#05
Dari dulu, Adrian bukan tipe cowok yang gampang tertarik sama cewek.
Bukan berarti dia punya orientasi seksual yang berbeda dari orang kebanyakan, namun karena entah sejak kapan, Adrian merasa sulit tertarik pada orang hanya dengan apa yang ditampilkan di luar. Menurut Adrian, tampilan terluar semua orang sama. Mereka selalu punya sisi paling menarik, entah itu dari bagaimana mereka tersenyum, bagaimana mata mereka berbentuk atau bagaimana rambut mereka mengilap di bawah sinar matahari. Satu-satunya yang membuat orang terlihat istimewa terpancar dari dalam.
Adrian selalu suka mendengarkan orang lain bercerita. Dia suka bagaimana mata Raya akan berbinar ketika cewek itu bercerita tentang buku-buku karya penulis favoritnya, atau antusiasme Hana setiap kali mendengar segala sesuatu yang berhubungan dengan Dio Alvaro--maupun sederet cogan lainnya. Rasanya menyenangkan melihat orang lain punya impian, dimana bayangan akan masa depan itu terhayati dalam pijar penuh atensi.
Pertama kali melihat Aries, Adrian langsung merasa jatuh hati. Bukan karena parasnya yang mempesona, atau mobil BMW seri terbaru yang terlihat mengantar-jemputnya setiap pergi ke kampus. Tetapi karena sorot matanya. Mata Aries begitu bening, seolah menyimpan cahaya dari ribuan bintang. Ada galaksi tak kasat mata yang terasa setiap kali Aries mengarahkan iris cokelatnya pada Adrian. Ah ya, satu lagi, Aries bukan tipe cewek cantik yang sadar kalau dirinya cantik. Cewek itu lebih banyak diam meskipun terkadang bisa sangat sinis, tidak pernah mencoba menarik perhatian dengan lagak sok imut atau suara yang dilembut-lembutkan.
Teman-temannya sontak terkejut saat Adrian bercerita pada mereka soal ketertarikannya pada mahasiswi sastera departemen sebelah itu. Entah senang atau kaget karena ternyata diam-diam Adrian bisa jatuh cinta juga, mereka semua membantu. Terutama Faris yang jaring-jaring pertemanannya sudah serupa piramida MLM, menjalar kemana-mana. Dengan gencar, cowok itu mempromosikan sosok Adrian pada cewek-cewek FIB, membuat Adrian serupa pangeran tampan dari negeri seberang yang sedang mencari pelipur lara.
Namun sekarang, Adrian seperti lupa bagaimana Aries pernah benar-benar mencuri hatinya. Perhatiannya sudah tertuju pada sesuatu yang lain. Pada sosok gadis yang seakan tanpa mimpi, tapi justru dipenuhi oleh berbagai harapan tentang masa depan. Cewek itu, namanya Azalea. Makanya, sewaktu Faris memberitahunya tentang Aries yang diam-diam kecewa karena Adrian sama sekali tidak lagi menghubunginya bahkan pada akhir pekan kemarin, Adrian merasa biasa saja. Dia tidak berpikir dia sudah melakukan kesalahan besar.
Dia tahu, mereka sempat pergi nongkrong di akhir pekan bersama beberapa kali, tapi Adrian tidak pernah menjanjikan apapun. Dan Aries tidak terlihat seperti mengharapkan apapun. Rasanya tidak ada yang berbeda. Sama saja, seperti jika Adrian pergi jalan dengan Raya, atau bahkan Hana. Segalanya datar, seperti permukaan danau yang lama membeku.
Daripada memikirkan soal Aries, Adrian lebih pusing memutar otak untuk menentukan apa yang akan menjadi objek dari project terbarunya. Berdiskusi sama teman-temannya yang macam wedhus itu nggak membantu sama sekali. Yang ada, dia justru makin mumet. Apalagi Faris, kenapa juga dia harus memperburuk suasana dengan memasukkan foto candid Azalea yang entah dia dapat darimana? Bukan apa-apa, sih. Bukannya juga membela. Cuma, Adrian tahu kalau Lea adalah gadis dengan kepala sekeras batu dan harga diri setinggi langit. Jika saja dia tahu kalau muka aibnya dijadikan obrolan oleh grup Cowok Idola Idaman Wanita, perang nuklir terhebat abad ini mungkin bakal meluluhlantakan kampus dalam sekejap mata.
Oke, sejak kapan Adrian jadi sedramatis Hana?
Sesaat kemudian, Adrian langsung menyesal karena sudah memikirkan Hana. Seperti jin yang keluar dari dalam cawan, cewek itu mendadak melompat dari semak-semak. Tubuhnya yang kecil menghadang Adrian dengan muka girang yang membuat Adrian hampir beringsut mundur. Cowok itu menarik napas, berusaha meredakan kekagetan sambil bertanya kalem.
"Kenapa deh lo?"
"Ya ampun, Pangeran Bavaria-kuh! Suatu keberuntungan kamu ada disini!" Hana berjalan mendekati Adrian sambil mendekap kardus berukuran sedang di tangannya. Ada dua kardus, dan Hana sengaja menumpuknya agar mudah dibawa. Melihat Hana agak kepayahan, entah kenapa Adrian jadi kasihan.
Eits. Tapi nggak boleh. Dia nggak bisa jatuh pada perangkap seorang Yohana.
"Apa?"
"Bantuin gue dong, Ganteng."
"Hah? Gue sibuk."
"Bantuin gue danusan dong, plis. Kalau lo yang jualan, pasti ciwey-ciwey pada mau beli. Ya, ya, ya?" Hana mulai mengeluarkan jurus andalannya, alias menatap Adrian dengan kelopak mata dilebarkan dan sorot mata super imut yang dilebih-lebihkan.
"Emang lo lagi ada kegiatan apa sih?"
"Bukan gue. Tapi ini acaranya anak FK."
"Lah, terus kenapa lo yang danusan?"
"Ih, lo tuh ganteng-ganteng bego." Hana merengut. "Karena gue adalah calon pendamping hidup yang baik. Mana tega gue liat Dio yang danusan ke FT dan FISIP. Yang ada ntar calon imam gue abis dicakar sama cewek-cewek kesepian rindu belaian. Sori-sori, Dio harus autentik untuk gue seorang."
"Mendingan lo belajar kalkulus kali."
"Masak sama ngurusin anak nggak pake kalkulus."
"Hana, seriously?"
"Gue udah bawa kardus sebanyak ini lo masih ngira gue bercanda?" Hana berdecak. "Emang ya. Enggak lo, enggak Batak, enggak Jev. Semuanya sama aja. Dablek banget. Untung lo pada ganteng, jadi masih ketolong tampang. Kalau nggak, waduh zonk."
"Gue ada urusan."
"Apa? Ngapelin Aries?" Hana memasang wajah penuh ekspresi luka. "Lo jahat. Lo anggap apa gue selama ini."
"Emang selama ini kita apaan?"
"JELEK-JELEK BEGITU LO TETEP TEMEN GUE, YAN!" Hana mulai histeris. "Bantuin gue. Enggak boleh nggak. Pegang."
Adrian ingin menolak, tapi kelihatannya sudah terlambat. Dalam gerak cepat, Hana memindahkan salah satu kardus ke tangan Adrian, sebelum kembali meraih kardus lainnya yang sempat dia biarkan tergeletak di atas permukaan paving block. Adrian masih saja berdiri di tempat dengan wajah cengo ala-ala supermodel ternama, sementara Hana sibuk cengar-cengir kuda.
"Gue yakin deh, kalau lo yang jualin di FISIP, pasti langsung ludes. Apalagi kalau lo pake embel-embel 'beli tiga gratis cium pipi'. Wadow. Bisa jontor kali bibir lo."
"Na,"
"Iya, Adrianku sayang. Aku tau kamu tuh pengertian banget. Kamu sibuk tapi kamu masih rela ngebantuin aku. Makasih loh." Hana terkekeh sebelum kemudian berbalik, berjalan cepat meninggalkan Adrian dalam beberapa langkah sebelum dia berhenti bergerak dan lagi-lagi memutar tubuhnya menghadap Adrian. Lantas dengan gaya bak vokalis band yang sedang menyapa penggemar, cewek itu berujar. "Kamu luar biasa!"
Adrian kepingin membenturkan kepalanya ke tembok. Mulutnya terbuka hendak memanggil, tapi Hana sudah keburu ngibrit ke arah Fakultas Teknik dengan kardus berisi penganan ringan di tangannya. Napas pelan terhembus dari mulut Adrian, sebelum mata hazel cowok itu menatap kardus di tangannya gamang. Duh, dia benar-benar sial hari ini. Tapi ya sudahlah. Dengan langkah gontai nan pasrah, Adrian membawa dirinya menuju gedung FISIP.
***
Langit mendung, tapi udara tetap aja terasa gerah.
Sesaat setelah kelas selesai, gue langsung pergi ke pelataran depan kampus. Syukur terucap dalam hati kala gue mendapati satu deretan bangku kosong. Hawa panas kayaknya membuat kebanyakan orang jadi ogah untuk duduk di pelataran depan. Yah, mendingan nongkrong di kelas atau pendopo kampus yang masih terkena hembusan sejuk dari pendingin ruangan. Tapi nggak dengan gue. Untuk sekarang, gue butuh tempat menyendiri, dimana gue bisa melamun tanpa dianggap aneh ditanya-tanya kenapa gue melamun. Emangnya sejak kapan sih kita butuh alasan buat melamun?
Begitu duduk di bangku, tangan gue bergerak merogoh ke dalam tas dan mengeluarkan sebotol mungil air minum dalam kemasan dengan bentuk cantik ala-ala karakter putri dari cerita Disney. Sesuatu yang sebetulnya benar-benar bukan gue banget. Tapi berhubung Manda sudah bela-belain pergi ke minimarket terdekat rumah hanya untuk membelikan gue botol air mineral edisi khusus yang menurutnya terlihat super cute, gue harus menghargainya kan. Walaupun kalau dipikir-pikir, daripada beli air mineral dengan harga segini, ya mendingan beli es teh sekalian di kantin.
Lamunan gue berhenti tatkala mata gue yang memandang pada satu arah secara acak mendapati sosok seseorang yang familiar. Itu Adrian. Mata gue nggak mungkin salah, karena emangnya ada cowok di seantero kampus ini yang mirip seperti dia? Cahaya matahari yang redup membuatnya justru terlihat semakin sureal. Rambutnya menyemburatkan warna cokelat agak merah yang samar. Seiring dengan jaraknya yang semakin dekat, gue bisa melihat sedikit freckles di sekitar hidungnya. Dasar bocah bule.
Gue nggak tau sejak kapan, tapi entah kenapa melihatnya tidak lagi menciptakan letupan emosi dalam dada gue. Seperti masalah diantara kita kelar. Seakan gue nggak lagi merasa kesal karena penolakannya atas permintaan gue agar dia bersedia bertemu adik gue di hari ulang tahunnya. Mungkin karena dia sudah menolong gue, dan itu nggak hanya terjadi sekali. Atau karena dia mau repot-repot mengucapkan selamat ulang tahun pada Manda, yang percaya atau nggak, efeknya bahkan masih membuat dia kesenengan sampai hari ini.
Gue memutuskan memasukkan botol air mineral gue kembali ke dalam tas, menukarnya dengan sebuah kantung plastik hitam berisi jaket yang sudah dilipat rapi sebelum beranjak cepat menghampirinya. Dia kelihatan agak kaget dengan kemunculan gue, tapi kemudian senyum tipisnya tertarik. Hm, kalau gue pikir-pikir, Adrian bukan tipe cowok yang hobi mengobral ekspresi. Dia lebih banyak diam dengan wajah datar, yang justru membuatnya makin mirip dengan lukisan.
"Gue mau ngembaliin jaket lo." Gue buru-buru berucap, nggak mau ada kesalahpahaman. Sejujurnya, gue sudah nggak peduli lagi apakah dia masih mau ketemu dengan adik gue atau enggak. Paling tidak, Manda bisa tersenyum di hari ulang tahunnya dan nggak melulu teringat sama Ayah. Itu aja udah cukup.
"Hng, thanks. Tapi gue punya dua tangan dan tangan gue lagi--ehem, seperti yang bisa lo liat."
Secara refleks, gue langsung menatap pada kardus berukuran medium yang dia pegang.
"Lo danusan?"
Adrian mengangguk. Sederhana. Dan masih tanpa riak apapun di wajahnya yang sempurna.
"Gue nggak tau kalau lo anak organisasi."
"Ini punya temen gue."
Salah satu alis gue terangkat. "Dan lo mau bantuin dia danusan?"
"Enggak juga sih."
"Terus?"
"Ceritanya panjang."
Gue nggak tau apa yang gue pikirkan hingga kalimat itu terlontar begitu saja dari mulut gue seperti teh yang tertuang tanpa bisa disaring. "I can help you, if you don't mind."
"Really?"
Gue menggaruk tengkuk gue yang nggak gatal. Sebuah tindakan yang sempat membuat Adrian terkesiap seketika.
"Setelah semua yang lo lakuin ke gue, this is the very least thing I can do."
Kalau boleh jujur, gue benci terlihat di kampus dengan sosok orang yang menarik perhatian seperti Adrian. Cowok yang dari awal ospek universitas aja udah dikenal oleh satu kampus--bahkan oleh kakak tingkat. He is extremely good looking, I know.
Namun entah kenapa, gue nggak pernah merasa tertarik sama dia. Bahkan memuji dia pun nggak pernah. Entahlah, kayaknya semua cowok ganteng sama aja. Mereka hobi memanfaatkan kelebihan yang mereka punya untuk memperdaya cewek-cewek. Apalagi teman-teman dekat Adrian macam Jeviar anak Teksip dan Faris yang juga satu departemen dengan Adrian bisa dikatakan fuckboy kelas kakap. Enggak tau juga kalau sekarang mereka udah tobat. Tapi di awal-awal, ya ampun mereka tuh kayak cowok fakir cewek yang baru pertama kali melihat keindahan perempuan. Sibuk nyosor sana nyosor sini kayak soang. Terlibat dengan orang-orang seperti itu adalah hal terakhir gue inginkan.
Meski begitu, Adrians udah banyak membantu gue. Ada nggak ada dia, gue bakal tetap semaput di pelataran kafe hari itu. Tanpa ada dia, mungkin gue sudah terkapar di rumah sakit, bikin panik Bunda dan Manda. Belum lagi ada masalah administrasi yang harus diselesaikan. Tanpa ada dia, gue akan pulang naik bus dengan kondisi baju yang transparan karena basah. Setelah semua yang sudah dia lakukan, gue nggak bisa pura-pura nggak tau. Terlebih ketika tampangnya dia sama sekali nggak menunjukkan tampang orang yang tau gimana caranya danusan.
"If you don't mind, then it's okay." Untuk pertama kalinya, dia tertawa. Tawa sungguhan, hingga deretan giginya yang cemerlang terlihat. Gue terperangah sejenak. Gila, ini cowok sering scaling gigi apa ya?
"Oke."
Semudah itu. Secepat itu. Siang terlewatkan bersama Adrian. Benar apa kata orang, tampang bagus memang kadang bisa benar-benar membantu. Kita nggak butuh waktu lama menghabiskan tumpukan aneka kue basah dan gorengan yang tertata rapi nan bersih dalam kardus. Adrian kemudian memutuskan sudah waktunya berhenti berkeliling gedung FISIP ketika hanya tinggal beberapa potong kue yang tersisa. Gue mengekori langkahnya kembali ke selasar, lalu duduk di atas lantai dingin sementara Adrian menghitung uang yang didapatkan. Selama sejenak, hanya ada keheningan. Hingga seekor anak kucing kecil membuat kepala kita berdua sama-sama terangkat dan tertoleh pada satu arah.
Gue bukan orang yang pandai mengingat sesuatu, tapi gue tahu jelas kalau kucing itu adalah kucing yang sama yang membuat gue nekat pergi ke tengah lapangan saat hujan deras turun tempo hari. Kalau dipikir lagi, sekarang kita juga ada di tempat yang sama dimana Adrian mengulurkan jaketnya untuk menutupi kemeja gue yang tembus pandang setelah terguyur air.
"Here comes the naughtiest kitten ever." Adrian bergumam.
"Don't be mad at him. He is just a cutie." gue menjawab sambil menyentuh bagian bawah rahang anak kucing tersebut. Jalannya masih pincang, tapi setidaknya sudah nggak sepincang beberapa hari yang lalu. Gue meraih ransel, mengeluarkan sebatang sosis instan dari sana dan membukanya sebelum meletakkannya di depan si anak kucing.
"Him?"
"Kucingnya cowok."
"Gue nggak tau kalau lo seteliti itu sampai memperhatikan gendernya."
"Because I have to call it with a name. Kalau dia cowok, tapi dikasih nama cewek, nanti dia tersinggung. Begitupun sebaliknya."
"Hm, jadi siapa namanya?"
Gue menatapnya sebentar. "Jackie?"
"Untuk ukuran kucing kampung, nama itu terlalu bule."
"Jackie is a short for jacket." Gue tersenyum, dan sama seperti sebelumnya, Adrian tampak terkesiap. Astaga, apakah wajah gue segalak itu hingga dia sama sekali nggak menduga kalau gue bisa tersenyum.
"Jacket?"
"Buat yang waktu itu. Jaket lo." Gue mengangsurkan kantung plastik berisi jaket yang terlipat padanya. "Makasih."
"Nope. It's my duty as a man."
"But I thought... we were sort of enemies."
"Might be. Tapi tetep aja, itu bukan alasan mempermalukan cewek. Semenyebalkan apapun lo, lo nggak pantas jadi tontonan orang."
"Gue menyebalkan?"
"Mau jawaban jujur?"
"Menurut lo?"
Adrian tertawa sebentar. "Banget."
"Lo juga." gue menyahut cepat kala teringat bagaimana dia mengabaikan gue ketika gue mendatanginya agar mau menemui Manda. Manda memang hanya juniornya. Manda bukan satu-satunya mahasiswa di kampus yang diam-diam mengagumi atau menganggapnya serupa idola yang menginspirasi. Tapi caranya menolak dan bersikap bagaimana dia tidak punya kewajiban untuk peduli nggak pernah gagal membuat gue kesal.
"Gue apa?"
"Nyebelin. Dan aneh."
"Aneh?"
"Karena ketika gue nggak lagi mengejar lo buat ketemu sama adek gue, lo tiba-tiba muncul. Tiba-tiba nanya kapan lo bisa ketemu ama adek gue. Mendadak nyamperin gue ke kafe. Isn't it weird?"
"Maybe because I just found out that you are... Like... One of the strongest women I've ever know?"
"Maksud lo?"
"Enggak apa-apa. So, we're cool now?"
"We are."
"Are we friends?"
"Hm. Gue pikir-pikir dulu kali ya."
Adrian tertawa. "Kenapa begitu?"
"Because you're so up in the stars and I'm down the ocean? Gue nggak pernah berteman dengan orang yang benar-benar berbeda dengan gue dalam segala hal."
"Do you even have a friend?"
"I simply hate people." Pertanyaan Adrian mungkin terdengar ofensif tapi gue tau dia sama sekali nggak bermaksud membuat gue tersinggung. Nada suaranya tidak sedatar wajahnya. Malah kadang, caranya bicara terhitung hangat.
"I hate people too."
"Tapi lo punya banyak teman."
"Not as many as you think." Adrian terkekeh. "Gue nggak biasa main ke rumah orang yang bukan teman gue. Then let's be friends so that I can meet your sister?"
Gue terdiam.
"Just like you said before, anyway. You're so down to earth. And I'm up in the stars. So show me the sea. And I'll take you to Mars."
"You're an idiot."
Adrian tersenyum lebar. "Let's be friends?"
Gue terdiam sejenak, kemudian menarik napas. Adrian masih tersenyum. Senyum yang menular, karena detik berikutnya, sudut-sudut bibir gue perlahan tertarik.
"Let's be friends."
Bersambung.
[][][]
a/n : Visualisasi Hana ada di konten mulmed yah haha.
Cerita ini mungkin hanya sekitar 30an part wkwk dan mau gue selesain sebelum bulan November. Doain aja bulan oktober bisa kelar jadi gue bisa beralih ke cerita Rama/Hana/Dee dulu. Intinya begitulah. dan remake ceritanya Faris, ofc. thats why i'll make the story flows not too slow, dengan chapter yang nggak terlalu panjang.
Oke deh, makasih sudah baca.
Ciao.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top