gue balik, ya."

"Eh?" Alis Jagat meninggi. "Masih UKM seni tradisional lho. Nanti masih ada band, dance sama yang lain-lain. Yakin mau balik?"

"Ada urusan," ujar Arraf dengan senyum. "Duluan, ya."

Jagat berjabatan dengan Arraf, kemudian Arraf pamitan dengan adik-adik tingkat yang duduk dekat dengannya, lalu melambai sebelum pergi keluar gymnasium. Riv yang melihatnya pun mengernyit heran. Arraf tak pernah berkata akan pulang cepat karena suatu urusan. Rasanya ganjil sekali.

Menimang beberapa saat, akhirnya Riv memutuskan untuk turun tribun setelah berpamitan dengan Nirvana. Begitu keluar gymnasium, dia berlari menyusul Arraf. Lelaki itu terlihat berjalan menuju lapangan parkir Fisip sendirian. "Arraf!" seru Riv setengah berlari, seketika membuat Arraf berbalik. "Raf, kamu ngapain pulang duluan?" tanya Riv setelah jaraknya lebih dekat ke Arraf.

Arraf mengerjap. Dia tak yakin ingin mengungkapkan jawabannya kepada Riv. Bagaimana tanggapan Riv nanti jika dia sudah mengungkapkan apa yang terjadi antara dirinya dan Icak? Apa Riv akan membela atau justru menganggapnya kekanakan? Dia tak yakin dan belum siap mendengar tanggapan negatif dari Riv. "Kamu yakin kamu mau tahu jawabannya?"

Mata Riv berkedip beberapa kali. "Yakin. Apa yang bikin kamu mikir aku nggak yakin mau dengar?"

"Because you might hate me for that."

"Why?"

Arraf membisu, menatap ke arah selain Riv. Dia sempat ingin menyembunyikan, tetapi setelah dipikir-pikir, tak ada gunanya juga menyembunyikan tentang hal ini dari Riv. Dia memang bermasalah dengan Icak dan tak berniat menutupinya dari Riv. "Aku sama Icak pernah ada masalah," terang Arraf. "Dia nggak setuju sama keputusanku pas masa Oksigen dulu, dan aku nggak bisa terima sama kelakuan dia yang nggak respek ke aku. Dia mengecewakan, jadi aku nggak lagi berteman baik sama dia."

"Jadi, Bang Icak adalah sosok Brutus di hidup kamu, Raf?"

Rahang Arraf mengeras. "Ya."

Riv mendekat, mengelus pundak Arraf yang terasa tegang. "Is he somebody important in your life?"

Mata Arraf melirik Riv dengan tajam. "Was," koreksi Arraf. "Not anymore."

Riv meneliti wajah Arraf. Memang terlihat ada kegusaran dan kepahitan di wajah itu. Menarik napas, Riv berusaha lebih santai. "Tentang si 'Brutus'... do you wanna talk about it?"

"No," balas Arraf cepat. "Tapi, nanti kalau aku udah ngomongin tentang hal ini, aku mau kamu paham tentang alasanku bermasalah sama dia. Benar-benar paham, so we're on the same page. Bukan paham kemudian tidak menyetujui, tapi paham dan kamu ngerti apa yang aku rasakan, sehingga kamu ada di sisi aku. I need you to understand me. Iya, aku egois, tapi ya udah bodo amat. Yang penting kamu ngerti aku dan selalu ada di sisi aku. Karena kamu bukan cuma sekadar sahabat, teman, mentor, atau adik tingkat. You are my lover and my equal. We need to always be on the same side, so I can always give my 100% to you."

Membisu, Riv berusaha mencerna ucapan Arraf yang terdengar ambisius itu. Namun, dia justru mempertanyakan, "Where is your 100% to me? Aku kan juga mau kamu memahami aku. Jadi hubungan ini nggak timpang."

"Yes, Baby, yes. Aku juga mau memahami kamu. Itulah yang kumaksud waktu aku bilang I'll give my 100% to you. Itu juga termasuk kemauan dan usaha untuk memahami kamu, Riv."

"Then where is your 100%?"

"Ask me anything," ujar Arraf penuh percaya diri. Dua tangannya mengelus bahu Riv. "Apa pun, Trivia Sayang. Selama itu masih masuk akal dan nggak menyalahi moral yang aku anut, aku lakuin buat kamu."

"Contohnya?"

"Contoh kecilnya, kamu mau aku belajar sedikit bahasa Latin kan, dari buku catatan kamu?" tanya Arraf dengan senyum. "Tadi pas kita dalam perjalanan balik ke kampus, aku udah cari bentuk endearment in Latin di internet. Sekarang aku udah punya panggilan baru buatmu yang mungkin bisa bikin kamu nggak merinding."

"Oh, ya?" Satu alis Riv terangkat. "Apa?"

Senyum Arraf mengembang. Jemarinya menyelipkan rambut Riv ke belakang telinga gadis itu. Matanya fokus memandangi bola mata Riv yang kini merefleksikan dirinya. "Meus aeterna," ujar Arraf setengah berbisik, memandangi wajah Riv, mendekatkan bibirnya ke telinga gadis itu. "My forever."

Bulu-bulu halus di tengkuk Riv seketika meremang. Degup jantungnya meningkat dan napasnya tertahan. Sungguh, dari segala hal, Riv tak menyangka Arraf akan memanggilnya demikian. Panggilan itu terasa manis di awal. Membuat pipi Riv merona sesaat sebelum logikanya cepat mengambil alih untuk mencerna makna panggilan itu.

Dan tak lama kemudian, rasa takut mulai mengalir dalam diri Riv. Dia menyadari panggilan itu menyatakan bahwa Arraf sudah menganggap Riv sebagai seseorang yang harus terikat dengan Arraf seumur hidup. Dan, kehendak Arraf ini haruslah dipatuhi semesta. Tidak boleh tidak.

Meus aeterna. My forever. Selamanya, karena Riv adalah perwujudan dari kata 'selamanya' dalam hidup Arraf, dan oleh sebab itu Arraf takkan mau melepaskan Riv seumur hidupnya.

Sebab dengan penuh determinasi, Arraf tahu dan yakin bahwa tak akan ada satu hal pun yang bisa memisahkan mereka kecuali maut dan diri mereka sendiri.

Tidak akan ada. Satu pun. Takkan pernah ada.

Hanya maut dan diri mereka sendiri.

Dan semesta mematuhi kehendak Arraf itu.

Tentunya dengan sebuah bayaran setimpal di masa depan kelak.

[ ].




A/N

Spoiler ending RnR bisa dibaca di:

Bit.ly/SpoilerEndingRnR

(Tulisan huruf kapital sama huruf kecilnya samain ya. Dan itu "bit.ly"nya itu "L" kecil, bukan "I" kapital)

buka linknya di app Hola VPN (bisa download di google store) atau di UC browser. Kalo buka di Hola, domainnya (benderanya) ganti dulu ke bendera Amerika. Jangan pake domain Indonesia (bendera merah putih).

Iya. Sengaja ribet biar spoilernya tersimpan pada tempat yang aman dan gak terlalu mudah diakses. Jangan spoiler di sini ya kalau udah baca spoilernya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top