Sucking Sin


"Sylus, eh? Dia paling dikenal sebagai pemasok berbagai senjata paling mutakhir. Konon gudang senjatanya ada dua belas di seluruh dunia. Itu pun karena orang-orang berpengaruh juga bergantung padanya," seorang pelanggan setia Garden Gems bergumam, jari-jarinya yang berkeriput menyisir jenggot. "Dia telah lama membangun kekaisaran bisnisnya di situ. Makanya dia dikenal sebagai Kaisar."

Ramona terbengong sesaat. "Tapi ... tapi, orang-orang tak pernah memanggilnya kaisar sebelumnya."

"Tidak kalau preman Dox mengintai di mana-mana." Pria tua itu mengangkat bahu. "Tapi setelah apa yang terjadi kemarin malam, sepertinya situasi sudah berubah."

"Masa secepat itu?"

Kedua mata kecil si kakek bersinar jahil. "Oooh, kau tidak tahu, Non!" serunya. "Bar-bar ramai sejak pagi dan orang-orang sibuk main judi, mau taruhan siapa yang bakal menguasai Kota Malam: Sylus atau Dox. Meski, aku sudah tahu hasilnya bagaimana!"

Sebagai penegasan, si kakek mengacungkan telunjuk, menuding pada gagak-gagak yang bertengger nyaman di tiang bagai polisi patroli. "Aku taruhan emas satu kilogram!"

Ramona memaksakan senyum ketika kakek itu terpingkal-pingkal. Ia memutuskan untuk segera menghitung jumlah pesanan sebelas tangkai bunga mudan dan sembilan tangkai lila.

Hari ini, ketika malam telah berganti pagi dan Sylus mengizinkannya untuk menengok Garden Gems, Ramona mencoba mengulik informasi dari pelanggannya yang sudah tua. Pria itulah yang mengabarkan Ramona bahwa Raja Lama akan datang. Sekarang ia pula yang dengan bebas memanggil Sylus sebagai Kaisar.

"Omong-omong, Anda tahu banyak soal Sylus."

"Itu informasi umum soal Kaisar, Non." Si kakek terkekeh. "Sebelum ia sempat menghilang, Kota Malam sudah menjadi pusat perdagangan senjata ilegal terbesar. Sebenarnya tidak berubah sewaktu Sylus pergi, tetapi Dox berusaha menyaingi. Apalagi Dox merambah perdagangan kokain."

"Tetap saja," kata si kakek sambil menyerahkan uang, "orang-orang mengharapkan pasokan senjata dari Sylus. Lebih kredibel dan tidak ada kecurangan harga. Kualitasnya juga sebanding."

Ramona mengangguk-angguk.

"Semoga kedamaian menyertaimu, dan Sylus menang!" si kakek pamit dari tokonya. Ramona membalas dengan lambaian tangan, menyaksikan pria tambun itu merapatkan sweter dan berjalan meninggalkan gang sempitnya. Gagak-gagak yang bertengger di kabel tiang mengawasinya bagai mangsa segar.

Ramona tak luput memerhatikan kawanan itu. Sejak kedatangan Sylus beberapa waktu lalu, jumlah gagak yang bertengger di Kota Malam semakin banyak. Berita bagusnya, jumlah tikus di gang-gang berkurang karena gagak-gagak di sini buas. Namun mereka juga tak menolak saat Ramona menyebar kacang-kacangan dan anggur.

Meski begitu, ada satu gagak yang tak pernah turun.

Ia selalu bertengger di plang Anti-Elemental. Walau tikus berlarian, laba-laba merangkak, dan anggur-anggur segar menggelinding, gagak itu menolak beranjak. Matanya terus terpaku pada Garden Gems. Ramona baru menyadarinya hari ini.

"Apa kau sedang diet?" tanyanya heran. Ia mengambil sejumput kacang dari aspal dan mengangkatnya tinggi-tinggi, kendati sudah pasti tak mencapai puncak plang dengan mudah. Tinggi kepalanya cuma sejajar bahu Sylus.

Gagak itu tetap bergeming, sebatas menggerakkan kepala penasaran. Ramona mulai berpikir untuk menggeprak tikus dan menawarkannya juga, ketika gagak itu tiba-tiba menoleh ke arah jalan, dan sepintas kemudian motor besar berdecit di depan gang.

Ramona ikut menambatkan pandangan ke arah yang sama; pada Sylus yang mengenakan jaket kulit hitam dan melepas helm. Pada cara Sylus menyisir rambut peraknya.

"Berapa pelanggan pagi ini, Ramona?" tanyanya santai.

Gadis itu tersentak. "Enam, uh, tujuh."

"Bunga-bungamu laris, hm?"

"Tidak juga," kata Ramona malu-malu. Ia menemani Sylus melangkah menuju kungkungan bunga-bunga Garden Gems. "Karena tokoku masih termasuk area Distrik Lampu Merah, dan orang-orang sekitar sini kurang suka dengan Elemental, jadi mereka tak pernah datang kemari. Hanya orang-orang dari distrik berbeda yang sering berkunjung."

"Kenyataan bahwa orang-orang mau menempuh jarak jauh untuk sekadar membeli bungamu, itu sudah cukup bermakna, kan?" Sylus melihat sekeliling. "Apa kau sudah siap menutup toko?"

Ramona melepas celemek sebagai jawaban. Sebenarnya ia ingin berlama-lama, tetapi kondisi punggungnya tidak memungkinkan. Ia mengenakan kemeja hitam milik Sylus yang longgar, dan begitu besar sampai menjulur sepanjang sebagian paha. Ia menggulung-gulung lengan kemeja hingga menebal di daerah siku. Ia tak punya cadangan pakaian, dan Mami telah merobek seragamnya semalam.

Usai memastikan bahwa Garden Gems cukup aman ditinggal, ia menaiki motor Sylus kembali. Tak ingin mengulangi kesalahan yang sama—yang tidak perlu dibahas panjang lebar—ia mengimpit lipatan kemeja di bawah paha dan menekannya pada Sylus.

Pria itu mendengus. "Seharusnya kau setuju saja saat kutawarkan salah satu celana tadi."

"Dan kedodoran? Tidak!"

Sylus menyeringai. Jarinya tahu-tahu mencengkeram paha Ramona dan merapatkannya. "Pegangan," ujarnya, dan sepintas kemudian, motornya melesat membelah jalanan. Ramona mengalungkan kedua tangan di pinggang sang pria.

Jika mereka berada di kota lain, mungkin matahari sudah bersinar lemah di pukul sebelas siang. Namun musim dingin di Kota Malam kejam. Ramona merasa angin beku menelusup melalui kerah yang lebar, menusuk-nusuk lukanya yang malang. Gadis itu lantas meringkuk, berlindung di balik punggung Sylus yang lebar.

"Ke mana kau tadi pergi?" tanya Ramona di sela-sela.

"Urusan kecil."

Gadis itu mengatupkan bibir rapat. "Memangnya seremeh apa urusan kecil seorang kaisar senjata ilegal?"

Sylus tertawa. "Jadi kau mencari informasi tentangku?"

"Aku tidak mendapatkannya di dark web, jadi aku mencari dengan cara lain."

Jawaban Ramona tampaknya menghibur sang pria terus-terusan. "Hal seremeh itu bisa kau tanyakan pada siapa saja, tak perlu mencari di dark web."

Ramona mengernyit. "Kau terdengar seperti tahu apa yang ...." Ia tidak meneruskan kalimat. Ada yang aneh. Gadis itu menarik diri sedikit, membiarkan angin menyusup di celah antara dadanya dan punggung Sylus, lantas menoleh.

Ada seekor gagak yang terbang mengekori mereka. Itu gagak yang sama yang menolak memakan pemberiannya.

"Sylus, ada gagak—"

"Itu Mephisto."

Ada begitu banyak pertanyaan berputar di benak sang gadis, tetapi ia berakhir meladeni rasa jengkelnya. Seorang pebisnis senjata paling mutakhir di dunia. Elemental paling ditakuti di Kota Malam, yang ketika menghilang sejenak menjadi kesempatan bagi para manusia untuk menindas Elemental lemah. Mengapa tidak dengan seekor gagak pengintai?

Yang bahkan punya nama? Mephisto?!

Ramona menghela napas. Ketika semalam ia berpikir bakal dipenjara Sylus selamanya, ia tidak menduga bakal diajak keluar saat pagi tiba. Apalagi Sylus mengizinkannya untuk menengok Garden Gems. Ramona kira, sang pria tidak berniat sejahat Mami Montez.

Ternyata ia tetap diawasi di mana-mana.

Yah .... Bukankah ia sendiri telah menyerahkan diri macam pelayan?



Usai berkelok-kelok melintasi jalanan kumuh Kota Malam, mereka akhirnya tiba di pekarangan mansion yang familiar. Ramona menegang. Kubahnya yang bundar, pilar-pilar tinggi, dan kaca-kacanya gelap ... mansion Kubah Bundar adalah tempat Dox mengadakan pesta semalam. Kini, tempat yang semula dihadiri dua ribuan orang itu senyap. Jejak-jejak mabuk dan keriuhan membekas jelas. Pecahan gelas, tirai beludru yang tercabut, dan lilin-lilin murah yang telah meleleh berserakan di taman. Tak ada garis polisi maupun pengaman.

"Sylus, kita mau apa?"

"Akan kutunjukkan sesuatu padamu."

Pintu ganda di depan tidak dikunci. Sylus mendorong dengan suara keriut samar, redam oleh tirai-tirai berat yang menghalangi cahaya bulan siang untuk menyusup.

"Apa tidak apa-apa kita masuk?" Ramona bergidik. Bagian dalam mansion teramat gelap karena tak ada lagi lilin yang menyala. Ia tak bisa melihat apapun selain yang tersentuh cahaya luar di sekitar pintu. "Ini tempat Raja Ba—maksudku, Dox dan Mami Montez."

"Aku tidak yakin mereka masih mau memiliki tempat ini," kata Sylus. Sejurus kemudian, kabut hitam dan merah berpendar dari tangannya, melesat ke segala arah untuk menyibak tirai-tirai dan menerangi ruangan.

Ramona terkesiap.

Bergelimpangan di hadapannya adalah mayat-mayat. Juga kelopak-kelopak mawar yang tercabut dan tergigit separuh, memenuhi lantai bagai menyambut pasangan pengantin baru. Debu Perak berceceran di karpet, di makanan, di bibir biru para mayat yang menjemput kematian di kala melayang. Sebagian besar adalah tamu-tamu biasa, yang tidak diprioritaskan para preman untuk diselamatkan saat huru-hara semalam.

Namun, bukan itu yang membuat Ramona gemetar.

Terpampang di depannya, sebagian dinding dijalari oleh sulur-sulur berduri, mawar merekah, dan mayat-mayat yang terjebak di lilitan maut. Ramona refleks menutup mulut.

"Terkejut, Sayang?" nada Sylus antara mencemooh dan terhibur. "Ini perbuatanmu semalam. Kau tak perlu ketakutan begitu, sebenarnya ini mengesankan."

"Tidak ... tidak mungkin."

"Kenyataannya begitu." Sylus berjalan mendahului. Jari-jari bersarung kulitnya mengusap batang sulur yang kokoh, mengelus duri-duri yang menancap menembus tubuh-tubuh mayat dan menahan mereka di tembok retak.

"Tidak mungkin kekuatanku sebesar itu." Ramona mengotot. Wajahnya pucat. Selama ini, ia pikir Elemennya telah berkurang, laiknya mantan atlet maraton yang tidak bakal kuat berlari kencang berkilo-kilo meter karena tahunan tak berlatih, selain sekadar berlari kecil di sekitar kompleks. Itulah mengapa ia pasrah berada di bawah bulan-bulanan Mami Montez, disebut-sebut melemah karena cuma bisa menumbuhkan kanopi mawar dan merawat kesegaran bunga-bunga.

"Debu Perak yang kau buat itu, apa bahannya?" Sylus mengganti pertanyaan sembari yang mengusap lapisan kerlap-kerlip dari lantai.

Ramona menelan ludah. "Kokain. Itu pasokan dari Dox atas permintaan Mami Montez ...."

"Dan?" Sylus mengerling. "Tidak hanya kokain, bukan?"

Ramona menunduk. "Bunga bulan," jawabnya pelan. "Bunga bulan yang hanya tumbuh saat bulan berwarna perak, bukan saat bulan kekuningan atau kemerahan."

Sylus mengangkat alis. "Saat musim dingin, misalnya?"

Anggukan kecil merespons pertanyaan sang pria. Sylus memerhatikan Ramona sejenak, lantas mengedarkan pandangan. "Melihat reaksimu sejak semalam, sepertinya kau tidak tahu kalau racikanmu sebenarnya juga berdampak pada Elemental."

"Aku ... tidak pernah merasakan apa-apa saat meracik Debu Perak, pun tidak ada Elemental yang kukenal sejak Dox mengusir semua Elemental dari distrik. Jadi aku tidak tahu."

Wajar. Dengan pengetahuannya yang terbatas, Ramona tidak sadar efek apa yang menjangkitnya saat meracik campuran kokain dan bunga bulan. Ia menunjuk mahakarya yang terbentang di dinding. "Apa itu efek Debu Perak?"

"Debu Perak adalah satu-satunya di dunia berkat hasil racikanmu, Ramona, dan tentu tidak ada yang tahu seberapa akurat dampaknya, kan?" Sylus mendekat. Tingginya yang menjulang membuat Ramona harus mendongak tinggi-tinggi. "Hanya ada satu cara."

Ramona menelan ludah. "Aku harus mencari tahu?"

Sylus mencondongkan tubuh. "Kita," bisiknya membenarkan, mengirimkan gelenyar hangat di sekujur tubuh sang gadis. "Karena aku masih merasakan dampaknya."

Ramona membeku kala Sylus menempelkan ibu jari pada bibirnya, menekan agar membuka. Gadis itu tak mampu berkutik. Segala upaya melindungi diri dari sentuhan laki-laki lain buyar sekali lagi. Jari kasar Sylus menindih lidahnya, menyapu saliva dengan tekanan yang membuat badan Ramona panas dingin. Rasanya darah di dalam nadi menggelegak panas, mengirimkan gelenyar-gelenyar aneh di sekujur tubuh.

Ramona menatapnya dengan mata membulat, mempertanyakan maksud sang pria.

"Isap."

Hanya itu, tak ada penjelasan, tak ada kompromi. Ramona menelan ludah, sebelum mengatupkan bibir di sekeliling ibu jari Sylus, dan mengisapnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top