22 || Cemburu
========
22
c e m b u r u
========
"Kamu mau saya kasih pendapat versi manis atau versi brutal?"
Ian, lelaki yang barusan menanyakan opini Arraf itu seketika meninggikan alis, menahan diri agar tak terlihat kalut atas respons Arraf barusan. Setahun bekerja sudah cukup baginya dan rekan kerjanya yang lain untuk memahami sifat Arraf yang kadang mengatakan sesuatu dengan terlalu sadis — walau masuk akal — dan terlalu to the point, tak ada basa-basi hingga orang lain yang lebih sensitif akan mudah sakit hati.
Ian berdeham, tersenyum untuk mencairkan suasana. Walau sebenarnya Arraf tak merasa ada satu pun yang salah dengan kecanggungan yang sempat terjadi. "Saya mau dengar yang manis deh, Bos."
Arraf menelan sushi yang tengah dia makan. Dia mentraktir makan malam rekan satu timnya malam ini sebagai bentuk penghargaan atas hasil kerja yang sudah mereka capai. Bagi Arraf, ini hal standar bagi para bos jika sedang ada sesuatu yang patut dirayakan. Namun, Arraf tidak naif. Dia tak akan sebaik hati ini memberi reward jika memang timnya tak mampu bekerja maksimal.
"Menurut saya, perempuan yang lo ceritakan itu memang manis kelakuannya," ujar Arraf, menjawab pertanyaan Ian. "Dia cocok sama kamu. Kalian chemistry-nya kuat, udah kayak jodoh. Kamu harus kejar dia sampai ke ujung dunia nggak peduli walau kamu berdarah-darah dalam perjalanannya," tutup Arraf dengan senyum paksa. Dua detik kemudian, dia kembali berwajah datar dan mengambil sushi yang lain dengan sumpitnya.
Yang lain di meja itu sontak tertawa. Ian menarik napas dan garuk-garuk kepala. Sadar bahwa Arraf memang hanya berkata sarkastis. "Ya gimana, Bos. Saya udah sayang sama dia ya saya lanjutinlah. Tiap orang berhak dapat kesempatan kedua."
Arraf tetap mengunyah, menahan diri agar tidak memutar bola mata atau mengatakan sesuatu yang akan mempermalukan atau membodoh-bodohi Ian. Habis diselingkuhin ceweknya, dia malah kasih kesempatan kedua. Ini cowok harga dirinya ada di mana? pikir Arraf dengan mata menyipit. Namun, dia tak menyuarakan pikirannya. Otaknya terus mengingatkan bahwa dia tak perlu peduli dengan hubungan personal rekan-rekan kerjanya. Yang penting mereka selalu efektif dan profesional ketika bekerja.
Akhirnya, Arraf hanya mengangkat bahu dan berkata, "Fine. Suit yourself."
Tentunya dengan senyum meremehkan.
Sebab keputusan Ian benar-benar tak masuk akal untuk logikanya.
Obrolan berlanjut kepada objek lain seperti selebriti maupun tokoh terkenal lain. Siapa sedang dekat dengan siapa. Siapa yang tengah terlibat skandal dengan siapa. Terus dan terus gosip itu berlanjut. Arraf kadang menanggapi, kadang hanya diam saja. Dia sudah banyak belajar bahwa tak semua hal yang dia pikirkan harus diutarakan. Baginya hal seperti ini cukup menjadi ladang informasi yang suatu saat siapa tahu bisa dimanfaatkan.
"Pak Arraf, ada yang titip salam tuh," ujar Shafa, salah satu rekannya. "Katanya, Pak Arraf keren banget pas lagi presentasi kemarin."
Arraf mendengus tersenyum. Lalu meraih gelas tehnya. "Dari cewek atau cowok?"
"Ceweklah, Pak." Shafa terkekeh.
"Cantik?"
"Lumayan."
"Pintar?"
"Kayaknya iya."
"Anak mana?"
"Dari staff marketing, sih. Katanya, dia ngelihat Pak Arraf pas presentasi kemarin. Terpesona kayaknya semenjak itu."
Karyawan lain di meja itu tertawa dan bersorak menggoda. Arraf tersenyum miring. Dia tak pernah menutup kesempatan bagi perempuan untuk mendekatinya, selama dia dan perempuan itu masih lajang, tentunya. "Mana sini foto temenmu."
"Wah, tertarik!" seru Shafa. Dia membuka ponsel dan menunjukkan sebuah foto dari galerinya kepada Arraf. "Tuh, Pak. Yang pakai baju bunga-bunga."
Mata Arraf cepat menilai sosok perempuan yang ditunjuk Shafa. Benar cantik rupanya. Wajar juga berhubung perempuan itu masuk bagian marketing yang memang harus berpenampilan menarik. Namun tentu, bagi Arraf, cantik saja tidak cukup. "Kamu dekat sama dia, Shaf?"
"Nggak terlalu sih, Pak. Dia temannya teman saya. Beberapa kali ngobrol, anaknya baik, kok." Shafa tersenyum. "Mau dikenalin?"
"Kan, dia yang duluan tertarik. Dia aja sini yang kenalan sama saya." Arraf menyeruput tehnya. "Kalau dia berani, sih."
Shafa terkekeh. "Ntar deh, Pak, saya tanyain. Kalau udah dikasih lampu ijo gini kan, lebih enak dianya deketin."
"Suruh buruan," ujar Arraf, tersenyum miring. "Keburu saya taken sama cewek lain."
"Wuaduh!" seru Shafa dan beberapa karyawan lain di meja itu, kemudian disusul dengan sorakan kecil. Mereka tertawa bersama.
"Yha, Pak Arraf mah jarang ngejomblo," ujar Arisa, salah satu karyawati lain. "Palingan nggak ada dua bulan putus, langsung dapat pacar lagi. Yang minat jadi pacarnya banyak, euy!"
Arraf mendengus. "Ngefans amat kamu sama saya sampai ngitungin berapa lama saya ngejomblo."
Muncul sorakan lagi. Makan malam mereka sudah hampir habis. Beberapa masih menyelesaikan makanan atau minuman mereka. Di tengah itu, sambil menghabiskan tehnya, Arraf menatap sekitar. Pandangannya seketika terpaku pada sosok gadis berambut seleher, tengah memasuki restoran Jepang yang dia singgahi kini. tiba-tiba muncul di pintu masuk restoran Jepang yang dia singgahi sekarang. Arraf segera menurunkan cangkirnya, fokus dan mempertajam pandangan ke arah perempuan yang senantiasa dia pikirkan tiap malam itu. Riv, pikir Arraf. Beneran Riv. Tapi, ngapain itu ada cowok gandeng-gandeng tangan dia?
Arraf tentu tak bisa protes jika memang Riv berkencan dengan lelaki lain. Mereka berdua masih sama-sama lajang, jelas bebas untuk berkencan dengan siapa pun. Arraf tak memiliki hak untuk melarang Riv dan inilah yang membuatnya gatal ingin memiliki gadis itu secepatnya. Dia tak ingin Riv menjadi milik lelaki lain. Dia tak mau Riv bergandengan tangan dengan lelaki lain seperti orang pacaran. Dia tak mau Riv tertawa dan akrab dengan lelaki lain seperti sepasang kekasih yang mesra. Dia tak ingin Riv merasa dekat secara emosional dengan lelaki lain seolah hanya lelaki itu yang mampu memahaminya. Dialah yang harusnya dekat secara emosional hingga Riv merasa aman bersama dirinya, bisa memercayainya seutuhnya.
Arraf tak suka melihat apa yang dilihatnya sekarang.
Pandangan Arraf yang tak lepas dari Riv seketika terasa oleh gadis itu. Riv mengerlingkan mata ke sekitar dan menemukan mata Arraf. Alisnya bertaut, tetapi kemudian dia tersenyum dan melambaikan tangan.
Arraf hanya tersenyum tipis, ikut melambai dengan hati sedikit tercubit. Tentu, dia bisa saja berkencan dengan gadis lain. Namun melihat ini membuat egonya sedikit tergores. Mungkin karena dia sadar bahwa dari semua perempuan yang dekat dengannya belakangan ini, Riv-lah yang paling dia inginkan. Dia suka mengobrol dengan Riv bahkan sampai berjam-jam. Dia mau mengetahui dunia Riv sebab cara pandang Riv bisa begitu berbeda tetapi sampai pada kesimpulan yang mirip dengannya. Dia tak paham bagaimana seseorang yang begitu berbeda dengannya bisa memiliki kesamaan-kesamaan yang tak dia duga, kesamaan yang jarang dimiliki orang lain.
Riv tak terlihat ingin mendekat ke arahnya. Gadis itu hanya tersenyum, kemudian beralih kepada lelaki lain yang tadi sempat menggandeng tangan Riv. Matanya menyipit curiga. Kenapa tiap kami kencan, dia nggak mau digandeng, ya? pikir Arraf, heran. Apa karena gue juga nggak pernah ngegandeng? Apa karena gue juga nggak pernah minta? Udah sedekat apa Riv sama cowok itu? Is he better than me?
Menarik napas, muak juga rasanya lama-lama menatapi Riv terlihat akrab dengan lelaki lain. Riv terlihat bahagia dan senang-senang saja bersama lelaki itu. Terlihat agak berbeda ketika bersamanya. Saat berkencan bersama Riv, Arraf tak pernah melihat Riv tertawa girang dengan mata berbinar penuh excitement ketika sedang menjelaskan sesuatu seperti yang kini dia lihat dari sosok Riv bersama lelaki lain itu. Sontak, Arraf merasa gagal. Was I really that bad? pikir Arraf. Apa gue emang sepayah itu bikin Riv senang? Apa gue emang seegois itu dalam pembicaraan? Gue mau dengar Riv bercerita tentang hidup dia. Kenapa dia nggak cerita banyak? Kenapa dia nggak kelihatan se-passionate ini pas sama gue?
"Hei," ujar Arraf kepada rekan setimnya. Suaranya cukup keras untuk membuat obrolan yang tengah terjadi di meja mereka perlahan berhenti. "Cewek itu kalau kasih lampu ijo pas kencan, apa aja tanda-tandanya?"
"Wah, kok Pak Arraf malah nanya ke kami?" Rega, salah satu junior di timnya terkekeh. "Yang ada harusnya tuh kami yang nanya Pak Arraf. Kan, Pak Arraf lebih senior!"
Arraf tertawa. "Just wondering. Kali-kali aja ada referensi terbaru dari cewek-cewek yang berbeda. Ya, nggak?"
Ucapan itu disusul kekehan ringan oleh yang lain. Dengan sering bergaul dengan banyak orang, Arraf cukup sadar bahwa topik pembicaraan seperti ini akan mudah membuat banyak perempuan tertarik. Perempuan mudah tertarik dengan topik obrolan yang berputar di romansa. Namun jika mengingat Riv... yah, menurut Arraf, Riv tertarik dengan segala hal, tetapi dia memahami romansa dengan cara yang berbeda dari kebanyakan orang. Pendekatannya logis seperti dirinya, hingga dia tak kaget jika orang-orang menganggapnya kejam.
"Kalau saya sih, Pak," ujar Shafa. "Selama saya enjoy pas nge-date sama itu cowok, ya itu lampu ijonya. Kami ketawa bareng, bercandaan bareng, ya pokoknya have fun lah! Simpel kok. Orang kalau diam aja atau excited banget kan kelihatan ya dari perubahan mimik wajah dan gesturnya."
"Bener tuh, Pak," timpa Arisa. "Menurut saya, lampu ijonya tuh ya kalau si cewek merasa excited gitu. Kayak, matanya berbinar-binar gitu selama have fun sama itu cowok."
Arraf mengernyit. Riv selama ini excited nggak sih, sama gue? Kayaknya dia lebih excited karena mau meneliti gue dah. Jadi nggak bisa dibilang excited dan nggak bisa dibilang bete juga. Arraf menarik napas. "Kalau si cewek nggak kelihatan bete, tapi juga nggak kelihatan berbinar-binar bahagia gitu, gimana? Dia kelihatan woles aja gitu ngobrol tetap asyik, tapi bukan yang sampai berbinar-binar matanya or something."
"Oh, itu mah gampang, Pak," ujar Shafa. "Itu namanya si cewek nyaman temenan sama si cowok! Kena friend-zone deh!"
Anjir! Arraf berusaha agar tak melunturkan senyum, semua semata-mata agar rekan setimnya tak menyadari perubahan gestur mendadaknya meski dalam hati, Arraf merasa tertonjok oleh kenyataan. Masa sih Riv cuma ganggep gue temen? pikir Arraf, tak percaya. Tapi kan, I already make it obvious that I want her. "Kalau si cowok udah terang-terangan bilang kalau dia mau pacarin si cewek, bahwa dia mau hubungan mereka lanjut ke pacaran, masa iya kena friend-zone?"
"Yah, gimana ya, Pak," ujar Arisa. "Namanya juga perasaan, Pak. Kita nggak pernah tahu lebih cocok jadi teman atau pacar kalau belum interaksi. Kalau pas kencan ternyata lebih cocok temenan ya wajar, sih."
Shafa pun menambahi, "Emang kenapa, Pak? Cewek yang lagi Pak Arraf deketin ada yang friend-zone Pak Arraf?"
"Enggaklah," tampik Arraf sambil mengibas tangan. Gengsi gila kalau mengakui dia kena friend-zone. "Teman saya itu. Gebetannya kelakuannya kayak yang tadi saya jelasin. Teman saya cerita ke saya dan saya bingung aja harus jawab apa."
"Hmm...." Reza manggut-manggut. "Kalau dari pengalaman saya sih, Pak. Memang itu namanya si cewek lebih nyaman temenan aja."
"Terus, cara bikin dia baper, gimana?"
"Ya... mungkin emang nggak bisa dibaperin sama temen Pak Arraf itu," ujar Arisa. "Temen Pak Arraf bukan tipenya si cewek, kali."
Emang bukan, sih. Tapi, cewek itu juga awalnya bukan tipe gue, Ris! Walau dia akhirnya tetap masuk ke standar inti sih untuk masalah cantik, cerdas, dan berprestasi dengan caranya sendiri. "Terus, teman saya harus gimana, menurut kalian?"
"Ya... cari yang lain atuh, Bos. Cari cewek lain yang mau sama teman Bos itu," ujar Ian. "Tapi kalau udah telanjut cinta, itu kan yang ribet."
Sumpah, ingin sekali rasanya Arraf merutuk. "Masa sih, nggak ada cara lain? Teman saya sampai agak frustrasi gitu karena dia ngerasa cewek ini cocok banget sama dia."
"Gini, Pak," ujar Rega, berusaha terlihat berwibawa. "Pepatah bijak mengatakan bahwasanya, seseorang yang kita anggap cocok dengan kita, belum tentu direstui Tuhan. Siapa tahu, Tuhan sudah menyiapkan sosok perempuan yang lebih cocok sama teman Pak Arraf. Saran saya, sebaiknya teman Pak Arraf ini yakin bahwa rencana Tuhan itu lebih indah dari rencana manusia."
Arraf memejamkan mata dan menarik napas. Dia bukannya tak percaya kuasa Tuhan. Namun yang dia percaya, harusnya manusia berusaha dulu hingga titik penghabisan, baru ikhlas dengan apa pun hasilnya nanti. Yang sering Arraf temui justru orang-orang belum totalitas berusaha hingga 100%, tetapi sudah menyerah duluan. Arraf tak bisa seperti itu. Dia selalu totalitas ketika sudah menemukan visi dan tujuan yang jelas untuk melakukan sesuatu. Dalam kasus Riv, Arraf tahu gadis itu cocok dengannya dari banyak hal. Memang berbeda, memang terkesan bertolak belakang, tetapi Arraf merasa bisa tumbuh bersama Riv. Dia yakin dia bisa lebih cepat untuk berkembang jadi lebih baik bersama gadis itu.
PR itu, catet, Raf. Cari tahu cara baperin Riv, pikir Arraf dalam hati. Dia mulai membuka ponsel dan mengetik daftar kegiatan baru di to-do-list ponselnya. Yakni untuk mencari tahu lebih banyak tentang Riv dari teman-teman perempuan itu. Dia yakin dia bisa. Dia belum berusaha hingga 100% untuk mendapatkan Riv. Dan jika dia belum berusaha optimal, belum totalitas, maka dia takkan menyerah untuk memperjuangkan Trivia Ganggarespati.
Arraf berdoa semoga saja ini bukan obsesi.
[ ].
QnA
Q: Troi gimana caranya mengontrol kebaperan?
A: Gue sebenernya punya prosedur kerja buat kontrol feeling, sih. Tapi gue ragu ini bisa efektif buat kalian meski ini efektif buat gue.
Prosedur kerjanya itu ada dua: internal sama eksternal. Prosedur kerja yang internal sebenernya gue dapet dari teman gue yang mungkin nggak mau disebut namanya di sini.
Prosedur kerja internal itu terdiri dari dua pertanyaan yang cukup lo jawab jujur kepada diri lo sendiri. Pertanyaanya itu adalah:
1. Untuk apa lo harus mengontrol perasaan itu?
2. Apakah hal yang sekarang lo lakukan itu efektif buat mengontrol perasaan lo? Misal dengan lo kangen sama orang yang lo suka (tapi nggak naksir lo balik) apakah efektif untuk mengontrol kebaperannya kalau lo buka-buka medsos dia pas teringat sama orangnya?
Prosedur kerja eksternal lebih ke grounded reality. Berhubung ini prosedur kerja dalam konteks mengontrol kebaperan, then I'm gonna preach you all.
1. Catat hal-hal yang kalian lakukan kalau lagi teringat sama orang yang kalian suka. Misal, kalau lagi keinget doi, kalian bakal buka medsosnya, atau tiba-tiba mau ngomongin sesuatu tentang doi sama temen kalian, atau pas dia lihat otomatis mata lo betah banget berlama-lama natap dia. Catet semuanya tanpa terkecuali.
2. Baca catatan itu baik-baik. Resapi, ingat-ingat terus. Kalau perlu ditempel.
3. Ketika besoknya lo sadar lo melakukan hal yang udah lo tulis pas lo keinget doi (stalking medsos dsb), langsung hentikan apa yang lo perbuat. Alihkan diri lo buat ngelakuin hal lain it's either bikin tugas, gambar, nonton YouTube, whatever.
4. Kalau lo punya teman yang sepemikiran sama lo yang sama-sama mau ngontrol kebaperan, minta tolong dia buat ngingetin lo seandainya lo melakukan hal yang udah lo tulis di catatan tadi.
Oiya mohon diingat ini prosedur kerja yang kemungkinan nggak efektif untuk semua manusia. Kalau kalian (gue yakin banyak sih) merasa hal yang gue sebutkan di atas itu nggak efektif buat kalian ya gue udah nggak bisa bantu samsek. Monmaap kalau prosedur kerja ini terkesan membuat perasaan seolah itu adalah robot.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top