#14

Sudah tujuh hari berlalu sejak Alamanda tersempurnakan hilang dari dunia, dan gadis itu masih terus meraba, berusaha menemukan gravitasi yang menariknya berpijak ke tanah. Dia tidak lagi denial, sesuatu yang Adrian tidak mengerti apakah harus membuatnya senang atau justru khawatir. Azalea seperti kehilangan kemampuan untuk merasa. Kegiatannya memang kembali normal. Gadis itu pergi ke kampus, mengikuti kelas, berdiri di balik konter kafe setiap sore sebagai barista part-time. Namun ada saat-saat dimana Adrian melihatnya terdiam, pandangan matanya menatap ke awang-awang seperti tengah mencari secercah jejak milik seseorang diantara luasnya hamparan langit.

Entah kenapa, tanpa Adrian tahu penyebabnya, melihat Azalea yang seperti itu menimbulkan seberkas rasa nyeri dalam dadanya.

Maka dari itu, hari ini Adrian sengaja pergi ke fakultas Azalea untuk menjemput gadis itu—bukan seperti biasanya, dimana dia hanya akan mengikuti Azalea sepanjang jalan dari kampus hingga kafe tempat gadis itu bekerja paruh waktu. Dia melakukannya tidak untuk alasan romantis seperti pemeran utama pria dalam sebuah drama picisan, tapi karena dia menghormati Azalea. Gadis itu perlu pulih, dengan caranya sendiri dan usahanya sendiri. Mungkin dia juga butuh menangis, dan Adrian tahu, tidak ada orang yang suka terlihat lemah di hadapan orang lain.

Namun seperti janjinya, dia akan berada disana untuk Azalea. Azalea mungkin tidak tahu, tapi Adrian berada di belakangnya. Selalu. Tanpa pernah pergi.

Adrian menghabiskan waktu hampir setengah jam untuk menunggu di selasar kampus, ditemani oleh seekor anak kucing. Anak kucing yang sama yang dulu pernah membuat Azalea berlari masuk ke dalam hujan. Kakinya sudah tidak pincang lagi, meskipun langkah kakinya terlihat aneh. Mungkin tulangnya patah. Atau penyembuhannya tidak sempurna. Tapi di luar itu, kucing tersebut terlihat baik-baik saja. Sesekali dia mengeong pelan sambil melangkah pada ruang kosong diantara jari-jari tangan Adrian.

"Do you miss her?"

Kucing itu mengangkat kepalanya sedikit, memandang pada Adrian dengan matanya yang bening. Benar-benar murni, seperti mata anak kecil. Selama sejenak, Adrian seperti melihat kilas balik bayangan Alamanda dalam benaknya. Alamanda juga punya pandangan mata serupa bocah lugu. Mata yang selalu terlihat tersenyum, meskipun dia sama sekali tidak sedang tersenyum. Ah, mendadak Adrian merindukan anak itu.

"I do too. I miss her. And also her little sister," Jari Adrian bergerak, menggelitik bagian bawah rahang anak kucing tersebut. "But she needs time to heal. Sama kayak lo dan kaki lo. Semuanya perlu waktu untuk sembuh. Meskipun bekasnya akan selalu tetap ada."

Kucing itu seolah mengerti. Lagi-lagi, mulutnya menggumamkan ngeong pelan. Reaksi yang membuat Adrian tertawa.

"But in the end she'll be alright, won't she? Mungkin dia akan pincang kayak lo sekarang, tapi sakitnya nggak akan terasa lagi."

"Gue nggak tau kalau lo bisa ngomong bahasa kucing."

Sebuah suara terdengar dari belakang punggung Adrian, membuat kepala cowok itu tertoleh pada detik berikutnya secara otomatis. Adrian mengernyit, tetapi begitu mengenali siapa pemilik suara itu, senyum tipis langsung tertarik di wajahnya. Orang itu adalah Azalea. Seperti hari-hari sebelumnya, dia terlihat pucat hari ini. Rambutnya tergerai berantakan, membingkai wajahnya yang tanpa rona. Sweater berwarna merah hati dengan bordir kepala tokoh kartun Mickey Mouse di bagian depan membalut tubuhnya. Benar-benar bukan khas gaya Azalea, dan hanya butuh waktu sebentar bagi Adrian untuk menyadari kalau baju itu adalah baju milik Alamanda.

Yah, karena walaupun mereka bersaudara, mereka serupa kutub magnet yang berlawanan. Alamanda menyukai seni dan warna. Azalea lebih suka berdiam diri dengan telinga tersumpal earphone atau membaca buku dengan deretan paragraf padat. Alamanda akan memakai bando untuk menyangga rambutnya. Atau jepit dengan desain menggemaskan dan bentuk yang feminin. Azalea tidak. Satu-satunya aksesoris rambut yang dia miliki mungkin hanya karet polos dengan warna senada rambut legamnya. Alamanda menyukai pakaian penuh warna. Azalea lebih sering terlihat dengan warna monokrom.

Apa rindu telah sebesar itu mengecupi batin Azalea? Apa dia memakai baju adiknya dengan harapan Alamanda akan selalu terasa dekat? Entahlah. Adrian hanya tahu satu hal dengan pasti: rasanya dia ingin menarik gadis itu ke dalam sebentuk peluk sekarang.

"Gue nungguin lo."

"Oh, ceritanya udah capek jadi pemain sinetron?"

Sebelah alis Adrian terangkat, membuat tawa pelan Azalea pecah. Tawa itu mungkin tidak akan dianggap tawa oleh kebanyakan orang. Azalea hanya menggerakkan bibirnya sedikit, membentuk sebuah gestur yang Adrian terjemahkan sebagai senyum dengan gigi yang terlihat. Hanya sebatas itu. Namun, mengingat ekspresi muram yang tidak pernah absen mewarnai wajahnya beberapa hari belakangan, tarikan bibir itu adalah sebuah kemajuan.

"Gue tau lo selalu ngikutin gue. Dari kampus sampai kafe."

Adrian terperangah, lantas bertanya dengan nada hati-hati. "Lo nggak marah?"

"Tadinya."

"Terus?"

"Lalu gue sadar, kalau niat lo baik. Gue nggak bisa terus-menerus melampiaskan kemarahan pada orang lain atas apa yang terjadi di hidup gue. Adik gue udah pergi." Sudut bibir Azalea bergetar ketika dia mengucapkan kalimat terakhir. Semula, Adrian mengira akan ada air mata yang tumpah. Tapi ternyata tidak. Tampaknya Azalea sudah mampu menata emosinya dengan lebih baik. "Dia nggak akan kembali. Jadi yah, yaudah. Life must go on. Lagipula, gue udah bikin janji sama seseorang."

"Oh ya? Siapa?"

Azalea memandang Adrian sebentar, dengan jenis pandangan yang sulit Adrian definisikan. "Lo. I promise you to stay. And to stay strong. So I will."

Ucapan Azalea membuat lidah Adrian kelu, seakan dia kehilangan kemampuan untuk bicara. Tidak ada secuil kata pun yang terlontar dari mulutnya. Sejak ayahnya meninggal, Adrian tidak pernah merasa hidupnya benar-benar punya makna selain untuk menjaga tanggung jawab yang telah mendiang Papa berikan padanya. Bukan berarti dia menyesali hidup. Tetapi mengetahui ada seseorang yang mencoba bangkit dari keterpurukan demi dia... rasanya... entah kenapa melegakan. Seperti hidupnya punya arti.

Dia ada bukan hanya sekedar untuk menjaga Mama dan kedua kakaknya. Atau menyelesaikan masalah teman-temannya. Keberadaannya membuat orang lain memutuskan untuk ada. Membuat orang lain bersedia tetap hidup walau hidupnya terlihat seperti tidak lagi memiliki harapan.

"Anyway, anak kucing itu masih kecil. Jangan dipanggil dengan sebutan 'lo'. Enggak sopan. Nanti dia jadi gaul sebelum waktunya." Azalea memecah keheningan sambil berjalan mendekat, kemudian duduk di sebelah Adrian. Jemarinya yang lentik terulur, sesaat kemudian telah tenggelam dalam bulu-bulu yang lembut.

"Hm, terus dipanggil apa dong?"

"Neko."

"Neko?"

"Bahasa jepangnya kucing."

Adrian berdecak. "Lo bener-bener nggak kreatif."

"Bukan tugas gue untuk kreatif. Kan lo senimannya."

Diam lagi. Kesenyapan mengambang di udara—atau hanya dalam pikiran mereka, sebab suasana sama sekali tidak bisa dibilang sepi dengan suara dari mahasiswa yang lalu-lalang. Namun kesunyian itu bukan jenis kesunyian yang canggung. Adrian merasa nyaman ketika keduanya memandang pada langit biru yang bersih dari awan, seperti sedang mencoba menyelami isi hati masing-masing tanpa melakukan kontak apapun, bahkan hanya sekedar tatapan.

"Kalau lo mau menangis, menangis aja."

"Kenapa gue harus nangis?" Azalea bertanya.

Adrian menoleh, menatap profil samping Azalea yang masih melihat pada langit. Pada lekuk dahinya. Hidungnya. Hingga Azalea ikut memutar kepala padanya dan mata mereka terkunci dalam sebuah tatapan.

"Karena air mata bukan tanda kelemahan."

"Gue udah menangis sepuas yang gue mau selama seminggu ini. Enough is enough." Sahut Azalea. "Manda juga nggak akan suka melihat gue menangis."

"Lea,"

"Lo tau, gue ngerasa sakit bukan karena dia memutuskan untuk pergi. Gue nggak seegois itu dengan menginginkan Manda tetap ada hanya untuk kemauan egois gue. Dunia ini terlalu keras dan jahat buat dia. She had enough. Bunda yang sempat depresi. Kakak yang nggak bisa diharapkan. Ayah yang pergi. I have nothing to make her stay." Mata Azalea digenangi air, serupa kaca-kaca retak yang hanya tinggal menunggu waktu untuk pecah berkeping-keping. "Mungkin dia lebih bahagia sekarang. Yang bikin gue sedih adalah, kenapa dia harus pergi dengan cara seperti itu? She deserves better. Kenapa nggak di rumah? Dia bisa pergi dengan tenang, ditemani gue dan Bunda. Dia bisa mengungkapkan keinginan terakhirnya. Kenapa dia harus pergi tanpa pesan?"

"Because she didn't want to hurt you."

"This hurts me more than anything."

"I know."

"And thank you." Azalea tersenyum tipis. "for saving my heavy dirty soul."

Adrian balas tersenyum. "It's a pleasure, my queen."

"Jadi, hari ini lo mau ngikutin gue ke kafe, atau justru mau nganterin gue? Bukan berarti gue pasti menerima tawaran lo ya. Kalau dipikir-pikir, lo jadi serem juga. Kayak stalker." Azalea berkata. "kalau lo nggak ganteng, mungkin gue udah nelpon polisi dari kapan tahun."

"Well, then thanks to my handsome face, I guess?"

"Songong."

"Lah, kan lo yang bilang."

Azalea berdecak.

"Tenang. Hari ini lo nggak akan kerja paruh waktu. Ada tempat lain yang lebih bagus yang harus lo datangi. Sama gue."

"Ng, are you planning to take me out on a date?"

"Nah, yang namanya date itu hanya diantara dua orang. Kalau partisipannya lebih dari dua, berarti bukan date."

"Bisa aja double date."

"I will never do double date, anyway."

"Terus sama siapa?"

"You'll see." Adrian tersenyum. "Soal kerja part-time lo, tenang aja. Udah gue urus. So, would you come with me?"

"Do I have another choice?"

Adrian tergelak. "Unfortunately, no."

Azalea menghembuskan napas diiringi putaran bola mata. "Oke. But I don't bring much money."

"Gue yang ngajak, berarti gue yang bayar. Bukan karena gue lebih berduit daripada lo atau gue memandang lo rendah." Adrian menjawab. "but because that's how a gentleman treats his lady."

"Am I your lady?"

Adrian beranjak dari duduknya, kemudian mengulurkan tangan pada Azalea diiringi seulas senyum lembut. "You always are."

***

Sesaat setelah Adrian memarkirkan mobilnya di parkir basement sebuah pusat perbelanjaan di jantung ibukota, gue menyadari kalau gue sama sekali nggak siap diajak pergi ke tempat bagus malam ini. Gue mengenakan sweater merah hati milik Alamanda yang membuat gue terlihat konyol—berbeda dengan Manda yang justru terlihat cute setiap kali dia memakai pakaian dengan ornamen hiasan tokoh kartun yang penuh warna. Rambut gue berantakan, dan belum sempat gue cuci tadi pagi karena gue bangun terlalu siang setelah malamnya sibuk menangis. Jangan lupakan juga tas backpack ala tentara baru balik dari barak yang masih bersetia melekat di punggung gue.

Sementara Adrian... well, dia bisa aja hanya memakai kaus oblong polos dengan celana jeans dan masih akan terlihat seperti model rumah mode ternama. Gue menghembuskan napas, mengecek sekilas penampilan wajah gue di kaca spion. Ya ampun. Betapa kumal dan dekil, dengan kantung mata sebesar bola tenis karena begadang—dan tentu saja terlalu banyak menangis. Lagi.

"Kenapa lo nggak bilang kalau kita mau ke tempat beginian?"

"Kenapa?" Adrian mengangkat salah satu alisnya seraya mematikan mesin mobil.

"Gue terlihat... berantakan."

Ucapan gue membuat Adrian menyipitkan mata, lantas menjelajahi penampilan gue dengan seksama. Biasanya, ditatap seperti itu oleh lawan jenis akan membuat gue risih. Tapi tidak dengan Adrian. Pandangan matanya tidak terlihat seperti dia sedang menilai barang, atau menatap dengan cara yang tidak pantas.

"You look cute."

"Jangan ngeledek gue." Gue memasang wajah memelas. "Tau gini kan gue bisa ganti baju dulu."

"Oh, how cute." Tawa Adrian justru mengeras begitu dia melihat ekspresi wajah gue. "Enggak apa-apa. Penampilan lo normal kok."

Mungkin salah gue bertanya pada mahasiswa seni seperti dia. Dimana-mana, kayaknya semua orang akan selalu sepakat kalau mahasiswa seni itu nyentrik. Yah, meskipun Adrian nggak terlihat seperti mahasiswa seni pada umumnya. Dia nggak gondrong. Kemejanya selalu rapi dengan warna netral yang nggak mencolok mata. Jeansnya nggak pernah lusuh. Tulisannya nggak berantakan.

Ah ya, sejak kapan gue bisa mendeskripsikan dia dengan begitu jelas?

"Kalau lo mau, tas lo nggak apa-apa ditinggal di mobil. Lagian kan berat."

Akhirnya gue pasrah. Meskipun sangat-sangat tidak pede dengan penampilan gue yang sekarang—dan ini aneh, karena sebelumnya gue nggak pernah memperhatikan penampilan sama sekali—gue turun dari mobil dan mengekori langkah kakinya. Tapi sepertinya Adrian tidak begitu suka dengan apa yang gue lakukan. Setiap kali gue mulai tertinggal di belakang, dia akan memperlambat langkahnya hingga gue berada agak sedikit lebih di depan dia. Ketika gue tanya kenapa, jawabannya menciptakan debar yang tidak bisa gue terjemahkan artinya.

"Because you're a queen. I shall not let you walk behind me. It woul be a disgrace. And anyway, its easier to protect you when you're in front of me."

"Alah. Mungkin maksud lo, it would be asier to get a nice view of my butt?"

"Lo pake sweater panjang. Gimana bisa gue melihat tubuh lo lebih dari apa yang lo tunjukkan?" Adrian terkekeh. "Lo tau, gue pernah ngomong kalau sebenarnya laki-laki itu ada untuk menjaga perempuan."

"Tapi laki-laki tercipta lebih dulu dari perempuan."

"Yes, I admit it. He made women to be men companions. And in return, a man shall protect his woman at all cos. t, am I right?"

Sial. Bagaimana dia bisa tercipta dengan mulut yang begitu manis?

Kita berjalan ke sebuah restoran yang cukup sepi dan gue tau kenapa. Sudah jadi rahasia umum kalau resto tersebut dikenal lama dalam menyajikan makanan pada konsumennya. Namun, Adrian justru membawa gue kesana. Di dalamnya, ada sekumpulan orang-orang mengelilingi beberapa meja yang sudah disatukan di sudut ruangan. Kening gue berkerut begitu menyadari seraut wajah yang tampak disana. Wajah Faris, mahasiswa satu jurusan dengan Adrian yang dikenal di seantero kampus karena sikap supel—dan mulut jahilnya yang hobi menggoda perempuan. Satu lagi cowok kalem yang gue kenali sebagai ketua BEM FK.

Semua teman terdekat Adrian ada disana, termasuk dua cewek itu. Raya dan Hana. Gue melihat sejenak pada Raya yang duduk di samping cowoknya, kemudian menghela napas dengan perlahan.

Jadi Adrian pernah naksir cewek itu.

"Mickey!" Faris langsung berseru begitu melihat kita berdua, yang kontan membuat muka gue memerah. Sialan nih cowok. Dengan santainya, dia menyerang self-esteem gue yang memang sudah turun hingga ke titik terendah.

"Jangan gitu." Adrian membela, seperti dia bisa membaca arah pikiran gue. Gue hanya diam, melangkah cepat namun sempat bingung mau duduk di kursi yang mana hingga Hana menepuk kursi di sebelahnya.

"Jangan duduk diantara para buaya. Nanti lo diterkam." Katanya, yang membuat gue mendadak ingin tertawa.

"Berarti kita harus ganti nama grup jadi Perserikatan Buaya Darat."

"JANGAN! Kalian semua adalah ajudan gue. Perkumpulan Para Ajudan udah bagus."

"Kalian ngomongin apa?" Gue bertanya dengan agak ragu-ragu setelah bokong gue menyentuh kursi.

"Mendingan nggak usah tau, deh." Si ketua BEM FK mendadak bicara. "Ah ya, gue Dio." Ujarnya memulai, yang kemudian diikuti oleh yang lainnya dalam bentuk serupa efek berantai tatkala cowok murah senyum yang duduk di samping Dio meneruskan.

"Rama."

"Jeviar."

"Masih perlu tau nama gue?"

"Bosque, tolong perhatikan durasi waktu untuk perkenalan." Rama berujar.

Faris langsung menyeringai dengan sorot tengil ala playboy cap kaki tiga. "Faris Rafandra. Butuh nomor telepon nggak?"

"Wah, kacau." Jev menimpali. "Hajar, Yan. Hajar."

"Ampun, Pangeran Bavariaku." Faris terkekeh. "Gue cuma bercanda. Gue Faris."

"Udah tau." Gue menukas, agak sedikit dongkol. Namun, balasan gue justru membuat Faris tersenyum dengan lagak jumawa.

"Udah gue bilang, gue emang terkenal."

"Bodo." Dio berkata seraya memutar bola matanya.

"Edgar." Acara perkenalan yang sempat terhenti kembali berlanjut. Meski nggak tau nama cowok itu sebelumnya, wajah Edgar cukup familiar buat gue. Mungkin karena dia juga satu fakultas dengan Adrian. Dan lagi, dia punya garis wajah khas yang nggak pasaran.

"Adrian." Adrian menutup perkenalan dari anak-anak cowok dengan senyum manis dan mata yang menusuk tepat ke iris mata gue. Gue terperangah sedikit, masih balik menatapnya hingga secara mendadak tangan Edgar terulur menutupi mata Adrian yang secara otomatis memutus kontak mata diantara kita.

"Haram hukumnya bertatapan lama-lama." Ujar Edgar, yang membuat Hana langsung mengeluarkan suara cibiran.

"Bacot lo sok halal-haram. Abis coli aja masih suka lupa mandi besar."

"EH, ITU RAHASIA NEGARA YA."

Raya menghembuskan napas pelan, meniup sejumput rambut yang jatuh di dahinya dengan perlahan. Dia terlihat sudah terbiasa sekaligus lelah dengan tingkah anak-anak cowok tersebut. Gue paham. Menjadi satu-satunya cewek—bersama Hana—diantara cowok-cowok dengan kadar hormon berlebih dan konon masih mencari jati diri adalah sesuatu yang berat. Meskipun harus diakui kalau sering kali, cowok-cowok itu juga cukup bisa diandalkan.

"Mana ada cowok yang nggak pernah coli." Jev berujar dengan santai, entah mengapa membuat wajah Dio langsung merah padam.

"Kenapa muka lo merah, Yo?" Rama terkekeh. "Ngerasa ya?"

"Kalian itu," Hana berdecak. "Membuang-buang bibit anak bangsa."

"Coli adalah koentji."

"Najis."

"Hidup tanpa coli, bagai taman tak berbungaaa~ Hai, begitulah kata para pujanggaaaaa~ Aduhaaaai begitulah kata para pujanggaaaaa~."

Rama malah nyanyi. Dan Faris menanggapi. Untung restorannya sepi.

Raya berdehem sambil menggeser bangkunya ke belakang, kemudian berujar pada semua yang mengelilingi meja. "Gue ke toilet dulu."

"Mau coli ya?" Itu suara Faris.

"Ajak aku dong." Jev menambahkan, yang membuat Raya mendengus. Dia mengabaikan kata-kata para cowok tersebut, lantas berjalan menuju arah toilet. Gue menatap punggungnya sebentar, balik memandang pada Adrian sebelum ikut beranjak dari bangku sepersekian detik kemudian.

"Gue juga... ng... kayanya mau ke toilet."

"Waduh, jangan bikin adegan komik yuri ya." Edgar berucap.

"Kalau gue ikut juga gimana?" Hana ikut bicara.

"Jadinya nanti threesome."

Memang. Dengan obrolan kelas atas diantara mereka, otak gue terhitung suci dan mereka semua penuh dosa.

"Enggak apa-apa. Ke toilet aja." Adrian buka mulut ketika dia menyadari kebingungan gue. Untuk yang kesekian kali, mata gue kembali terarah padanya. Gue menghela napas, tersenyum dan berbalik sebelum melangkah melintasi ruang resto menuju koridor tempat Raya menghilang.

Raya sedang membasuh tangannya di wastafel ketika gue masuk. Toilet kosong dan udara dipenuhi oleh aroma karbol. Aromanya menusuk, tapi terasa menyenangkan. Baunya mampu membuka mata gue yang digelayuti kantuk. Berjalan melewati Raya, gue berkaca di cermin. Cahaya di toiletnya sangat bagus karena warna dindingnya didominasi warna kuning gading, tapi gue tetap terlihat sakit. Wajah gue pucat tanpa rona. Bibir gue memutih seperti orang yang kedinginan. Ada bayangan hitam di bawah mata. Gue terlihat seperti pasien rumah sakit jiwa yang kabur.

Dengan keras, gue mencubit pipi gue. Setidaknya, kulit gue bisa sedikit memerah dengan tindakan itu. Tetapi gue justru menarik perhatian yang tidak gue inginkan. Raya berhenti mencuci tangan. Seraya mematikan aliran air dari keran, cewek itu menatap gue sejenak.

"You look pale." Katanya, sebelum dia menarik risleting tasnya hingga terbuka dan mengeluarkan sebuah botol mungil dengan cairan berwarna kemerahan disana. Cewek itu melangkah mendekati gue, mengabaikan pandangan mata gue yang bingung. "Mau pake liptint?"

Nama benda itu terasa asing buat gue. "Untuk apa?"

"Biar lo nggak terlalu pucat lagi. Mencubit pipi sendiri itu sakit." Raya berkata dengan nada suara yang halus tanpa cela. Sedikit-banyak, gue mengerti kenapa Adrian sempat menyukai cewek ini. Dia punya pembawaan setenang telaga, meskipun gue bisa melihat keraguan dan rasa insecure yang membayang di matanya. "Ng... kalau lo nggak bisa makenya... gue bisa pakein. Kalau lo nggak keberatan."

"Enggak apa-apa. I look so dead right now." Gue menjawab diiringi tawa yang terdengar canggung dan aneh. Tapi Raya justru tersenyum. Dengan penuh kehati-hatian, dia mengoleskan liptint ke atas bibir gue sebelum meratakannya dengan jari. Kemudian satu-dua titik merah tertotol ke pipi gue, lagi-lagi dia ratakan perlahan dengan jari.

Saat gue bercermin, gue sudah terlihat lebih baik. Jauh lebih baik, malah. Orang hanya akan mengira gue kurang tidur, bukannya habis menangis semalaman dan lupa sarapan di pagi hari.

"Thankyou." Gue berkata tulus. "Sekarang gue ngerti kenapa Adrian bilang kalau lo adalah salah satu dari teman cewek terdekatnya."

"Ah, dia bilang begitu?"

"Iya. Tapi kenapa lo terlihat begitu kaget?"

Dengan malu-malu, Raya menjawab. "Karena... siapalah gue? I'm no one. Nobody needs me. Tanpa gue, hidup siapapun akan tetap baik-baik saja."

Gue nggak mengerti. She is so kind. Dia punya sesuatu yang bisa membuat orang lain merasa nyaman di dekatnya, meskipun gue nggak tau apa itu. Dan dia menolak semua pujian yang datang buat dia?

"But he talked about you so dearly. Just believe it."

"And you don't have to be jealous." Raya tersenyum penuh pengertian. "Selamanya, Adrian hanya akan jadi temen gue. But I can see very clearly that he is very fond of you. You have that special position in his heart."

Jawabannya membuat gue tertegun. Gue sama sekali nggak percaya. Really? Am I?

"Gue turut berduka untuk kehilangan yang baru saja lo alami. Pasti sakit. Tapi gue nggak akan mencoba menyemangati lo, hanya saja," Raya berhenti sejenak. "Apa yang membuat lo terluka juga melukai Adrian. Seperti yang gue bilang. Bukan tempat gue untuk ngomong begini, but I think he has feelings for you. So, be strong. For him. For he is your friend. Or someone you like."

Bagaimana... dia bisa tau?

"Alasan kenapa kami semua berada disini hari ini adalah buat Adrian. Dan buat lo. Karena Adrian berpikir lo butuh teman. Bukan berarti kita mengasihani lo. Enggak sama sekali. We are the misfits, I think. Dalam konteks yang berbeda. Cowok-cowok itu terlalu populer. Mereka terlihat seperti punya segalanya. Ada yang menganggap gaya hidup mereka salah. Ada yang mati-matian mengejar mereka. Mereka nggak pernah ngerasa punya teman yang bener-bener mau temenan sama mereka karena mereka yang apa adanya, bukan karena yang mereka punya." Raya menjelaskan. "Hana adalah cewek yang punya banyak energi. Dia memandang dunia dengan cara yang berbeda. Tapi dia nggak naif. Dan meskipun dia nggak pernah ngomong, gue tau susah buat dia menemukan teman yang mau diajak ngomongin hal-hal gila tanpa saling judge. Sementara gue... well like I said, I'm no one. Gue seorang penyendiri. Nggak punya teman sama sekali. Sampai gue mengenal mereka."

Gue menatapnya.

"It's a normal thing for misfits to help another misfit, isn't it?" katanya. "Kita nggak mengasihani lo. Lo bebas mau menangis atau apa, dan kita nggak akan menghakimi lo. Kita hanya pengen lo tau kalau hidup adalah selalu tentang harapan. This too, shall pass. Just embrace the pain, and somehow, time will heal you."

Lidah gue kelu, seperti gue kehilangan kemampuan untuk memahami bahasa.

"Thanks, Raya."

Ada hening sebentar sebelum dia menjawab. "Anytime, Azalea."






Bersambung. 

[][][] 

a/n : Haloh, maaf baru nongol. 

Wkwk akhir-akhir ini gue lagi stress. It feels like, well, I'm in one of lowest points of my life.

Homesick, and something is wrong with my money managements, broken things, university life and many things seem don't fall in place. 

But i'm okay tho, because i believe that somehow, this too shall pass. 

Anyway, makasih udah baca dan komen ya. 

Luv. 

Ciao. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top