19 || Lengkap
========
19
l e n g k a p
========
Sejak usianya 18 tahun, Arraf sudah membuang konsep 'butuh pendamping perempuan yang tepat untuk merasa lengkap'. Baginya itu hanya omong-kosong semata.
Sebab meski tanpa siapa pun mendampinginya, Arraf sudah merasa lengkap dan utuh. Dia bisa menjalani hidup dan menuntut dirinya sendiri agar bisa melakukan hal lebih dan lebih lagi tiap harinya. Tak perlu 'perempuan yang tepat' untuk membuatnya ingin menjadi lebih baik. Menurut Arraf, harusnya semua manusia sadar bahwa tiap harinya harus jadi lebih baik - terlepas dari sudah punya pendamping ataupun belum.
Yang Arraf percaya, pasangan yang tepat untuknya adalah perempuan yang paling optimal memicunya menjadi lebih baik. Dia sudah menyusun formula 'perempuan tepat' itu dengan sebuah prasyarat: berbeda tetapi seprinsip. Berbeda dalam arti, perempuan ini memiliki cara pandang yang berbeda, tetapi seprinsip dengannya untuk hal-hal fundamental sebelum menilai sesuatu. Ini bisa memberi perspektif lain untuk Arraf mendapatkan informasi. Sebab ketika semakin dewasa, Arraf sadar dia butuh lebih banyak informasi sebelum mengambil keputusan yang efektif. Beberapa kali dia merasa pandangan orang - bahkan pandangannya sendiri - atas suatu masalah masih agak sempit. Dan, Riv bisa memberikan informasi yang dia butuh.
Sejak awal, Arraf sadar bahwa Riv termasuk orang berpikiran terbuka. Riv sama-sama logis dan tempramen seperti dirinya, tetapi di saat yang sama, cara Riv memandang sesuatu bisa jadi berbeda dengannya. Arraf tak mempermasalahkan perbedaan ini karena penjelasan Riv semua bisa diterima akalnya. Setidaknya, Riv sampai sekarang tak pernah memintanya untuk lebih menggunakan hati agar tak terlalu kejam mengambil keputusan - seperti gebetan atau pacarnya dulu.
Arraf baru pertama kali bertemu perempuan seperti Riv. Meski Riv berkata pasti ada perempuan di luar sana yang bisa memahami Arraf dan lebih sesuai dengan kriteria perempuan SOP Arraf, Arraf tak yakin perempuan itu bisa seperti Riv. Arraf merasa Riv bagai bintang jatuh; kesempatan yang tak boleh begitu saja dilewatkan. Tak masalah jika Riv tak sesuai dengan kriteria SOP-nya - Arraf bisa membuat SOP baru khusus Riv karena Riv memang kasus spesial. Lagi pula, wajah Riv manis. Tubuh Riv juga ideal. Arraf suka perempuan berwajah manis dan bertubuh bagus. Riv jelas masuk seleranya untuk masalah fisik dan kecerdasan. Dan sejauh ini, Arraf tak pernah melihat Riv mengenakan pakaian asal-asalan. Pakaiannya selalu sesuai, sehingga Riv bisa menempatkan diri.
Jika Arraf tertarik kepada perempuan yang tak memenuhi kriteria calon pacar SOP standar, maka yang akan dia lakukan adalah mengetes perempuan itu. Ibaratnya, dia akan mendorong perempuan itu hingga tepi jurang, dan jika perempuan itu mampu bertahan, maka dia layak untuk diperjuangkan.
Riv sudah lolos beberapa kualifikasi. Tinggal mencocokkan beberapa hal terkait prinsip dan mengetahui apa goals serta achievement Riv. Ya, pencapaian apa saja yang sudah dimiliki pasangannya itu penting. Arraf tak munafik. Dia memang suka membangga-banggakan pasangannya di depan umum. Itu adalah bentuk rasa bangga dan cintanya kepada pasangan.
Oleh karena itulah, Arraf berniat untuk menghabiskan kencan dengan mengetes Riv sampai dia puas. Dan, Riv juga melakukan hal yang sama. Tak ada yang merasa dirugikan di sini.
Sabtu pukul sebelas, Arraf memarkirkan motornya di depan kafe tempatnya janjian kencan. Plang nama kafe Oemah Njonja terlihat di depan kafe yang diapit ruko-ruko tersebut. Arraf melihat interior dalam kafe dari kaca. Baru ada satu orang yang duduk di interior bernuansa vintage dan oldies itu. Dia hendak masuk. Namun karena mendengar ada suara motor berhenti di parkiran depan kafe, Arraf pun menoleh, menemukan Riv memarkirkan motornya.
Riv menyimpan helmnya, lalu berjalan ke arah Arraf. Senyum santai tersungging di bibirnya. "Hei, Raf, kenapa diam aja di depan?"
Bibir Arraf otomatis melebarkan senyum melihat wajah Riv yang dirias natural dan terlihat manis. Matanya turun dari mata Riv ke bibir gadis itu. Riv kembali mengenakan lipstick entah apa yang warnanya seperti young red wine, yang teksturnya seperti air. Arraf suka warna dan efeknya di bibir Riv. Dia berlama-lama menatap ke arah sana hingga Riv menyadarinya.
Riv berdeham. Sadar Arraf bukan sedang menatap matanya seperti sebagaimana dua orang umumnya berbicara tatap muka. Dia menyilangkan tangan, menatap Arraf lantas berkata, "Lo lagi ngelihatin apa, Raf?"
"Hah?" Arraf mengangkat pandangannya ke mata Riv, meninggikan alis. Agak kaget. Setelah mencerna ucapan Riv tadi, dia berdeham, mengalihkan pandangan lalu menjawab, "Nggak ngelihat apa-apa. Cuma lagi meleng aja."
Riv menahan diri agar tak memutar bola mata dan fokus menatap mata Arraf yang terlihat enggan menatapnya balik. Datar, Riv berkata, "Lo cukup lama ngelihatin bibir gue. Kenapa?"
Pipi Arraf spontan memanas. Sumpah, baru pertama kali ini Arraf bertemu perempuan seblak-blakan Riv. Dia sering bertemu orang yang blak-blakan. Namun, tidak seperti ini. Tidak dengan topik tentang bibir atau yang menjerumus ke arah seksual. Dan, Riv berbicara begitu datar. Bukan penuh nafsu sehingga Arraf bisa menangkap bahwa Riv memang tak terlalu peduli. Kemudian alih-alih menjawab pertanyaan Riv, Arraf justru membuang muka dan bertanya balik, "Apa itu penting?"
"Nggak, sih," jawab Riv, mendahului Arraf memasuki kafe. "Maksud gue, kalau lo suka, nanti gue kasih tunjuk liptint-nya. Kali-kali aja lo mau pakai sendiri."
Bibir Arraf terbuka, merasa tersinggung. Dia mengikuti Riv memasuki kafe. "Ya kali gue mau pakai, Riv! Yang benar aja."
"Emang kenapa kalau mau pakai?" Riv mengerjapkan mata. Terlihat bingung. Kemudian, dia baru teringat. "Oh, lo takut dianggap nggak macho, ya? Padahal artis cowok juga udah cukup banyak yang pakai pemulas bibir gitu."
"Gue bukan artis yang suka pakai riasan kayak cewek. Gue laki tulen."
"Iya, iya, Mr. Machomania." Riv menghela napas dan memutar bola mata. Dia pun bergerak ke arah kasir untuk memesan makanan bersama Arraf. Tak lama, mereka duduk di satu sudut kafe yang mengusung tema oldies itu. Musik klasik yang terputar terdengar menenangkan, cocok sekali dengan suasana kafe.
"So," Arraf memulai bicara. Tangannya dimasukkan ke kantung celana sambil duduk. Riv menahan diri untuk tak berkomentar pada gaya duduk serta wajah tengil Arraf yang memancarkan aura arogan dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Gimana progress skripsi lo, Riv?"
"Progress masih di pembahasan buat hasil-hasil yang udah keluar," jawab Riv, datar.
"Ada kendala? Butuh apa?"
"Butuh dikerjain skripsinya."
Arraf terdiam, kemudian terkekeh. "Ya udah, tinggal kerjain. Kalau lo emang bener-bener butuh waktu buat fokus sama skripsi lo, terus lo nggak bisa nge-date bareng gue juga nggak apa-apa."
Mata Riv melebar. "Serius?"
"Ya iyalah. Gue nggak seposesif itu kali. Kerjain skripsi kan, buat kebaikan lo juga."
"Ah, iya juga, ya. Lo pasti kan mau orang-orang mengikuti jalan lo untuk sukses." Kemudian, Riv menambahi, "Sukses versi standar masyarakat, sih."
"Nggak ada yang salah kan dengan sukses standar masyarakat? Mau standar masyarakat kek, mau standar elo kek, yang penting kan sukses."
"Tapi, lo bisa nggak, memaklumi orang yang mengejar target tapi nggak sesuai standar masyarakat? Gimana kalau lo nemu orang yang nggak menempatkan kuliah dia sebagai prioritas utamanya? Jadi kuliah dia nggak penuh prestasi kayak lo, karena dia punya prioritas lain dalam hidup dia."
"Ya prioritas selain pendidikannya itu apa dulu?" balas Arraf. "Pacaran? Ke laut aja sana."
Riv tertawa. "Bukan. Misal, dia kerja pas jadi mahasiswa dan lebih memprioritaskan kerjaan itu daripada nilai akademiknya. Batas toleransi lo sampai mana?"
"Kalau itu mah gue toleransi. Paham sih gue. Emang prioritas orang beda-beda dan menurut gue kerja itu prioritas yang faedah. So that's definitely okay." Sesaat kemudian, Arraf menimpali, "Tapi dia tetap harus menyelesaikan apa yang harus diselesaikan. Apalagi kalau ikut organisasi."
"Prioritas yang menurut lo nggak faedah itu apa?"
"Ya... yang bikin manusia itu lambat atau bahkan nggak gerak sama sekali dalam mencapai target dia. Misal, dia mau sukses secara finansial. Otomatis harus berencana dong? Apa yang mau dia kerjakan, target penghasilan dia berapa, pengalaman dan skill apa yang dia butuhkan, environment kerja apa yang dia inginkan, bakat dan minat dia di mana, kelemahan dia yang harus diperbaiki apa, dan seterusnya itu kan harus didetailkan biar kita tahu apa-apa aja yang harus kita lakukan. Nah, kalau udah tahu target dia sukses secara finansial, tapi di sela-sela kuliah dia kerjanya cuma molor, main game, atau pacaran, ya kapan suksesnya? Yang ada cuma buang-buang duit orangtua jadi manusia nggak guna."
Riv manggut-manggut. Dia makin paham cara kerja otak Arraf. Manusia semacam Arraf pasti gatel banget pengin ngegaruk orang-orang pemalas yang nggak tahu hidupnya harus ngapain, pikir Riv. "Sejujurnya, gue juga gatel sih sama orang yang terlalu nganggur dan terkesan cuma buang-buang duit orangtua. Tapi, yah, ya udah itu urusan mereka dan orangtuanya. Mungkin ada sesuatu yang nggak gue tahu dari kehidupan mereka. Biasanya gitu, sih."
"Ya tetep aja sih, Riv. Buat gue mau itu keluarga ada masalah apa pun tetap bukan alasan untuk bermalas-malasan. We must fight for our lives. Kalau mau sesuatu ya perjuangkan. Kalau mau keluar dari masalah finansial ya berjuang. Kalau mau keluar dari kebodohan ya belajar. Bukan malah bermalas-malasan dan ngelamun suatu saat nemu duit nomplok di kasur. Maksudnya, yah, merenung sejenak untuk mengingat hal-hal yang udah kita kerjakan atau merenungkan mau pencapaian macam apa ya bolehlah. Tapi, kalau cuma ngelamun tanpa ngelakuin apa-apa ya sama aja bohong."
"I see." Riv menaik-turunkan kepala. Dia mengambil red velvet pesanannya yang baru saja diantar oleh pelayan. Riv tak langsung meminumnya karena masih panas.
Usai mengambil kopi pesanannya dari pelayan, Arraf bertanya, "Lo sendiri gimana, Riv? Rencana lo setelah lulus apa? Kuliah lagi atau kerja?"
"Kerja," jawab Riv mantap. "Lo mau S2 suatu saat nanti?"
"Mungkin iya." Arraf angkat bahu. "Atau mungkin enggak, karena gue udah terlalu tenggelam dalam kesibukan bekerja. Gue suka duit soalnya."
"Ketebak." Riv tersenyum. "Duit kan simbol kekuasaan."
Arraf tertawa. "Nggak semua hal bisa dibeli dengan uang, tapi semuanya butuh uang. Bullshit sama mereka yang bilang memperjuangkan cinta nggak butuh uang. Jelas-jelas gue di sini kencan sama lo aja udah keluar duit bensin, duit makan, duit parkir, dan akan masih berlanjut pengeluaran gue demi hal kayak gini."
"Hm. Lo pernah diomelin gebetan atau pacar lo nggak sih, kalau ngomong hal kayak tadi di depan mereka?" Riv mendekatkan cangkir red velvet-nya dan mulai mengaduk.
"Pernah, sih. Katanya, gue terlalu perhitungan." Arraf mendengus remeh. "Ya iyalah gue perhitungan. Orang masih awal kenal masa udah nyerahin segalanya? Gila kali dia."
Riv menyeruput red velvet-nya. Rasa manis cokelat hangat membuat dia mengecap langit-langit mulutnya. "Hm. Gue paham kenapa mereka kesal sama lo. Karena lo bicara hal logis, tapi terlalu blak-blakan dan to the point, makanya mereka yang udah menganut cinta nggak boleh perhitungan itu kesal."
Arraf menopang dagunya. "Lo sendiri? Menurut lo, cinta itu harus perhitungan atau enggak?"
"Kalau menurut gue, perasaan cinta itu sendiri nggak bisa perhitungan sih, Raf. Yang perhitungan kan, logika. Pas awal-awal PDKT, menurut gue wajib perhitungan secara materi. Pas awal-awal pacaran, perhitungan secara materinya dikurangin, tapi mulai perhitungan ke hal-hal emosional. Pas udah fix hubungan jangka panjang kayak nikah, perhitungan ke pasangan secara materi makin berkurang, tapi perhitungan ke pasangan secara emosional dinaikkan. Karena butuh usaha lebih biar tetap merasa dekat secara emosional." Riv menyesap red velvet-nya lagi, lalu melihat wajah Arraf yang berpikir keras. "Kenapa? Bingung, ya?"
Arraf bergumam panjang. "Jadi, intinya semakin serius suatu hubungan, maka tetap perhitungan? Dari yang awal perhitungan materi, lama kelamaan berkurang perhitungan materinya. Tapi perhitungan buat kedekatan emosional justru semakin bertambah?"
"Yap." Riv mengangguk. "Intinya, hubungan romansa menurut gue sudah pasti perhitungan. Malah aneh kalau nggak perhitungan. Soalnya kalau cuma giving and giving entah itu kasih perhatian, hadiah, ucapan kasih sayang, tapi nggak ada feedback dari pasangan kan, ntar kitanya yang sengsara. Kayak pacaran rasa jomblo gitu loh."
"Sedih amat punya pacar tapi berasa jomblo." Arraf tertawa. "Jadi, menurut lo, kita harus ngapain biar pasangan nggak merasa jomblo? Dan biar perhitungan kedekatan emosional itu seimbang?"
"Harus kerja sama, dong. Kedekatan emosional itu banyak. Umumnya sih, manusia kan nyari pasangan agar dia merasa diinginkan, merasa diidolakan, merasa dibutuhkan, merasa dicintai, dan semacamnya. Dan itulah yang harus kita lakukan. Gimana caranya kita bisa mencintai, membutuhkan, mengidolakan, dan menginginkan pasangan, tapi at the same time, we don't lose ourselves in the process?"
"Lose ourselves? Kayak apa contohnya?"
"Contohnya, membutakan diri ke pasangan, menjadikan dia sebagai sumber kehidupan atau pusat kehidupan kita. Jadi kayak, misal si A punya cita-cita jadi guru, punya passion juga di bidang lukis, suka dapet pesanan buat gambar ini-itu. Tapi sejak si A naksir cowok, si A 'melupakan diri dia' karena terlalu fokus ingin menarik perhatian dan membahagiakan si cowok yang dia suka. Si A jadi berhenti melukis, berhenti ngejar impian dia, berhenti melakukan kegiatan yang si A cinta... semua demi si cowok ini. Terus ceritanya si cowok nggak suka si A ngelukis karena dia anggap itu nggak guna, dan si A ngikutin kemauannya karena si A cinta sama cowok itu. Nah, itu contoh-contoh lose ourselves in the process."
"Ah, I see." Arraf manggut-manggut, lalu menyeruput kopinya. "Jadi masalahnya, gimana caranya biar kita tetap bisa giving love tanpa lost ourselves in the process? Menurut lo, gimana caranya?"
"Kita wajib bisa mencintai diri sendiri sebelum mencintai orang lain," jawab Riv dengan senyum. "Because how could you expect people to love you, when you haven't love yourself dearly?"
[ ].
A/N
Foto Arraf nih biar makin ngefans
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top