Sucking Sin, 2


Bibir, tidak, mulut gadis itu secandu narkotika yang digilingnya.

Sylus menghela napas samar seketika bibir merah muda Ramona membungkus jarinya yang kasar, merengkuhnya dalam kelembapan yang panas. Mendadak muncul rasa berdosa karena telah menyentuh bagian Ramona yang begitu lembut, seolah ia tidak pantas menyentuh sang gadis, bahwa jari kasarnya tak semestinya menekan lidah Ramona seperti membobol sesuatu yang suci.

Kesadaran itu memperkuat debaran adrenalin di jantung Sylus. Ia harus menarik jarinya, tetapi sial, tubuhnya tak sanggup—tak mau bergerak. Matanya sayu menyaksikan Ramona dengan patuh menyesap lapisan Debu Perak dari jarinya, otaknya sulit diajak berkompromi sebab badannya terlanjur bereaksi.

Sylus mengalihkan pandangan. Ia memutuskan untuk ikut menjilat Debu Perak yang terlabur di tangan satunya. Ia mesti mengetes manfaat narkotika itu bersama si gadis. Sekarang juga.

Ia memang pernah menolak usulan Rodrick mengenai memperdagangkan narkotika. Namun, itu bukan berarti menutup kesempatan-kesempatan lain yang hadir bersama masuknya Ramona ke dalam hidupnya. Tempo hari, ketika ia mengunjungi sebuah toko bunga yang konon bunga-bunganya susah layu dan ada budidaya bunga bulan yang terlalu mencurigakan, Sylus berniat mencari tahu, mengenali mana Elemental yang masih bertahan di Kota Malam selama kepergiannya.

Dan, ketika ia memelajari bahwa gadis pemilik toko bunga itu juga diperbudak oleh Dox dan Madam Montez untuk memproduksi Debu Perak—narkotika jenis baru yang masih diuji di Kota Malam—Sylus tahu kesempatan mesti ditangkap sebelum melesat pergi.

Ia memang tak berniat menggunakan obat-obatan terlarang. Ia tak butuh itu. Ramona juga pastinya tidak. Namun, melihat keanehan-keanehan yang terjadi di sekitar sang gadis, Sylus tahu ada rahasia yang mesti diungkap.

Dan penyingkapan itu dimulai samar, macam mantra yang mengendap-endap dalam mulut, ketika Debu Perak perlahan bereaksi. Sylus bisa mengenali sensasi asing ini walau gelitikan di lidahnya sangat halus. Barangkali memang dampaknya dilemahkan pertahanan sihir di dalam diri, berbeda dengan para manusia yang tak bisa mengandalkan apa-apa selain sistem imun lemah di kota terkutuk begini.

Namun, oh, betapa kelirunya ia.

Suara gemerisik dedaunan dan kaokan gagak di luar berangsur redam. Ia ingin mencari tahu kenapa, tetapi benaknya mengosong. Bau mayat dan kematian tak lagi tercium, tergantikan aroma kelembutan Ramona. Sylus menarik napas, menghidu wangi sang gadis lebih jauh, karena itulah satu-satunya yang bisa ia cium sekarang, satu-satunya yang bisa terpikirkan.

Sylus menggeram pelan saat menyadari dirinya menunduk kian jauh, kian mendekati sumber harum yang semerbak dari pipi bersemu Ramona dan lehernya yang jenjang. Kehangatan asing menyebar di sekujur dadanya, mengacaukan rasa penasaran dan sebuah rasa yang keliru. Ia tahu Debu Perak bisa membunuh atau merusak manusia, tetapi ia tidak menduga justru berbelok seperi ini.

Apakah karena ia seorang Elemental? Jika racun mematikan itu tersaring oleh sistem imun sihirnya, lantas apa yang lolos dan menjangkiti tubuhnya bagai virus ini?

"Ramona," tegurnya resah, tak lebih dari sekadar bisikan. Mulai bermunculan gejolak-gejolak yang membuat napasnya memberat. Semakin banyak aroma Ramona yang terhirup, semakin panas tubuhnya terasa. "Kau yakin ini Debu Perak yang sama yang kau sebar semalam?"

Ia menatap lekat-lekat kedua mata hitam Ramona. Selaiknya misteri yang melingkupi sang gadis, ia ingin tenggelam di dalam kekelaman itu, mencari-cari apa yang tersembunyi di sana. Desakannya begitu kuat, begitu berbahaya, dan Sylus harus membuat Ramona berbicara.

Jari sang pria merengkuh leher Ramona lagi. Kedutan di bawah ibu jarinya terasa jelas, lantas ia mengusap bibir gadis itu kedua kali, menekannya untuk membuka.



Lenguhan kecil lolos dari bibir mungil Ramona saat Sylus menekannya. Ia sangat tergoda untuk mengisap ibu jari itu lagi, tetapi tatapan sayu dan mengancam sekaligus dari Sylus membuatnya gelisah. Jari-jarinya mencengkeram jaket Sylus.

"Aku tak tahu," ia mencicit, memohon belas kasih sang kaisar. "Selama meracik Debu Perak, aku tak pernah sakit."

"Kau sudah terbiasa, Nona Elemental, dan inderamu menumpul," Sylus begitu mudah menemukan alasannya. Mengapa bisa begitu? Apakah memang benar indera Ramona menumpul? Ia tak merasakan apa-apa ... tidak pula bereaksi hebat atas Debu Perak yang digilingnya siang dan malam. Kegelisahan yang dirasakan Ramona sekarang seperti kecemasan tiap beres menggiling Debu Perak di Cunning Cats, lantas menunggu kabar klien dan para Gadis Kucing.

Tunggu.

Matanya membeliak. Jangan bilang kalau ....

"Narkotika berdampak besar dan jelas bagi manusia, tetapi tidak kuat bagi Elemental. Reaksi yang samar itulah yang luput dari perhatianmu. Tapi air saja bisa melicinkan batu kasar setelah bertahun-tahun—begitu pula padamu." Sylus menekan dagunya, membuat Ramona refleks menahan napas.

Reaksinya tidak luput dari pandangan sang pria. Rasa lapar bersinar di kedua matanya yang merah. Sylus mengawasi lekat-lekat bibirnya, dan suara-suara di dalam dirinya pun mendorong Ramona untuk mengabulkan desakan meresahkan ini.

Tetapi sang gadis bertahan. Ini karena ia baru saja menyadari bahwa kecemasan-kecemasan yang dirasakannya selama di Cunning Cats itu tidak seratus persen berkat perundungan Mami Montez, melainkan juga karena Debu Perak yang dihidu hampir setiap hari. Ia kira kegelisahan kecil saat mendengar desah Gadis-gadis Kucing di balik pintu hanyalah reaksi normal—siapa yang tidak resah mendengar lenguh kepuasan? Namun, terus-menerus merasakannya tiga kali sehari selama hampir lima tahun, tanpa merasa bosan, tampaknya memang patut dipertanyakan.

"Kau menyadari sesuatu." Lagi-lagi Sylus mampu membaca situasinya dengan tajam.

"Ini sensasi yang biasa dirasakan para klien di Cunning Cats."

"Bukan ini yang kurasakan semalam di pesta," kata Sylus. Ia memutus sejenak kontak mata, menyapu pandangan ke arah sulur-sulur mawar Ramona yang menyekap mayat dan menghias dinding. "Aku merasa lebih kuat, bukan terangsang begini."

Ramona merasa kecewa ketika Sylus mengalihkan pandangan. "Aku juga tidak tahu."

"Lima tahun dan kau tidak tahu?"

Tangan sang gadis meremas jaket Sylus lebih erat. "Bagaimana aku tahu, kalau Mami melarangku memakai Elemen? Ia hanya mengizinkanku melakukannya selama di Garden Gems. Kalau tidak ... aku bakal dikenakan hukuman oleh Dox."

Pengakuan Ramona disambut diamnya sang pria. Gadis itu mulai frustrasi, ditingkahi kedutan-kedutan yang tak terpenuhi di dalam dirinya. Apakah Sylus takkan menyentuhnya lagi? Ramona telah membiarkan pria itu menekan bibir dan merengkuh lehernya, sesuatu yang tidak bisa dilakukan pria-pria lain.

Bukankah Sylus bilang ingin menguji efek Debu Perak bagi mereka? Apapun dampaknya, inilah yang terjadi. Debu Perak yang dijilatnya langsung menguatkan kegundahan yang menghantuinya tiap mendengar Gadis-gadis Kucing mendesah. Menguatkan rasa iri yang membunca, sebab Ramona juga seorang perempuan—ia ingin dipuja dan dicecap oleh lelaki lain.

Lelaki yang ia inginkan.

"Katakan sesuatu," bisik Ramona. Jarinya naik menyusuri rahang tegas sang pria.

Sylus mengernyit samar. Ujung bibirnya menyeringai dengan cemoohan kecil, selaiknya seorang kaisar yang baru saja mendengar seorang pelayan gegabah memerintahnya.

"Ada masalah besar di sini dan kau memilih untuk meladeni itu?"

"Ini ... ini salah Debu Perak."

"Kau menyalahkan Debu Perak sekarang?" Sylus terdengar terhibur. Napas hangatnya menerpa sang gadis, membuat tubuhnya bereaksi berlipat-lipat lebih liar daripada semestinya. Ramona refleks menarik napas dalam-dalam, membuat seringai Sylus melenyap.

"Kau yang meminta, Ramona." Suara dalam sang pria membuatnya merinding.

"S-siapa tahu"—napas gadis itu tercekat saat bibir Sylus menekan rahangnya—"efeknya bakal hilang kalau ... dipenuhi."

"Alasan saja." Sang pria menyapukan bibirnya hingga mencapai ujung bibir Ramona. Jari-jarinya yang besar turun merangkul pinggangnya, menarik Ramona hingga tubuh mereka saling menempel.

Gadis itu melenguh, antara kesal karena Sylus menuduhnya dan gugup atas kedekatan ini.

"Aku tidak—"

Ramona dibungkam saat Sylus menciumnya, menyesap bibir bawahnya dengan lembut hingga gadis itu lemas rasanya. Saat Sylus membebaskan bibirnya dari sesapan, Ramona merasa kesadarannya ikut tercabut. Sekujur tubuhnya bereaksi gila-gilaan. Ujung jari meremang dan kedua lutut tak mampu menopang lagi. Ia bersandar pada rengkuhan Sylus.

"Jangan tarik kata-katamu." Bisikan pria itu menggesek bibirnya. "Aku pun memiliki alasanku sendiri."

Sylus menghirup dalam-dalam aromanya. "Wangimu sedari tadi membuatku pusing, Ramona, kau tahu?"

Ramona tidak peduli. Kala Sylus menciumnya lagi, ia mengalungkan lengan di pundak pria itu. Ia berjinjit untuk memperdalam ciuman, dan mengabaikan jari mayat yang hampir diinjaknya di bawah sepatu. Mayat, kematian—ia tak peduli dengan itu semua, ketika jari Sylus mengusap pahanya, mengirimkan gelenyar yang selama ini ia cari-cari.

Ini memang bukan ciuman pertama Ramona, tetapi ini jelas adalah momen mencium-kaisar -di-antara-mayat pertamanya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top