16
Napas menggelegak saat Sitara menenggak anggur dari piala emas upacara Tessorian. Jantungnya berdetak lebih cepat, lebih cepat, dan lebih cepat. Hingga itu berhenti dan napas meninggalkannya. Mati dalam satu teguk kemewahan anggur yang manis untuk persembahan pengabdian abadi Dewa Tessos.
—Rite Sacrifice In Tessorian Ceremony
Daratan membentang di bawah kami lautan hijau zamrud dari padang rumput, lembaran-lembaran kanvas cokelat dan hijau. Sungai mengalir hitam seperti tinta yang membelah kanvas. Bukit yang menjulang tampak seperti tonjolan kecil dari atas sini. Angin menderu di telinga kami, hampir terdengar seperti raungan ganas. Wyvern mengepakkan sayapnya beberapa kali, membawa kami lebih tinggi menembus awan. Dulu aku pikir berkuda itu menyenangkan seperti terbang tapi sekarang aku akan merindukan ini. Perasaan angin kering yang menampar wajahku, tekanan saat kami terbang lebih tinggi, dan bagaimana udara mengalir dengan halus di sekitar kami. Tidak halus, pikirku, tapi semacam membuai hampir seperti jari yang menenangkan.
"Kita akan turun," kata Kapten. Aku terkejut dengan suaranya, kedekatanya dengan punggungku, karena dia sudah diam berjam-jam dan aku juga tidak mencoba untuk mencairkan itu. Seolah kami baru saja setuju untuk membangun pagar baja di antara kami.
Wyvern menukik sedikit ke dapan sebelum aku bahkan sempat menjawab peringatannya. Sayapnya mengepak lebih lambat, membentang lebar untuk menahan kejatuhan kami dengan anggun, perlahan mengurangi ketinggian kami untuk lebih dekat ke tanah. Aku menangkap kilau warna api merah emas di selaput sayapnya, berkilau seperti batu delima. Saat akhirnya cakar-cakarnya menghantam tanah dan wyvern menekuknya untuk meringkuk rendah, sayapnya kembali terlipat ke tubuhnya. Gerakannya begitu halus dan cair, bahkan mungkin seringan bulu.
"Aku bisa melepasnya sendiri," ucapku, tangan Kapten berhenti dari usahanya untuk menguraikan simpul kulit yang menahanku ke pelana. Dia mengangguk dan beralih untuk melepas miliknya sendiri. Butuh beberapa menit lebih lama untukku tapi akhirnya aku berhasil keluar dari tali dan meloncat turun dari punggung wyvern. Saat aku selesai Kapten sudah membongkar persediaan bekal kami. Ada roti kismis dan keju kambing, beberapa potong daging kering dan apel. Aku duduk di dekatnya dan menuangkan sari buah mangga dan jeruk dari termos, membasahi bibirku yang sudah terlalu kering. Kapten merobek roti menjadi dua, menyerahkan setengahnya padaku. Aku menerimanya dan mengambil potongan kecil keju untuk mengolesi permukaannya dan mulai makan.
"Kamu marah."
"Tidak," jawabku masih dengan mulut yang setengah penuh. "Aku tidak punya alasan untuk itu. Lagi pula kamu tidak akan peduli jika aku marah." Aku menelan dan minum sekali lagi dari tutup termos. "Aku cukup paham dengan keberatanmu, Kapten, dan bahkan jika kamu benar-benar mengerti apa yang aku lakukan, kamu tidak harus menyukainya."
"Benar, aku tidak menyukainya." Dia mengangguk dengan enggan. "Terutama dengan metode dan risiko yang kamu ambil. Aku mengerti kamu ingin menyelamatkan anak-anak tapi menggunakan peledak dan serangan di tengah warga sipil itu ... berlebihan."
Aku mengangguk diam. Merasa seperti aku telah kembali menjadi gadis kecil yang gegabah. Seperti saat-saat di mana ayahku telah memarahiku karena aku menyelinap ke malam hari untuk menguping di bawah jendela rapat para pemimpin pemberontak bersama Gavin. Itu dulu, sudah lama. Seperti kehidupan yang lain. Tapi bahkan meski begitu, keras kepalaku masih membuatku enggan untuk menerimanya.
"Aku tidak melihat jalan lain yang bisa aku pilih," kataku.
"Kau bisa memberi tahuku atau Pangeran. Kami bisa mengamankan jalaur pelarianmu." Aku meringis.
Seolah aku bisa percaya kalian.
"Aku pernah memintamu untuk membantuku membebaskan mereka, kamu menolak." Dan kali ini aku puas dengan siram merah di wajahnya.
"Aku dulu ...," dia menggeleng seolah mengusir pikiran yang mengganggunya, "aku sudah melakukan banyak kesalahan, aku menyesal, dan aku ingin memperbaikinya."
"Dan kamu berharap aku hanya percaya begitu saja padamu, Kapten?" Aku tertawa setelah itu tapi wajahnya tetap kencang, lebih terganggu dengan tawaku.
"Saat aku bertanya apa yang bisa aku lakukan di taman waktu itu, setelah kematian pelayanmu. Aku melakukannya dengan sungguh-sungguh. Aku bermaksud semua apa yang aku katakan. kamu bisa mempercayaiku atau jika bukan aku, kupikir kamu percaya pada Yang Mulia. Dan bahkan jika tidak, aku pikir kamu akan tahu jika kami berbohong dengan berkat yang kamu miliki."
Aku mendengus dan beralih untuk mengambil apel, mulai menggigitnya dan kembali mengunyah. Kulitnya masih segar dan air buah yang manis tumpah di lidahku saat gigiku menghancurkannya. "Aku tidak tahu apa yang aku percaya. Dan tentang berkatku, itu tidak membuatku bisa membaca pikiran orang, itu hanya memungkinkan aku untuk merasakan perasaan mereka. Aku hampir selalu tahu jika seseorang berbohong tapi tidak selalu. Masih akan ada kemungkinan, saat-saat aku akan bisa ditipu."
Aku bertanya pada diriku sendiri saat itu, apakah aku pernah benar-benar percaya pada seseorang? Apakah aku pernah mempercayai seseorang tanpa memeriksa kepala mereka? Aku sudah terlalu terbiasa dengan kemampuanku, tergantung padanya dan dengan itu aku tumbuh dengan tidak mempercayai apa pun. Aku percaya pada diriku sendiri, percaya dengan apa yang aku pelajari dari membaca tiap perasaan seseorang. Kelebihanku juga tumbuh menjadi kekurangan mematikanku. Aku tidak tahu cara untuk percaya.
"Kamu tidak bisa mencurigai setiap orang Rosemary, kamu tidak bisa melakukan semuanya sendirian."
Betapa benar kata-katanya dan betapa banyak aku tidak bisa melakukannya.
"Aku tahu Kapten, aku sangat tahu itu." Wyvern di dekat kami menggeram, aku menoleh, melihatnya menggeser cakar-cakar tajam di bawah tubuhnya seolah dia tidak sabar menunggu kami, ingin kembali berada di atas angin dan merasakan kebebasan yang melayang. Aku tersenyum kecil karena aku juga menikmati terbang, jauh lebih banyak dari yang dapat aku izinkan. "Siapa namanya?" Aku menunjuk pada wyvern dengan daguku, Kapten menoleh, untuk mengikuti pandanganku.
"Kami tidak menamai wyvern," jawab Kapten kembali ke sikap tak acuhnya.
"Sungguh? Makhluk indah ini tidak memiliki nama?" Seolah wyvern itu sama tidak setujunya denganku, dia kembali mendengus erangan dan matanya menemuiku.
"Dia bukan hewan peliharaan."
"Dan itu membuatnya tidak punya hak untuk memiliki nama? Aku yakin itu melukai perasaannya." Aku melompat berdiri ke kakiku dan mendekati makhluk besar itu lagi. Kapten menyumpah di belakangku, mengejarku. "Tenang Kapten, dia tidak ingin menyakiti siapa pun."
"Dia sudah merobek banyak tubuh dalam pertempuran." Aku hanya melambaikan tanganku dengan remeh dan terus mendekati kepala wyvern, dia menunduk lebih rendah, menyurukan moncongnya ke telapak tanganku yang terulur.
"Dia pasti punya alasan bagus untuk melakukan itu. Bukankah begitu Keagan?" ucapku. Sekali lagi wyvern mengendusku dan hembusan napas panasnya menerpaku, matanya berkedip dan aku bersumpah mulutnya tercabik dalam seringai persetujuan, memamerkan gigi-giginya yang tajam. Seolah dia baru saja setuju dengan nama yang aku sebutkan. "Kau suka itu, bukan? Keagan, seperti nyala api emas di sisikmu."
Yah, Keagan akan bagus.
Aku terhuyung mundur kehilangan keseimbangan dan menabrak Kapten yang sudah berdiri di belakangku. Aku pasti membayangkannya, aku tidak mungkin mendengar wyvern berbicara di kepalaku. Atau, apakah aku?
Jangan terlalu terkejut seperti itu!
"Apa kamu mendengar itu?" tanyaku, berbalik untuk melihat Kapten tapi dia hanya menatapku dengan bingung.
"Apa yang seharusnya aku dengar?"
"Tidak. Bukan apa-apa. Aku pasti membayangkannya." Aku kembali melihat ke wyvern dan sekali lagi aku pikir dia tersenyum padaku.
Yah kamu pasti membayangkannya gadis kecil.
Aku menyipitkan mataku, membalas tatapan wyvern dengan sinis. "Kamu panggil aku apa?"
"Apa?"
"Bukan apa-apa," balasku pada Kapten, mataku masih menatap tepat ke mata wyvern yang sekarang kembali menyeringai padaku.
Yah bukan apa-apa, tentu saja.
***
Gate of Abyss, hanya dengan mengucapkan namanya orang-orang cenderung akan gemetar dan sekarang aku mengerti mengapa. Ada gerbang beberapa mil dari pembukaan tambang, membentang di antaranya adalah dataran gersang dengan rumput kering, seolah tanah itu sendiri telah dikutuk. Di sepanjang tembok yang mengelilingi area itu berdiri menara-menara pengawas, prajurit berjaga di dalamnya, mengintai seperti elang. Aku pikir itu hanya kamp militer dan penjara tapi sekarang aku melihat sesuatu yang lain. Berbaris dengan kaki yang dirantai, pakaian kumal, tubuh-tubuh yang kurus tidak dicuci, dan mata yang telah kehilangan harapan, orang-orang itu digiring keluar dari pintu tambang lama. Tidak perlu menjadi pintar untuk mengenali perbudakan di sini.
Untuk sesaat kemarahan menyala di dalam diriku. Aku ingin berteriak pada penjaga yang membawa cambuk untuk merobek kulit siapa pun yang bergerak dengan tidak cukup cepat. Aku ingin merebut pedang Kapten yang tersarung di pinggangnya dan memotong leher prajurit itu. Tapi aku diam, melihat dengan putus asa terhadap ketidak adilan yang terjadi tepat di depan mataku. Nanti, aku memberi tahu diriku sendiri. Akan ada pembalasan, aku akan memastikan itu. Kemudian aku tidak memperhatikan mereka lagi.
"Aku tidak tahu bahwa tambang masih dibuka." Suaraku kering, tidak peduli, meski ada api panas di dalamnya.
"Itu dibuka dua tahun yang lalu," kata Kapten.
"Bukankah terlalu berbahaya untuk menggali lebih dalam? Tunggu," aku tertawa dengan sinis, "tentu tidak ada yang peduli jika mereka mati tertimbun di sana, mereka hanya budak, mereka bisa diganti."
"Kamu tidak bisa menyelamatkan tiap kengerian yang kamu lihat, kita berada di sini untuk hal lain dan aku harap kamu ingat itu."
Aku menggigit lidahku agar tidak memuntahkan sarkasme yang lebih pahit dan mengikutinya ke sisi lain tambang. Tempat itu tidak cantik tentu saja, tapi lebih halus dan ramah huni. Ada pintu yang dijaga oleh prajurit dan mereka tidak menghentikan kami begitu mereka mengenali wajah Kapten.
"Jenderal Moringan sudah menunggu kedatangan Anda, Kapten," ucap seorang penjaga berambut pirang merah yang mengingatkanku pada rambut jagung yang tua. Dia menatapku seolah dia benar-benar tidak bisa menemukan alasan kenapa gadis sepertiku ada di tempat semacam ini. Aku tidak mengatakan apa pun tapi aku tersenyum seolah aku ada di sini adalah hal paling normal di dunia.
"Aku akan menemuinya nanti kalau begitu," jawab Kapten tenang. Prajurit itu mengangguk dengan wajah yang gelisah seolah dia tidak ingin berurusan dengan ini tapi tidak memiliki pilihan lain.
"Jenderal ingin Anda menemuinya begitu Anda tiba. Beliau akan ada di kantornya."
Jika rahang yang tegang adalah indikasi bahwa Kapten jengkel dengan ini, maka aku yakin dia sedang sangat jengkel sekarang. "Baiklah, terima kasih. Aku akan pergi melihatnya terlebih dahulu sebelum menunjukkan kamar untuk Lady Bianca."
Setelah mengucapkan itu dia membawaku masuk ke lorong batu, tempat ini terlihat seperti gua-gua yang bercabang, ruangan hanya berupa ceruk-ceruk dengan pintu dari papan kayu. Aku mengamati sekitarku tapi tidak menemukan wyvern di lorong-lorong itu, atau tahanan, meski mungkin itu akan ada di tingkat yang lebih dalam. Bukannya aku berharap akan menemukan wyvern di tiap tikungan tapi rumor dari tempat ini membuat aku berpikir dengan liar. Saat akhirnya Kapten mendorong pintu ke salah satu ceruk yang luas dia melepaskan pergelangan tanganku. Dan di sana dia, Keir Moringan, Jenderal tertinggi Grishold, saudara laki-laki Drake Moringan. Duduk di balik meja kayu yang sepertinya diukir langsung dari sebuah tunggul pohon yang kuno, peta terbuka tersebar di atasnya, dia benar-benar terlihat seperti Jenderal Tinggi.
"Jenderal," ucap Kapten formal dan pria di meja itu mendongak, seolah dia benar-benar terkejut melihat kami berdiri di depannya.
"Drake, di sini kamu. Ayo bergabung denganku!" Dia berdiri dan tersenyum, tangannya terentang lebar seolah dia telah menyambut kami di istananya. Kemudian pandangannya beralih padaku. "Dan siapa ini? Gadis yang begitu cantik?"
"Anda menyanjungku, Jenderal." aku membuat busur singkat untuk menghormatinya.
"Ini Lady Catalya Bianca dari Briar. Teman wanita Pangeran Priam, dia akan tinggal beberapa hari di sini sebelum aku bisa mengantarnya ke kota untuk mendapatkan sutra terbaik Cenesty. Lady Bianca akan menjadi tanggung jawabku selama dia tinggal di sini." Kapten menjelaskan untukku. Aku tidak suka seseorang menjelaskan diriku tapi wanita seharusnya tidak banyak bicara dan semakin tidak mencolok aku, itu akan semakin baik.
"Ahh, sangat menarik. Jadi Lady Bianca adalah teman wanita Pangeran Priam dan dia datang ke sebuah Kamp militer bersama Kapten Penjaga? Kalian harus memiliki sedikit kisah yang bisa diceritakan di baliknya." Senyum mengejek dan matanya yang beralih dari Kapten kemudian padaku sudah cukup menjelaskan apa asumsi yang terbentuk di kepalanya. Yang terburuk, Pangeran dan Kapten Penjaganya berbagi gadis yang sama di ranjang mereka. Dan yang terbaik, Kapten Penjaga Pangeran mencoba membawa wanita Putra Mahkota untuk berakhir di ranjangnya.
"Aku akan senang untuk memiliki penginapan di kota tapi Kapten bersikeras untuk datang kemari dan aku tidak memiliki pilihan selain mengikuti keinginan itu. Pangeran sendiri tidak memiliki izin untuk melakukan perjalanan ke Cenesty dan dia hanya merasa aku akan aman jika aku pergi dengan Kapten Moringan. Aku tentu tidak memiliki banyak pilihan, jadi aku harap Anda tidak keberatan," ucapku manis sebelum Kapten memberikan jawaban yang tajam. Aku tersenyum tenang di wajahku seolah Jenderal Moringan tidak pernah menyiratkan bahwa aku pelacur kotor.
"Tentu aku tidak," jawabnya ringan. "Aku senang memiliki tamu di sini, terutama adikku dan teman dekat Putra Mahkota, aku benar-benar tidak bisa keberatan dengan itu."
"Terima kasih, Jendral, Anda sangat baik." Sekali lagi aku membuat busur dangkal untuknya. Dia membalasku dengan satu anggukan persetujuan.
"Meski kamu tidak bisa menyalahkanku karena aku masih berpikir ini adalah pengaturan yang aneh. Bagaimanapun juga Lady, aku berharap kamu menikmati kunjunganmu." Aku tidak suka ini, benar-benar tidak suka dengan apa yang aku rasakan dari Jendral Moringan. Dia terlalu curiga dan apa pun yang aku katakan tidak dapat menguranginya.
"Tentu saja aku akan."
"Lalu kami akan pergi sekarang," ucap Kapten mengakhiri percakapan itu. Tanganya meraih pergelangan tanganku.
"Benar, tunjukkan kamar untuknya dan kemudian kembali ke sini. Aku perlu bicara denganmu, Drake. Tentang Ayah, dia tidak senang dengan bagaimana kamu bekerja sekarang, dia mengharapkan akan ada lebih darimu." Kapten tegang dengan kata-kata itu tapi dia tetap mengangguk.
"Baik."
Sebelum Kapten menyeretku pergi bersamanya, aku melirik ke peta. Itu adalah peta labirin yang rumit, mirip sarang rayap dan ada beberapa tempat yang ditandai dengan titik merah. Ketika Jendral menyadari aku sedang menatap, dia menggulungnya dengan terburu-buru. Tidak masalah, karena aku rasa aku bisa menebak peta apa itu. Itu peta tenpat ini, peta dari lorong-lorong rumit Gate of Abyss yang mungkin akan menyebar hingga ke Womb.
"Kamu melihat apa yang dia pelajari?" tanyaku begitu kami berada di luar pendengaran.
"Maaf aku tidak memperhatikannya, Rose. Aku terlalu gelisah tiap kali berada di sekitarnya."
"Itu peta tenpat ini. Kenapa dia mempelajari peta tempat ini?" Dia membawaku ke ceruk lain, membuka pintu dan mendorongku masuk.
"Aku tidak tahu, itu bisa berarti apa saja. Tunggu di sini sampai aku kembali, kita akan berburu hantu atau apa pun itu nanti malam." Aku membuka mulut untuk mulai argumen dengannya tapi dia menutup pintuku dan meninggalkan aku di sana sendirian.
"Yah, jangan pedulikan aku, Kapten!" desisku jengkel pada papan pintu yang sekarang tertutup. Aku mendesah, tahu aku tidak akan memiliki pilihan lain selain mendengarkannya jadi aku mulai mengamati ruanganku.
Dindingnya adalah batu yang diukir kasar, ada dipan dengan kasur tipis dan meja rendah yang menampung tempat lilin. Ini jelas bukan kamar yang mewah jauh dari mewah. Sekali lagi aku diingatkan bahwa ini kamp militer. Dan apa yang lebih baik dari kamp militer untuk mencari tahu tentang rahasia militer Raja? Tentu saja aku tidak bisa hanya tinggal di kamar ini. Jadi aku keluar, kembali ke lorong menyusuri jalan dari mana aku datang. Untuk sebuah kamp militer menurutku tempat ini sepi, bahkan aku tidak mendengar denting rendah logam dari prajurit yang berlatih. Tapi saat aku mencapai pintu tempat pertama kali kami masuk, aku melihat ratusan prajurit berbaris menuju ke lorong yang berlawanan dari tempatku tinggal. Lalu aku tahu bahwa aku dipisahkan dari semua itu.
"Lady apa yang Anda lakukan di sini?" tanya seseorang yang baru saja muncul di sebelahku. Dia prajurit berambut merah yang sebelumnya aku temui di pintu masuk.
"Ohh, tidak ada. Aku hanya merasa bosan dan berpikir untuk melihat sekitar tapi jika itu akan mengganggu, maka aku akan kembali dan berdiam di kamarku." Dia mengerutkan kening seolah dia curiga dan tidak yakin apa yang harus dilakukan terhadapku. Aku datang bersama Kapten Moringan yang tentunya tidak bisa dia abaikan.
"Bagaimana jika aku menemanimu Lady? Jam-ku baru saja berakhir dan aku akan senang untuk menunjukkan tempat-tempat menarik di sini, kamu bisa menemukan tempat yang cantik bahkan di neraka terburuk jika kamu tahu kemana harus menuju." Aku tersenyum senang dengan tawarannya dan jika dia ingin menjadi pemanduku maka itu tidak bisa lebih baik lagi.
"Lalu aku akan dengan senang mengikutimu." Aku memberi petunjuk agar dia memimpin dan dia membawaku keluar.
"Menara pengawas di sisi barat adalah tempat terbaik untuk melihat matahari terbenam. Kita akan bisa melihat laut dari sana."
Aku ingin memberi tahunya bahwa aku lebih tertarik dengan penjara bawah tanah atau tempat para budak tapi sekali lagi aku harus menahan diriku. "Tentu saja itu akan indah dan kita belum bertukar nama. Milikku Catalya Bianca."
"Torin Kellan, dan jika aku boleh tahu kenapa seorang gadis seperti dirimu ada di tempat seperti ini?"
"Ohh, hanya hal-hal ini dan itu. Kamu tahu Torin, aku tidak bisa menahan diriku untuk memiliki sutra terbaik di sini. Aku akan menikmati penginapan di kota tapi Kapten meyakinkanku kalau dia harus berada di sini terlebih dahulu. Aku tidak punya pilihan selain mengikutinya."
"Aku minta maaf jika aku bertanya hal-hal yang bukan urusanku, sebenarnya apa hubunganmu dengan Kapten?"
"Kami teman, aku juga berteman baik dengan Putra Mahkota." Seolah dia baru saja menghubungkan satu dan satu, dia mengangguk.
"Jadi kamu putri pedagang Briar yang telah menyita perhatian Pangeran Priam akhir-akhir ini?"
"Aku akan mengatakan ya meski aku terkejut hal semacam itu dapat mencapai telinga orang-orang di sini." Aku berkedip malu seperti yang diharapkan dari setiap gadis sepertiku. Aku muak berpura-pura, ini lebih menjengkelkan dari yang aku harapkan.
"Orang-orang selalu bergosip dan percayalah, semua hal tentang Putra Mahkota akan menjadi topik yang cukup panas bahkan jika itu hanya tentang dia kehilangan satu kaus kaki kirinya. Jadi tentu saja kedekatannya dengan seorang gadis akan cukup ... yah aku tidak tahu harus menyebutnya apa."
"Semarak?" Aku menyarankan. Dia mengangguk.
Kami baru saja akan berbelok di tikungan saat sebuah gerobak berhenti di tanah gersang antara gerbang dan tambang. Aku berhenti berjalan dan memperhatikan saat penjaga yang mengawalnya menarik seseorang yang diangkut di dalamnya. Hal pertama yang aku lihat adalah seorang wanita kotor dengan kulit lebam dan berdarah, rambutnya kusut dan berdebu seperti gaun abu-abu pudarnya. Lalu saat aku memperhatikan dengan lebih baik aku langsung mengenali rambut hitam tintanya dan begitu mata abu-abu dinginnya menatap tepat ke wajahku, jantungku baru saja berhenti berdetak.
Dia menatapku begitu serius seolah dia juga tidak percaya telah melihatku di sini lalu penjaga mendorongnya untuk terus bergerak dengan rantai yang menghubungkan kakinya. Aku terengah-engah dan tidak bisa bergerak, membeku dan hanya menatap dia digiring ke tambang.
"Aku menyesal kamu harus menyaksikan hal semacam itu. Dia akan berakhir di Womb, kasihan. Tidak ada yang baik di bawah sana. Dia seharusnya tidak mencoba membantu gadis-gadis lari dari The Radiant."
Aku berusaha bernapas, meremas kemarahanku yang berkobar seperti api di ususku. Mengingatkan diriku tentang alasanku ada di sini. Jadi aku memaksakan kepalaku mengangguk. "Ya, wanita yang malang. Kasihan."
Saat akhirnya aku kembali mengikuti Torin, aku tidak bisa menghentikan pikiranku bekerja mencari cara untuk mengeluarkan Lis dari sini. Aku tidak mungkin bisa meninggalkannya setelah melihatnya masih hidup.
Aku Mau Tanya Dong :)
List 10 Karakter cewek favorit dari novel yang pernah kalian baca. Komen di sini yah 😇😇 please ^^
List by R :
1. Celaiana Sardothien (Throne of Glass)
2. Jude Duarte (The Cruel Prince)
3. Ketniss Everdeen (Hunger Games)
4. Yelena Zaltana (Poison Study)
5. Adelina Amouteru (The Young Elites)
6. Nyx Triskelion (Cruel Beauty)
7. Rose Hathaway (Vampire Academy)
8. Kestrel Trajan (The Winner's Curse)
9. Sienna Brooks (Inferno)
10. Fallon O'Neil (November 9)
Duhh kayaknya masih ada yang kurang tapi itu dah sepuluh wkwk
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top