#29
"Lo udah gila ya?"
Ciuman mereka mungkin belum lagi berlangsung lebih dari sepuluh detik ketika sebuah suara bernada terkejut terdengar, membuat Adrian langsung menarik dirinya menjauh dari Aries kurang dari sedetik berikutnya. Kepala mereka tertoleh ke arah yang sama, hanya untuk mendapati Jeviar dan Faris yang kini berdiri di ambang pintu balkon dengan mata terbelalak dengan ekspresi yang sukar dibaca. Adrian melengos, sementara wajah Aries kontan memerah.
"Gue nggak nyangka kalau lo punya bakat jadi cowok brengsek, Yan." Faris terkekeh. "Bacot doang lo kangen dia. Lah sekarang malah nyipok ciwey lain." Berbeda dengan Jeviar yang tampak tidak percaya dengan apa yang dia lihat, Faris justru mesem-mesem. Cowok itu seperti senang karena baru saja menemukan sisi tidak terduga dari seorang Adrian Cetta Arsenio.
Adrian mengabaikan ucapan kedua sahabatnya. Dia beranjak dari sofa, lalu meletakkan botol minuman di tangannya ke atas meja di sisi ruangan. Lantas tangannya mengeluarkan ponsel dari saku, mendial serangkaian nomor dan berbicara singkat sebelum kembali memalingkan pandangan pada Aries yang tergugu bingung harus berbuat apa.
"Gue udah telpon taksi buat lo. Now, get out of my place."
Aries tersentak. "Adrian,"
"Get out."
"Tolong jangan marah."
"Gue nggak akan marah. Tapi sekarang, plis keluar sebelum gue bertindak terlalu kasar sama lo."
Aries menghela napas. Cewek itu menatap bergantian pada Jeviar, Faris, lalu Adrian. Wajahnya masih diwarnai oleh rona merah tatkala dia meraih tasnya, memandang Adrian sekali lagi sebelum dia berjalan menuju pintu. Adrian mengekorinya untuk menutup pintu setelah gadis itu keluar. Dia bahkan tidak merasa perlu mengucapkan sepenggal kalimat 'hati-hati' seperti yang biasa dia lakukan setiap kali seseorang meninggalkan apartemennya.
Usai menutup pintu, Adrian memutar tubuh. Sebuah erangan samar terlompat keluar dari mulutnya begitu dia mendapati bagaimana Jeviar dan Faris menatapnya. Lekat.
"Apa?"
"Lo naksir ama dia ya?" Faris bertanya.
"Atau cuma kebawa perasaan?" Jeviar menimpali, kemudian menyambungnya dengan sebuah ejekan. "Dasar. Ganteng-ganteng baperan. Gue bilang juga apa. Mana kuat lo nungguin dia balik."
Adrian mendengus. "I'm drunk."
"Nggak semabok itu sampai-sampai lo nggak bisa ngebedain mana yang Aries dan mana yang Azalea." Faris berdecak. "Anyway, I saw your painting earlier. Lukisan yang ada di kamar lo. Itu lukisan Aries, 'kan?"
"Enggak ada arti khusus."
"You drew her just like you drew your Azalea."
"It's a late birthday surprise."
"Buat Aries?"
Adrian menganggukkan kepalanya. "Dia selalu bilang kalau dia ingin dilukis oleh gue. Walaupun hanya sekali. I said no. Karena lo tau, gue hanya menggambar orang yang ingin gue gambar. Then last week she told me that day was her birthday. Gue merasa bersalah. Sedikit. Jadi gue gambar dia."
Jeviar dan Faris masih membisu. Tetapi mereka menyipitkan mata, menatap Adrian dengan teliti. Merasa jengah, Adrian lagi-lagi menghembuskan napas kuat-kuat.
"It was a mistake."
"Apanya?"
"That kiss."
"Gue dan Jev nggak meminta penjelasan lo."
"Biar lo nggak salah paham." Adrian menarik napas, membiarkan oksigen mengisi paru-parunya banyak-banyak. "Gue tidur duluan."
"Ini masih sore, loh." Jeviar menanggapi.
"My head hurts." Adrian beralasan, lantas berlalu pergi begitu saja dari hadapan kedua sahabatnya. Jeviar dan Faris saling menatap sebentar, kemudian keduanya saling mengedikkan bahu sebelum beralih memusatkan perhatian pada perangkat televisi dan playstation Adrian yang tergeletak begitu saja. Terlihat dari bagaimana rapinya set elektronik itu tertata, mudah ditebak jika Adrian bukan tipe cowok yang sering duduk berlama-lama sambil memegang stik dan memelototi layar kaca. Satu-satunya alasan mengapa konsol permainan itu ada disana adalah karena baik Jeviar, Faris bahkan hingga Edgar punya hobi yang serupa; bermain game di waktu senggang.
Waktu mungkin sudah berlalu. Segalanya berubah dengan cepat. Tetapi Adrian tetaplah Adrian. Dia adalah pribadi hangat yang penuh perhatian.
Memasuki kamarnya yang tampak suram, Adrian sempat termenung sejenak. Matanya menatap pada lukisan-lukisan yang tergantung di setiap sisi tembok kamarnya. Lukisan seorang gadis dengan mata yang terpejam. Lukisan seorang gadis dengan posisi memunggungi sudut pandang dengan rambut yang bergoyang ditiup angin. Lukisan siluet samar seorang gadis di bawah temaram cahaya lampu jalan. Kemudian, pandangan mata Adrian berhenti pada kanvas penuh warna yang tersandar di sudut ruangan. Semua lukisan di kamarnya adalah tentang potongan ingatannya akan Azalea, kecuali lukisan itu.
Lukisan setengah jadi yang memuat seraut wajah asing. Kanvas yang membingkai senyum seorang gadis yang tidak familiar. Wajah Aries.
Adrian berbisik pelan, entah pada siapa. "I'm so sorry."
Tidak ada jawaban. Hanya hening. Tak terdengar suara. Kecuali hela napasnya. Dan nyeri yang menyebar di dada Adrian pun kian purna.
***
Seize the day because it's now or never.
Gue menggumamkan kalimat itu untuk yang kesekian kalinya—mungkin sudah yang ratusan kali hari ini. Gue menatap sejenak pada supir taksi yang sudah berbaik hati mengantarkan gue dari stasiun sampai ke halaman sebuah rumah yang sebenarnya tidak pernah gue bayangkan akan gue datangi lagi. Kemudian mengeluarkan beberapa lembar uang, yang disambut olehnya diiringi ucapan terimakasih. Gue bergerak turun, menutup pintu taksi dan taksi itu pun memutar arah. Hanya dalam hitungan detik, hanya ada gue, suara daun yang bergesekan karena ditiup angin dan pintu pagar tinggi yang menanti untuk didorong sampai terbuka.
Seize the day because it's now or never.
Bukan berarti gue ingin benar-benar menemui Ayah. Atau mencercanya karena dia tidak terlihat menunjukkan tanda-tanda kepedulian sedikitpun setelah apa yang menimpa Alamanda. Bukan itu. Tetapi karena gue sudah terlampau merindukannya. Sangat. Namun untuk bisa menemuinya lagi, gue harus menepati janji yang gue buat.
Gue harus berdamai dengan masa lalu.
"Permisi!"
Sekali gue berseru, masih tidak ada jawab apapun.
"Permisi!"
Dua kali, dan pintu depan rumah terbuka. Dalam sekejap, pandangan matanya bertemu dengan mata gue. Mata yang serupa dengan mata Alamanda. Dan begitu mirip dengan mata gue sendiri. Dalam hitungan waktu yang super singkat, gue seperti menjelma menjadi patung yang lupa bagaimana caranya bernapas dan berbicara.
Gue mengira laki-laki itu akan berbalik, lantas menutup pintu rumahnya rapat-rapat. Tapi ternyata enggak. Dia justru menatap gue dalam-dalam. Lekat. Kemudian, gue seperti melihat ada kaca tembus pandang yang terbentuk disana. Kaca yang membatasi mata laki-laki itu dengan dunia luar. Dia terlihat seperti ingin menangis.
"Azalea?"
Gue menghela napas. Menjawab dengan susah payah. "A.. yah?"
Tidak ada kata. Kami saling diam. Seperti pandangan mata sudah cukup berbicara. Lantas setelah setengah menit berlalu, Ayah berdehem. Dia berjalan mendekati pintu pagar, membukanya lebar-lebar seraya menatap gue dengan segan.
"Ayo masuk."
Gue menurut dan berusaha terlihat tetap tenang, walaupun diam-diam gue khawatir. Apakah gue akan menemui perempuan itu di rumah ini? Perempuan yang sudah merebut Ayah dari gue, Bunda dan Manda? Atau... lebih buruknya... apakah gue akan bertatap muka secara langsung dengan anak perempuan yang gue lihat hampir setahun yang lalu? Anak perempuan baru Ayah?
Perih menyebar, menciptakan getar yang merambati sekujur tubuh. Gue mencoba menguatkan diri, mengepalkan tangan gue erat-erat untuk meredam tremor yang bergelayut di jari-jari.
"Apa kabar?" Ayah bertanya basa-basi, dengan ekspresi salah tingkah yang kentara setelah kita berdua duduk di kursi ruang tamu rumahnya.
Gue hanya diam, mencoba menyusun kembali rentetan kalimat-kalimat yang ingin gue utarakan.
"Azalea?"
"Ayah, aku kesini bukan untuk tahu kabar Ayah. Atau ngobrol kayak nggak ada kejadian apa-apa." Gue mengawali, sontak langsung membungkam mulutnya seketika. "Soal Manda, aku yakin Ayah udah tau."
"Jadi yang datang waktu itu benar teman kamu?"
Membayangkan Adrian sudah cukup untuk membuat gue ingin tersenyum. "He is... the person that I miss the most."
Ayah seperti mengerti. "Dia pacar kamu?"
"Aku nggak tau."
Diam lagi.
"Lea,"
"Aku cuma ingin Ayah tahu kalau aku nggak lagi membenci Ayah. Apapun yang Ayah lakukan di masa lalu, aku akan maafin Ayah. Dan aku harap Ayah maafin aku juga. Hanya dengan begini, aku bisa hidup dengan lebih baik. Hanya dengan begini, aku nggak lagi harus selalu ngerasa sakit setiap kali aku mengingat Manda... dan juga Ayah. Hanya dengan begini, aku bisa hidup tanpa kebencian. Semua orang punya dosa dan kesalahan masing-masing. Kesalahan Ayah mungkin salah satunya adalah saat Ayah ninggalin aku, Bunda dan Manda buat orang lain. Kesalahan aku mungkin karena aku terlalu membenci Ayah. Mau bagaimanapun juga, sampai kapanpun Ayah tetap Ayahku. Aku nggak seharusnya bersikap seperti itu."
"Azalea, kamu nggak perlu meminta maaf untuk apapun. Ayah yang seharusnya meminta maaf."
Gue menarik napas, membiarkan seulas senyum tertarik. Sesuatu yang tidak pernah gue tebak akan bisa gue lakukan di depan Ayah—seseorang yang pernah membuat gue merasa terbuang dan ditelantarkan. "Aku udah maafin Ayah." Gue berucap sembari beranjak dari kursi.
"Kamu mau kemana?"
"Aku dateng cuma untuk ini."
"Maksud kamu?" Ayah terlihat heran. "Kenapa nggak menginap dulu disini barang satu-dua malam. Ayah yakin Bunda kamu pasti setuju."
"Bukan maksud aku nolak, tapi kayaknya aku nggak bisa."
"Kenapa?"
"Aku nggak mau membuat rasa sakit yang nggak perlu. Sekarang Ayah punya anak perempuan lain yang harus Ayah perhatikan. Aku sudah cukup dewasa untuk jaga diri sendiri. Manda udah berada di tempat yang lebih baik. Aku harap Ayah akan ngejaga anak perempuan Ayah yang masih perlu dijaga lebih baik." Gue menerangkan tanpa sedikitpun nada menyindir di dalamnya. "Dan lagi, aku punya tempat lain yang aku tuju."
"Kemana?"
Gue tersenyum lebih lebar. "Pulang."
Ayah terdiam. Tapi beliau tidak mengatakan apapun lagi. Dia ikut beranjak, mengantar gue sampai pintu. Gue hampir saja berjalan melewati ambang pintu kalau dia tidak tiba-tiba memanggil.
"Azalea,"
Secara otomatis, gue berbalik dan mendapati pandangan mata gue terpecah pada dua titik. Pertama adalah pada matanya yang basah. Kedua, pada selembar gambar dalam bingkai yang tergantung pada tembok di belakangnya. Gue tidak terlalu memperhatikan gambar itu ketika gue berjalan masuk, tapi sekarang, setelah melihatnya baik-baik, gue menyadari kenapa gambar itu terlihat familiar.
Itu adalah gambar seorang ayah dengan anak perempuannya. Gambar yang gue bawa ke Jogjakarta setahun lalu. Gambar yang Alamanda buat pada pagi hari sebelum dia pergi.
"Peluk Ayah. Sekali saja."
Tembok pertahanan yang susah payah gue bangun selama bertahun-tahun akhirnya runtuh seketika. Tanpa menunggu, gue menghambur padanya dan memeluknya erat. Rasanya seperti kembali ke masa lalu, dimana Ayah akan bergantian memeluk gue dan Manda ketika beliau pulang kerja. Tanpa melihat, gue tau dia menangis, karena gue juga melakukan hal yang sama.
Tidak ada kata yang terucap. Hanya isak. Dan benci yang selama ini menggelayuti dada perlahan meleleh, mengalir entah kemana tanpa sisa.
***
Ketika Adrian terbangun pada pagi hari, erangan adalah suara pertama yang dia keluarkan karena sakit yang menggelayuti kepalanya. Cowok itu memegangi kepalanya sebentar, kemudian berjalan gontai menuju kamar mandi untuk membuka lemari obat di belakang cermin. Napasnya baru terhembus dengan lega setelah dia menelan satu tablet Sober Up. Adrian membasuh tangannya sementara dia menunggu pengaruh dari tablet tersebut bekerja.
Selesai menyikat gigi, Adrian pergi ke ruang tengah. Mulutnya seketika berdecak tatkala dia melihat bagaimana ruang tengah apartemennya kini lebih mirip kabin kapal yang habis kebanjiran daripada ruang tengah. Bagaimana tidak? Bantal sofa bergelimpangan di segala arah. Terdapat sisa-sisa pizza dalam kotak besar di atas karpet, juga serakan kulit kacang dan coke kaleng yang sudah kosong. Tidak hanya itu, Adrian hampir saja melontarkan makian kasar saat mendapati bagaimana dua cowok kampret tersebut menggunakan mangkuk kesayangannya sebagai pengganti asbak. Yang bikin makin kesal, Jeviar dan Faris bersikap seperti tanpa dosa. Mereka tergeletak tidur di atas karpet. Pulas, tanpa sempat memastikan playstation maupun televisi yang masih menyala.
Adrian sudah nyaris membangunkan keduanya dengan tendangan penuh kasih sayang ketika dia melihat layar ponsel Jeviar berkedip-kedip. Ada telepon masuk dari Salwa. Tidak lama kemudian, panggilan tersebut terhenti, masuk ke dalam notifikasi panggilan tidak terjawab.
23 Missed Calls from Salwa.
Well, he's so dead. Adrian membatin.
"Wey, kampret!" Cowok itu akhirnya berseru sambil menendang betis Faris dan Jeviar dengan kakinya. Mungkin agak sedikit terlalu kuat, karena detik berikutnya dua cowok itu langsung terlonjak bangun seraya berseru kesakitan.
"Sialan lo, Yan!" Faris berseru kesal, tapi kembali menjatuhkan diri di atas karpet dengan pasrah. Ekspresinya menyiratkan bahwa dia tidak akan bangun dari sana sekalipun langit akan runtuh.
"Kalian yang sialan. Dasar manusia nggak tau diri." Kata Adrian pedas. "Gue nggak mau tau, pokoknya beresin semuanya."
"Wajar kali." Jeviar bergumam, hampir saja memejamkan mata untuk tidur kembali. "Namanya juga apartemen cowok. Wajar berantakan."
"Enggak. pokoknya bersihin. Gue nggak mau tau. Dan liat aja lo ya, gue sate lo berdua kalau noda bekas puntung rokok di mangkuk gue nggak bisa ilang!"
"Galak amat."
"Sebelum komentar, mending lo cek HP lo." Adrian berujar sambil lalu, pergi ke dapur untuk mengambil sebotol air mineral dari kulkas.
"Apaan sih," Jeviar menyahut, tapi matanya yang dibebani oleh satu ton kantuk langsung terbuka lebar-lebar setelah dia melihat notifikasi yang tampak di layar ponselnya. "ALAMAK!!!! MATI DAH GUA!!!"
"Kenapa sih?" Faris penasaran.
"Salwa nelepon. Dua puluh tiga kali missed calls."
"Sabar, bro."
"SABAR APAAN?!! GUE BAKAL MATI HARI INI!!!"
"Yaudah. Kalau udah mati kabarin gue. Biar gue bisa pesenin tenda sama papan nisan."
"Anying."
Adrian muncul kembali di hadapan mereka, kali ini dengan botol air mineral di tangannya. "Beresin. Pokoknya gue nggak bakal ngizinin lo berdua keluar dari sini kalau lo berdua nggak ngeberesin kekacauan ini."
"Lebay lo."
"Beresin." Adrian menegaskan lagi. Dia sudah ingin mengeluarkan gerutuan panjang pendek ketika mendadak ponselnya bergetar. Hanya satu kali, tanda ada pesan yang baru masuk. Sambil masih sesekali meneguk air mineralnya, Adrian melakukan swipe satu kali pada layar ponsel. Ekspresi wajahnya sempat bergejolak sedikit begitu dia menyadari jika pesan tersebut datang dari Aries.
From : Aries
I'm so sorry for what happened last night.
I promise it won't happen again.
Oh ya, bisa ketemu siang ini? Gue nggak akan macem-macem. Gue janji.
Adrian mengerutkan keningnya, mencerna dengan teliti tiap kata dari pesan pendek yang baru saja dia terima. Setelah berpikir sebentar, cowok itu akhirnya memutuskan mendial nomor lain. Nomor ponsel Hana.
***
Azalea berjalan melintasi halaman luas dari bangunan toko buku besar yang berada di hadapannya. Setelah hampir setahun meninggalkan ibukota, kondisi Kota Jakarta masih saja sama. Panas, berdebu dan berdenyut nyaris tanpa henti. Setelah landing di Soekarno-Hatta menjelang siang tadi—dia bukan tipe orang yang mudah membuang uang untuk sebuah penerbangan dari Jogjakarta ke Jakarta, namun Azalea tidak merasa dia bisa menunggu lama untuk segera bertemu dengan Adrian—gadis itu langsung pergi ke rumah Adrian. Tetapi ternyata Adrian tidak ada disana. Kakaknya, Abby, mengatakan bahwa sudah beberapa bulan terakhir Adrian memilih tinggal sendirian di sebuah unit apartemen yang segedung dengan Faris. Mengetahui niat Azalea mengejutkan Adrian dengan kedatangannya yang tiba-tiba, Abby meminjamkan kartu akses penghuni yang kerap keluarga mereka gunakan untuk mengunjungi Adrian.
Rasanya dada Azalea ingin meledak karena disesaki oleh berbagai macam perasaan yang sukar dia artikan. Namun sebelum pergi menyambangi Adrian di apartemennya, Azalea memutuskan mampir sejenak di toko buku yang terletak tidak jauh dari kafe tempatnya bekerja dulu.
Setelah kebakaran yang terjadi setahun yang lalu, toko buku itu tidak banyak berubah. Meskipun sekarang bangunannya sudah lebih besar karena renovasi ulang. Hampir tidak ada jejak-jejak yang menunjukkan bahwa pada lokasi tersebut pernah terjadi kebakaran yang merenggut korban jiwa. Tapi selamanya, kenangan itu akan tetap ada. Paling tidak, bagi Azalea.
Berjalan ke muka teras gedung yang terlihat cukup ramai karena akhir pekan, Azalea mengabaikan pandangan beberapa orang yang tertuju padanya. Begitu sampai di puncak anak tangga teras, gadis itu membungkuk, meletakkan setangkai bunga alamanda berwarna kuning dengan begitu hati-hati di atas lantai keramik yang mengilat. Pelan, dia berbisik. Hampir tidak terdengar karena begitu halus, seperti udara bahkan mampu meredam suaranya.
"I hope you're happy now, sissy."
Beberapa orang yang lewat menatapnya, tetapi Azalea tidak peduli. Setelah meninggalkan setangkai alamanda itu disana, Azalea berbalik dan berjalan pergi. Dia merogoh sekali lagi saku jaketnya untuk memastikan kalau kartu akses yang dipinjamkan Abby masih berada disana, kemudian tangannya terulur untuk menyetop taksi yang kebetulan melintas.
Perjalanan menuju apartemen Adrian yang berada di daerah pusat bisnis terasa memakan waktu yang cukup lama. Kemacetan khas akhir pekan adalah salah satu penyebabnya. Pada hari-hari biasa, mungkin Azalea akan berpikir lebih dari dua belas kali untuk mengeluarkan jumlah uang yang begitu besar hanya untuk menemui seseorang—tapi mengingat orang yang akan dia temui sebentar lagi adalah Adrian, rasanya semua pengorbanannya terbayar. Azalea bahkan tidak akan menyesal sekalipun seluruh tabungan yang sudah dia kumpulkan harus ludes hingga tidak bersisa.
Akhirnya, dia berhasil tiba disana. Ketika melewati lobi, berbagai memori tak pelak bermunculan mengisi pikirannya. Tentang Adrian dan hoodienya yang basah oleh jejak darah. Tentang pertemuan-pertemuan awal mereka yang lebih banyak diwarnai perdebatan. Hingga Adrian yang sempat mengucapkan sepotong kalimat 'hati-hati' sebelum dia menutup pintu taksi yang akan membawa Azalea pulang setelah insiden pingsan tidak elit yang terjadi di pelataran kafe.
Kenangan itu mengalir deras, membuat hati Azalea terasa hangat.
Berbekal petunjuk dari Abby dan ingatannya ketika diantar sampai ke dalam taksi oleh Adrian setahun lampau, Azalea masuk ke dalam lift, berhenti pada lantai tempat unit apartemen Adrian berada, kemudian menyusuri koridor untuk mencari nomor unit yang dimaksud. Setelah menemukannya, tanpa menunggu lagi Azalea menggesekkan kartu akses pada slot yang tersedia. Pintu langsung terbuka, menampilkan kondisi apartemen yang rapi dan terselimuti oleh kesunyian.
"Adrian?"
Azalea memanggil, tetapi tidak ada jawaban. Penasaran, gadis itu melangkah masuk lebih dalam. Mulutnya seketika berdecak begitu dia melihat sisa sampah puntung rokok dan kotak pizza di dalam tempat sampah dekat dishwasher. Adrian tidak mungkin merokok. Itu pasti ulah beberapa temannya yang serampangan itu, kata batin Azalea.
Tapi apartemennya sangat rapi. Ada rak tinggi tempat Adrian memajang beberapa hasil karya buatannya. Ada poster dan gambar tugas yang dibingkai dan tergantung di tembok. Begitu indah, tertata dan memanjakan mata. Azalea tersenyum sebelum beralih pada sebuah pintu yang tertutup di sisi kanan ruang tempatnya berdiri. Pintu itu pasti pintu kamar Adrian.
Sempat ragu, Azalea memutuskan untuk meraih kenopnya. Dalam sekali dorongan, pintu itu terbuka. Kamarnya kosong. Mungkin Adrian tidak ada di apartemen. Mungkin dia sedang pergi ke minimarket atau berada di unit apartemen Faris? Mungkin saja. Seharusnya Azalea langsung menutup pintu kamar itu kembali, tapi apa yang telah terlanjur dia lihat membuatnya mengurungkan niatnya.
Berbeda dengan ruang tengah apartemennya, dinding kamar Adrian dipenuhi oleh lukisan-lukisan yang tergantung. Bukan karya yang dia buat untuk memenuhi tugas kuliah, namun lukisan yang benar-benar dia buat sebagai ekspresi kecintaannya terhadap seni. Lukisan itu memuat satu objek yang sama; perempuan. Mata seorang perempuan. Bayangan seorang perempuan. Gambar punggung seorang perempuan yang menghadapi hamparan danau kehijauan. Sosok perempuan yang menatap pada cahaya kota di kejauhan. Perempuan diantara temaram lampu taman.
Melihatnya membuat Azalea hampir lupa bagaimana caranya bernapas. Bukan hanya karena karya itu begitu indah. Tetapi karena objek yang ada di dalamnya terasa amat familiar. Perempuan itu adalah dirinya. Adrian melukisnya.
Air matanya sudah nyaris berjatuhan ketika matanya mendadak terpaku pada satu arah. Pada sebuah kanvas dengan lukisan setengah jadi di atas permukaannya. Berbeda dengan kebanyakan lukisan lainnya, seraut wajah seorang gadis di dalam lukisan itu terasa asing. Kening Azalea mengernyit, dan lidahnya tiba-tiba kelu begitu dia menyadari bahwa wajah gadis itu bukan miliknya.
Wajah itu adalah wajah milik gadis yang lain. Wajah milik Aries.
Bersambung.
[][][]
a/n : hehehehe.
sudah kukatakan kan, kalian jangan membenci Aries.
wkwkwk.
buat yang nanya kenapa petra muncul
gini nih
kan kaya SM kan
suka nyelipin rookie nya yang belon debut di video klip sunbaenim yang sudah pada debut
Macem bekyun sehun jongin yang muncul di MV Twinkle
Nah, aku hanya ingin memperkenalkan sedikit si Petra :3
Trus
yaudalah ya gitu aja
OH YA GUE MAU CERITA
jadi ya sodara-sodara.
hari ini dengan ngenesnya atm gue ketahan di mesin atm. di telen gitu loh.
jadi kan gue udah ga punya duit sama sekali nih. terus gue indomaret. gara-gara nonton mukbang, gue mau masak ramyun dikasih mozarella gitu di atasnya. jadi gue beli bahan-bahannya di indomaret kan. ehhhh abis belanja gue mau ambil duit. ditelan dah kartu gue. kampret.
gue nanya ke mbak indomaret, katanya suruh hubungi halobca
yaudah gue hubungi
eeeeeeee katanya kartu gue akhirnya di blokir dan kalau mau cetak kartu atm kudu bawa ktp sama buku tabungan ke cabang bca terdekat.
masalahnya
e ktp sama buku tabungan gue ketinggalan di rumah ((iya goblo gue tau))
mana laper banget gils gue belom sarapan. di kost udah nggak ada makanan. udah ga pegang duit pula.
terus gue juga belom beli tiket buat balik
terus ku sedih
telpon temen-temen ehhhhh pada masih molor. kan kampret.
terus gue hampir mewek sambil ditelpon bokap, soalnya beneran melas gue laper banget tau :(
akhirnya bokap transfer ke temen gue
gue ambil duit di temen gue
nah ini bentar lagi gue mau bikin telor ceplok mozarella
yaudahlah ga berfaedah
intinya waspadalah
jangan sampai kartu atm anda tertelan
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top