15
Aku tidak bisa dipegang atau dilihat, tapi aku dapat dirasakan. Aku melumpuhkan lebih dari racun paling mematikan. Aku tidak bisa disingkirkan tapi bisa dikalahkan. Aku dapat membuatmu bisu atau memicu teriakkanmu. Aku dapat menghancurkanmu atau mengeluarkan yang terbaik dari dirimu. Apa aku?
—Teka-teki kajian tentang jiwa dan kejatuhannya
Kaia berhasil mengejutkanku pagi ini saat dia menerobos ke kamar untuk membangunkanku. Aku tidur kurang dari dua jam, terus memikirkan Kapten yang membiarkan aku dan gadis-gadis pergi malam itu. Aku ingat matanya yang bertemu milikku, terlihat terkejut tapi kemudian dia hanya terus melanjutkan langkahnya seolah dia tidak pernah melihat kami. Malam itu saat aku kembali ke istana aku setengah berharap akan menemukan prajurit yang berbaris untuk menangkapku dan menyeretku ke penjara sebelum aku diadili untuk digantung di halaman istana pagi ini. Tapi tidak ada. Aku menemukan Pangeran dan kami kembali ke istana tanpa satu insiden sama sekali.
"Apakah Anda tahu keajaiban terjadi semalam?" Kaia keluar dari bilik kamar mandi. Embar air panas yang kosong di tanganya, baru saja selesai menyiapkan air untuk aku mandi.
"Tidak. Beri tahu aku!" Aku turun dari kasurku dan melepaskan gaun yang semalam terlalu lelah untuk aku lepas. Kaia mendekat dan membantuku keluar dari gaun itu, kali ini aku membiarkan dia. Dia tidak berkomentar tentang bekas luka di punggungku saat melihatnya.
"Aku dengar ada pelarian di The Radiant. Itu belum pernah terjadi sebelumnya, Anda tahu ledakan itu pasti membantu mereka. Prajurit terlalu teralihkan. Dewa Prysperous harus memberkati gadis-gadis itu." Kaia mengumpulkan gaunku dan aku melangkah ke bilik.
"Kau benar, Dewa Keberuntungan pasti memberkati mereka. Apa lagi yang kau dengar?"
"Tidak banyak. Hanya tahu bahwa para penjaga tidak menemukan gadis-gadis yang melarikan diri tapi apakah Anda tahu wanita di The Radiant? Seseorang bernama Lis?" Aku tegang saat nama Lis disebut tapi menjaga ekspresiku netral.
"Aku pikir aku pernah mendengarnya. Apa yang terjadi padanya?" Kaia menggenggam kain gaunku yang ada di kepalannya lebih erat. Meremasnya.
"Penjaga membawanya ke penjara bawah tanah."
Darahku menjadi dingin. Aku tahu pasti risiko yang diambil Lis, tapi mengetahuinya dengan nyata tetap memukulku. Rasa bersalah memakanku dan aku berharap bisa melakukan sesuatu. Aku menutup pintu yang menghalangiku dari melihat Kaia, langkah kaki Kaia terdengar menjauh dan aku memaksa diriku untuk bertanya sebelum dia benar-benar keluar dari kamarku. "Apakah dia akan dihukum mati?"
"Setelah mereka selesai memaksanya bicara aku pikir itu. Mereka perlu seseorang untuk disalahkan," jawabnya. Aku mendengar pintu kamarku tertutup dan aku diam untuk beberapa menit sebelum aku kembali menjadi diriku. Aku sudah bersumpah pada Selena untuk membawa ibunya keluar dari lubang ini tapi yang aku lakukan hanya mendorongnya jatuh lebih dalam.
***
Aku datang terlambat untuk menemui Kapten karena Pangeran menghentikanku sebelum aku keluar. Dia membuatku berjanji untuk memastikan aku akan mengirim surat padanya. Aku lakukan tapi aku tidak yakin seberapa banyak yang bisa aku tulis melalui surat, itu bisa dicegat oleh siapa saja dan aku tidak ingin informasi keluar. Saat dia melepaskanku dia mengingatkanku untuk berhati-hati. Aku terkejut dengan nada prihatin yang nyata di dalam suaranya jadi aku bersumpah tidak akan melakukan hal bodoh dan berjanji aku akan baik-baik saja.
Saat aku melangkah keluar dari istana, beban perasaan bersalah kembali kepadaku. Aku tahu Lis ada di penjara mungkin sedang menangani metode interogasi yang menyakitkan. Aku menekan rahangku bersama, meyakinkan diriku kalau tidak ada yang bisa aku lakukan. Tapi ketika aku melihat Kapten yang menungguku, aku tidak bisa menahan meringis di bibirku. Dia tahu aku yang seharusnya berada di penjara, dia tahu apa yang telah aku lakukan. Begitu aku sampai padanya, dia mengangkat pandangannya. Ada pertanyaan di matanya tapi dia tidak bertanya.
"Kamu terlambat."
"Aku tahu, maafkan aku. Putra Mahkota menundaku, kita bisa pergi sekarang." Aku mendahuluinya untuk berjalan ke arah istal tapi dia menghentikanku.
"Kita tidak pergi dengan kuda." Aku hanya menaikkan alisku untuk bertanya. "Kita terbang."
Saat dia menbawaku keluar dari gerbang istana, aku gelisah berjalan di sampingnya. Aku ingin bertanya kenapa dia melepaskanku. Kenapa dia membiarkan kami pergi. Tapi aku takut untuk memulainya, terlalu pengecut jika aku menarik topik itu ke permukaan dia akan mulai menyalahkanku.
"Kamu diam hari ini." Komentar itu dilontarkan dengan tak acuh. Untuk sesaat aku tidak ingin membalasnya tapi kemudian kami akan bersama untuk beberapa hari ke depan. Kami tidak mungkin menghindari percakapan selamanya.
"Aku tidak yakin harus mengatakan apa." Aku memainkan kancing di rompi kulitku, masih tidak yakin ingin melihatnya. "Kamu bilang kita akan terbang? Apa kamu bermaksud itu wyvern?"
"Ya."
"Aku belum pernah melihat mereka. Tidak dari deket." Aku tidak terlalu yakin dengan apa yang aku rasakan darinya. Itu pucat terlalu kabur, aneh, belum pernah merasakan hal seperti itu tentang perasaan seseorang. Aku tertarik, mencoba untuk menjangkaunya, meraba perasaannya tapi aku menghentikan diriku. Takut dengan apa yang akan aku temukan.
"Itu tidak akan seperti yang kamu bayangkan." Aku mendongak untuk melihat ke wajahnya tapi dia tidak pernah menatapku.
***
Kapten benar tentang wyvern, itu tidak seperti yang aku bayangkan. Mereka cantik. Dia membawaku ke gua-gua yang luas tempat mereka mendirikan pos untuk pendaratan dan penerbangan wyvern. Ada sekitar selusin, tidak terlalu banyak pikirku. Ryohan bukan pos untuk pasukan udara Grishold, itu di Cenesty.
"Milikku paling ujung, dekat dengan pembukaan," kata Kapten saat dia terus membimbingku.
"Milikmu?"
"Aku mendapatkannya saat aku berumur enam belas," jelasnya padaku. "Aku meninggalkannya di Cenesty untuk sebagian besar waktu tapi aku perlu perjalanan cepat kemarin. Aku tidak ingin kehilangan perayaan jadi aku membawanya."
"Kamu pernah menjadi pasukan udara Grishold?"
"Aku pernah memberi tahumu kalau aku berada di Cenesty untuk sekolah militer, aku pikir itu menyiratkan cukup jelas." Kilauan sombong ada di matanya dan saat dia akhirnya tersenyum untuk mengejekku aku juga memiliki senyum pertamaku sejak aku bangun pagi ini.
"Impresif," kataku. Dia hanya tersenyum lebih lebar.
Begitu kami sampai pada pembukaan tempat wyvern-nya meringkuk dengan sayap yang tertekuk menutupi tubuhnya. Aku tidak bisa memikirkan kata lain selain memukau untuk makhluk itu. "Dia indah," kataku.
Sisiknya berwarna merah dan oranye, keemasan, terjalin seperti bara, panas dan membakar. Taring besar mencuat dari moncong dengan lubang hidung besar, ada semacam tanduk di kepalanya seperti kulit yang mengeras. Dia memiliki kebrutalan dari sosoknya tapi juga ada sesuatu yang cantik, hampir anggun. Tidak seperti apa yang aku lihat saat mereka terbang melintas di bukitku. Aku mendekat, menyeberangi ruangan, terhipnotis oleh pesonanya dan sebelum Kapten dapat menghentikanku aku sudah berada begitu deket dengan kepalanya. Wyvern itu mengepakan kelopak matanya, terbuka sesaat, memperhatikanku sebelum kembali berkedip. Bola matanya seperti inti api cair, merah gelap, bercahaya.
"Rose mundur! Menjauhlah darinya perlahan!" kata Kapten. Aku tidak mendengarkannya. Masih terpesona dan aku mengulurkan jari-jariku ke moncongnya. Hembusan napas yang panas dan lembab berkobar di kulitku. Aku menyentuhnya, matanya terbuka, terkunci pada mataku. Ada pertanyaan di sana. Siapa kamu? Aku menjawab di kepalaku. Teman. Dia mengendus jari-jariku sebelum kembali menutup matanya. Seolah dia percaya padaku, mengerti dan tahu tidak ada bahaya. Aku mengusap moncongnya sekali lagi sebelum mundur.
"Apakah kamu baru saja memutuskan untuk kehilangan akal? Dia bisa mencabikmu!" Kapten menarikku lebih jauh. Cengkeraman jarinya erat di lenganku, menggali ke dagingku.
"Dia tidak, dia tidak mau," balasku. Ketika Kapten hanya mendengus dengan jengkel padaku, aku tertawa. "Sungguh makhluk itu cantik dan dia tidak ingin menyerang orang tanpa alasan. Dia jauh lebih pintar dari yang kamu bayangkan."
"Hanya cobalah untuk menjadi rasional, baik?" Aku mengedikkan bahu. "Rose!"
"Ya, jika kamu mengatakannya seperti itu." Mendesah untuk melepaskan topik ini, dia mulai membebani wyvern dengan sadel, mengikat tali-tali kulit untuk mengencangkannya dan mengikat kantung-kantung yang menyimpan persediaan kami. Dia mengambil buntalan kain sutra milikku dan mengikatnya juga. "Berapa lama untuk mencapai Cenesty?"
"Satu hari jika kita terbang. Kita akan mendarat sekali untuk makan siang dan kembali mengisi kantung air, kita akan sampai saat senja jika cuaca bagus. Ini musim panas, tidak akan ada banyak badai," jawabnya. Dia menarik kekang pada wyvern, makhluk itu bangkit, menggoyangkan kepalanya dan Kapten menuntunnya lebih dekat ke pembukaan. "Ayo! Aku akan membantumu naik."
Aku mendekat dan wyvern itu menoleh untuk melihatku. Mengawasiku dengan mata yang masih penasaran. Dia masih merunduk rendah, sayapnya masih terlipat dan aku meraih tepi sedel untuk menarikku ke atas, Kapten mendorongku, setengah mengangkatku untuk naik. Ketika Kapten yakin aku sudah duduk dengan benar, dia mengangkat dirinya sendiri untuk duduk di belakangku. Dia mengikat kami ke pelana dengan tali kulit lain. Memastikan kami tidak akan terlempar saat angin menabrak kami begitu mengudara. "Kamu mungkin ingin mengepang rambutmu, angin akan membuatnya kusut dengan buruk di atas, dan itu juga akan lebih nyaman untukmu ... aku bisa melakukannya jika kamu mau."
"Ohh, baiklah," gumamku.
Jarinya cekatan saat dia menyapu rambutku ke tanganya, seolah dia sudah sering melakukannya. Ketika dia menarik untuk mengencangkan dan menyematkan helaian di tempatnya, jarinya menyerempet leherku. Aneh membiarkan dia melakukan ini untukku, hampir seperti ketenangan, bahkan wyvern tahu untuk diam. Ada ritme saat dia mengencangkan dan menyematkan rambutku seolah kami menyelaraskanya. Ada keheningan di udara dan perasaannya kuat untuk menjangkauku tapi aku menolak untuk merasakan, menolak untuk mengidentifikasinya.
Ada saat-saat aku membiarkan Dalia menata rambutku juga dan terkadang aku dapat merasakan sedikit tusukkan kecemburuan darinya. Bukan berarti Dalia kurang mencintaiku, aku mengerti apa yang dia rasakan saat ayah kami lebih sering memujiku dari pada dia. Aku benci saat dia merasakan hal-hal semacam itu tentangku tapi meski begitu dia masih bisa mencintaiku dan aku merasa bersalah. Merasa harus mencintai dia lebih banyak karena itu. Dan di saat-saat seperti itu aku berharap tidak pernah memiliki berkatku. Penasaran bagaimana rasanya jika aku tidak tahu apa yang dirasakan setiap orang, mungkin akan terasa seperti kelegaan atau bisa sebaliknya, aku mungkin merasa takut.
Kapten mengikat ujung terakhir dari simpul dan menggulung mereka erat menjadi semacam sanggul, hingga kulit kepalaku terasa seperti ditarik kencang. "Selesai."
"Terima kasih." Aku menjangkau pegangan pelana di depanku, tidak tahu harus melakukan apa dengan jari-jariku yang bebas.
"Ayo buat pengalaman pertamamu untuk terbang!" ucapnya dan kemudian wyvern kami melompat ke udara. Untuk sesaat aku pikir kami akan terjun, jatuh seperti peluru meriam yang dihancurkan di tebing Ryohan. Sayap wyvern masih terlipat ke tubuhnya dan kami memotong angin, jatuh bebas secara vertikal, agin menderu di telingaku dan aku harus menyipitkan mata. Aku semakin yakin kami akan hancur membentur batu saat setiap detik sayap wyvern tetap menempel ke tubuhnya. Aku bersiap untuk menjerit, untuk mempermalukan diriku sendiri dan setengah merasa bodoh karena mengizinkan diriku untuk percaya kami bisa terbang. Tapi kemudian terdengar kepakan yang keras dan sayap lebar terbentang untuk menangkap angin. Kami terangkat ke atas. Dan sayap wyvern mengepak untuk mendorong kami naik, lebih tinggi setiap kali mereka mengepak di udara. "Mengesankan. Tidak ada jeritan? Aku bahkan memilikinya saat pertama kali."
Ada hiburan di dalam suaranya, menarikku keluar dari ketakutan saat manuver lepas landas kami, dan aku mulai tertawa saat angin menderu lebih kencang. "Mungkin aku terlalu takut untuk bahkan menjerit."
"Kenapa aku sulit untuk mempercayainya?" Mulutnya dekat dengan telingaku dan punggungku menekan ke dadanya. Terlalu dekat, pikirku, tapi tidak ada banyak ruang di atas sini dan pahanya menggosok pingangku saat dia membungkuk lebih rendah untuk mengarahkan manuver pada wyvern. "Aku tidak berpikir ada yang bisa membuatmu takut."
"Aku takut banyak hal. Terlalu banyak hingga aku tidak bisa membuat daftarnya," ucapku.
"Benarkah? Seperti apa?"
"Aku takut laba-laba, aku takut jatuh, aku takut mati, aku takut kehilangan adikku, aku takut dengan cambukan." Aku mengingat malam pertama aku tiba di istana. Perasaan tidak berdaya yang menggulungku itu membuatku bergidik. "Aku takut The Radiant."
Dia diam, aku berharap dia mengatakan sesuatu.
"Terima kasih, Kapten," ucapku ketika dia tidak juga bicara.
"Untuk apa?"
"Untuk membiarkan aku pergi, untuk berpura-pura tidak melihat gadis-gadis. Untuk tidak melaporkan aku."
"Ohh, tentang itu." Dia mengencangkan genggamannya pada tali kulit.
"Ya."
"Ke mana mereka?"
"Tempat yang lebih baik."
"Aku tidak tahu apakah aku sudah melakukan hal yang benar." Suaranya masih ragu, ada sedikit penyesalan.
"Kamu sudah, itu hal yang benar." Aku meyakinkannya. Ingin membuatnya percaya padaku bahwa hal-hal ini benar. "Kamu memberikan kesempatan mereka untuk hidup."
"Yah, lagi pula ada lebih banyak malam itu. Ada ledakan dan banyak pemberontak yang mencoba menjatuhkan para bangsawan di festival. Aku pikir itu kehendak Dewa jika mereka berhasil pergi, bukan?" Ketika aku tidak mengatakan apa-apa, dia bernapas lebih cepat di belakangku. Seolah dia baru saja menemukan koneksi. "Itu bukan kebetulan, 'kan?"
"Aku perlu mengalihkan perhatian."
"Rose, kamu sadar ledakan itu bisa membunuh banyak orang!" Nadanya keras, menyentakku. Ada kemarahan panas darinya dan aku terkejut dengan seberapa banyak aku tidak menyukai itu. Aku seharusnya tidak peduli dengan apa yang dia rasakan tentangku tapi aku memang peduli.
"Aku memastikan itu meledak di tempat yang jauh dari orang-orang, tidak akan ada orang di sana saat itu meledak, tidak ada yang mati."
"Itu bisa menjadi salah!"
"Jadi aku salah? Jadi aku seharusnya tidak mencoba?"
"Bukan itu maksudku, Rose. Aku mengerti kamu peduli dengan anak-anak tapi itu taruhan yang besar. Dan lagi, ada banyak pemberontak dari Celdron Gap, apakah itu juga kamu?"
"Ya!" bentakku. Aku tidak mengerti kenapa aku begitu marah. Aku ingin dia mengerti dan setuju dengan apa yang aku lakukan meski itu tidak masuk akal. Aku benci karena tidak ada tempat untuk lari di sini. "Dan aku tahu berapa banyak harga dari itu!"
Lis membayarnya dan pemberontak lain yang tertangkap. Berapa banyak dari mereka? Aku tidak berani bertanya.
"Aku tahu Kapten, tapi aku tidak bisa menyesal." Aku tidak mau.
"Aku mengerti." Hanya itu aku rasa, karena kemudian dia diam. Aku tidak mencoba untuk mencari tahu perasaannya bahkan saat perasaannya mencoba membanjiriku.
***
Nicholas Hoult as Priam Alexandus, yay or nay?
Komen dong Dear, pin baca perasaan kalian 😣 #ngemis komentar 😆😂😆
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top