#33
Dua laki-laki beda generasi itu duduk berhadapan dalam kafetaria rumah sakit. Masing-masing dua cangkir kopi kelat yang masih mengepulkan asap tergeletak di atas meja, tepat di tengah mereka. Hening sejenak, keduanya seperti saling menunggu. Selama beberapa saat, detik jarum jam dinding terasa amat menyiksa. Adrian memutuskan jadi yang pertama mengambil inisiatif. Cowok itu berdehem, mencoba mencairkan kebekuan yang terasa.
"Saya..."
Tapi lelaki paruh baya itu langsung memotong. "Saya ingin minta maaf."
"Maaf?" alis Adrian berkerut.
"Karena sudah menyuruh kamu pergi waktu itu."
Satu jawaban dari Ayah Azalea membuat benak Adrian langsung memutar ulang apa yang terjadi pada suatu dinihari tiga tahun yang lalu. Waktu itu, Adrian mengakui kalau dia bertindak dengan impulsif. Lelah melihat bagaimana Azalea kehilangan harap, dia memutuskan datang sendiri ke rumah lelaki itu.
Langit tengah malam gelap tanpa bintang saat Adrian datang. Benar-benar bukan saat yang sopan untuk bertamu, tapi Adrian tidak peduli. Ketika dia membuat keributan pada pintu pagar berkali-kali, seorang petugas siskamling sempat menanyainya. Adrian mengabaikan, berkata jika dia punya keperluan pribadi dengan pemilik rumah. Cowok itu mungkin saja akan segera digelandang ke pos ronda terdekat jika Ayah Azalea tidak keluar—dengan masih mengenakan setelan tidurnya. Kesal dan bingung, lelaki itu mengizinkan Adrian masuk sesaat setelah dia mendengar Adrian menyebut nama Azalea.
Adrian menjelaskan semua yang terjadi. Tentang bagaimana dia bisa mengenal Azalea. Hubungannya dengan Alamanda. Hingga kebakaran tragis yang berujung pada duka. Lelaki itu masih saja diam ketika Adrian mengeluarkan secarik gambar—hasil karya terakhir Alamanda sebelum gadis itu benar-benar pergi. Ekspresi wajahnya sukar diterka. Adrian bersabar, menunggu. Tapi kemudian, jawaban yang keluar bukan apa yang dia harapkan.
"Sebaiknya kamu pergi. Dan ajak Azalea kembali ke Jakarta."
Hanya satu kalimat itu. Ada enggan menyorot di matanya. Mulanya, Adrian mengira dia akan mendapatkan respon yang lebih emosional. Janji untuk bertemu. Air mata penyesalan. Apapun itu yang menunjukkan jika lelaki tersebut masih memiliki hati seorang Ayah. Tapi alih-alih demikian, lelaki itu justru meminta Adrian membawa Azalea pulang ke Jakarta. Tanpa pesan. Tanpa kata lebih lanjut.
"Dia sudah datang sejauh ini," begitu kata Adrian kala itu. "Kenapa nggak menemui Lea barang sebentar saja? Saya mungkin orang luar, tapi saya tahu bagaimana Alamanda menyayangi ayahnya. Juga bagaimana Azalea menyayangi Alamanda... juga ayahnya."
"Menemuinya nggak akan menyelesaikan apapun." Ayah Azalea berbisik dengan suara meninggi. "Saya nggak ada waktu menemuinya. Banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan."
Sampai disitu, Adrian beranjak sebelum dia betul-betul kehilangan kesabaran dan melakukan sesuatu yang bodoh seperti menyudutkan Ayah Azalea ke tembok dan meninjunya sekuat yang Adrian bisa. Adrian tidak pernah menceritakan peristiwa itu pada Azalea. Tidak akan pernah. Karena itu hanya akan menghancurkan hati gadis yang dia cintai.
"Saya nggak pernah bermaksud buruk dengan—kamu tau, menyuruh kamu membawa Azalea pulang ke Jakarta bertahun-tahun lalu," Laki-laki itu kembali bicara, kali ini matanya menatap Adrian ragu-ragu. Suaranya otomatis menarik Adrian dari lamunan.
"Saya nggak ngerti."
"Segala sesuatu yang terjadi begitu rumit. Saya nggak bisa menjelaskan semuanya. Dan saya juga yakin, kamu nggak butuh penjelasan saya. Hanya saja, ketika saya menolak bertemu Azalea waktu itu... kamu tau, itu yang terbaik buat kami. Untuk saat itu."
Adrian memiringkan wajah, membuat laki-laki itu menghela napas panjang sebelum menyambung ucapannya.
"Sejak kecil, Azalea sangat dekat dengan saya. Lebih dari Manda. Kesalahan saya telah membuat luka yang sangat besar dalam hidupnya. Saya nggak tau apa saya masih sanggup menatapnya. Kalau kamu pikir saya nggak pernah merindukannya, kamu salah. Setiap hari, satu-satunya penyesalan terbesar saya mungkin adalah meninggalkan dua anak itu. Manda dan Lea. Saya menyayangi mereka berdua lebih dari apapun."
"Tapi apa yang ada justru terkesan sebaliknya," Adrian menyergah.
"Seandainya saja bisa, saya ingin hidup hanya dalam biner. Hitam atau putih. Baik atau buruk. Tinggal atau meninggalkan. Sayangnya, Adrian, hidup tidak seperti itu," untuk pertama kalinya, Ayah Azalea menyebut nama Adrian. "Bertahan dalam sebuah pernikahan ketika sudah nggak ada cinta di dalamnya adalah siksaan. Nanti, kamu akan mengerti. Azalea bukan kesalahan. Tapi pernikahan saya dengan ibunya jelas sebuah kesalahan."
Adrian terdiam.
"Tahun demi tahun terlewati. Azalea tidak pernah datang pada saya secara sukarela. Dari sana saya mengerti kalau dia belum benar-benar memaafkan saya. Mungkin seumur hidupnya, dia nggak akan mau menemui saya lagi. Saya nggak mau memaksanya. Dan menyakitinya lebih dari yang seharusnya. Tapi dua tahun lalu, dia datang," Laki-laki setengah baya itu terlihat emosional. "Dia menemui saya. Dia bilang dia sudah memaafkan ayahnya. Lalu dari sana, hubungan kami membaik. Dia tetap anak perempuan yang saya kenal. Anak baik yang pintar, juga tau bagaimana caranya bekerja keras. Pada hari peringatan kematian Manda tahun lalu, dia bahkan menerbangkan saya ke Jakarta."
Bisakah Azalea lebih jahat dari ini? Bagaimana mampu gadis itu membiarkan Adrian terkatung-katung selama tiga tahun, tapi dengan mudah mengundang salah satu sosok yang pernah dia cerca begitu rupa untuk acara peringatan hari kematian Alamanda? Adrian tidak tahu harus bereaksi apa.
"Saya mencari kamu, menanyakan keberadaan kamu. Azalea hanya jawab sambil senyum. Jujur, sejak pertama saya ketemu kamu, saya tau kamu punya kepedulian yang amat besar untuk Lea. Bahkan mungkin jauh lebih besar dari kepedulian saya," Laki-laki itu menarik senyum tipis yang tidak kentara. "Saya senang kamu ada di sampingnya pada masa-masa kritis."
Adrian masih bungkam.
"Sekali lagi, saya minta maaf kalau saya sudah membuat kamu merasa kesal, atau tersinggung, atau semacamnya." Laki-laki itu meneruskan. "Tapi saya tidak punya maksud seperti itu. Saya ingin sekali bertemu dengan Lea, tetapi bukan dipertemukan. Saya ingin Lea menemui saya karena inisiatifnya sendiri. Karena dengan begitu, berarti dia sudah nggak lagi merasa sakit, jadi dia sudah berani menemui saya. Saya menghargai usaha kamu, dan sekali lagi, maaf untuk reaksi saya yang mungkin menurut kamu nggak patut."
Adrian menatap cairan hitam dalam cangkirnya sebentar, lalu menghela napas sebelum memberikan satu garis senyum tipis. "Saya ngerti sekarang. Itu cuma salah paham. Enggak ada yang perlu dimaafkan."
"Kamu akan terus ada buat dia kan? Buat Azalea?"
Senyum Adrian melebar. "Saya nggak pernah melupakanya. Seharipun."
"Kalau begitu, saya bisa menyimpulkan kalau kamu akan menjaga Lea seterusnya," Ayah Azalea tertawa. "Saya lega. Kalau boleh, saya ingin minta satu hal dari kamu."
"Apa?"
"Buat dia bahagia. Hidupnya sejak kecil sampai sekarang begitu berat. Apa yang menimpa Alamanda jelas membuatnya trauma. Juga kecelakaan ini..." Ayah Azalea menghela napas. "Kasih tau saya, kamu mencintainya atau nggak?"
"Apa itu bisa disebut pertanyaan?"
"Saya nggak mau nanti, kamu berpikir menikahi Lea adalah sebuah kesalahan."
"Dia nggak pernah jadi kesalahan. Dia adalah keberuntungan. Yang terbesar dalam hidup saya, kalau boleh saya menambahkan." Adrian menyahut. "Dan jujur, saya bukan orang yang akan nunggu tiga tahun hanya untuk sebuah kesalahan."
"Sekarang saya ngerti kenapa dia bisa mencintai kamu sebegitu dalamnya."
Kedua laki-laki itu berpandangan, dan tanpa kata yang terucap, siapapun tahu jika keduanya telah berdamai. Obrolan berikutnya yang terjadi adalah basa-basi. Kebanyakan Ayah Azalea membahas mengenai tim sepak bola favoritnya yang akan segera berlaga. Kebetulan, mereka mengidolakan tim yang sama. Dalam sekejap, obrolan bertopik olahraga telah membuatnya akur. Sesap demi sesap kopi terteguk tanpa disadari. Sampai akhirnya percakapan itu berhenti tatkala seorang suster memanggil, berkata jika keduanya perlu menemui dokter.
Adrian mengangkat alis, tidak mengira akan dipanggil dengan begitu tiba-tiba. Tapi seperti Ayah Azalea yang langsung beranjak dari kursi, dia mengikuti. Dalam hati, dia berharap kabar yang akan segera dia terima bukan kabar buruk.
***
"Saya nggak mengerti." Itu adalah reaksi pertama Adrian setelah dokter menerangkan serangkaian situasi dan istilah medis rumit padanya dalam sepuluh menit terakhir. Seperti menegaskan, Ayah Azalea ikut menganggukkan kepala. Diam-diam, Adrian menahan kesal. Hanya karena dia punya teman dekat seorang dokter muda berbakat, bukan berarti dia memahami istilah rumit yang dokter itu gunakan.
Dokter berjas putih yang mungkin telah berada pada awal usia empat puluhannya itu menarik napas. "Sederhananya, kecelakaan itu menyebabkan trauma yang cukup berat bagi saudari Azalea. Tubuhnya tidak akan sekuat seperti sebelum dia mengalami kecelakaan. Dia mungkin akan mengalami sejumlah gejala yang lebih parah ketika alerginya pada sesuatu terpicu. Selama setahun ke depan, dia harus melakukan kontrol secara rutin setiap satu bulan untuk memantau fungsi tubuh dan organ-organ vitalnya. Dia juga tidak bisa terlalu lelah."
"Tapi intinya dia akan tetap baik-baik saja, kan?" Adrian memotong cepat, terbakar oleh rasa khawatir.
Dokter itu mengangguk. "Melihat kondisinya saat ini, selama dia tidak terlalu lelah dan menjauh dari apa-apa yang bisa menyebabkan alerginya kambuh, dia akan baik-baik saja. Ah ya, satu lagi, sebisa mungkin jangan biarkan dia kedinginan terlalu lama. Sistem imun tubuhnya tidak sekuat dulu, mungkin akan membuatnya mudah terserang flu atau demam."
Adrian menghembuskan napas dengan lega. "Oke. Saya ngerti."
"Untuk sekarang, hanya itu yang bisa saya sampaikan. Jika ada perkembangan lebih lanjut atau informasi tambahan yang perlu diketahui, saya akan memberitahu," Dokter itu berhenti menatap berkas yang ada di tangannya, kemudian menatap pada Adrian. "Oh ya, kalau saya boleh tau, dari mana anda mengenal rekan sejawat saya?"
"Rekan?"
"Dokter Dio,"
"Oh," Adrian mengangguk paham. "Dia teman saya sejak masih kuliah. Ada apa?"
"Oh, nggak apa-apa," dokter itu tersenyum. "Saya pertama kali mengenalnya saat dia menjalani co-ass. Dia dokter muda yang sangat berbakat. Juga kaku. Saya kira, dokter kayak dia akan jadi bujangan lapuk. Tapi dia justru akan menikah sebelum lanjut pendidikan spesialis. Saya nggak nyangka."
"Well, calon isterinya berasal dari almamater yang sama. Mereka sudah temenan sejak masih kuliah juga."
"Wah, kalau begitu saya nggak heran," Dokter itu tertawa lagi. "Sampaikan salam saya untuk Dokter Dio, ya. Bilang sama dia, Dokter Hafidz titip salam."
Adrian tertawa, lalu mengiyakan. Mereka sempat bertukar canda sebelum Adrian dan Ayah Azalea beranjak bangkit dari bangku untuk meninggalkan ruangan putih berbau antiseptik tersebut.
***
https://youtu.be/DXQUKYcQNYo
Azalea tengah menghitung jumlah semut yang berbaris di dinding ketika Adrian memasuki kamar perawatannya. Wajah bosan gadis itu seketika meletup oleh rasa senang yang tidak repot-repot dia tutupi. Rambutnya yang telah kering kini kusut karena belum disisir, tapi senyum cerahnya membuat Adrian berpikir jika gadis itu adalah gadis paling cantik yang pernah dia lihat—selain ibu dan kedua kakak perempuannya, tentu saja.
"Tadi Ayah kesini," Azalea memberi tahu sementara Adrian menarik laci nakas di sisi tempat tidurnya untuk mengeluarkan sisir. Pelan dan sambil mendengarkan Azalea penuh perhatian, Adrian mulai menyisiri rambut gadis itu. "Gue tanya lo kemana, kata Ayah lo lagi ada urusan sendiri. Urusan apa sih? Kok kayaknya penting banget?"
Senyum Adrian tertarik begitu dia mendengar sepercik nada cemburu dalam kata-kata Azalea. Siapa yang mengira jika gadis ini, seorang Azalea Pramudita, bisa cemburu karena merasa dinomor-duakan? Selesai menyisiri rambut Azalea, Adrian mengembalikan sisir di tangannya ke dalam laci. Dia tidak langsung bicara. Matanya menatap dalam pada gadis di depannya.
"Kateter gue udah dilepas."
Adrian menyentuh ujung hidung Azalea dengan lembut. "Bagus."
"Bagus?"
"Let's go outside," Adrian menyahut, membuat senyum cerah Azalea terkembang makin lebar. Namun tentu saja beranjak keluar tidak semudah mengatakannya. Mereka perlu menunggu suster datang membawakan kursi roda. Setelah semuanya beres, Adrian mendorong kursi roda gadis itu menyusuri koridor rumah sakit, langsung menuju taman yang terletak tidak seberapa jauh.
Sisa-sisa hujan yang turun hampir seharian membuat rerumputan terasa lembab saat diinjak. Adrian mendorong kursi roda Azalea ke tepi taman, kemudian berjongkok di depan gadis itu. Azalea yang tidak menduga langsung mengerutkan alis. Adrian masih menatapnya dengan lekat. Wajah gadis itu amat pucat tanpa sedikitpun sapuan makeup, tapi tidak diragukan lagi, wajah itu adalah wajah terbaik yang pernah Adrian lihat.
"Kenapa?" Azalea bertanya penasaran karena cara Adrian menatapnya.
"Gue perlu meyakinkan diri gue sendiri kalau lo nyata," tangan Adrian terulur, menyentuh helai rambut Azalea. Lalu pipinya. Dan kemudian, ibu jari cowok itu berhenti di bibirnya. "damn, I miss you so much."
"Adrian,"
"Gue ngak pernah merasa setakut itu sebelumnya, lo tau?"
"Maksudnya?"
"Melihat lo terkapar di jalan... penuh darah... Mengingatnya bikin gue hampir gila. Melihat lo terjebak dalam persimpangan antara hidup dan mati di ruang operasi. Menunggu lo bangun. Itu adalah siksaan terhebat yang pernah gue alami seumur hidup," Adrian menghela napas. "I was afraid of losing you. Gue nggak tau apa yang bahkan akan gue lakukan kalau gue benar-benar kehilangan lo."
Spontan, Azalea menjawab. "I'm so sorry."
"You told me you won't come."
Azalea teringat jawaban yang dia berikan pada Adrian terkait masalah pameran tempo hari. "Gue pingin ngasih kejutan."
"It turned out not so good." Adrian tersenyum muram. "Pada akhirnya, gue benar-benar dapat kejutan."
Azalea menatap penuh rasa bersalah. "I'm so sorry."
"Berhenti minta maaf,"
"Terus, gue harus bilang apa?"
Adrian berdecak. "Did you see them? Lukisan-lukisan yang gue pamerkan?"
"Belum sempat. Sayang. Pasti bagus banget, seperti biasanya."
"It's all about you, sugar." Adrian berbisik, membuat lidah Azalea kelu seketika. "It's all about you."
Lagi dan lagi, mata Azalea kembali berkaca-kaca ketika dia menatap laki-laki di depannya. "Lo nggak pernah puas ya?"
"Gue nggak ngerti."
Dengan gerakan tak kentara, Azalea menyeka pelupuk matanya menggunakan jari tangan. "Coba hitung, udah berapa kali lo membuat gue menangis hari ini."
"It's okay to cry. I'll be there to catch all your tears," Adrian tertawa, mengulurkan jarinya untuk mengusap bagian bawah mata Azalea yang basah. "Just don't cry too much. Nanti rumah kita kebanjiran."
"Rumah kita?" kening Azalea berkerut pada dua kata yang terselip dalam kalimat Adrian.
"I have to live with you, Azalea. Gue nggak tau apakah gue bisa menjalani hidup ini tanpa lo. Jadi," Jari-jari Adrian meraih jemari Azalea, mengenggamnya dengan erat tanpa terasa menyekap. Matanya yang cokelat terang menatap lekat pada mata gadis itu. Penuh dengan kesungguhan. Hati Azalea seperti meleleh menjadi kubangan. "Marry me?"
Cukup sampai disana. Lagi-lagi tangisnya pecah. Gadis itu menangis sambil tertawa. Haru dan bahagia padu dalam matanya.
"Adrian—"
"Jangan menolak. Tiga tahun cukup buat gue. Gue nggak mau menunggu lagi." Adrian memotong cepat, penuh dengan ketegasan yang membuat Azalea nyaris terbahak.
"Gue nggak berniat menolak, kok," Azalea berkilah. "But, is this a proper way to propose a girl?! Mana cincin gue? Mana bunga gue?! Mana balon-balon warna-warni yang membentuk tulisan WILL YOU MARRY ME? Gue mau semuanya spesial!"
"Oh, apakah gue aja nggak cukup?"
"Enggak," Azalea mencibir, lalu tergelak. "Gue mau yang istimewa."
"Hm, kalau gitu mungkin lamarannya di-cancel aja."
"Jahat!" Azalea berseru.
Adrian terkekeh, lalu dia bangkit dari posisi berjongkoknya. Cowok itu lantas membungkuk, mencium pipi Azalea dengan lembut sebelum kembali bicara.
"Gue perlu nanya dulu, kira-kira lo bakal terima lamaran gue apa enggak? Rugi dong kalau gue udah beli cincin, ngundang teman-teman sampai nyewa event organizer buat acara lamaran bombastis kalau ujung-ujungnya ditolak,"
"Dasar perhitungan,"
"Jawab dulu, lo terima lamaran gue atau nggak?"
"Kasih gue cincin dulu,"
"Hm, kayaknya belum bisa deh kalau gue kasih sekarang."
"Kalau gitu, gue juga belum bisa jawab ekarang."
"Yaudah," Adrian mendadak mengulurkan tangannya pada rambut di belakang telinga Azalea. Ketika dia menarik tangannya lagi, disana telah tergenggam sebentuk cincin. Azalea tercekat, tidak menduga jika Adrian akan melakukan itu.
"Sejak kapan lo jadi pesula—"
Kata-kata Azalea terputus tatkala Adrian kini berlutut di depannya, sambil mengulurkan tangannya yang memegang cincin.
"You have no other choice, Azalea Pramudita. You're stuck with me. Forever. So, just marry me already."
"No."
"Jangan bercanda, plis."
"Bukan gue yang terjebak dengan lo, tapi lo yang terjebak dengan gue," Azalea tertawa, kemudian menganggukkan kepalanya. Air matanya mengalir tanpa dia sadari. "Yes! Yes in a million times!"
Adrian tersenyum lebar ketika dia memasangkan cincin itu di jari Azalea. Mereka saling memandang. Lagi. Kemudian, Adrian memeluk gadis itu. Erat. Dalam dekapannya terasa hangat. Merasa nyaman, Azalea memejamkan matanya. Dia menarik napas dalam-dalam, membiarkan aroma white musk yang berpadu dengan bau khas Adrian memenuhi indera penciumannya.
Dunia bisa kiamat sekarang dan Azalea tidak akan keberatan.
"You know what, meeting you was like listening to a song for the first time and knowing that it would always be my favorite one," Adrian berbisik di telinga Azalea. "I love you, cry baby."
Azalea balik memeluk erat Adrian, "Thank you," bisiknya, perlahan tenggelam lagi dalam isak. "You're always too good to be true. So ethereal, that I'm afraid you'll vanish into thin air."
"No, darling. No. You have me. Until everu last star in the galaxy dies. You have me."
Azalea merengkuh Adrian kian rapat, hingga pada akhirnya pelukan mereka harus terlepas.
"Speaking of galaxy," Adrian mengawali. "Gue punya satu janji yang belum gue tepati pada lo."
"Hm? Apa?" Kening Azalea berlipat heran.
"Setelah lo sembuh, kita akan pergi ke suatu tempat," Adrian berujar. Matanya menatap Azalea hangat sebelum kembali menyambung.
"I'll take you to my Mars."
Bersambung.
[][][]
a/n : Ya amphon tidak siap berpisah dengan Adrian
Wadow
Hm
Gimana ya
Tapi Bas dan trio Chandra-Calvin-Cetta sudah menunggu dong gimana
Hm
Yodalaya
Tadinya mo bikin Lea tiba-tiba mati di chap ini
Kan suka ada tuh yang bangun abis kecelakaan
Eh tau tau tepar
Mau dibikin matinya pas abis dilamar
Tapi gatega
Tar gue dilempar granat
(percayalah, kalau belum end, berarti ekspektasi kalian masih bisa gue balik-balikkan wkwkwk)
Yodah
Btw tengkyuh lo komennya banyak bat ah ailopyupul
Soal JINX, gue nggak tau niy belon dapet kabar. Ntar kalau nggak dikasih kabar, ku kan lanjut lagi. Seneng kan u pada.
Terus buat cerita pertemanan J dan kawan kawan
Ditunggu ya
Abis Suri & Mr. Phasmophobia kelas juga tar nongol salah satu dari mereka
Senja mo gue tulis ulang
Dengan plot yang beda
Teyus
Gitu dah. Suri dan kawan kawan juga sepertinya tidak panjang panjang paling 30 chap doang.
Oke dah
Ciao.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top