8
Kejahatan dapat muncul dari hati yang suci. Tapi kebaikan hanya dapat muncul dari hati yang baik pula. Sebagaimana hitam itu hitam dan putih itu putih. Maka pembalasan sama adanya.
—Paradigma keseimbangan oleh pengikut Dewi Kin
Wildwind menyentak kepalanya dari kekang saat aku menariknya ke arena pacuan. Aku menepuk kepalanya dan mengusap surai cokelat mudanya dengan lembut. "Dengar Wild, kita bisa berteman, kau dan aku." Aku menawarkan gula batu di tanganku ke mulutnya, dan ia menjilat itu hingga bersih, mengendus ke arahku lagi. "Aku punya lebih banyak tapi pertama-tama kamu harus belajar bersikap."
Dia meringkik seolah mengatakan aku tidak memberinya tawaran yang cukup bagus tapi ketika aku menarik kekangnya lagi, Wild tidak lagi menolak, dia mengikutiku dengan patuh. Aku menepuk kepalanya lagi. "Aku tahu kamu gadis yang pintar."
Sementara aku terus membimbing Wild mataku menjelajah ke arena, mencari Laksamana yang seharusnya berada di sini. Udara masih sejuk dan dingin di kulitku, angin mengacak-acak beberapa helai rambut yang lolos dari kepangku. Lalu aku melihatnya, seekor kuda jantan Friesian, dengan warna hitam legam melesat membelah angin. Di punggungnya, Laksamana memacu kuda itu dengan cepat, badannya membungkuk ke depan. Untuk beberapa saat dia tidak memperhatikanku, hingga aku cukup dekat. Dia menatapku, tersenyum cerah dan aku membalasnya. Laksamana melambatkan laju kudanya, hingga akhirnya berhenti di sampingku dan turun.
"Lady Bianca, aku tidak tahu kamu dan kuda?" tanyanya. Senyum sopan yang menggoda terus berada di bibirnya. Tapi itu tidak membodohiku, perasaannya terlalu mudah untuk dibaca. Itu tertulis dengan jelas. Dia ingin tahu apa yang bisa dia temukan di balik rompi kulitku. Sementara aku terganggu dengan keinginannya, aku juga penasaran dengan reaksinya jika dia melihat bekas luka di punggungku. Lalu aku membayangkan lebih jauh bagaimana aku membawa belati yang terselip rapi di balik lengan pakaianku untuk memotong jugular-nya. Itu berhasil membuatku tersenyum dengan meyakinkan.
"Putri pedagang dan kuda, aku rasa itu tidak pernah bisa dipisahkan, Laksamana." Aku membiarkan jariku tergelincir pada surai panjang kudaku. Wild adalah kuda betina Mustang, dengan pewarnaan cokelat merah dan hati yang liar. Karena itu aku menyukainya. Mereka yang bebas dan hidup dengan tarian liar api mereka sendiri. "Milik Anda, Sir, kuda yang bagus."
Dia menepuk leher kudanya dengan bangga, seperti memamerkan anak laki-lakinya sendiri. Kuda itu meringkik bersemangat. "Hurricane sudah memenangkan balap pacuan tiga kali bersamaku."
"Aku tidak akan berani meragukan itu." Aku memberinya senyum terkesan, khawatir itu mungkin akan membuat kepalanya meledak karena egonya, tapi itu tidak terjadi.
"Kenapa kita tidak membuat putaran bersama?" Dia menawarkan persis seperti yang aku harapkan dan perasaannya memancar padaku, terbuka seperti buku.
"Itu akan menjadi kehormatan untukku," balasku. Aku setengah berharap akan muntah di mulutku untuk kata-kata menggelikan yang aku katakan tapi tidak dan senyumku tidak pernah meninggalkan bibirku. Bahkan saat aku meraih tanduk pelana untuk membantu menarik diriku ke atas pelana dan Laksamana mendorongku, jarinya jelas mengambil kesempatan untuk menyentuh pinggul dan pahaku.
"Kamu punya selera yang menarik untuk tungganganmu, Lady." Laksamana mengedipkan sebelah mata dengan menggoda untuk arti ganda ucapannya. Dia menepuk perut Wild dan aku bangga pada kudaku karena dia mendengus dan meringkik dengan jijik. "Liar, bukan?"
"Aku suka sesuatu yang menantang," balasku, seringai nakal mengembang seperti topeng ekspersi di wajahku. Seolah aku sudah melakukan ini seumur hidup.
Laksamana tersenyum lebih cerah, naik ke kudanya sendiri, dan perasaan yang sebelumnya panas kini mendidih, aku terkejut udara di sekitarnya tidak beriak. Dan aku tidak bisa tidak bertanya-tanya apakah dia akan membawaku di istal jika kami sendirian di sini? Mau tidak mau aku bersyukur dengan kehadiran para pengurus istal.
Wild melaju begitu aku menendang dengan tumitku, angin menghantamku, bernyanyi di telingaku, dan untuk sesaat aku lupa di mana aku saat ini. Itu seperti saat aku berpacu dengan Gavin di bukit-bukit Jadecliff, kudaku Sky berlari membelah angin dengan warna putih cemerlangnya. Aku selalu mencintai saat-saat seperti itu, tertawa pecah di udara dan rambut mencambuk wajahku. Seolah kami bebas, seolah kami baik-baik saja dengan dunia di sekitar kami yang berubah menjadi kabur saat kuda kami berlari lebih cepat. Dan untuk pertama kalinya sejak aku diseret ke dalam gerobak yang membawaku ke nasib buruk ini aku tertawa, aku tertawa begitu lepas dan membungkuk ke depan, berpacu seperti badai. Tanganku setengah memeluk leher cokelat merah Wild, berbisik kepadanya. "Lebih cepat Wild! Lebih cepat!"
Di belakangku kuda hitam Laksamana menjadi warna kelabu samar yang sama cepatnya, melebur dengan lengkungan langit biru di belakangnya. Aku baru memperlambat Wild setelah satu setengah putaran yang lain dan jantungku berdetak dengan cepat, wajahku memerah karena ditampar oleh angin dan aku memiliki senyum puas di wajahku.
"Itu tadi pacuan yang menakjubkan. Apakah tiap putri pedagang Briar tahu cara menunggang kuda seperti itu?" tanya Laksamana, ia berjalan di sampingku dan aku senang merasakan perasaan lain yang datang darinya, rasa kagum, dia harus benar-benar menyukai berkuda.
"Aku tidak tahu, Sir, tapi untukku berkuda itu seperti yah," aku mengedikkan bahu, "membiarkan jiwa kita terbang untuk sementara waktu."
"Sungguh Lady? Karena aku juga berpikir begitu." Dia tersenyum kali ini benar-benar senyum asli yang menganggapku manusia bukan gadis yang ingin dia seret ke lorong terdekat. "Sekarang aku sungguh berharap kamu bukan milik Putra Mahkota, Catalya."
"Pangeran Priam? Yah dia terlalu sibuk dengan urusan kerajaan. Aku pikir dia bekerja terlalu keras." Nadaku lirih, aku menoleh untuk melihat Laksamana dari bawah bulu mataku. "Apakah Raja sedang merencanakan perang? Sebuah serangan besar?"
"Raja selalu merencanakan serangan, itu bukan rahasia."
Tapi apakah dia akan menyerang Stacca? Aku berteriak di kepalaku.
"Aku mendengar tentang pesisir Dumont, apakah Raja ingin panjinya berkibar di sana juga setelah keberhasilan cemerlang pasukkannya dalam penakhlukan Tananian?" tanyaku seperti gadis desa yang penasaran.
"Aku rasa tidak." Dia membungkuk ke arah kudaku, seolah dia akan membisikan sebuah konspirasi besar. "Aku bahkan berpikir Raja tidak sedang merencanakan ekspansi."
Aku memasang wajah kebingungan, berharap dengan putus asa dia akan mengatakan lebih banyak. Tapi dia tidak.
"Bagaimana dengan Negeri Selatan?" Aku bertanya sambil lalu. Membuat itu terdengar seolah aku hanya sedang mengoceh. "Maksudku dua tahun lalu kita sudah sampai ke titik perang terbuka dengan Stacca bukan? Bahkan kita mengerahkan begitu banyak armada angkatan lautmu, Laksana. Dan kita berdamai hanya karena surat perjanjian gencatan senjata sementara."
"Kami mengumpulkan armada, memang. Siap bertempur jika itu diperlukan, tapi kita tidak akan menjadi orang yang melepaskan serangan pertama. Setidaknya selama Raja masih mau mendengarkan aku." Bahunya sedikit merosot saat dia bicara lebih banyak tentang Stacca. "Negeri Selatan itu kaya dan jika kita bisa menguasai tanahnya tidak ada pertanyaan tentang berapa banyak keuntungan yang kita bisa dapatkan tapi mengingat lautan yang memisahkan dua tanah ini, kita perlu armada laut yang lebih kuat. Kita tidak bisa mengambil risiko kalah dan aku tidak ingin tragedi kelaparan dua tahun lalu terulang. Grishold tentunya tidak mengharapkan putusnya akses dagang dengan Stacca di musim dingin nanti."
Apakah dia mengatakan yang sebenarnya? Apakah ini semua kebenaran? Yah aku bisa merasakan perasaan khawatir dan pedulinya dan sejauh ini tidak ada tanda-tanda rasa curiga dari setap pertanyaanku, itu bagus. Tapi jika bukan serangan Stacca apa yang membuat Raja sibuk akhir-akhir ini?
"Tentu saja tidak ada yang ingin kelaparan mengerikan di musim dingin yang kejam itu terulang. Itu mengerikan." Kami sampai kembali di istal dan aku melompat turun dari Wild, mendarat dengan anggun di kakiku. "Lalu apa yang menyita waktu Raja sekarang?"
Laksamana berhenti dari menuntun kudanya, menatapku kali ini dengan kernyitan yang dalam. Aku akan berpikir dia curiga padaku jika aku tidak tahu lebih baik. Tetapi dia tidak curiga denganku, dia hanya sama penasarannya sepertiku. "Aku tidak tahu tapi Yang Mulia sibuk dengan Cenesty minggu terakhir ini. Aku menebak itu harus tenteng pasukan udaranya." Tapi kemudian dia menggeleng dan tertawa. "Yah bukannya benar-benar ada yang mengerti pikiran Raja."
Cenesty, sama seperti yang coba ditunjukkan hantu Pangeran Leander padaku. Tapi bagaimana aku bisa mencari tahu apa yang ada di Cenesty. Bagaimana aku bisa mencari tahu sementara aku terjebak dan terkurung di sini. Kecuali-
"Laksamana, aku rasa aku harus berterima kasih padamu untuk waktu dan kesenangan pagi ini. Dan kamu harus memaafkanku karena aku harus pergi sekarang."
Dia menggeleng dan tersenyum mengambil tanganku untuk mencium punggung tanganku dengan ringan. "Kesenangan itu milikku, Catalya. Jangan ragu jika kamu ingin bertemu denganku atau berkuda. Aku tidak akan melewatkan kesempatan untuk berpacu di atas angin bersamamu lagi. Dan jika Pangeran membuatmu bosan kamu mungkin juga datang padaku, aku yakin aku tahu cara menghibur wanita."
Aku ingin mendengus pada permintaan terakhirnya tapi aku berhasil mempertahankan kontrolku tetap tidak tergelincir. Aku mengangguk sopan dan setelah memberikan tali kekang Wild pada salah seorang penjaga istal aku bergegas di kakiku. Tidak membuang waktu untuk pergi ke tempat paling aku benci di dunia ini. Aku menyeberangi halaman dengan langkah cepat dan segera atap merah The Radiant muncul. Beberapa prajurit mulai berkeliaran tapi tidak ada yang menghentikanku. Mungkin menjadi simpanan Putra Mahkota memiliki keuntungan tersendiri. Bangunan besar itu tampak seperti terakhir kali aku di sini dan itu baru satu hari yang lalu tapi rasanya juga seperti selamanya. Aku membuka pintunya dan penjaga di kedua sisinya mengangguk hormat, hanya itu yang mereka lakukan. Jadi aku melangkah masuk. Aku berjalan begitu cepat hingga langkah kakiku bergema, aku pergi ke dapur pertama, tapi Lis tidak ada di sana. Seorang gadis memberi tahuku dia ada di kamarnya di lantai dua.
Aku naik ke tangga yang berderit hampir berlari dalam ketergesaanku untuk sampai ke lantai atas dan sebagai hasilnya aku hampir menabrak jatuh Talal begitu aku mencapainya. Dia menatapku sesaat sebelum mengernyit.
"Bukankah ini gadis yang diinginkan Pangeran?" Senyum sakit yang membuat seringai di bibirnya, membuatku mundur.
"Minggir! Aku tidak punya urusan denganmu!" Aku mencoba lewat di sisinya tapi dia bergeser untuk memblokir jalanku.
"Terburu-buru? Apa yang begitu penting, Lady?" cara dia memanggilku membuat kulitku merangkak.
"Biarkan aku lewat, sialan!" Dia tidak bergerak dan malah mengambil satu langkah ke arahku. Perutku berputar dan tiba-tiba aku ingin muntah. "Minggir!"
"Biarkan aku merasakan kamu seperti Putra Mahkota melakukanya dan kamu bisa lewat." Aku menekan gigiku bersama dan jariku sudah merangkak di pergelangan tanganku, tempat belatiku terjepit dengan aman. Jika dia melangkah satu langkah lagi, aku bersumpah aku akan membunuhnya. Dan aku akan pastikan membuat itu menjadi kematian lambat yang menyakitkan.
"Menyingkirlah, Talal! Aku sungguh tidak memiliki waktu untuk kekejian sepertimu." Aku mendorong ke depan dan tubuhnya yang besar menghadangku. Dia mencoba mendorong untuk menjebakku ke dinding tapi aku berkelit ke bawah lengannya dengan halus. Dia meraih pinggangku dan itu yang aku butuhkan untuk menyulut apiku. Dalam satu detik aku menarik belatiku dan detik berikutnya aku berbalik untuk mengiris buku-buku jari yang meringkuk di pinggangku. Talal mengutuk dan melompat mundur melepaskanku, bersiap untuk balas memukulku. Terlambat, pikirku, karena aku sudah mengangkat kembali belatiku kali ini ke tenggorokannya. Siap membuat lubang dan memutus urat di nadinya.
"Aku sudah peringatkan untuk menyingkir. Jangan pernah berada di jalanku lagi! Atau aku benar-benar akan membunuhmu!" Dia menelan dengan gugup. "Apa aku dimengerti?" Dia mengangguk. "Bagus."
"Apa yang terjadi di sini?" Wajah Kapten Moringan muncul dari tangga dan aku menarik belatiku. Dia memandang bolak-balik antara aku dan Talal. Pada ketegangan yang masih tersisa di antara kami.
"Mungkin kamu harus bertanya padanya, Kapten." Aku melirik dengan penuh kebencian pada Talal. Hanya itu yang aku katakan sebelum aku berbalik dan mencari lagi kamar Lis. Aku perlu dia untuk mengatakan pada para pemberontak untuk mengawasi Cenesty, coba cari tahu apa yang ada di sana. Bahkan mungkin ambil risiko untuk melihat Gates of Abyss.
***
Jangan lupa vote and comment-nya yah, Thanks :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top