6

Dulu, jauh sebelum manusia mengenal Dewa dan Setan, manusia berperang satu sama lain. Kematian dan darah mengotori tanah-tanah yang suci, membangunkan momok dari kengerian yang telah lama tertidur. Raja Setan yang hidup dari kebencian dan kedengkian hati manusia. Namun Gieraa, Sang Dewa Perang mengenali tanda-tanda Raja Setan yang mulai terjaga. Gieraa membangun kuil dari tubuhnya sendiri untuk menawan Sang Raja Setan. Sementara jiwanya terbang pulang pada ibunya, Dewi Kin, menunggu untuk berbaur dengan jiwa anak yang kelahirannya dijanjikan pada Pembalasan.

Kematian Gieraa, Kisah rakyat Grishold, berbagai sumber

Piring-piring hidangan utama baru saja disingkirkan dan pelayan mulai menyajikan hidangan penutup di atas meja. Piring penuh puding yang manis, tart karamel, dan waffle dengan saus maple khas Briar. Tapi bahkan meski aku belum pernah mencicipinya aku tidak berselera. Ada yang mengangguku, perasaan gelap dan penuh kebencian. Itu terasa kuat di antara banyak perasaan santai dan puas dari orang-orang di meja makan. Aku tidak bisa menemukan sumbernya, seolah itu bersembunyi dariku. Di sampingku Pangeran duduk dan makan dengan tenang bertukar beberapa kata dengan Raja dan Ratu. Dia sudah memperkenalkanku sebagai teman wanitanya, putri dari keluarga pedagang di Briar. Banyak mata yang menilai dan aku berusaha memberikan senyum polos yang menggoda.

Aku langsung mengenali Laksamana Young begitu aku melihatnya. Dia tinggi dan kekar dari pekerjaan di atas kapal, rambutnya adalah warna merah yang gelap, dan bibir yang selalu tercabik dalam seringai sombong, warna matanya biru gelap, lautan yang dalam, dan armor peraknya dipoles hingga mengkilap. Sayangnya dia duduk cukup jauh dariku jadi aku tidak bisa banyak bicara dengannya. Tapi aku membuat ketertarikanku jelas, aku berpura-pura menatapnya dari bawah bulu mataku, berkedip saat dia memperhatikanku, dan memerah ketika dia memberiku senyum. Mungkin dia akan menghentikanku dilorong untuk berbicara denganku jika aku beruntung.

Hal lain yang mengangguku saat makan malam selain perasaan kebencian yang pekat di udara adalah Kapten Penjaga yang berdiri merapat di dinding. Matanya terus terfokus padaku. Aku yakin dia mengenaliku meski dia tidak melakukan apa pun untuk menunjukkannya. Jika dia cukup dekat aku percaya aku akan dapat merasakan perasaan marah dan bingung yang memancar darinya, bertanya-tanya dari begitu banyak gadis kenapa aku ada di sini, dan kenapa aku berasal dari Briar bukannya Jadecliff. Aku sudah berbisik pada Pangeran tentang Kapten tapi dia bilang dia akan mengurusnya. Pangeran hanya melirik Kapten mengunci mata mereka bersama dan menggeleng. Kapten Penjaga itu tegang.

"Kapten Moringan tidak akan membuat masalah." Pangeran membungkuk untuk berbisik di telingaku. Aku pura-pura memerah lagi seolah dia baru saja membisikkan kata-kata yang memalukan. Itu membuatku merasa konyol dan bodoh tapi itulah tujuannya, biarkan mereka semua berpikir aku bodoh dan dangkal sehingga mereka tidak merasa perlu untuk menjaga kata-kata mereka di sekitarku.

"Apakah dia takut padamu?" tanyaku, condong ke arah Pangeran. Dia tersenyum menggodaku.

"Kapten Moringan?" Aku mengangguk. "Tidak. Jelas dia tidak takut padaku."

"Lalu bagaimana Anda yakin, Yang Mulia?"

Dia menyentuh lenganku yang ada di atas meja, mengambil jari-jariku untuk menciumnya. Orang-orang memperhatikan itu diam-diam bahkan Raja dan Ratu. Aku melirik Laksamana yang secara terang-terangan menatap kami dengan sinar cemburu di matanya, yah Pangeran bermain dengan pintar aku rasa.

"Karena Sayangku, aku tahu Kapten tidak akan melukai kecantikan seperti dirimu." Aku akan tertawa terbahak-bahak seperti pelaut saat mendengarnya tapi aku menahannya hingga perutku sakit, dan malah memaksa wajahku memerah padam, seolah aku tersipu oleh pujiannya.

"Anda menyanjungku, Yang Mulia," bisikku malu-malu seperti gadis desa yang dia ceritakan. Bulu mataku berkedip untuk menggodanya. Gavin dan Dalia akan menertawakanku jika mendengar diriku saat ini.

"Kalian harus memaafkan aku." Pangeran berdiri menawarkan tangannya padaku, matanya tidak meninggalkan wajahku, seolah dia benar-benar tergila-gila. Aku mengambil tanganya dan dia menerikku berdiri. "Karena meninggalkan perjamuan lebih awal."

Beberapa orang melemparkan senyuman tahu, sebagian lagi mendengus, jelas mereka berpikir kami akan mengunci diri di kamar hingga fajar dan Dewa tahu apa yang mereka pikirkan.

"Pangeran Priam," ucap Raja dan suara di meja makan tiba-tiba berhenti. Raja menatapku dengan mata hitam yang sama dengan milik putranya, jubah malamnya berwarna biru tinta dan mahkota kerajaan bertakhta di kepalanya. Saat aku menatapnya aku mengingat seekor predator yang mengintai mangsa dan rasa dingin tidak manusiawi merayap di punggungku. Aku buru-buru menundukkan kepalaku. Aneh sekali, aku tidak bisa merasakan perasaannya, itu seperti kosong di benaknya. "Aku mengharapkan laporanmu dari Briar. Jika kamu bahkan punya waktu untuk membuat laporan mengingat kamu begitu sibuk dengan wanitamu."

Aku menunduk lebih dalam tapi Pangeran meremas tanganku. "Laporanku akan ada di meja kerja Anda, Yang Mulia, tepat saat fajar pertama besok."

"Baik, kau bisa pergi." Pangeran menarikku bersamanya, praktis melesat dari ruangan itu. Semua orang masih diam hingga kami menghilang.

"Kenapa pergi begitu cepat?" tanyaku saat dia akhirnya melepaskan tanganku.

"Ada hal lain yang harus aku lakukan. Kembalilah ke kamarmu, aku akan menemuimu lagi besok. Kerja yang sangat bagus untuk menarik perhatian Laksamana, aku memperhatikan bagaimana kamu menggodanya."

"Aku bukan gadis kecil, Yang Mulia. Aku bisa pergi ke mana pun aku mau dan tentang Laksamana aku berpikir untuk membiarkannya menangkapku di lorong sendirian. Dia mungkin akan menumpahkan kata-katanya seperti bajak laut yang menyumpah." Kemudian aku berpisah darinya. Jika dia keberatan dia tidak menghentikanku.

Aku hampir mencapai koridor tempat makan malam berlangsung. Sudah menyiapkan alasan jika seseorang melihatku, seperti Pangeran sibuk dengan laporan yang diminta ayahnya dan aku bosan diabaikan, atau aku pergi untuk mengambil tonik kontrasepsi di sayap penyembuh, tapi sejauh ini tidak ada yang memperhatikan. Aku berdiri di koridor bertanya-tanya pada diriku sendiri apakah aku harus mencari tahu di mana Laksamana tinggal dan datang padanya nanti atau bertaruh pada keberuntunganku untuk menemukannya keluar dari ruang perjamuan, mungkin dia akan cukup mabuk dan aku bisa menarik informasi keluar darinya.

Awalnya koridor itu sepi hanya aku yang berdiri di sana lalu tiba-tiba seseorang muncul dari udara kosong, berdiri tepat di sampingku. Aku mengutuk cukup keras dan kemudian menggigil kedinginan saat tangan orang itu menyentuhku, seolah seseorang baru saja mencelupkanku ke dalam air danau yang membeku di musim dingin. Tidak, tangan itu tidak menyentuhku, mereka menembusku seolah dia tercipta dari kabut.

"Apa yang kamu lakukan di sini? Jangan mengikutiku!" bentakku pada hantu Pangeran Leander. Dia terlihat sedih. "Apa yang kamu mau? Hantu tidak seharusnya berada di dunia makhluk hidup."

Dia masih mencoba bicara, bibirnya bergerak tapi aku bukan pembaca gerak bibir dan aku tidak mengerti. "Aku tidak mengerti! Cari saja orang lain untuk melakukan apa pun yang kamu inginkan."

Dia menggeleng dan menunjuk ke koridor yang akan membawaku ke kamarku. "Aku perlu melakukan sesuatu di sini. Adikmu atau kamu tidak akan mengaturku!"

Dia menatapku dengan mata memohon tapi kemudian dia lenyap dan seperti sebelumnya seseorang muncul. Langkah kaki bergema dari ujung lain koridor. Sebelum aku bisa berbalik atau bersembunyi orang itu muncul dan melihatku.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" Suara Kapten Penjaga terdengar terlalu keras di koridor yang begitu sunyi.

Aku berusaha mengangkat kepalaku tinggi, seperti orang yang tidak bersalah tapi menatap ke mata cokelat Kapten membuatku gelisah dan kemarahan yang datang darinya menabrakku begitu kuat. Dia marah. Sangat marah melihatku. "Aku baru akan mengambil tonik dari tabib saat kamu muncul."

Dia tidak percaya itu. Kecurigaannya padaku terlalu banyak. "Kamu tidak berasal dari Briar!"

"Jelas tidak. Kamu mengambilku dari tempat lain bukan? Ayah dan ibuku juga bukan pedagang, mereka bahkan tidak hidup, pedang prajuritmu mengambil mereka!" balasku, tidak ada gunanya berpura-pura. Dia tahu pasti dari mana aku berasal, dia yang membawaku.

"Mereka pemberontak, mereka adalah pengkhianat untuk kerajaan. Hukuman mati pantas untuk pengkhianat Grishold." Dia mengatakan itu dengan keyakinan penuh yang bahkan membuatku tersentak tapi kemudian aku marah. Bagaimana dia bisa menutup matanya pada orang-orang korup ini? Bagaimana dia bisa membenarkan apa yang dilakukan Raja? Perbudakan? Rumah pelacuran?

"Dan itu membuatku pantas untuk tinggal di rumah pelacuran? Aku pantas memiliki nasib itu hanya karena aku ingin keadilan? Katakan Kapten, apakah aku pantas?" Aku tidak mengerti kenapa aku begitu marah padanya. Ini bukan pertama kalinya aku mendengar ketidak pedulian dari orang-orang Raja, mendengar bagaimana mereka menganggap kami seperti tikus. Tapi cara dia mengatakannya membuatku marah, mungkin itu karena dia benar-benar percaya kami pantas atau mungkin karena dia terdengar seoleh dia melakukan hal yang benar.

"Aku—"

"Biar aku beri tahu kamu, Kapten. Puluhan orang mati karena kelaparan di jalanan sejak kenaikan upeti yang tidak masuk akal. Puluhan orang pria dan wanita, dewasa dan anak-anak diperbudak tanpa belas kasih. Gadis-gadis ... pernahkah kamu masuk ke The Radiant? Tentu saja kamu pernah, kamu harus menghancurkan gadis di sana karena kamu pikir mereka pantas. Mereka hanya anak-anak, wanita, yang seharusnya dihargai dan dilindungi tapi tidak di tempat ini. Negeri para Dewa sudah berakhir dan sekarang hanya tersisa mimpi buruk. Karena siapa, Kapten? Apakah kami para pemberontak yang hanya mengharapkan keadilan untuk keluarga kami yang diambil? Atau karena orang-orang sepertimu yang selalu menutup mata?"

Aku berjalan menerobos ke arahnya dalam badai kemarahanku, karena jika aku tinggal lebih lama aku akan melakukan hal yang bodoh. Namun kemudian dia mengambil lenganku, gerakan itu menghentikan langkahku, aku memutarnya untuk lepas darinya tapi tanganya yang lain menyentak bahuku dengan cepat, mendorongku ke dinding koridor. Tubuh tinggi dan besarnya mengurungku, melingkupiku dengan aroma kayu dan tanah basah, hutan yang begitu hidup. Perasaannya terlalu berantakan hingga aku tidak bisa memilahnya. Ada merah, hitam, begitu bercampur, panas dan dingin, kemarahan, penyesalan, keinginan. Aku tidak bisa menentukan apa yang dia rasakan.

"Menyingkir dariku, Kapten!"

Dia tidak melakukannya, panjang tubuhnya menekanku lebih erat ke dinding. Belahan gaun hijau gelapku terlalu rendah dan saat dia mendorongku, melayang di atasku dia akan punya pemandangan yang sempurna untuk dadaku, itu membawa panas merayap ke pipiku, tapi dia hanya fokus pada mataku.

"Aku tidak berpikir kamu pantas. Aku tidak berpikir The Radiant pantas untuk siapa pun. Dan aku juga tidak berpikir mereka benar—"

"Tapi kamu memang melakukannya," potongku lagi. Aku mendorong dadanya, itu membuatnya sedikit menjauh dan aku mengambil kesempatan itu untuk menarik hiasan rambutku. Dia menggenggam lenganku sebelum aku bisa menusukkannya melewati celah di baju zirahnya.

"Aku bersumpah setia untuk Kerajaan Grishold. Aku akan melakukan tugasku meski itu bertentangan dengan kehendakku." Dia menatapku. "Dan itu berarti aku melindungi keluarga kerajaan termasuk Putra Mahkota. Dari ancaman apa pun, termasuk kamu."

Aku tertawa, aku tidak bisa menahannya. "Kamu pikir aku akan cukup bodoh untuk membunuh Putra Mahkota?"

"Aku melihat kamu menggunakan pedang, melihat bagaimana kamu menari seperti air saat mengambil kematian dan tiba-tiba kamu menjadi wanita simpanan Pangeran, apa lagi yang harus aku pikirkan?"

"Mungkin kamu harus berpikir Pangeran punya pekerjaan untukku. Mungkin kamu harus mulai berpikir bahwa Pangeran tidak menutup mata sepertimu." Aku meludahkan jawabanku ke wajahnya dan puas dengan kebingungan yang muncul berikutnya.

"Apa maksudmu?"

"Kenapa tidak bertanya pada Putra Mahkota sendiri?" jawabku sinis. Aku mendorongnya lebih keras dan kali ini itu berhasil membuatnya mundur. Aku tidak membuang waktu untuk pergi dan bersyukur dia tidak menghentikan aku lagi.

Aku membuat langkah cepat, kakiku bergerak seolah mereka sudah menghafal tiap koridor di istana, aku sampai ke kamarku, membuka pintuku dan jatuh ke atas ranjang, senang Kaia dan Yeva tidak berada di sini. Aku menutup mata, masih begitu marah pada kata-katanya. Tapi yang lebih buruk aku merasa marah karena Kapten Penjaga itu begitu bodoh. Dan saat aku membuka mataku kembali hantu Pangeran Leander membungkuk ke arahku, wajahnya melayang tepat di atas wajahku.

"Demi Dewa Yang Berdarah! Apa yang kamu pikir kamu lakukan?" Aku duduk begitu cepat dan dalam prosesnya menembus kepala hantu Pangeran, rasa dingin es kembali menyiramku. Dia menegakkan tubuhnya sekarang. "Apa? Pergilah! Aku tidak punya waktu untuk berurusan dengan hantu! Aku sudah punya cukup masalah dengan manusia yang masih bernapas!"

Dia menunjuk ke lukisan Raja dan Ratu lagi. "Kamu tidak akan menyerah, bukan?"

Saat dia tidak menghilang aku yang menyerah, aku turun dari ranjang dan melihat apa yang sebenarnya ingin dia tunjukkan.

***

Please vote and comment to give your reaction about Rose In The Mist And Flame :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top