Scent of Silk, 2
Ramona mungkin berendam terlalu lama karena sekarang tubuhnya menggigil. Juga kelaparan. Ia bergegas membalut badan dengan jubah mandi, membiarkan rambutnya yang basah melekat, dan beranjak keluar.
Sylus muncul lagi. Kali ini pria itu menantinya di meja bundar bertaplak. Hidangan tengah malam tersaji lengkap; sup krim jamur truffle, roti brios hangat dengan olesan mentega herbal, steik setengah matang dengan saus anggur, dan puding cokelat genas bertabur serpihan emas menghantarkan aroma memikat untuk dihirup. Ramona menelan ludah saat menghampirinya.
"Kau tampak lebih baik," kata Sylus. Satu kakinya bertumpu pada kakinya yang lain. Paduan celana kain hitam dan sweter kelabu tidak mengurangi karismanya. "Tapi kau masih gemetaran."
Ramona merasa pria itu mempermainkannya. Beberapa waktu lalu ia disindir habis-habisan, sekarang Sylus datang dengan satu set hidangan mewah dan perhatian.
"Aku belum makan dengan pantas sejak siang," jawabnya lemah. Ia kira dirinya payah saat bangun tidur saja. Tanpa menunggu dipersilakan Sylus, ia menarik kursi di seberang.
"Makanlah. Semua ini untukmu."
"Trims," gumam Ramona, agaknya masih jengkel dengan sindiran Sylus tadi. Namun cara pria itu memerhatikannya dengan senyum tipis tak bersalah, membuat Ramona berpikir bahwa ia tidak sadar akan dampak yang telah diperbuatnya.
Atau mungkin Sylus sangat sadar, dan menikmati setiap detik akibat.
Sialan.
Ruangan sempat hening selepas itu. Hanya ada suara denting garpu dan sendok sang gadis, atau suara gelas anggur Sylus diletakkan di meja. Barulah setelah Ramona mendapat asupan energi sedikit demi sedikit, pria di seberangnya melontarkan pertanyaan lagi.
"Bagaimana lukamu?"
Ramona terlalu sibuk makan sampai-sampai baru tersadar bahwa denyut samar mulai terasa di punggungnya. Ia memandang Sylus dengan waswas. "Parah." Denyutnya pun kian terasa. "Apa ramuan antinyeri itu bekerja sebentar saja?"
"Jika tidak begitu, aku akan memanjakanmu dengan kemudahan."
Ramona menggenggam ujung peralatan makan erat-erat.
"Tunjukkan lukamu. Nanti, setelah kau selesai makan." Sylus menyandarkan dagu pada tangannya yang besar.
"Untuk apa?" balas Ramona garang.
"Kalau kau tidak mau disembuhkan juga tidak masalah."
Gadis itu mengatupkan bibir. Ia enggan menjawab 'mau' dengan terang-terangan. Sebagai ganti, ia menunduk dan melanjutkan menyantap steik. "Aku makan perlahan. Nanti kau keburu mengantuk."
Seringai menyebalkan kembali muncul di bibir Sylus. Andaikan mulutnya itu tidak melontarkan sindiran menohok yang penuh kebenaran, Ramona pasti sudah tergoda akan senyumnya.
Sylus berbeda dengan para lelaki menjijikkan di Cunning Cats. Meski ia yakin semua laki-laki memiliki satu jenis hasrat yang sama, cara Sylus memperlakukannya di awal pertemuan telah mengubah cara pandang gadis itu.
Diam-diam, di balik kejengkelannya, Ramona bertanya-tanya apakah mimpinya untuk disentuh lelaki bakal terwujud dengan mengabdikan diri pada Sylus.
"Malam bukan waktuku untuk tidur, Ramona."
Gadis itu bergidik mendengar namanya meluncur dari mulut Sylus. Acap kali pria itu memanggil namanya, Ramona merasakan sesuatu dalam dirinya bereaksi. Sialnya, Ia tidak bisa menjawab. Tak tahu apakah sensasi yang meremangkan sekujur kulit ini adalah efek rasa kesal atau malu.
"Lanjutkan makanmu dengan tenang."
Ia menunduk. "Baik."
Sengaja ia melambat-lambatkan makan karena tidak siap untuk diobati oleh Sylus. Kendati cara pria itu menyembuhkannya tempo hari sama sekali tidak menyakitkan, tekanan baru yang didapatkan Ramona membuatnya ragu.
Sehingga, ketika menu makan malam telah tandas, dan Sylus mengosongkan botol anggur yang menemaninya, Ramona meremas-remas jubah mandi. Gugup.
Sylus yang memulai. Ia beranjak dan mengisyaratkan Ramona untuk duduk di sisi ranjang bersamanya. Dari laci nakas, ia mengeluarkan obat-obatan.
"Apa aku mesti melepas jubah?"
"Selama kau nyaman."
Memang ada cara lain? Ramona berbalik memunggungi pria itu. Jari-jarinya yang lembut melepas ikatan. Ia bergidik sekali lagi kala permukaan halus jubah terlucut dari bahunya, nyaris menyentuh kulit bengkak di sekujur punggung. Sekarang denyut-denyutnya menyiksa kian kentara.
Namun, alih-alih membubuhkan obat merah di luka, Sylus menyelipkan jari di rambutnya yang masih setengah basah. Bahu Ramona menegang. Tak pernah ia mengizinkan pria lain menyentuhnya begitu saja. Entah bagaimana ia selalu terlupa untuk mengingatkan Sylus.
"Apa yang ...."
"Air yang menetes," kata Sylus sambil menyelipkan rambut Ramona ke depan bahu, "bisa mengenai lukamu."
Ramona mengatupkan bibir. Kenapa sang Raja Lama mau repot-repot mengobati lukanya yang menjijikkan, kalau cukup menyihirnya sekali lagi? Gadis itu menanti dengan bahu kaku ketika Sylus menyapukan kapas dengan perlahan di sepanjang luka.
Sensasi obat merah menyengat seketika. Ramona merintih, air mata kecil berkumpul di pelupuknya.
"Sakit?" Sylus berbisik, menghantarkan napas hangat pada punggungnya yang sensitif.
Ramona merinding. Ia refleks menjawab dengan dongkol. "Menurutmu?"
Sylus tertawa pelan. Ia pasti puas telah mengajarkan Ramona bahwa Elemental terkuat semacamnya pun tidak luput dari rasa sakit.
"Aku tahu," gumam gadis itu lirih. "Kau juga merasakan sakit. Aku minta maaf."
"Aku menerima permintaan maafmu, tetapi apa itu juga menyembuhkan lukamu?"
Ramona meremas lutut. "Aku berjanji tidak meracunimu lagi."
"Bukan berarti aku memintamu untuk berhenti meracik ... apa namanya? Debu Perak?"
"Kau tahu banyak, ya?"
"Jika aku kembali ke Kota Malam, aku harus tahu segala hal yang terjadi di sini, benar?"
Segala kekesalan Ramona terempas seketika. Ia memutar tubuh, mendesis kecil atas peringatan rasa sakit di punggung, tetapi riang yang membuncah di hatinya mengalahkan segala hal.
"Apa itu berarti kau akan memerintah Kota Malam lagi? Menyingkirkan sainganmu? Menggantikan Raja Baru? Raja Lama?"
Sylus tersenyum lebar. Sejenak, pandangannya sempat terarah pada jengkal-jengkal tanpa busana yang terpampang kesekian kali di depannya, lantas kembali menatap kedua mata kelam Ramona.
"Pertama, Sayang," ujarnya sambil mendorong Ramona agar berbalik. Ia membubuhkan obat merah di luka-luka lain. "Aku tidak pernah punya saingan."
Ramona menelan ludah.
"Yang kedua." Bisikan Sylus terdengar begitu dekat seolah-olah akan mengecup telinganya. "Aku tidak pernah menjadi seorang raja. Itu istilah yang Dox katakan pada semua orang."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top