#25
Adrian tidak mengatakan apapun soal tindakannya yang pergi tanpa pamit ke rumah Ayah Azalea menjelang tengah malam, namun ketika gadis itu bangun keesokan harinya, dia tetap tahu. Tentu saja. Siapa yang dikiranya akan bertanggung jawab soal zipper clutch berisi gambar Alamanda—yang hilang begitu saja tanpa jejak dari atas meja? Adrian tengah berdiri di balkon, menatap pada hamparan jingga langit Kota Jogjakarta di kala subuh ketika Azalea melangkah mendekatinya dengan mata masih digelayuti kantuk.
"Adrian,"
Adrian tidak langsung menjawab. Cowok itu membuang beberapa detik untuk menyesap teh hangat dalam cangkir. Jenis layanan kamar yang tidak akan diantarkan jika Adrian tidak memintanya—dan tentu akan terkena charge biaya ekstra untuk itu.
"Good morning."
"Don't good morning me." Azalea menarik napas. "Gambar Manda. Lo simpan dimana?" Agak janggal untuk langsung menebak kemana Adrian membawa gambar tersebut, tapi orang ini adalah Adrian. Azalea sudah mengenalnya cukup lama—oke, mungkin tidak terlalu lama—tetapi jelas dia tidak sebodoh itu hingga tidak bisa menebak kemana Adrian mungkin akan membawanya. Adrian bukan tipikal orang yang suka bercanda dengan menyembunyikan barang. Candaannya adalah jenis canda yang akan jarang sekali membuat orang lain tersinggung—karena dia memang sepengertian dan semenghargai itu.
Adrian menghabiskan beberapa jenak untuk menatap lurus ke depan, pada langit yang berangsur-angsur semakin terang menyambut datangnya matahari yang hendak bangkit dari peraduan. Waktu yang cukup bagi Azalea untuk mengamati kesempurnaan wajah cowok itu. Segala lekuk pada dirinya terlalu bagus untuk jadi kenyataan. Seandainya saja dia tidak berkedip... seandainya saja rambutnya tidak bergoyang ditiup angin... akan sulit membedakan apakah dia manusia atau patung lilin hasil karya maestro seni ternama.
"Adrian, jawab gue." Azalea mendesak, nyaris dengan nada setengah memohon yang membuat Adrian berdehem sebelum menolehkan kepalanya untuk memandang mata gadis itu. Tatapannya lekat. Tetapi tidak hangat seperti biasanya. Ada dingin membias disana, seperti iris hazel itu tengah menyimpan rahasia.
"Lo butuh tidur lebih banyak." Katanya pendek, perhatiannya terarah pada bayangan hitam di bawah mata gadis di depannya. "Tidur, Lea." Ujarnya lagi, kali ini dengan nada lebih lembut.
"Jangan bilang kalau lo—"
"Dimanapun gambar itu berada, yang jelas sekarang dia berada di tempat yang seharusnya." Adrian meletakkan cangkirnya di atas pagar balkon, lantas berjalan mendekati Azalea. Tangannya yang besar menangkup salah satu pipi gadis itu—dan di luar dugaan, tangannya terasa hangat. Berbanding terbalik dengan udara dingin pagi yang serasa menggigit kulit Azalea. Dia memejamkan mata, mencoba mencari tahu bagaimana caranya bernapas dengan baik dan benar sementara tangan Adrian melekat di salah satu sisi wajahnya.
"Adrian,"
"Lo mau jalan-jalan lagi?" Adrian mengabaikan gumam yang terlontar dari mulut Azalea. " Atau... mau pulang ke Jakarta hari ini? Lo bisa tidur sampai siang. Malas-malasan. Habis itu kita pergi ke pusat oleh-oleh dan cabut ke Jakarta. What do you want to do?"
Azalea ingat bagaimana Adrian berkata padanya untuk mengambil waktu sebanyak yang dia inginkan—dan bagaimana mereka masih punya waktu beberapa hari sebelum minggu tenang berakhir dimana mereka harus segera kembali ke Jakarta untuk menjalani rutinitas akademik masing-masing. Melihat bagaimana cowok itu memberikan kata pulang ke Jakarta sebagai salah satu pilihan menelusupkan sebaris perasaan tidak enak ke dalam benaknya. Apa yang sesungguhnya telah dilakukan oleh Adrian semalam? Kemana gambar itu menghilang? Terlebih lagi, apa yang terjadi hingga cowok itu tampak begitu pucat.
Yah, untuk pertama kalinya Azalea menyadari bahwa Adrian terlihat tidak sebaik yang seharusnya. Wajah cowok itu pucat. Matanya terlihat lelah. Dia mungkin hanya tidur satu atau dua jam—atau bahkan tidak tidur sama sekali. Untuk yang kesekian kalinya, Azalea menarik napas panjang sebelum membawa tangannya naik. Dia menurunkan tangan Adrian dari pipinya, lalu balik memeluk cowok itu sebagai gantinya. Mulanya, Adrian sempat terkejut, namun tak urung tangannya turut terangkat, balik memeluk gadis itu.
Rasanya nyaman. Hangat dari Adrian melindunginya dari terpaan udara pagi yang mendirikan bulu kuduk. Azalea bernapas sepuasnya, menghirup segala macam aroma yang menyapa indera penciumannya, entah itu sisa aroma shower gel, parfum, keringat, segala hal yang tidak pernah gagal membawanya pada bayangan sosok familiar bernama Adrian. Kombinasi harum yang tidak akan pernah dia temukan dimanapun, bahkan pada bau yang menyapa udara setiap kali derai hujan pertama menghempas tanah yang kering. Wangi cologne favoritnya.
"Gue nggak tau apa yang sudah lo lakukan, but... thankyou." Azalea berbisik, mengirimkan kelegaan yang mengalir menuruni tulang belakang Adrian. Awalnya, dia mengira Azalea akan marah karena dia sudah mengambil keputusan secara sepihak—yang mana jika Adrian harus menambahkan, dia juga sudah menceburkan diri tanpa izin ke dalam urusan keluarga orang lain. Tetapi jika mengingat bagaimana pembicaraannya dengan laki-laki setengah baya itu semalam, Adrian sama sekali tidak menyesal sudah melakukan tindakan nekat semacam itu.
Sampai kapanpun, dia tidak akan membiarkan Azalea bertemu dengan pria itu. Pria itu tidak berbagi apapun dengan gadis yang dia cintai selain ikatan darah. Tidak ada apapun yang menyebabkan Azalea pantas memanggilnya dengan sebutan 'Ayah' selain fakta bahwa lelaki itu adalah salah satu penyebab mengapa Azalea dapat tercipta.
"I'm so sorry." Adrian balik bicara. "Hanya saja, gue capek. It's tiring to see the woman I love constantly suffers because of the same thing over and over again.If only I could wash your pain away."
Azalea melepaskan pelukannya, kemudian menengadah untuk memandang Adrian tepat di mata. Detik berikutnya, tanpa bisa Adrian duga, cewek itu berjinjit. Sebuah kecupan yang mungkin tidak berlangsung lebih dari sedetik menyapa bibirnya, membuat Adrian tenggelam dalam keterkejutan tiada kira.
"You did." Azalea tersenyum makin lebar. "Okay. Let's going back home. Tapi jangan hari ini. Gimana kalau... besok?"
"Besok?" Kening Adrian berkerut sebentar. "Oke. Jadi hari ini, kita mau kemana?"
"Stay with me in bed a whole day."
Adrian hampir tersedak.
Seperti mampu mengerti kemana pikiran Adrian bermuara, Azalea tertawa keras. "Bukan dalam artian itu. But well, let's forget the world for a while. Untuk sebentar, biarkan hanya ada... lo dan gue. Kita."
Sebelum mengangguk menyetujui, Adrian memandang gadis di depannya dengan ekspresi yang sukar dibaca. Namun akhirnya, dia melebarkan sebuah senyum. Satu ulas tarikan di wajah yang mampu membuat lutut Azalea melemas seperti baru dihantam peluru karet.
"Sounds like a good idea."
***
Untuk pertama kalinya, Adrian menyesal karena sudah setuju menyewa kamar dengan double bed. Masing-masing dari ranjang itu terlalu kecil untuk dapat diisi oleh mereka berdua, hingga akhirnya setelah perdebatan panjang, keduanya memutuskan membangun sendiri istana bantal mereka di atas hamparan karpet tebal. Hari itu, tidak biasanya, hujan turun deras mengguyur hampir sehari penuh. Curahan air dari langit menurunkan suhu secara drastis, membuat siapapun tentu jadi malas beraktivitas. Mereka beruntung layanan kamar mampu mengakomodasi apapun yang mereka butuhkan—dari mulai makanan hingga hal remeh seperti selimut tambahan. Yah, meskipun kelihatannya pegawai hotel yang melayani mereka sempat mengerutkan kening begitu melihat tumpukan bantal di atas karpet.
Bagi seorang introvert seperti Azalea, dia tahu bahwa menghabiskan waktu untuk diri sendiri di dalam kamar bersama hal-hal yang dia sukai adalah sesuatu yang sellau berakhir menyenangkan. Hanya saja, dia tidak pernah tahu bahwa aktivitas favoritnya itu bisa semenyenangkan ini. Berbagai jenis hidangan, dessert, keripik kentang, soda, televisi yang menayangkan siaran film-film komedi lawas dan... Adrian.
Berbaring berbantalkan bahu pemuda itu jelas adalah pengalaman paling nyaman yang pernah Azalea rasakan sejak dia menghirup udara di dunia. Atau mungkin salah satunya. Entahlah, apapun itu.
Setelah selesai bermain kartu—dimana mereka yang kalah harus mengambil satu suap makanan sampai akhirnya makanan di piring masing-masing habis—keduanya berbaring bermalas-malasan di atas karpet. Suara derai hujan di luar sana masih terdengar ribut, menyaingi kerasnya volume televisi yang masih mendengungkan canda yang entah mengapa masih tetap saja terdengar lucu walaupun berpuluh tahun sudah berlalu. Adrian terlihat membaca sesuatu melalui tab di tangannya, sementara Azalea berbaring di dekatnya, masih bertumpu pada bahu milik lelaki itu. Matanya diam-diam ikut membaca apa yang tertera di layar tab yang tergenggam di tangan Adrian.
"Pantone?" salah satu alis Azalea terangkat. "What is Pantone?"
"Standar warna. Lo tau, ada banyak warna dan untuk memastikan bahwa warna versi cetak sama dengan warna versi digital, ada semacam standardisasi. Dan pantone adalah salah satu yang paling populer."
Mata Azalea tidak lepas menatap pada layar tab. "The colors are pretty. I like those one." Ujarnya, menunjuk pada salah satu kotak warna berbentuk persegi.
"Dusty cheddar? Yeah, it is indeed pretty." Adrian terdengar senang. Tentu saja. Salah satu orang yang kini paling berarti baginya menunjukkan ketertarikan yang besar pada spektrum warna—dimana warna adalah salah satu komponen terpenting dalam bidang yang dia geluti. "But I think this one suits you better."
"What is it?"
"Rose quartz."
"Sounds like gems' name."
"Indeed." Adrian mulai menerangkan lagi. "Rose quartz is often called as the love stone. It is a stone for every type of love like self-love, family, platonic, romantic and unconditional love. Rose quartz is used to raise self-esteem and a strong sense of self-worth. It's loving energies teach us to apply this love to ourselves and thereby find ourselves more worthy. Bringing love in to life and lower stress, rose quartz is a very happy and loving stone."
"Wow. Gue nggak pernah tahu kalau maknanya sedalam itu."
Adrian tertawa. "Just like you. I know that deep down inside, you're a very happy and loving person. You just have to know that you're worth it."
Azalea membisu.
"I know you love me. Dan mungkin ini akan terdengar sangat egois," Adrian memberi jeda. "But before you love me, please love yourself first."
"Pujangga kesiangan." Azalea mencerca tanpa melihat, yang justru membuat gelak Adrian mengeras.
"Wanna know something about seahorses?"
"Em, tell me."
"Kuda laut itu ikan."
Azalea mendengus. "Udah tau."
"Maksud gue, dia termasuk salah satu dari sedikit ikan yang paling setia. Lo tau, kuda laut cuma kawin sekali seumur hidup."
"Kayak merpati?"
"Kurang lebih kayak gitu."
"Terus apa lagi?"
"Hm. Kuda laut betina nggak hamil. Yang hamil kuda laut jantan."
"Wah, keren juga. Coba sekali-kali manusia juga bisa switch gitu. Jadi para lelaki tau gimana susahnya jadi cewek. Dari mulai tamu nggak diundang yang datang tiap bulan sampai masalah hamil dan melahirkan. Gue nggak yakin kaum lo bakal sanggup."
"Emang lo pernah hamil?"
"Yah, enggak juga sih. Tapi berdasarkan cerita," Azalea mencoba berargumen. "Hamil itu nggak enak."
"Tapi toh cewek tetep mau juga kan."
"Karena begitulah cewek." Azalea menyahut cepat. "We are willing to give everything to make our significant others happy."
"Well then, maybe someday I'll become the happiest husband ever in Earth." Adrian terkekeh. "Kalau isterinya lo."
Wajah Azalea memanas. "Stop it. Tapi kenapa ya, kalau kuda laut sama setianya kayak merpati, kenapa merpati lebih seiring dipajang di undangan nikahan daripada kuda laut?"
"Karena majang kuda laut di undangan nikahan bakal terlihat konyol?" Adrian mengernyitkan dahi.
"Tapi kan lucuan kuda laut."
"Kalau secara estetik kayanya sih bagusan merpati." Adrian tidak setuju. "Soalnya liat aja bentuk kuda laut. Licin, berlekuk, basah, amis. Sumpah, nggak ada romantis-romantisnya sama sekali."
"Gue lebih suka kuda laut."
"Kalau lo nikah sama gue, di undangannya tetap nggak boleh pake gambar kuda laut."
"Yaudah, kalau gitu gue nggak usah nikah sama lo."
Adrian melotot. "Cuma gara-gara kuda laut?!!"
"Bukan cuma. Kuda laut tuh lebih lucu dari merpati."
"Yaudah. Untuk jalan tengah, pake burung mockingbird aja."
"Mockingjay deh sekalian."
Adrian mendengus. "I'm not a big fan of Katniss Everdeen."
"Loh, kenapa? Dia kan strong."
"Strong, tapi bego. Kejebak cinta segitiga. Terus galau."
"Siapa yang nggak bakal kejebak cinta segitiga kalau dikelilingi cowok-cowok hot kayak Peeta dan Gale?"
"Dia seharusnya nggak perlu sebimbang itu. Tinggal pilih orang yang benar-benar cinta sama dia. Selesai perkara. Nggak perlu dua-duanya dicipok juga. Itu namanya kemaruk dan ngasih harapan palsu."
"Dih, enggak gitu!" Azalea merengut, membuat Adrian harus mati-matian menahan diri untuk tidak mencium puncak kepala gadis itu—yang mana sangat mudah karena dia hanya perlu menundukkan kepalanya. "Peeta sama Gale sama-sama cinta ke Katniss tau."
"Peeta sih iya. Tapi Gale enggak."
"Tau darimana?"
"Gale kan teman nongkrong gue tiap kali main di Sevel."
"Gak lucu."
"Dih, ngambek." Adrian terkikik. "Have you watch Grey's Anatomy? Well, Gale didn't love her. Gale just didn't want to be alone. And Katniss made him feel better about his miserable life, but he didn't love her. Because if he loved her, he wouldn't destroy her. Because simply, you don't destroy people you love."
Azalea terdiam.
"He killed Katniss' sister. Directly or indirectly, it wasn't the matter. But indeed, he destroyed her."
Azalea masih terdiam. Lalu mendadak, dia menengadah untuk menatap Adrian yang balik menunduk untuk memandangnya.
"Then, I must be not in love with you."
Alis Adrian terangkat. "Why?"
"Because I destroyed you. I dragged you down along with all of my family problems." Azalea menukas lesu. "I'm so sorry for that."
"Still my silly Azalea." Adrian berbisik, kemudian menunduk lebih dalam. Tidak sampai sedetik kemudian, jarak diantara bibir mereka telah terpisah. Azalea menarik napas, merasakan bibir pria itu di atas bibirnya sebelum memejamkan mata. Ciuman pria itu terasa lembut, seperti tengah mencoba meyakinkan bahwa dia layak dicinta. Seolah ingin membasuh semua luka hingga tak bersisa.
Bersambung.
[][][]
a/n : Hehehehe.
Ini adalah episode terakhir Jogja.
Next chap, kita akan kembali bertemu dengan geng kambing gunung.
Dan Raya
Yang sudah putus dari J
(gak official putus sih tapi ya udah mo putus lah wkwkwkw)
Juga dnegan Hana
Yang lagi happy.
Tapi mungkin ini adalah terakhir kali lo melihat Azalea dan Adrian sedekat ini.
Wkwkwkwkwk.
Next chap, konflik akan resmi dimulai.
Maafkan aku, tapi ku harus melakukan ini.
Bie.
Ciao.
Hv a good day
BTW LAGI MO MATEK AH GILA NOVEMBER MASIH DUA MINGGU LAGI KELAR TOLONG AKUH TOLONG
Sumpah S2 gue gak akan lagi lagi ngambil teknik :( sumpah bayangin yah mata kuliah gue cuma ada enam biji tapi total kelompok ada sembilan akutuh gabisa diginiin beneran nggak bisa :(
Oke curhat.
s2 aku akan caw ke koriya ambil business oke semua bilang apa? AAMIIINNNNNNNN!!!
oke maafin.
semoga kalian semua yang masih SMP dan SMA semakin berbahagia.
Yang udah kuliah
senyuman jha KL Y
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top