#19

Cleo terbangun ketika dia merasakan udara dingin membelai-belai ujung kakinya—tentu saja itu adalah sebentuk hawa beku yang asing dan bukan berasal dari air conditioner kamar apartemennya. Gadis itu mengernyit, mengerjapkan matanya yang digelayuti kantuk dengan susah payah. Keningnya berlipat makin dalam tatkala dia menyadari bahwa pintu balkonnya terbuka, dan dari ranjang tempatnya terbaring, dia bisa melihat punggung lebar Faris. Kaus putih yang membalut tubuh cowok itu terlihat kontras pada latar belakang langit malam Jakarta dan ratusan lampu beraneka warna dari pusat keramaian kota yang seolah berdenyut tanpa henti.

Cleo bangkit sambil menarik selimut hingga bagian atas dadanya, kemudian meluruskan tangan untuk merenggangkan persendian yang terasa kaku. Well, malam ini tidak berbeda dengan malam-malam sebelumnya, dimana Faris akan menginap di apartemen Cleo. Waktu yang bergulir akan terbuang seiring dengan penat keduanya yang terlampiaskan. Tanpa rasa, hanya sebatas penyatuan tubuh belaka. Cleo tahu apa yang dilakukannya mungkin akan membuat terkutuk menjadi penghuni kerak neraka terdalam, namun dia tidak peduli. Dia hanya ingin, meskipun hanya sejenak, dia bisa melupakan bayangan lelaki itu.

Bayangan orang yang tidak diragukan lagi masih dia sayangi setengah mati walaupun orang itu lebih memilih bersama dengan hati yang lain.

Membungkus dirinya serupa ulat dalam kepompong, Cleo beranjak turun dari tempat tidur. Dia baru berniat menghampiri Faris ketika mendadak ponsel Faris berdering. Cleo mengurungkan keinginannya, dan alih-alih langsung mendekati cowok itu, dia justru melangkah perlahan menuju ambang pintu. Sepercik rasa penasaran muncul dalam benaknya—siapa yang akan menelepon Faris pada dinihari seperti sekarang?

"Oit, kenapa?" Faris menyahut telepon yang masuk tanpa menunggu deringan kedua, mengaktifkan fitur loudspeaker hingga dia tidak melulu mesti menempelkan ponsel pada telinga.

"Gue nggak ngira lo masih bangun." Cleo mengenali suara itu. Itu suara Adrian, salah satu teman Faris yang sikapnya paling sulit dia terka. Tidak seperti Jeviar yang akan langsung menunjukkan sikap antipati setiap kali bertemu dengannya—seolah cerita masa lalu mereka adalah noda yang tidak pernah mau cowok itu ingat—Adrian lebih banyak diam. Beberapa kali, Cleo sempat merasa bagaimana Adrian menatapnya dengan jenis pandangan yang sukar didefinisikan. Dan bahkan sampai sekarang, Cleo tidak pernah bisa menebak bagaimana sebenarnya cara Adrian memandangnya.

"Biasa lah, bos. Kenapa?"

"Gue di Bandung."

"Melipir ke hotel ya? Hahaha." Faris tertawa garing. "Jadi, lo udah nggak perawan lagi dong?"

Cleo tidak terkejut mendengar respon Faris. Mereka sudah saling mengenal dalam rentang waktu yang terhitung cukup lama, membuat Cleo tidak lagi kaget karena dia sudah melihat bagaimana Faris bertransformasi dari seorang anak kecil yang hobi membeli permen lolipop jagoan neon hingga playboy kampus yang dikenal karena gaya hidup one night stand-nya. Sebuah reputasi yang tidak jauh berbeda dengan Jev, meskipun mereka punya gaya yang berbeda dalam urusan ranjang. Jika diibaratkan dengan lagu, energi yang seorang Jeviar Mahardika miliki mungkin serupa dengan musik cadas ala band Metallica, sementara Faris... cowok itu terkesan mendayu-dayu. Seperti petikan gitar lagu indie yang biasa Cleo dengarkan kala hujan turun.

Atau mungkin Faris hanya bersikap seperti itu padanya? Entahlah.

"Otak lo sampah banget." Adrian menggerutu. "Lea sakit. Gue nggak mungkin ngebiarin cewek sakit tidur di mobil. Jadi gue mikir lebih baik kalau kita stop bentar di Lembang."

"Ke hotel?"

"Menurut lo aja gimana, tong."

Faris terkikik. "Biar gue tebak. Sekamar berdua?"

"Nggak ada double bed. Sori-sori ya, gue nggak kayak lo yang pikirannya langsung jelek cuma gara-gara sebatas ngeliat paha cewek."

"Berarti lo liat pahanya dia dong? Ihiw."

"Ris."

"Iya, Pangeran Bavariaku?"

"Lo minta ditonjok banget sih."

"Buset. Bercanda, Jenderal. Sensi amat sih lo."

"Don't talk about her like she is a whore." Adrian mendengus di seberang sana. "Lo tau, sama kayak Jev yang nggak suka ngedenger Raya disama-samain sama cewek-cewek yang pernah dia ajak 'main', gue pun begitu."

"Apa yang gue lakuin ke Jev kan beda lagi."

"Maksudnya?"

"He is free to talk about Cleo all he wants. So in return, I'm also free to talk about Raya in the way I want. Yah, tapi gue nggak sejahat dia sih. I won't call Raya a whore just like he did with Cleo."

"Because Raya is not a shallow girl who has nothing to offer but her body."

"Neither of them are shallow." Faris berkata tegas.

"I know, but somehow, that Cleo girl confuses me."

"No wonder, bro. It took a long time for me to understand her." Faris mengedikkan bahu. "Sebenernya kenapa lo tumbenan nelpon gue malem-malem gini?"

"Grup sepi. Edgar kayaknya udah tidur. Begitupun Jev. Atau yang lain."

"Oh, jadi gue hanya pilihan terakhir ketika yang lain nggak available ya?" Faris memasang wajah sok merengut. "Aku terluka, Mas."

"Wanna ask you something."

"Hm. Apa? Merek kondom yang bagus? Atau morning pills?"

"Sampah banget pikiran lo. Gue serius nih."

"Yeu, gue juga serius."

"Ris, how do we know that we're in love?"

Pertanyaan dari Adrian bukan hanya berhasil membuat Faris terdiam, tetapi juga memicu Cleo berpikir. Gadis mengangkat salah satu alisnya, menghela napas sambil membiarkan suara detik dari jarum panjang jam dinding mengisi indera pendengarannya. Sunyi sejenak. Lalu dia mendengar suara deheman Faris.

"It's love when you think that's okay to be lonely and ache for her only. When you love her so much that you forget what hating yourself felt like. When silently, you beg her not to be in love with someone else."

Senyap lagi.

"Have you ever loved someone that deep?" Adrian bertanya.

Faris menatap gamang pada langit, lalu sehela napas berat terhembus darinya. "Yes, I have. And I am. I love her. So much till it hurts."

"Faris,"

"Hm?"

"I think I love her." Tak ada suara selama sepersekian detik. "I think I love that girl."

Faris tertawa kecil. "Just go for her."

"Should I?"

"Bro, listen. Kadang masalahnya bukan dia suka juga sama lo apa enggak, tapi sekarang atau tidak sama sekali. Mendingan dapat jawaban langsung hari ini daripada menunda-nunda untuk mendapatkan jawaban bertahun-tahun yang akan datang. Buang waktu. Buang tenaga. Dan buang-buang kesempatan."

"Gitu ya? If so, why wouldn't you tell her?"

"Siape?"

"Cewek yang lo taksir."

"Ribet." Faris terkekeh muram. "Lagian, gue udah tau dia bakal bilang apa sekalipun gue ngomong kalau gue suka sama dia."

"Kenapa gitu?"

"Because her heart belongs to someone else."

"Uh, kasian."

"Jangan ngeledek gue."

"Enggak. Yaudah. Gue cuma mau nanya itu doang sih. I have to make sure about my feelings. Lo tau... gue nggak pernah punya pacar sebelumnya. But I think I know now."

"Your confidence somehow confuses me." Faris menyentakkan kepala. "Gimana lo bisa langsung berpikir kalau lo suka sama dia? Gimana kalau dia hanya crush sesaat? Kayak Aries. Atau... Raya."

Adrian nyaris tersedak. "You know?!"

"Kelihatan jelas dari gimana cara lo menatap dia. Jev is a fool for he doesn't realize it. Untung aja sih lo masih tau batasan. Nggak boleh ada yang namanya penikung diantara kita-kita."

"Yah."

"Tapi serius, gimana lo bisa seyakin itu sama Azalea?"

"Because tonight, I think she is much more prettier than sunset sky."

"Cheesy banget, nyet."

"Call you later, Ris."

"Yoi." Dan hanya dengan semudah itu, percakapan diantara keduanya terputus. Cleo bisa melihat bagaimana Faris memang dekat dengan teman-teman yang dia kenal sesaat setelah dia memasuki bangku universitas—sebelumnya, Faris tidak pernah punya teman dekat laki-laki, sampai kemudian dia masuk SMA dan mengenal Rama disana—namun dia jelas tidak pernah mengira jika mereka memang sedekat itu. Kini, Cleo penasaran, apakah mantan kekasih dan sahabatnya pernah diam-diam membicarakan dirinya. Ah ya, dia juga ingin tahu tentang siapa orang itu. Siapa gadis yang tampaknya Faris sukai setengah mati.

Keheningan kembali menerpa, dan Faris lagi-lagi sibuk dengan sebatang rokok yang terjepit diantara jari-jari tangan kanannya. Satu hal lainnya yang tidak pernah Cleo mengerti adalah kebiasaan cowok itu. He smokes after he fucks her. Selalu sendirian, hanya bertemankan kesepian. Cleo selalu penasaran, dan dia pikir malam ini adalah momen yang tepat untuk bertanya.

"Was that your friend?"

Faris kelihatan terkejut. Cowok itu tersentak sedikit seraya menolehkan kepala, hanya untuk mendapati Cleo berdiri di ambang pintu balkon. Selimut tebal membungkusnya serupa selubung kepompong, membuatnya jadi terlihat begitu ethereal. Faris hampir bisa membayangkan bagaimana tangannya akan menyapukan kuas berlumur cat ke atas kanvas untuk menangkap keindahan tak terkira yang berada di hadapannya sekarang.

"You heard us." Katanya singkat. "Tadi itu Adrian."

"How sweet. Dia benar-benar polos."

"Enggak sepolos yang lo kira juga sih." Sebuah geraman tertahan menderu di dasar tenggorokan cowok itu ketika Cleo melangkah hingga berada di sebelahnya. Helai rambut berantakan gadis itu jatuh di bahu, membuat Faris harus mati-matian menahan diri agar tidak merengkuhnya ke dalam dekapan. "Dia tahu semuanya. Maksud gue, he is indeed a virgin but it doesn't mean he sucks when it comes to seducing women."

Cleo mengerjapkan matanya, lalu menatap Faris dengan lembut sebelum meraih batang rokok dari tangan cowok itu dan mematikan bara yang masih menyala. Faris nyaris gusar tatkala melihat jejak hitam di atas pembatas balkon tempat Cleo mematikan api rokoknya, tetapi begitu melihat bagaimana Cleo tersenyum padanya, hatinya seketika mencair.

"Gue selalu penasaran, kenapa lo nggak pernah nggak merokok setiap kali lo menghabiskan waktu di tempat gue?"

"Because it's a normal thing to do."

"I don't think so." Cleo mengedikkan bahu. "Jeviar nggak pernah merokok. Dia hanya akan tidur sampai pagi, sambil memeluk gue."

This is the reason why Faris hates Cleo to death.

But also the reason why he loves her that deep, even almost eternally.

Faris memandang Cleo, lalu sebuah seringai tertarik di wajahnya. "I'm Faris Rafandra, not Jeviar Mahardika."

"Gue tau. Gue hanya penasaran."

"Hm." Cowok itu berdehem. "Because I want to. Sesederhana itu. Gue merokok karena gue pengen."

Cleo tidak langsung menyahut, dan sebelum cewek itu sempat membalas, hela napas pendek Faris telah terlebih dahulu menginterupsi.

"Get in. Nanti lo masuk angin." Ujarnya. Cleo tidak mengucapkan apa-apa, namun dia menurut. Sambil memeluk erat-erat selimut yang melilit tubuhnya, gadis itu beranjak masuk melewati ambang pintu balkon. Faris mengikuti, seraya matanya tertancap kuat pada punggung Cleo yang masih melangkah di depannya.

Oh, you'll never know, Cleo. You'll never know.

I do it to smoke my pain away. Because no matter how much close I get to explore your body, your heart would be remain untouchable. You'll never moan my name. It's never mine. But undoubtly, his.

However, it's okay. I hope you never ache like I ache. And you will never feel this pain that I feel.

***

Gue terbangun ketika jarum pendek jam dinding menunjuk pada angka lima. Langit di luar sudah mulai terang, dan udara yang dingin terasa semakin dingin. Gue mengerjapkan mata, kemudian mengeluarkan erangan pelan seraya bangkit dari atas ranjang. Sesuatu yang pertama kali menarik perhatian gue adalah tempat tidur di sebelah gue yang kosong. Kedua adalah sosok Adrian yang tidur di atas sofa. Ck. Jangan bilang kalau dia nggak tidur di atas kasur sama sekali sejak semalam. Kalau iya, fix gue nggak ngerti lagi soal dunia. Gimana bisa ada cowok yang kalau brengsek, brengseknya kebangetan—dan sekalinya ada yang baik, baiknya juga kebangetan.

Kepala gue terasa ringan. Sakit kepala yang kemarin melanda karena kurang tidur—juga terlalu banyak menangis—telah lenyap entah kemana. Gue berniat turun dari ranjang, lalu langsung bergidik ketika lantai yang dingin bersentuhan dengan telapak kaki. Butuh beberapa detik bagi gue untuk terbiasa dengan suhu yang berbeda jauh dengan suhu pagi hari di Jakarta, lantas meneruskan gerak dengan melangkah mendekati Adrian.

Sofa itu terlalu pendek untuk menampung seluruh tinggi tubuhnya. Kakinya menjuntai keluar melewati garis tepi sofa. Tangannya terlipat di atas perut, dan wajahnya terlihat luar biasa tenang. Tidak ada gurat ekspresi apapun disana. Hela napasnya pelan dan teratur. Gue berjongkok seraya bertopang dagu, menghabiskan bermenit-menit mengagumi sosoknya yang serupa patung pahatan maestro seni ternama. Anehnya, gue sama sekali nggak merasa bosan.

Tuhan pasti sedang tersenyum ketika Dia menciptakan makhluk ini. Gue memandang lengannya, lehernya, lekuk hidungnya, bibirnya yang terlihat agak sedikit terbuka. Dia terlelap dengan tenang. Seperti vampir yang menunggu untuk dibangkitkan. Ah, betapa picisan. Namun segala sesuatu yang ada pada Adrian begitu puitis. Sosoknya romantis, seperti untaian kata-kata menawan para pujangga. Sekarang gue mengerti kenapa banyak cewek di kampus yang bersedia melakukan apa saja hanya untuk disapa balik oleh cowok ini.

Aktivitas pagi hari gue terganggu ketika sebuah kerutan muncul diantara kedua alisnya. Lalu bulu mata itu bergetar, dan hanya dalam waktu sepersekian detik, sepasang iris mata sewarna lelehan karamel hangat langsung menyapa gue. Gue tercekat, dengan tergesa ingin segera beranjak. Tapi Adrian tidak membiarkannya. Dengan gesit, salah satu tangannya terulur menahan tangan gue untuk tetap berada dalam posisi jongkok. Tangannya yang lain menyentuh pipi gue dengan lembut. Matanya masih menatap sayu ketika dia bicara.

"You have colors in your cheeks." Bisiknya. "My baby is getting well."

Wajah gue terasa panas. Sembari berusaha keras menahan agar semu merah itu tidak menyebar terlampau luas, gue menarik tangan gue dari cengkeramannya. "Not your baby."

Adrian tertawa sambil bangun dari sofa. Gelaknya makin keras begitu dia melihat bagaimana gue menatapnya sambil cemberut.

"Nggak ada yang lucu." Ketus gue. "Kenapa lo malah tidur di sofa? Kan gue udah bilang kalau nggak apa-apa seandainya lo mau tidur di kasur."

"Meskipun lo bilang nggak apa-apa, tapi buat gue itu kenapa-napa." Adrian membalas. "Mau sarapan dulu atau naik perahu dulu?"

"Naik perahu?!" Gue melotot.

"Kenapa malah melotot?"

"Maksud lo, naik perahu di danau yang airnya hijau itu?!"

"Bukan. Di bak mandi."

"Nggak!" Gue berseru ngeri.

"Kenapa? Bukannya semua cewek seneng kalau diajak naik perahu?"

"Enggak!" Gue masih bersikeras. "Siapa yang tau apa yang ada di dala danau itu?! Gimana kalau ada buayanya?!"

Adrian terkekeh. "Lea, ini dunia nyata. Bukan film Alligator atau Anaconda."

"Pokoknya nggak!"

"Please?"

Gue berjalan menjauhinya. "Enggak!"

"Lo setakut itu sama air?" alis Adrian terangkat saat tawa gelinya mulai digantikan oleh ekspresi heran. "Gue baru kali ini nemu cewek yang nolak diajak naik perahu sama gue."

"Gue juga baru kali ini nemu cowok yang hobi maksa cewek naik perahu."

"But it's a funny thing to do. Di Jakarta kita nggak akan bisa naik perahu. Yah, paling bisanya naik getek di Ciliwung sih."

"I said no, Rian."

Mendengar ucapan gue, Adrian tercengang selama beberapa saat. Ekspresinya kentara sekali diliputi oleh keterkejutan, seolah dia baru saja melihat hantu. Gue menggaruk bagian belakang leher gue dengan salah tingkah, disusul ringisan canggung.

"Did I say something wrong?"

Adrian menggeleng. "Enggak. Cuma... nggak semua orang memanggil gue dengan panggilan itu."

"You don't like it?"

"No. I like it." Lalu seulas senyum kembali tertarik di wajahnya. "Lo mandi aja dulu. Gue bakal mesen sarapan."

"Oke."

Gila. Satu malam bersama Adrian benar-benar sukses bikin jantung gue jedak-jeduk. Gue bahkan sampai bingung harus bersikap seperti apa di depan dia—sesuatu yang sumpah, belum pernah gue alami sepanjang eksistensi gue yang sudah lebih dari dua dekade ini. Gila. Apa gue benar-benar udah jatuh cinta sama dia?

Bukan jatuh cinta yang sekedar jatuh cinta. Atau cuma sebatas suka. Lo tau, jatuh cinta yang gue maksud adalah ketika keberadaannya sudah jadi begitu berarti, sampai-sampai lo nggak ingat bagaimana cara lo menjalani hidup sebelum ada dia—dan bagaimana lo berpikir bahwa lo akan baik-baik saja selama lo bareng-bareng sama dia.

It's like, he makes me feel safe.

Setengah jam kemudian, kami sudah duduk bersebelahan di teras depan kamar dengan hamparan danau berwarna kehijauan. Warna hijau itu berasal dari lumut dan semak-semak juga pepohonan yang tumbuh di sekitar danau. Hembus angin serta komposisi warna yang tercipta dari langit, permukaan danau hingga pilar-pilar cokelat kamar membuatnya mata gue terasa sejuk—meski tentu saja, gue akan menghindari duduk di tepi teras sebisa mungkin. Air yang enggak bening selalu penuh dengan misteri. Gue hampir bisa membayangkan jenis makhluk apa yang mungkin hidup di dasar danau. Pasti makhluk-makhluk mengerikan kayak ular raksasa, satu koloni buaya atau... puteri duyung?

Ih, gila. Waras dikit kenapa sih, Azalea?

Gue menepuk dahi gue sendiri sambil menggerutu dalam hati, namun gerakan tangan gue sontak terhenti tatkala gue menyadari bahwa tatapan mata Adrian tengah tertuju pad ague sekarang. Cowok itu memandang lekat, hingga gue nyaris tersedak. Gue menggigit bibir salah tingkah, balik menatapnya dengan gelisah.

"Kenapa?"

Adrian menyendok bajigur di tangannya. "Nggak apa-apa."

"Bohong!" Gue berseru, malah jadi kalut. "Ada apa di muka gue? Pasti konyol, makanya lo sampe ngeliatin segitunya."

Dia membalas dengan suara lunak. "Enggak ada apa-apa, Lea."

"Adrian,"

"Hm, baby?"

"Berhenti manggil gue dengan sebutan konyol itu. Jijik."

"Bukannya lo sendiri yang bilang semalam kalau gue kayak baby sitter." Adrian terkikik. "It means, you are my big baby."

"Bodo." Decak gue.

Adrian justru menanggapi sikap defensif gue dengan tawa. Ketika tawanya habis, dia kembali menatap gue. Lagi-lagi dengan jenis pandangan yang masih sama. Sepasang iris hazelnya menyorot lembut, membuat gue berpikir bahwa gue akan meleleh jadi kubangan sewaktu-waktu.

"What are you doing to me?"

"Hah?"

"You've become my addiction."

Gue mencoba menata frekuensi detak jantung gue. Dengan lagak tidak peduli, tangan gue meraih sepotong tempe goreng, lalu menggigitnya. "Not funny at all, Arsenio."

Kemudian tanpa gue tebak, jarinya telah berada di bawah rahang gue. Dengan gerakan halus, dia membuat mata gue kembali menatap padanya. "It's not a joke."

"Gue nggak ngerti," Gue berkata dengan susah payah. Sial, sejak kapan bernapas jadi sebegini susahnya?

Adrian tertawa kecil. "A friend once told me about how much his girl loves petrichor. You know petrichor? It's a pleasant smell that frequently accompanies the first rain after a long period of dry weather."

Gue masih tidak bisa menebak kemana arah pembicaraan ini ketika dia kembali meneruskan.

"Lo tau, ketika gue merasa suka sama pacar sahabat gue sendiri, gue berpikir bahwa, terkadang dunia memang bisa sejahat itu. Apa yang lebih sakit daripada jatuh cinta sama orang yang nggak bisa lo miliki? I always wanted to have someone that I love and also love me in return. I wanted to know what it was like to be fed so much love, until I couldn't take any more. Just once. Once is enough."

Dia menghela napas.

"Then you came into my life. In a way I didn't expect at all. Slowly, you've become my addiction."

"Don't." adalah apa yang kemudian gue bisikkan.

"Why?"

"Karena ketika lo ngomong ini, gue tau lo nggak lagi berpikir jernih."

"How could you say that?"

Gue terdiam.

"I know I'm not good at telling stories. And I often don't make sense. And I frustrate you like a lot." Adrian memandang pada gue dengan dalam. "But I do like you."

"Adrian,"

"Please." Dia memotong. "Be my personal petrichor."

Gue nggak tau apa yang gue pikirkan ketika gue mencondongkan tubuh untuk memberikan satu kecupan di pipinya. "I like you too. I'm afraid that I'll get attached to you. And if I get attached, I'll be sad."

"You're lovely. There's no need to be sad."

Gue menggigit bibir. "Gue... nggak tau."

Ekspresi wajahnya berubah pahit. "You hurt me."

Gue menggelengkan kepala. "Plis, jangan marah."

"I'm not mad at you. It's just... you disappoint me." Secara tidak terduga, dia beranjak dari duduknya. "You're locked up in a cell that you made by yourself. And when I try to release you from that cell, when I try to bring you the key, you just look up for a second, then decide to go right back inside."

"Adrian," gue membisikkan namanya, tapi dia sepertinya tidak mau repot-repot membuang waktu mendengarkan ucapan gue. Adrian berdiri, kemudian memutar tubuh dan berjalan pergi begitu saja dalam langkah-langkah lebar. Gue menahan napas, merasakan perih yang menusuk dada seiring dengan punggungnya yang kian menjauh. Bagian terdalam hati gue berteriak, menyuruhnya berhenti. Namun anehnya, tidak ada suara yang keluar dari mulut gue. Gue menggigit bibir. Menghitung detik demi detik hingga dia berbalik. Tapi dia tidak pernah berbalik.

Air mata gue jatuh bertepatan dengan suara pintu yang ditutup. 




Bersambung. 

[][][]

a/n : WANG EUN MATI EUGH RASANYA PEN OBRAK ABRIK KORIA

oke. telat bat ya. tapi sumpah gue nonton itu tiga kali dan gue mewek tiga kali. iya gue memang #selemah #itu 

Ternyata Adrian bisa kesel juga yha. 

Hm, he is not like J that will give Raya space and time to think. 

Dah ah gamo kasyi bocoran. 

Bye bye. 

((di multimedia gue kasih sedekah buat lo pada))

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top