17
SCENE IX
(MAUT MUNCUL)
Maut: Tikamlah jantungmu dengan bilah di tanganmu dan aku akan mengabulkan satu keinginanmu!
Anak laki-laki: Baiklah, aku akan melakukannya.
Maut: Apa itu yang kamu inginkan, Bocah?
Anak laki-laki: Aku ingin jantungku menghilang. Maka aku akan hidup meski aku menikamnya.
—The Secret of Fintan's Immortality oleh Larson Joseph
Nyala dari obor membuat bayangan kami yang memanjang bergoyang, tidak ada cukup cahaya untuk melihat tangga batu di bawah kakiku. Udara lebih dingin saat kami turun lebih jauh, aku tidak suka pikirkan tentang ribuan ton tanah di atas kepelaku, siap menjepitku ke bumi kapan saja hingga mati. Aku juga tidak suka udara di sini, cukup lembab untuk sebuah tambang batu bara dan ada perasaan aneh yang konstan, seolah seseorang atau sesuatu telah tertanam dengan perasaan mengerikan. Aku tidak ingin apa pun kecuali berbalik kembali ke atas dan pergi jauh dari apa pun itu yang menunggu kami di bawah. Tetap saja aku memaksa kakiku untuk turun, mengikuti Kapten di depanku dengan obor yang berkedip-kedip, membuat rambutnya berubah menjadi warna tembaga merah.
"Di mana tepatnya di hell yang berdarah kamu pertama kali melihatnya?" Aku mengumpat, tidak bisa menahannya.
Obor terayun saat kepalanya berbalik untuk melihatku, aku menghentikan kakiku tepat sebelum menabraknya dan membuat kami berdua jatuh menuruni tangga. "Tempat beberapa tahanan disimpan. Tidak jauh, ayo!"
"Apa yang kamu rasakan saat itu?" Dia kembali berjalan, langkahnya lebih cepat. Aku penasaran apakah dia bisa merasakan hal yang salah sepertiku. Seolah ada serangga yang merayap di bawah kulitmu dan mencoba mencakar keluar.
"Aku tidak yakin."
"Apa yang kamu maksud dengan tidak yakin?" Dia mengeluarkan suara desahan pendek, mengintai ke ruangan di depan sebelum dia melewati anak tangga terakhir. Aku menunggunya untuk menjawabku. "Yah?"
"Aku merasa sakit." Dia terlihat berpikir, mungkin mencari kata yang tepat untuk menggambarkannya. "Aku tidak cukup dekat untuk tahu dengan pasti. Tapi saat mereka ada di sekitar, kamu akan tahu. Kamu tidak bisa mengabaikan perasaan yang mereka bawa."
"Apa itu membuatmu ketakutan? Gila?"
Kami berjalan melalui sel-sel yang kosong dengan terali besi yang sedikit berkarat, rantai menggantung di dindingnya. Aroma lebih buruk di sini, bertahan di udara yang pengap dan aku merasa seperti tercekik.
"Tidak persis. Aku lebih merasa seperti tidak berguna dan sia-sia. Itu membuatku ingin menyerah untuk hidupku." Kami berbelok ke kiri saat mencapai seberang ruangan, mengambil lorong yang lebih banyak sel kosong, aku terus mengikutinya, tidak tahu seberapa jauh lagi kami harus berjalan. Di beberapa tikungan lain aku mendengar suara wyvern yang menggeram atau sesekali melihat siluet besar yang bergerak di bayang-bayang tapi sejauh ini kami tidak bertemu penjaga yang bertugas atau wyvern yang ingin mencabik kami. Aku berasumsi bahwa Kapten benar-benar tahu apa yang sedang dia lakukan. Tapi sayangnya kami juga tidak menemukan tanda apa pun dari makhluk yang kami buru. Aku setengah frustrasi dan suara kecil di kepalaku terus berbisik untuk kembali, tinggalkan lorong-lorong mengerikan ini.
"Di sini," ucap Kapten. Kami berdiri di percabangan lain dari labirin tambang, satu mengarah ke tangga sempit yang akan membawa kami lebih jauh ke bawah dan yang lain mengarah ke pintu sel baja tertutup. "Aku kehilangan jejak di sini. Itu menghilang begitu saja."
"Lalu kita ditinggalkan dengan dua kemungkinan, dan karena pintu di ujung terkunci, aku akan berasumsi bahwa makhluk apa pun itu akan pergi ke tangga."
Aku melongok untuk melihat dasar tangga tapi itu terlalu gelap. Tangga itu curam dan kasar, hanya berupa tanah batuan yang digali menjadi tingkatan anak tangga. Itu bisa runtuh kapan saja di bawah pijakan seseorang dan mengirim orang yang menuruninya terperosok ke dalam kegelapan di bawah. Di Jadecliff, tambang kami memiliki tempat untuk menambatkan kait dan tali yang digunakan untuk menahan tubuh kami jika kami jatuh. Aku tidak banyak turun ke tambang karena ayahku tidak bekerja di sana. Ayahku punya bengkel seninya sendiri di dekat rumah kami, mengukir dan memoles batu menjadi cantik, jadi aku tidak pernah terbiasa dengan kedalaman dan kegelapan semacam ini.
"Apakah kita akan turun lebih jauh?" tanyaku. Kapten tidak mengambil langkah lain. Dia baru saja diam dan sepertinya tidak yakin harus melakukan apa lagi.
"Itu mengarah langsung ke Womb." Aku kembali melihat ke tangga yang sempit dan tiba-tiba merasa itu lebih gelap dari sebelumnya.
"Kita harus mencari tahu bukan?" tanyaku. Dan jika itu langsung mengarah ke Womb, aku mungkin juga mencari tahu tentang Lis. Aku sudah memberi tahu Kapten tentang Lis yang dikirim ke Abyss, kami bicara banyak dan aku juga memintanya untuk membantuku membebaskannya tapi sejauh ini kami tidak menemukan jalan keluar.
Dengan sangat enggan Kapten mengangguk dan mengambil langkah pertama di anak tangga. Cahaya dari api obor berkedip saat dia melangkah lebih jauh. Aku bergegas di belakangnya, tanganku meraba pada sisi dinding yang kasar, batu menggores telapak tanganku tapi itu memberiku sedikit ketenangan. Memberiku ilusi untuk berpegang pada sesuatu yang solid. Lebih jauh ke bawah, aku mulai merasakan perubahan di udara. Lebih pekat dengan perasaan mati rasa dan putus asa, itu menekanku hingga aku kesulitan untuk bernapas. Aku menghitung di dalam kepalaku. Satu, tarik napas. Dua, hembuskan. Aku mempertahankan hitungan untuk tetap pada ritme pernapasan yang lambat dan mengutuk kemampuanku di saat seperti ini. Jika aku bisa menutupnya aku tidak perlu merasakan semua tekanan perasaan negatif yang terkumpul di bawah sini. Berapa banyak tahanan yang telah kehilangan harapan di bawah sini? Berapa banyak dari mereka yang masih memiliki api di jawanya? Dan Lis ada di sini. Di salah satu lorong yang membingungkan dan terkurung di sebuah sel. Setidaknya dia masih hidup, atau aku harap begitu. Kami mencapai anak tangga terakhir, aku melihat sekilas ruangan di depan kami, sel di sini tertutup oleh pintu baja dengan lubang pintu kecil di bawah. Aku berasumsi bahwa itu tempat penjaga mendorong makanan mengerikan apa pun yang ada di sini untuk tahanan.
"Tahan!" desis Kapten dan dia menekanku ke dinding sebelum aku melangkah lebih jauh. Mengetuk obor hingga padam, dia baru saja menjebak kami ke dalam kegelapan. Kemudian suara-suara langkah kaki terdengar mendekat ke arah kami. Cahaya dari api obor menari di dinding lorong. Aku mendengar Kapten mengutuk nama para Dewa di dekat telingaku. Napasnya sama cepatnya dengan milikku, setiap detik aku mengharapkan penjaga akan menemukan kami, kemudian mereka akan menyeret kami pada Jenderal. Suara percakapan dua pria semakin dekat dan aku dapat mendengar mereka samar-samar.
"Makhluk mengerikan apa yang sebenarnya dibuat di ruangan itu?" Salah satu penjaga berbisik pada rekannya. Aku tidak mungkin salah mengenali nada ketakutan di suaranya.
"Shhh ... kita tidak membicarakan ini. Apakah kamu ingin kepalamu berpisah dari lehermu? Ingat apa yang terjadi pada Rhys!" balas rekannya.
"Persetan! Makhluk itu penuh dengan sihir hitam! Tanah Grishold hanya akan menderita lebih banyak!" Aku mengenal suara itu ketika berbicara lebih keras. Itu Torin. Langkah kaki mereka memudar dan begitu pula dengan cahaya dari obor mereka. Aku menghela napas lega saat mereka tidak berbelok ke lorong kami.
"Kita sudah di jalur yang benar," bisikku pada Kapten. Dia membebaskanku dan aku sedikit menggosok punggungku yang nyeri karena menekan permukaan dinding yang kasar. Aku tidak dapat melihat apa pun tanpa cahaya dari obor kami. Tanganku meraba-raba di depanku, mencari sesuatu untuk memberiku orientasi dan kemudian percikan api dari pemantik memercik di udara dan menyulut kembali obor. Cahaya redup memberiku sedikit penglihatan, Kapten berdiri tepat di sebelahku dan sekali lagi dia memimpin kami ke arah kedua penjaga sebelumnya datang. Setelah diam untuk waktu yang lama aku tidak bisa menahan diriku. "Kapten?"
"Apa?"
"Apa kau mendengar percakapan mereka? Makhluk itu dibuat, apa maksudnya itu?"
"Aku tidak tahu, Rose. Aku sama butanya denganmu." Napasnya yang dangkal terdengar keras di labirin. Aku merasa lebih buruk dengan setiap langkah yang kami ambil. Kemudian itu terjadi begitu saja. Aku merasakan dingin di tulangku dan tiba-tiba aku hanya bisa mengingat tentang kengerian dalam hidupku. Aku mencoba mengusir itu tapi perasaan itu mendorong untuk membungkusku. Aku menyaksikan dengan ngeri saat satu sosok jubah kegelapan muncul dari lorong di depan kami. Kapten menjatuhkan obornya seolah sama sepertiku, dia juga baru saja kehilangan pikirannya. Dan sekali lagi kami terjebak dalam kegelapan total.
Selimut hitam pekat dari kegelapan menekan mataku. Hawa dingin menyebar lebih banyak. Aku merasa seperti dibekukan dan kemudian jari-jari ramping seperti tulang mencekik leherku. Rasa dingin yang tak tertahankan berhembus menggetarkan tulangku memaksaku untuk roboh ke lutut. Aku panik, dan berpikir apakah Kapten mengalami hal yang sama denganku. Bagaimana seseorang bisa melawan hal semacam ini. Utas dari pikiran rasional yang masih aku pengang perlahan tergelincir dan aku mendapati diriku hanya tahu tentang kegelapan dan dingin. Perasaan putus dari kehidupan. Kemudian aku merasakan napas dingin kematian, begitu dekat dengan bibirku. Itu menarik setiap benang yang menambatkanku pada kehidupan. Makhluk apa pun ini, yang sekarang berada tepat di depanku, dia memeras kehidupan dariku.
Lalu kenangan-kenangan seumur hidupku berkilat di kepalaku, begitu cepat tapi aku tahu setiap memori yang terlintas. Perasaan sentuhan jari berlendir yang memilah ingatanku membuatku bergidik. Mereka membongkar setiap memori dengan brutal, mencabik mereka, mencari hingga mereka menemukan satu yang paling menghancurkan. Memutarnya kembali dengan begitu jernih, hingga aku percaya itu bukan ingatan, itu terjadi dan aku kembali menjadi gadis kecil yang meringkuk ketakutan.
Itu aku berumur delapan tahun, menyaksikan pembantaian tanpa daya. Aku berdiri dengan gaun merah muda pucat yang baru selesai dijahit ibuku, rambut cokelat merahku dikepang menjadi dua. Mataku lebar seperti hewan liar yang baru saja terpojok. Aku menggenggam belati yang baru selesai ditempa di jari-jari kecilku "Lari Rosemary!" bentak Pamanku. Dia membuka jendela di belakang bengkel dan mengangkatku keluar.
Aku terlalu takut untuk melakukan apa pun. Jadi aku berjongkok di sana, ada lubang kecil di dinding kayu tempat aku dapat mengintip apa yang terjadi di dalam. Pintu bengkel pandai besi pamanku didobrak. Setengah lusin prajurit dengan baju besi menyeruak masuk. Pedang mereka ditarik. Pamanku berdiri dengan pedangnya sendiri, menghadapi mereka tanpa rasa takut. Aku tahu saat itu aku harus menutup mataku, aku tidak perlu melihat semua itu tapi aku tidak bisa. Aku terlalu takut untuk menolong pamanku, aku tahu dia akan mati, tapi aku tetap bersembunyi seperti pengecut. Aku hanya bisa menyaksikannya untuk menghargai keberaniannya, untuk mengingat, dan menyimpannya. Aku berjanji tidak akan pernah melupakan itu, pengingat apa yang telah dilakukan Raja pada kami.
Pamanku bertarung seperti setiap pria yang memiliki harga diri, dia tidak menyerah bahkan saat dia tahu dia tidak akan lolos. Dia berhasil membunuh dua dari prajurit sebelum pedang yang lain menembus jantungnya. Darah menyembur merah pekat yang memuakkan, aku memaksa diriku untuk tetap melihatnya, saat pamanku jatuh telungkup dan dia tidak pernah bangkit lagi. Lalu mereka membakar bengkel itu, aku lari dan hari itu aku bersumpah aku tidak akan menjadi lemah lagi.
Rasa dingin di tulangku semakin meningkat, saat memori itu berakhir dan pikiran lain diputar, kali ini itu bukan lagi memori, tapi aku sudah tidak dapat membedakan antara mimpi dan kenyataan. Aku menatap Dalia, itu begitu nyata, cantik dan lembut seperti yang aku ingat tapi kemudian hal lain terbentuk. Di belakangnya bagunan The Radiant berdiri dengan atap merahnya. Mata Dalia mengunci milikku dan mereka berkaca-kaca, bibirnya bergerak saat dia berbisik dengan suara pelan. "Tolong Rose! Jangan biarkan mereka menbawaku!"
Aku berlari untuk menangkapnya dan menghentikan prajurit yang mendorongnya tapi aku tidak pernah bisa bergerak dari tempat aku berdiri. Dalia didorong ke lututnya dan kemudian retakan cambuk menggema di udara saat itu merobek punggung Dalia. Air mata tumpah ke pipinya yang merah muda, matanya memohon padaku. "Tolong aku!"
Tapi aku tidak pernah bisa menolongnya karena aku membeku di sana, menyaksikan ketakutan terbesarku. Aku tidak bisa melihatnya lagi, tolong hentikan ini. Aku mulai menangis saat salah satu prajurit menangkup wajah Dalia memaksakan sebuah ciuman. Aku memeras mataku, memohon apa pun untuk ini berhenti.
"Rosemary tolong," desah Dalia, napasnya tercekat dan suaranya penuh dengan penderitaan. Itu menghancurkan setiap serat yang membangun diriku. Aku mengharapkan ini berakhir bahkan jika itu berarti kematian.
Beri kami namamu dan ini akan berakhir
Suara lembut berbisik padaku, menjanjikan kebebasan dari kengerian ini. Sosok gelap dengan jubah bertudung hitam mencul dari udara kosong di sebelahku. Jari-jarinya hitam seperti bayangan yang padat. Aku tidak dapat melihat wajah di bawah tudungnya dan aku hanya tahu begitu saja, bahwa jika aku melihat wajahnya aku tidak akan pernah kembali.
Sebuah nama dan kamu akan bebas
Bibirku bergetar hebat saat aku berusaha untuk memberinya namaku. Aku menggigil kedinginan seolah aku baru saja jatuh ke dalam danau musim dingin. Dia mengambil wajahku dengan jari bayangannya, memaksaku untuk mendongak dan kemudian semua itu pecah. Dalia menghilang, Bangunan The Radiant lenyap, makhluk di depanku meleleh, lebur menjadi asap kegelapan. Cengkeraman kedinginan mulai melepaskanku, aku menarik napas yang tersedak dan perlahan aku dapat kembali merasakan kehangatan merambat dari ujung-ujung jariku. Suara samar memanggil namaku membuat mataku tersentak terbuka.
"Ohh, terima kasih Teffa! Aku pikir kamu sudah mati." Kapten memegangku, berlutut di sampingku. Dia meremukkanku dengan lengan yang memelukku erat ke tubuhnya. Aku menyandarkan kepala di bahunya, dan membiarkan diriku menangis. Menghirup aroma hutan yang segar darinya.
Setelah beberapa menit hanya diam di antara kami, aku tahu aku harus bicara. "Apa yang terjadi?"
"Makhluk itu muncul dan itu jauh lebih buruk dari yang bisa aku bayangkan."
"Apa yang terjadi setelah obor padam? Apakah kamu membunuh makhluk itu?" Dia mengangguk meski wajahnya terlihat muram. "Bagaimana?"
"Bakar. Aku membakarnya. Mereka tidak tahan dengan api." Kemudian dia menahan wajahku untuk menatapnya. "Apa yang terjadi saat makhluk itu memegangmu? Kamu hanya mati lemas begitu saja saat itu, Demi Teffa! Aku hampir percaya kamu sudah mati."
"Kamu tidak ingin tahu apa yang terjadi," jawabku. Dia tidak menuntut lebih jauh dan aku bersyukur untuk itu. "Apakah makhluk itu tidak mempengaruhimu?"
"Dia fokus padamu, hampir mengabaikanku sama sekali meski begitu aku masih dapat merasakan keputusasaan yang begitu banyak. Itu menekan dan melemahkan. Maaf aku perlu waktu begitu lama untuk menolongmu."
Aku hanya mengangguk dan mengambil lebih banyak napas. "Lalu sekarang apa?"
"Kita tahu makhluk seperti apa itu dan kita tahu cara untuk menghancurkannya. Itu cukup untuk satu malam."
Yah aku harus setuju dengan itu karena bahkan sekarang aku masih dapat merasakan gema dari rasa dingin di tulang-tulangku. "Dreadbringer, mereka meremas kehidupan kering darimu dengan membawa kengerian paling buruk keluar ke permukaan. Aku bertanya-tanya Kapten, apa yang akan kamu lihat jika mereka mencengkerammu."
Dia memandangku sedih dengan mata cokelat, cincin gelap di irisnya terlihat hitam. Wajahnya melembut saat kata-kata keluar dari bibirnya. Dia menahan mataku dengan tatapan ketakutan yang tajam. "Aku rasa aku tahu apa yang akan aku lihat. Aku baru saja menyaksikannya."
Aku mengernyit bingung dengan kata-katanya tapi mungkin aku juga mengerti. Dan aku merasakan perasaan hangat yang muncul di dalam diriku. Berusaha keras kepala untuk mengabaikannya, aku akhirnya hanya tersenyum kecil.
***
Kenapa R sayang banget sama Rose 🤔
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top