Cunning Cats
"Ya, Tuanku sayang. Kamar kita di sebelah sini."
Mendengar suara seorang Gadis Kucing sedang menggiring klien, Ramona beranjak. Sebentar lagi waktunya.
Ia bergegas menyusuri lorong dengan buket berisi mawar-mawar segar. Debu Perak menghambur rata bagai bintang di langit merah beledu, macam langit kala sinar senja mampu menembus jalinan gelapnya malam abadi. Berkat tangan Ramona, mawar-mawar berubah menjadi perhiasan khas untuk kamar-kamar hangat.
Satu per satu, Ramona meletakkan buket-buket kecil di nakas sisi ranjang. Total sepuluh kamar untuk sepuluh jadwal di pagi hari. Kemudian nanti siang, dan dua kali nanti malam. Rumah bordil Cunning Cats tidak pernah kosong kamar.
Walau pekerjaan Ramona sekadar menjadi tukang kebun dan tukang racik obat di sana, bukan berarti ia tidak berkeringat. Ramona harus memastikan bahwa setiap klien mampu menelan kelopak-kelopak mawar beserbuk perak, menunjang perjalanan duniawinya hingga titik kalap dan mata menggelap. Itulah yang disuka para klien. Dijejali mawar berpoles narkotika tumbuk agar bisa melupakan penat dan sakitnya dunia, teriring lenguh manja Gadis-gadis Kucing, dan terlelap selama beberapa jam.
Namun, jika Ramona gagal entah karena dosisnya kurang atau kelebihan, dia harus menanggung akibat. Itulah yang membuatnya duduk gelisah di kursi tunggu di ujung lorong, mendengarkan setiap lolongan puas. Kadang-kadang iri, kadang-kadang jijik juga kalau tahu klien macam apa yang sedang menjamah para Gadis Kucing. Namun, yang pasti Ramona senantiasa menanti. Jarinya saling meremas dan dadanya berdegup pelan.
Empat kali setiap hari, ia disuapi rasa cemas. Empat kali setiap hari, ia berharap Gadis-gadis Kucing keluar dari kamar dengan wajah riang, mengacungkan jempol kepada Ramona sebagai tanda bahwa racikannya bekerja.
Namun, sayangnya, hanya sembilan Gadis Kucing yang keluar tepat waktu pagi itu.
"Ke mana Kally?" salah seorang Gadis Kucing bertanya, matanya mengerling ke arah pintu yang berada di ujung.
"Oh, tidak. Apa racunnya tidak bekerja?" yang lain menyahut. Sebagian memang suka menyebut racikan Ramona sebagai racun, dan gadis-gadis inilah yang berhasil meningkatkan stres sang peracik.
"Aku akan mengecek." Ramona bergegas dari kursi. Jarinya saling menggaruk gugup. Tiap langkah menuju pintu Kally terasa berat, hingga ia mengintip melalui lubang kunci dan memasang telinga. Ramona tidak sendiri. Beberapa gadis ikut penasaran.
Sesaat, tidak terdengar suara apa-apa. Mungkinkah si klien sudah terlelap, dan barangkali Kally ikut bersantap? Jika demikian, maka itu kesalahan Kally. Tiada Gadis Kucing yang diperbolehkan menjilat Debu Perak. Cambukan peringatan bakal tiba di punggung Kally, bukan Ramona—
"Pelacur keparat! Apa-apaan ini?"
Darah Ramona berdesir. Para gadis yang mencuri dengar seketika melompat menjauh. Mereka berlari terbirit-birit, sebagian berkata akan melaporkan ini kepada sang mami. Ramona membeku. Walau ia ingin lari, ia tidak bisa. Tangannya pun memutar kenop untuk menerobos masuk.
Kally, yang semula meringkuk, langsung melompat ke belakang Ramona, mendorong sang peracik untuk menghadapi klien yang marah.
Di hadapan Ramona adalah sosok pria asing, barangkali baru pertama kali datang kemari, dan benar-benar seorang awam—ia tidak tahu kekhasan Cunning Cats. Di kakinya ada vas yang menggelinding pada lantai karpet. Kelopak-kelopak mawar berhamburan dan ada satu yang masih menempel di dagunya.
"Tenang, Tuan."
"Tenang, katamu! Kau berusaha meracuniku!" pria itu melotot kepada Ramona. Sambil mengenakan jas bercorak, ia menyeru, "Aku ingin menemui Madam Montez!"
"Jangan khawatir, Tuanku! Mami di sini."
Ramona gemetar seketika mendengar suara itu. Suara wanita yang berat dan lembut sekaligus, memabukkan dan menggoda di saat yang bersamaan. Mami Montez, wanita di pertengahan empat puluh yang menyukai bulu-bulu glamor, menghampiri dengan diiringi Gadis-gadis Kucing tukang lapor.
Tidak. Mata Ramona membulat ngeri. Rasa sakit palsu menyengat di sekujur punggung hanya dengan menerima lirikan Mami Montez. Sang madam mengalihkan pandangan, tersenyum lebar kepada klien barunya.
"Ahh, Tuan pasti pelanggan baru, ya! Tidak masalah, tidak masalah ... mari, saya jamu engkau di kantor. Ada beberapa hal yang bisa kita luruskan bersama dengan secangkir teh, benar? Tenang saja, teh kamomil dengan madu biasa."
"Aku mau bersenang-senang, bukan untuk diracuni begini!" pria itu terus mengomel. Wajahnya masih merah padam dan kulit dahinya berlipat-lipat. Gadis-gadis Kucing pun menggandeng tangannya, mengarahkan sang pria untuk menenangkan diri di ruang terpisah.
Kini tersisa Ramona yang ditinggal bersama Mami Montez. Lorong marun berlantai pualam mendadak terasa sangat dingin. Sepintas, Ramona berharap kandelir hitam yang menggantung di atas kepala agar runtuh menghantam kepala Mami Montez.
"Mami ...."
"Aku bilang apa, Ramona?" Mami Montez memijat pangkal hidung. "Naikkan dosis untuk pelanggan baru. Jangan beri mereka kesempatan untuk bereaksi."
"Aku tidak tahu kalau—"
"Kau tahu." Bibir merah Mami Montez mencebik. "Tugasmu adalah mengecek setiap hari. Apa kau melakukannya tadi pagi?"
Ramona terdiam. Sial. Ia lupa melakukannya pagi ini karena telat bangun. Ia semalam begadang untuk membaca buku, itu saja, tidak ada alasan khusus. Satu hal yang terlewatkan dari rutinitas pagi pun akan dibayar dengan hukuman.
Saat Ramona tak bisa menjawab, Mami Montez menjewernya, menyeret gadis itu menuju salah satu aula. Segalanya terjadi begitu cepat setelah itu; sang madam mengambil tongkat kulit, menarik lepas blus Ramona, dan mencambuk punggungnya.
Gadis itu terkesiap. Sengatan panas mengejutkan sekujur tubuhnya, dan lagi, dan lagi, hingga Ramona mengeluarkan lenguh kesakitan, dan keringat menetes-netes dari dahinya. Balkon-balkon penonton di atas aula disesaki oleh para Gadis Kucing. Si klien juga berada di antara mereka.
"Tuanku, inilah hukuman yang diterima oleh para gadis kami jika melakukan kesalahan!" Mami Montez memukul keras ke punggung Ramona, membuat gadis itu mengejang dan menangis sesenggukan. Satu garis merah muncul melintang di kulitnya. "Apa kau puas, Tuanku? Setimpal dengan pening yang kaurasakan, bukan?"
Di mata Ramona, Mami Montez selalu menemukan cara untuk menjustifikasi minat-minat sadisnya. Menyebut hukuman cambuk yang dipertontonkan bakal setimpal dengan kekesalan klien, sebab pria-pria itu pun terkadang suka mencekik dan menyiksa diri untuk mencapai level duniawi yang mutlak. Bagi Mami Montez, mempertontonkan hukuman ini akan menyenangkan rasa cinta mereka pada rasa sakit.
Orang-orang bernafsu memang sakit.
Setelah cambukan kesekian puluh, pandangan Ramona berputar dan napasnya patah-patah. Mami Montez, tak mungkin membiarkannya pingsan atau bakal diperkarai hukum, melemparkan tongkat kulit ke sembarang tempat.
"Kliennya kemari. Kau jangan pingsan dulu," bisik Mami Montez. Ucapannya disusul suara langkah sepatu yang kian mendekat.
Rasa sakit yang berdenyut-denyut telah mengaburkan panca indera Ramona. Sepatu klien tersebut tampak ganda ... menjadi empat ... tidak, kembali dua.
"Tidak heran kalau pamor Cunning Cats hebat," pria itu bergumam. Pandangannya menyusuri luka-luka di punggung Ramona. Ada kilat lapar di matanya. "Aku mendengar reputasi tentangmu, Mami Montez, dan kekasihmu itu ...."
"Ternyata kau mengenal kekasihku!" tawa Mami Montez selembut beledu. "Pantas saja kami menerima klien baru. Siapa namamu?"
"Rodrick."
"Baiklah, Tuan Rodrick, apakah satu kompensasi ini mulai memenuhi ekspektasimu?"
"Tentu," Rodrick berkata. "Tapi aku, jujur saja, tertarik dengan apa yang kucicip tadi. Narkotika jenis apa itu?"
Mami Montez mengangkat alis. "Kalau itu, hanya Ramona yang bisa menjawab. Gadis ini jenius, cuma gegabah, tetapi kecerobohannya itu kadang bisa mencelakakan dan membahayakan bisnisku." Mami Montez menarik bahu sang gadis yang terkulai lemas, memaksanya supaya duduk tegak. Ramona mengerang kesakitan kala kulit punggungnya tertekuk. "Bicara, Ramona."
Bagaimana caranya berbicara, jika hanya rasa sakit yang menguasai? Lidah Ramona terlanjur kelu. Ia menatap Rodrick yang menjulang di hadapannya dengan meringis.
Pria di hadapannya mengawasi Ramona seraya bergumam pelan. Siapa saja tahu rasa lapar yang bersinar di matanya didorong oleh kecintaan terhadap rasa sakit, yang kelak akan ditangani oleh Gadis-gadis Kucing.
Kemudian, dengan lembut Rodrick berkata, "Sejujurnya, aku marah cuma karena tidak menyangka dengan kejutan itu. Selebihnya, aku menyukai racikanmu; sensasi ketenangan ... kebahagiaan ... semua yang sempat kurasakan. Efek selepasnya juga tidak membuatku gugup! Aku akan datang padamu lain waktu, Nona Peracik. Sampai saat itu, kuharap kau tidak ceroboh lagi."
Ketika Mami Montez melepaskan cengkeraman di bahu Ramona, gadis itu tersungkur lemas.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top