Cunning Cats, 2


Rodrick meninggalkan Cunning Cats ketika jam pukul sebelas siang berdentang di seluruh penjuru Kota Malam. Bernaung langit malam yang abadi, pria itu melenggang menuju mobil SUV yang menanti di seberang jalan. Ia memasuki jok belakang dan berkata, "Maaf menunggu, Bos!"

Di sampingnya, sosok yang Rodrick panggil Bos tidak serta-merta menjawab. Tidak ada bos yang suka disuruh menanti bawahan, apalagi di Kota Malam, tetapi pria itu bergeming. Tenang. Pandangannya terpaku pada bangunan Cunning Cats yang diseroboti sulur-sulur mawar dan neon merah menggoda berbentuk kucing manja. "Bukankah ini dulunya bangunan Profesor Philip?"

"Benar, Bos," Rodrick menyahut sambil ikutan melongok. "Profesor Philip diminta menjual lab lamanya karena lokasi bangunannya terlalu strategis, lalu disulap oleh Mami Montez."

"Diminta? Sepertinya dipaksa."

Rodrick menelan ludah. Cara sang bos mengoreksi membuat Rodrick berpikir dirinya telah melakukan kesalahan besar. "Ya ... Anda tahu." Matanya melirik kepada sang bos, pria yang hampir menyentuh kepala tiga, dengan rambut perak yang semburat merah akibat terpaan neon di luar jendela. Sang bos tidak mengatakan apa-apa lagi, jadi Rodrick menepuk bahu si sopir agar melanjutkan perjalanan.

"Kau bau sesuatu, Rodrick, apa yang kau santap tadi?"

Rodrick buru-buru melepas. "Ahh, ini," katanya gugup. Ia sempat mengendus sejenak sebelum menduduki jas itu di bawah bokongnya. "Mereka menyuguhkan narkotika jenis khusus. Tampaknya sengaja untuk mendongkrak sensasi, makanya tidak heran kalau pamor Cunning Cats luar biasa."

Saat si bos bergumam pelan, Rodrick menambah dengan semangat. "Bagaimana jika kita juga mulai berbisnis narkotika, Bos?"

Alih-alih merespons usulan Rodrick, pertanyaan lain dilemparkan sang bos. "Pemilik Cunning Cats, Montez, adalah kekasih Dox. Ia sudah lama menjadi pemasok berbagai jenis narkotika ke Kota Malam, sejak aku belum pergi."

Rodrick mendengarkan dengan saksama, menantikan kelanjutannya. Niat hati menawarkan bisnis yang sama kepada sang bos untuk menunjukkan bahwa kekuasaan mereka belum pudar, tetapi tampaknya pria tersebut tidak berpikiran sedangkal Rodrick.

"Bisnisnya sudah menggurita sekarang, tapi cepat atau lambat dia akan termakan sendiri. Dox tidak tahan untuk tidak menjamah kota-kota di luar Kota Malam," lanjut sang bos. "Narkotika memang membuatmu cepat kaya, tetapi risikonya tidak sebanding. Polisi-polisi di luar kota akan menangkapnya."

Surutlah semangat si bawahan. "Namun Anda berbeda, Bos. Polisi—"

Ketika Rodrick menatap sang bos, matanya yang merah tampak bersinar karena pantulan cahaya neon sepanjang jalan. Rodrick mengalihkan pandangan. Takut.

"Maaf, tidak jadi."

"Memang menarik, tetapi narkotika bukan gayaku." Pria itu menghibur dengan suara berat yang agaknya mengancam. "Aku lebih suka mawar-mawar yang tumbuh di sana. Menurutmu, di mana aku bisa mendapatkan mawar segar?"





"Sudah lama sejak terakhir kali, eh, Ramona?"

Gadis itu mendesis saat Kally membubuhkan obat merah di sekujur garis luka. Jarinya menggaruk-garuk lantai kamar sementara tubuhnya bersandar lemas pada meja rendah, lelah tersentak-sentak oleh sengatan perih. "Kalem, Kally!"

"Tidak bisa! Aku masih gemetaran." Kally mendesis. "Tahan sedikit. Masih untung kau tidak pingsan."

"Aku lebih berharap aku pingsan, biar madam keparat itu diperkarakan."

"Diperkarakan siapa? Tak ada polisi."

Ramona menghela napas. "Katanya Raja Lama sudah kembali."

Kally tidak lanjut merespons karena fokus menekan-nekan kapas dengan sangat lembut. Ramona bisa merasakannya, sebab tak ada napas yang menerpa punggung. Gadis Kucing itu mungkin ikut menahan napas.

Jadi Ramona melanjutkan, "Mm, pelanggan di toko bungaku membicarakannya akhir-akhir ini."

Kally bergumam pelan. Tangannya turun ke arah luka di pinggang, hingga akhirnya terasa gelombang terpaan napas di kulit Ramona, membuat gadis peracik itu bergidik. "Beres," ujarnya gemas. "Jangan pakai baju dulu. Biarkan kering sedikit. Obat antinyeri tadi sudah kau minum, kan?"

"Sudah." Ramona berputar di posisi, mengawasi Kally yang sedang membereskan kapas dan botol-botol obat. "Lalu, kalau mitosnya memang benar, Kota Malam lebih tenang dengan adanya Raja Lama. Jadi mestinya ada peraturan yang berlaku, kan?"

"Kota Malam dengan peraturan?" Kally mendengus. "Aku tahu kau tidak tumbuh di sini, cintaku, jadi sini kuberitahu: ketenangan Kota Malam sebenarnya tidak lebih dari banyaknya kejahatan yang tertutup. Semakin banyak kejahatan yang terungkap, semakin huru-hara. Jika tidak ada yang tahu, tidak ada keributan, kan?"

"Maksudnya, lebih banyak pembungkaman?"

Kally menutup kerat obat-obatan dan bersandar pada meja rendah, jarinya mulai memainkan rambut yang pirang. "Raja Lama ... dia bukan orang biasa." Saat mengatakan ini, tatapan Kally tertuju lurus pada Ramona, pada rambut legamnya yang terkulai lemas di pundak. "Sepertimu, Ramona, Raja Lama juga punya sihir. Berbeda dengan Raja Baru, Raja Lama tidak perlu ratusan anggota resmi untuk mendukung bisnisnya. Cukup dia dan segelintir pengikut setia saja. Yah, Elemental seperti kalian memang berbeda."

Ramona mengernyit mendengar ini. Walau dia seorang Elemental, kenyataannya dia tertahan di bawah bayang-bayang Mami Montez, kekasih Raja Baru. Bukan sebaliknya. Namun, informasi yang diceritakan Kally membuatnya tertarik. Mati satu harapan, muncul harapan lain.

Bisakah ia menggunakan asas persamaan nasib untuk mendekati sosok yang belum pernah ditemuinya? Terlebih lagi, seorang mantan penguasa Kota Malam?

"Kau tidak butuh apa-apa lagi? Makan siang?"

"Aku bisa masak sendiri, makasih," kata Ramona. "Sebaiknya kau segera kembali sebelum kucing-kucing pengadu mulai menjelekkan namamu. Aku bodoh amat dengan reputasiku, sebab aku bukan Gadis Kucing seperti kalian, tapi kau harus peduli."

Kally mendengus. "Ya, aku tak punya pilihan." Ia menarik tangan Ramona dan meremasnya lembut. "Aku mampir lagi nanti malam. Lebih baik kau tidak usah ke mana-mana."

Ramona menghela napas pasrah. Toko bunganya juga terpaksa libur hari ini. Padahal hanya dengan menyibukkan diri di toko bunga, ia bisa kabur dari kandang kucing sejenak. Kabur dari dinginnya teralis yang mengunci jendela-jendela di sekujur kamar.

Namun, saat Kally membuka pintu, si madam ternyata sudah berdiri di seberang. Baik Ramona maupun si Gadis Kucing membeku.

"Ah, waktu yang tepat." Mami Montez melipat tangan. Alisnya yang tajam mengernyit. "Jadi sudah diobati?"

Apalagi yang diinginkan wanita itu?

Tanpa menunggu jawaban, Mami Montez menatap tajam ke arah Ramona. "Raja bilang, dia ingin karangan bunga mawar sebanyak 28 buah. Untuk lusa. Mengerti?"

Ramona menahan napas. Apa ia tidak salah dengar? Ini berarti ia harus ke Garden Gems, dan dari semua orang, Mami Montez yang menyuruhnya!

"Bisa!" Ramona tak butuh berpikir dua kali. Ia bersorak dalam hati melihat Mami Montez memutar bola mata kesal.

"Sebanyak 28, kau dengar itu? Bukan delapan, sialan." Mami Montez mendengus, senang sekali memperingatkan Ramona akan penderitaan baru. "Pakai Debu Perak, tapi ingat ini: karena tujuannya untuk jamuan besar, jadi jangan sampai orang awam curiga. Gunakan Debu Perak sesedikit mungkin tapi tingkatkan efektivitasnya. Paham?"

Nada Mami Montez meruncing seiring akhir. "Ini memang keahlianmu, tapi kalau kau sampai menggagalkan yang satu ini ... akan kucekik sampai mati kau. Karangan-karangan itu bakal dipakai untuk acara yang sangat penting."

Baru saja bersorak, kini umpatan memenuhi isi hati Ramona lagi. Mami Montez selalu punya cara untuk merusak kesenangannya.

Bahunya melesak. "Aku mengerti."

"Bagus." Mami Montez berbalik arah. Rambutnya yang bergelombang bergoyang ringan. "Pergilah nanti malam. Setelah semuanya beres."

Ramona merasa campur aduk. Kepalanya memanas karena yang memerintah adalah Mami Montez. Namun, ia juga semangat karena disuruh pergi ketika malam. Sebab, malam di Kota Malam adalah waktu yang unik. Pelanggan yang mampir di Garden Gems ketika bunga-bunga semestinya layu biasanya membawa kisah yang berbeda, dan Ramona ingin mendengarnya.

Kau tahu? Kabar-kabar soal Raja Lama juga ia dapat dari pelanggan malam!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top