27 || Danau
========
27
d a n a u
========
Hari Sabtu yang dinanti-nanti oleh Arraf akhirnya tiba.
Sepanjang jalan dari gerbang utama kampusnya, Arraf melihat beberapa banner untuk menyambut Oksigen yang dibuka malam ini. Kampus masih cukup banyak mahasiswa lalu-lalang untuk persiapan menghias tribun. Gymnasium menjadi pusat massa mahasiswa pada hari itu. Namun, saat ini Arraf bukan ingin menyapa para adik tingkatnya. Dia ingin bertemu Riv. Bertemu para adik tingkat biar nanti malam saja saat pembukaan.
Memarkirkan motornya di lapangan parkir Fisip, Arraf mengecek ponselnya untuk membaca chat yang baru masuk dari Riv. Gadis itu mengatakan bahwa dia baru selesai konsultasi dan sedang di jalan menuju parkiran gedung Fisip, tempat janjian mereka bertemu.
Sembari menunggu Riv datang, Arraf membuka kalender untuk melihat jadwalnya bulan ini. Dia membaca ulang dan memastikan tak ada jadwalnya yang bentrok. Saat masih memastikan jadwal, tiba-tiba ada suara memanggil yang membuat hatinya berdesir, "Hai, Paduka Raja Arraf!"
Arraf mengangkat wajah, menemukan wajah Riv yang menyengir melihatnya. Spontan cengiran itu menular ke Arraf. Ada rasa hangat, lega, sekaligus girang yang mendera hatinya kini. Padahal hanya bertemu saja. Padahal mereka juga sudah berpacaran. Dan, dia pun bertanya-tanya, Apa Riv juga ngerasain hal yang sama kayak gue? Apa cuma gue yang ngerasain kayak gini?
Arraf menarik napas. Tak masalah jika Riv belum merasakan hal yang sama. Sejauh ini, sudah ada tanda-tanda positif dari gadis itu terhadap dirinya. Dia yakin dia bisa membuat Riv jatuh cinta kepadanya sebagaimana dia mulai jatuh kepada Riv.
"Hai, Raf," ujar Riv, ringan. "Tadi padahal aku baru aja mau kabarin kamu buat ganti tempat ketemu. Jangan di Fisip. Eh, kamunya udah duluan ke sini, ternyata."
Arraf menatap ke sekeliling lapangan parkir yang kebetulan hanya dilalui dua-tiga orang. "Riv," ujar Arraf dengan senyum tipis. "Gue pikir lo mau backstreet dan menyembunyikan fakta bahwa kita akrab dalam tanda kutip? Terus kenapa manggil gue pakai teriak tadi?"
"Tadi suaraku nggak terlalu kencang, kok," kilah Riv sambil memarkirkan motornya di sebelah motor Arraf. "Kenapa harus Fisip, sih? Kenapa nggak di FIB aja?"
Arraf memaksakan senyum. "Karena di FIB ada mantan gue, dan dia masih belum lulus dari sini."
"Lah? Emangnya di Fisip nggak ada mantan lo?"
"Ada, tapi, anaknya pasti udah lulus. Seangkatan sama gue soalnya."
"Kayaknya lo punya mantan di semua fakultas, ya? FK, Fasilkom, sama FT juga punya?"
"FK sama FT ada. Fasilkom nggak ada."
"Gila." Riv geleng-geleng kepala. "Gue iri, Raf. Harusnya gue bisa kayak gitu. Pengalaman banget tuh."
"Emang pengalaman." Arraf tersenyum miring. "Udah, ah. Nggak usah ungkit-ungkit yang lalu. Gue putus sama mereka bukan tanpa alasan, kok. All for the greater good."
"Oke, oke." Riv mengangkat dua tangan tanda menyerah. Dia tak berniat mengungkit-ungkit masa lalu, sebenarnya. Dia hanya penasaran. "By the way, Raf. Gue ganti lokasi, ya. Kita nggak usah ke Oemah Njonja. Kita ke danau aja."
"Danau mana?" Arraf mengernyit.
"Nanti gue tunjukkin. Makanya, gue aja yang nyetir motor. Lo gue boncengin."
Kontan, mata Arraf membeliak. Dia? Diboncengi perempuan? Yang benar aja! pikir Arraf, tak terima. Gue udah pakai jaket kulit buat pengendara motor gini, masa iya malah gue yang diboncengin motor Scoopy-nya Riv?
"Kamu kenapa, Raf?" tanya Riv, terlihat tertarik. "Mukamu kayak kaget banget gitu. Nggak pernah diboncengi cewek, ya?"
Arraf terdiam dengan mengeraskan rahang. Gestur yang justru semakin mengiakan asumsi Riv itu.
Kekehan muncul dari bibir sang gadis. Menatap Arraf, mata Riv terlihat menyipit sambil tersenyum. "Oh, Paduka Raja Arraf, perwujudan nyata sosok alpha male sejatih sampai matih," ujar Riv dengan menambahkan 'h' dramatis di kata-kata terakhirnya, "jelas Paduka takkan pernah sudi diboncengi oleh perempuan. Kenapa, Paduka? Apa Paduka merasa berkurang kelelakiannya jika dibonceng motor Scoopy hamba yang lusuh dan dekil ini?"
"Nggak gitu," tegas Arraf, tak terima. Enak aja gue ditantangin kayak gini. "Ya nggak enak aja, Riv. Masa kamu yang boncengin aku. Orang aku bawa motor juga."
"Emang kenapa kalau aku boncengin? Aku bisa kok boncengin orang. Udah biasa."
Arraf terdiam. Berpikir sejenak. Dia tak biasa seperti ini. Selalu dia yang biasa memegang kendali. Namun, menolak Riv juga percuma. Tak ada alasan logisnya. Karena Riv perempuan? Bukankah itu justru terdengar seksis? "Oke," ujar Arraf, membiarkan Riv yang memimpin ke mana mereka pergi hari ini. Nggak apa-apa, Raf. Cewek lo ini, pikir Arraf, beranjak dari motornya menuju motor Riv. "Nyalain motor lo. Katanya mau boncengin gue."
Riv menarik napas sembari memutar bola mata, lalu menggelengkan kepala. Tangannya bersedekap. "Tolong, Raf. Nada perintah lo itu bisa dikurangi? Nggak usah perintah-perintah gue karena gue kan bukan babu lo. Semakin lo perintah-perintah gue, semakin gue justru makin mau jeburin lo ke got depan Fisip itu," ujar Riv, mengedikan dagu ke arah got yang dimaksud. "And trust me, Arraf. Gue bisa ngelakuin itu sendirian."
Arraf menelan ludah. Menyadari kesalahannya. Dia memang sudah terbiasa memerintah dan agak sulit mengontrol hal ini dalam berpacaran. Mantan-mantannya dulu tak ada yang protes sampai seperti ini. Mungkin ini juga yang membuat mantannya tak betah dengannya. "Iya, maaf," ujar Arraf dengan nada sabar. "Gue koreksi, ya. Tolong dinyalakan motornya, Trivia Sayang. Katamu, kita mau ke danau?"
"Cheesy," komentar Riv. "Tapi, jauh lebih baik."
Akhirnya, Arraf duduk di jok belakang motor Riv sementara sang gadis berkendara keluar dari lapangan parkir Fisip.
Arraf mengamati jalanan dengan lebih leluasa. Karena terbawa angin, penciuman Arraf mampu menangkap wangi buah dari tubuh Riv. Parfum Riv wangi melon, kah? tanya Arraf dalam hati. Dia mendekat untuk mendekatkan hidungnya ke dekat leher Riv, lalu menemukan aroma melon yang dia dapati tadi. Anjir, seger wanginya. Enak kalau lagi ndusel-ndusel. Untung udah jadi pacar, pikir Arraf dengan senyuman. "Riv, parfum kamu wangi apa? Melon?"
"Iya!" seru Riv karena suara mesin motor miliknya dan milik pengendara-pengendara lain mulai beradu, berisik.
Pandangan Arraf mengarah ke kepala Riv yang kini dilindungi oleh helm. Dia tak bisa melihat wajah Riv dari kaca spion karena tubuh Arraf lebih tinggi. Mata Arraf pun turun dari kepala ke bahu mungil Riv yang tertutup blus warna peach, lalu turun lagi ke pinggang gadis itu. Sebuah ide terlintas di benak Arraf sampai dia menyeringai, lantas segera dia realisasikan dengan memeluk pinggang Riv dan merapatkan tubuh mereka.
Tubuh Riv mendadak agak tegang. Dia menghela napas untuk relaks kembali. "Raf, jangan nempel-nempel banget plis. Risi."
"Oke." Arraf menurut dengan memundurkan posisi duduknya agak tak terlalu menempel dengan tubuh Riv. Namun, tangannya masih melingkari pinggang gadis itu. "Mendingan?"
"Mendingan." Riv mengangguk di balik helmnya. "Jangan ajak gue ngobrol, ya! Pecah fokus nanti guenya!"
"Sip!" Lagi, Arraf menurut saja. Ini bukan hal yang sulit dikompromi meski Arraf biasanya suka mengobrol dengan teman yang sedang dia boncengi.
Sesampainya di danau, mereka berjalan ke pintu masuk khusus pejalan kaki. Sang gadis mengedarkan pandangan ke danau untuk mencari tempat makan. Begitu ketemu, dia menggamit tangan Arraf dan menatap lelaki itu. "Raf, makan dulu, yuk. Aku belum makan siang."
Arraf mengerjap. Agak kaget dengan gestur spontan Riv yang menggamit tangannya. Dia hanya tersenyum sambil mengikuti Riv yang duluan menghela jalan ke sebuah bangunan yang berisi beberapa macam tempat makan. Bangunan itu terbuka dan dilengkapi dengan kipas angin di berbagai sudut.
Riv mengisi sebuah meja untuk dua orang yang terletak di ujung hingga bisa melihat danau. Usai memesan makanan, gadis itu teringat sesuatu sambil menjentikkan jari. "Eh, iya! Aku ada sesuatu buat kamu, Raf." Riv merogoh tas selempangnya dan mengeluarkan sebuah buku catatan hitam kecil hardcover. Dia meletakkan catatan itu di meja, lalu mendorongnya ke arah Arraf. "Itu buku panduan cara bikin aku baper."
Senyuman Arraf spontan terbentuk disusul alis terangkat. Dia membuka catatan itu, membaca halaman pertamanya.
Trivia Ganggarespati menginginkan lelaki dengan karakter:
- Intelek, berwawasan luas
- Mature enough to control himself from the seven sins: pride, greed, gluttony, lust, envy, wrath, sloth.
- Cukup dewasa untuk menerima dan menghargai dirinya sendiri.
Arraf membaca kelanjutannya sementara Riv menunggu makanan sambil membuka ponsel. Kemudian, Arraf membaca halaman untuk "Dos and Don'ts" untuk membuat Riv jatuh hati.
DOs:
- Try to learn some Latin phrases to sue me. Latin is a dead language but in a way it has it's own charm.
- He has love/interest for astronomy.
- Beliin Beng-Beng. Satu bungkus aja juga nggak apa-apa.
- Rutin nge-date.
- Support me especially when I'm down.
- Open up to me.
- Jadi pendengar yang baik.
Arraf masih lanjut membaca-baca ketika makanan mereka sampai. Dia hanya melirik sejenak makanan yang disajikan, lalu kembali membaca catatan Riv sembari menunggu makanannya tak terlalu panas. Setelah beberapa menit, Arraf selesai membaca dan mengingat-ingat. Dia kemudian menutup bukunya, memandangi Riv yang terlihat asyik menikmati lasagna-nya.
"Lapar atau doyan?" tanya Arraf, tersenyum menggoda. "Kalau kurang, nambah aja. Porsi sekecil itu mah nggak mungkin kenyang."
"Iya. Aku tambah pesan zuppa soup, kok." Riv mengunyah lasagna-nya yang tinggal seperempat porsi. Dia menyendok sesuap lagi. "Kamu mau nyobain, Raf? Enak, kok."
"Boleh." Seringai menggoda pun diluncurkan Arraf. "Kamu suapin aku, ya."
Riv membeku, menahan senyumnya yang berubah menjadi tawa tanpa suara. Dia menutup wajah karena malu. Sungguh, dia tak paham kenapa Arraf seperti ini. Rasanya geli, tetapi dia juga ingin tertawa. "Pacaran sama kamu kok dangdut banget ya rasanya."
Arraf tertawa. "Nggak apa-apa dangdut. Yang penting tulus."
Riv tertawa lagi. Dia tertawa karena malu. Baik itu malu karena kelakuan Arraf memalukan dan malu karena Arraf terasa manis dengan caranya sendiri.
Akhirnya mereka hanya tertawa. Tawa canggung, tawa malu, lalu campuran keduanya untuk menertawai momen ini.
Kemudian, Riv mengarahkan sendoknya mendekati Arraf. Dia tahu bahwa orang-orang takkan terlalu peduli dengan dirinya dan Arraf. Namun, rasa malu tak bisa berhenti merambat dalam dirinya sampai pipinya memanas.
Arraf memakan suapan dari Riv sambil tersenyum-senyum melihat pipi perempuan itu berwarna merah jambu. Sumpah, dia gemas sekali. Aduh, ini kalau duduknya pas sebelah-sebehalan udah gue cium itu pipinya. Menelan makanannya, Arraf pun berkata, "Kamu tambah cantik kalau pipimu merah gitu."
Riv mengulum bibir, menunduk menatapi piringnya. "Pipiku nggak merah."
"Yakin? Mau kukasih kaca, nggak?"
Riv terdiam dengan pipi memanas. Kemudian, dia membuang muka sambil memukul pelan lengan Arraf.
Arraf terbahak. "Oh, kamu kalau lagi malu kayak gini, toh?" tanya Arraf dengan cengiran. "Jadi mukul manja kayak tadi?"
Riv tertawa. "Apaan sih, Raf."
"Cie defensif. Malu, ya?"
Riv mengulum bibirnya ke dalam mulut, menahan senyum kembali terukir.
Arraf tersenyum. "Kalau mau senyum, senyum aja, Sayang. Nggak usah ditahan-tahan gitu. Aku suka kok lihat senyum kamu."
"Plis, nggak usah dilanjutin. Aku merinding."
"Merinding kesenangan itu namanya, Riv. Diterima aja. Dihargai, disyukuri."
Riv tertawa lebih keras, lalu kembali memukuli lengan Arraf beberapa kali. "Udah, Raf, udah."
"Nggak apa-apa, Sayang. Gemas sama pacar sendiri itu wajar, kok. Yang minta ditabok itu kalau gemas sama pacar orang."
"Raf, geliii," balas Riv sambil memukul-mukuli lengan Arraf. Kali ini lebih kencang hingga Arraf mengaduh.
"Duh!" Arraf menahan tangan Riv agar tidak memukulinya lagi. "Jangan KDRT ginilah, Sayang. Lenganku mending kamu peluk-peluk aja daripada dipukulin!"
Bibir Riv maju sedikit sambil dia mengernyit, terlihat sebal, tetapi di mata Arraf justru menggemaskan seperti anak kecil merajuk. Riv menghabiskan lasagna-nya lalu berlanjut ke zuppasoup-nya yang baru datang.
Arraf menyengir. "Lucu kamu."
"Aku nggak lucu. Aku bukan badut."
"Lucunya itu lucu gemesin minta dicium. Kalau badut nggak gitu lucunya."
Riv memejamkan mata. "Raf, plis berhenti bilang kamu mau cium aku."
"Daripada langsung kusosor? Barusan kubaca di catatanmu, kamu nggak mau ciuman kalau pacaran. Ya udah, aku cuma ngomong aja. Nggak kucium beneran."
Riv terdiam. Dia memang menulis seperti itu di buku catatan yang dia berikan kepada Arraf. "You don't mind?"
"I don't," jawab Arraf. "Kalaupun misal gue nggak menerima hal itu, lo bakal ngapain?"
"Ngobrolin lagi kenapa lo nggak terima. Apa lo memang sesaklek itu nggak bisa menerima prinsip gue. Kalau memang nggak bisa terima, ya udah, putus aja, cari yang lain yang bisa menerima prinsip kita masing-masing. Mumpung belum go public kan lebih enak."
"Benar juga," ucap Arraf. "Santailah. Aku fine-fine aja sama prinsipmu yang udah kamu tulis di catatanmu itu."
Senyum Riv mengembang. "Makasih, Arraf."
Arraf bergumam. Melanjutkan makan. Pikirannya sedikit melayang kepada catatan Riv yang dibacanya tadi. Dia sempat membuka halaman akhir dan menemukan sebuah tulisan yang membuatnya membeku. Tulisan yang membuat Arraf khawatir bukan main, yakni tulisan dari Riv untuk dirinya sendiri di halaman terakhir bukunya.
Catatan untuk Riv: sebenarnya mau seberapa bapernya kamu, bukankah kamu selalu siap untuk meninggalkan siapa pun kapan pun? Bahkan walau dia manusia paling berarti buatmu di semesta ini, bukankah kamu tetap siap meninggalkan dia?
Lantas harus pakai cara apa biar kamu merasa terikat sama aku, Riv? pikir Arraf. Dia tak ingin melepaskan Riv. Namun, Arraf sadar memang mudah saja bagi Riv untuk meninggalkannya.
Arraf tak mau ditinggalkan. Lebih baik dia yang duluan meninggalkan daripada dia yang ditinggalkan oleh Riv.
[ ].
A/N
Buat yang nanya kenapa Arraf cheesy, ya itu terjadi karena Arraf gabisa romantis yang pakai cara antimainstream gitu. Dia bisanya yang standar-standar aja. Cuma, seperti yang pernah Arraf bilang, "Gapapa cheesy. Yang penting tulus." Yha. Yang bisa romantis versi antimainstream, one of a kind tapi manis tuh si Riv.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top