Sebuah Proses
Karina melempar ranselnya ke atas meja perpustakaan dengan kesal, mengingat Pak Gord yang semena-mena memberikan tugas kelompok berat ber-deadline 5 hari saja.
Tidak mudah untuk menyelesaikan tugas iklan promosi pariwisata di kota Celestial hanya dalam waktu 5 hari, meskipun dikerjakan berkelompok. Akan banyak rantaian proses yang harus mereka kerjakan agar menjadi iklan promosi yang bagus dan tepat sasaran.
"Kenapa nggak sekalian aja Pak Gord nyuruh kita sebar brosur pariwisata juga?!" kata Karina berapi-api dari bangkunya. Ia mengeluarkan catatannya serta pulpen. Gadis itu terlihat tidak berminat untuk berdiskusi dengan teman-temannya siang ini. Wajahnya dipenuhi awan mendung yang siap bergesekan.
Hayabusa yang tengah mencari buku referensi pariwisata, hanya menoleh pada sahabatnya itu seraya menggelengkan kepala. Begitu juga Lancelot yang sedang mencari buku referensi di rak yang lain.
"Udah lah, Rin. Bakalan cepet selesai kalo cepet dikerjain," kata Silvanna yang mengambil tempat duduk tepat di samping Karina.
Karina tidak berminat untuk menyahut, ia hanya mendengus kesal.
"Dengerin! Tugas tuh dikerjain, bukan dikeluhin!" kata Hayabusa seraya menggetok kepala Karina dengan gulungan buku. Karina mengusap puncak kepalanya yang malang. Hayabusa duduk di kursi seberang Karina.
Tak lama kemudian, Lancelot bergabung seraya membawa tiga buah buku referensi pariwisata Celestial dan buku teknik pembuatan iklan promosi.
"Enaknya kita ngambil tempat wisata di mana, nih?" tanya Lancelot pada teman-temannya.
"Gue bukan asli sini, jadi gue nggak banyak tau soal tempat wisata di sini," sahut Silvanna.
"Pokoknya, tempatnya harus yang deket dari sini, nggak perlu ongkos mahal, nggak perlu lama perjalanannya, dan yang pasti proses bikin videonya cepet!" ucap Karina sedikit mendesak.
"Banyak maunya lo!" sahut Hayabusa. "Lo tinggal ngikutin prosesnya, jangan kebanyakan ngeluh!"
Karina mendengus seraya menopangkan kepalanya pada satu tangannya, tak mau sedikitpun melihat Hayabusa.
"Kalo menurut gue, lebih baik tempat wisata yang ada aktrasi wisatanya juga. Entah itu festival, upacara adat, atau pertunjukkan budaya," usul Lancelot.
Hayabusa tampak berpikir sejenak. "Kalo gitu kita ke Japanese Village aja. Kebetulan besok ada festival budaya di sana," info Hayabusa membuat Silvanna dan Lancrlot tertarik. Karina bahkan mulai menegakkan punggung lagi.
"Bilang aja lo mau ketemu temen satu klan lo!" celetuk Karina yang kemudian diabaikan Hayabusa.
"Gue pernah denger tuh Japanese Village. Bukannya kalau mau ke sana harus booking seat kereta wisata dari jauh-jauh hari, ya?" tanya Silvanna bingung.
"Tenang aja, Silv. Kita punya SULTAN di sini," kata Hayabusa sambil mencibir ke arah Lancelot. Otomatis mata Silvanna langsung melirik Lancelot dan mengerti apa yang dikatakan Hayabusa.
"Oh iya, gue lupa. Ada anak bos kereta wisata di sini," sahut Silvanna membuat Lancelot terkekeh.
"Kira-kira masih ada seat nggak nih buat kita berangkat ke sana?" tanya Hayabusa.
"Bisa gue atur nanti," sahut Lancelot. "Sekarang kita bagi tugas aja buat--"
"Gue bikin skript!" sela Karina langsung membuat orat-oretan di buku catatannya. Hayabusa hampir melemparkan buku tebal ke kepala Karina saat itu.
"Oke, berarti gue sama Lancelot ngambil video. Lo punya drone, kan?" tanya Hayabusa.
"Iya, nanti gue bawa lighting sama drone," kata Lancelot. "Itu berarti lo kebagian ngedit. Lo bisa, Silv?"
"Ngedit doang sih bisa," sahut Silvanna.
"Oke, kalo lo perlu bantuan, bilang aja ke gue atau Hayabusa," kata Lancelot disambut anggukan Silvanna.
Beberapa saat kemudian, Silvanna melihat seseorang masuk membuntuti seorang dosen. Dua orang itu duduk di sebuah bangku di pojok ruangan. Sang dosen tampaknya tengah memberikan beberapa arahan yang langsung ditulis oleh anak didiknya. Sosok yang tak pernah Silvanna sangka, dia Granger.
Cowok itu akhirnya menuruti kata-kata Silvanna untuk segera menyelesaikan skripsinya. Hal kecil yang berpengaruh besar bagi Silvanna, hingga ia tidak mendengarkan diskusi lanjutan dari teman-temannya karena saking fokusnya pada Granger.
Hingga saat perkumpulannya bubar, Silvanna masih mematung di tempatnya dengan satu titik fokus yang sama.
"Silv?"
Karina menyadarkan lamunan Silvanna. Gadis itu menoleh seraya menyahut, "ya?"
"Balik nggak?"
"Kalian duluan aja. Gue mau nyari buku editing video dulu," kilah Silvanna. Ketiga temannya hanya mengangguk seraya berpamitan sebelum meninggalkan perpustakaan.
Kini tinggal Silvanna yang menempati bangku dengan empat kursi itu. Rasanya, ia ingin menghampiri Granger, namun sang dosen belum kunjung pergi. Silvanna akan menunggu sampai dosen itu meninggalkan tempatnya.
Silvanna menghampiri Granger dan duduk di sampingnya saat dosen itu meninggalkan perpustakaan. Silvanna yang awalnya tersenyum, mendadak heran saat melihat wajah Granger yang terlihat stress.
"Lo kenapa?" tanya Silvanna. "Abis bimbingan kok murung?"
Granger memijat pelipisnya. "Iya lah, Bab 1 gue belum di acc sama Pak Franco." Granger melempar makalahnya ke atas meja.
"Tapi dospem lo ngasih tau kan salahnya di mana aja?" tanya Silvanna mengambil kertas cetakan milik Granger lalu mengeceknya. Betapa terkejutnya Silvanna saat melihat cetakan itu penuh dengan coretan revisi.
"Baru aja gue semangat buat lanjutin skripsi, udah kena semprot Pak Franco."
Silvanna menghela napas. "Namanya juga proses. Itu artinya lo harus lebih berusaha lagi," kata Silvanna. "Inget, proses nggak akan mengkhianati hasil."
Kali ini Granger menatap Silvanna.
"Kita di sini sama-sama lagi berproses. Kesalahan dan keliru udah biasa terjadi. Nggak bisa kalo lo mau mendapatkan sesuatu secara instan. Nikmatin aja prosesnya, nanti lo bakal dapetin hasil dari proses lo sendiri," kata Silvanna terdengar menyejukkan untuk Granger.
Granger tersenyum simpul sambil mengambil alih file cetakan yang diserahkan Silvanna. Cowok itu mengangguk.
"Oh iya, besok gue mau ngerjain tugas ke Japanese Village. Kayaknya gue bakal nginep di sana," kata Silvanna menginfokan.
"Sampe nginep segala?"
"Iya soalnya tugas iklan pariwisata gitu. Kita mau syuting sampe acara puncak festival kembang api di sana."
"Gue ikut, ya!" seru Granger.
Silvanna mendelik. "Lo harus ngurusin skripsi lo!"
"Sehari doang, kan? Ikut deh. Gue janji nggak akan gangguin lo sama temen-temen lo."
"Nggak!" kata Silvanna galak. Cewek itu bangkit dari bangkunya. Baru selangkah maju, langkah Silvanna terhenti. "Selesaiin bab 1, baru lo boleh refreshing dulu," lanjit Silvanna seolah memberi keringanan.
Granger punya pikiran lain mengenai itu. Pergi ke Japanese Village menarik juga untuk menyegarkan otak.
***
Keesokan paginya, Silvanna dan kawan-kawannya jadi berangkat ke Japanesse Village berkat seat cuma-cuma yang diberikan Lancelot pada mereka. Kebetulan saat itu ada gerbong tambahan untuk kereta wisata. Lancelot sengaja memilih gerbong paling belakang agar tidak terlalu ramai oleh penumpang.
Karina dan Hayabusa yang duduk dekat jendela, sibuk mengagumi pemandangan dari atas tebing yang menjadi salah satu jalur kereta wisata. Sepertinya dua anak ingusan itu sudah berdamai setelah kemarin bertengkar kecil di perpustakaan.
"Oh iya, gue belom ngasih tau ke kalian. Malem ini kita nginep di Hotel Cadia. Gue udah booking 2 kamar," info Lancelot disambut keceriaan tiga temannya.
"Aaa, Lo baik pake banget Lance. Nggak nanggung-nanggung lo ngasih seat kereta sampe booking-in Hotel juga." Karina terkagum-kagum.
"Mending kita omongin soal teknis pengambilan gambarnya gimana. Kita kan bawa dua kamera digital sama satu drone. Lo bisa pake kamera gue, Silv. Biar gue yang ngendaliin drone," kata Lancelot.
"Oke," ketiga temannya setuju.
Ditengah perbincangan teknis itu, mata Silvanna tertuju pada seseorang yang tengah membaca koran di kursi kereta paling belakang. Silvanna memicingkan mata untuk memastikan kalau yang dilihatnya itu...
"Granger," gumam Silvanna kala koran yang dibaca pria itu turun dan menampakkan wajah Granger yang menenakan kacamata.
Di sebrang sana, Granger hanya mengedipkan mata pada Silvanna. Setelah itu, koran itu kembali naik untuk menutupi wajahnya dari orang lain.
"Kenapa dia ada di sini?" batin Silvanna.
***
Di lokasi wisata, Silvanna, Lancelot, dan Hayabusa disibukkan dengan persiapan setting-an kamera dan drone sebelum festival budaya dimulai. Karina yang menjadi script writer di tugas ini sibuk mengarahkan teman-temannya untuk mengambil momen-momen penting sepanjang festival berlangsung.
Tak lama kemudian festival budaya dimulai. Silvanna langsung mencari posisi yang pas untuk memotret para penari pada pembukaan acara. Lancelot sibuk mengendalikan drone dibantu Karina yang memegang layar handphone untuk mengetahui gambar yang terekam oleh drone. Sementara Hayabusa mengambil video dari arah depan.
Alunan musik tradisional Jepang mendominasi lokasi wisata itu saat ini. Keempat anak yang bertugas itu sesekali berbaur dengan wisatawan lain guna mendapatkan kesan-kesan para wisatawan terhadap Japanese Village dan festival budaya ini.
Duduk manis di sebuah cafè di kawasan Japanese Village, menjadi penawar di sela aktivitas pengambilan gambar yang super sibuk. Selain untuk beristirahat sejenak, mereka juga bisa sekalian me-review gambar-gambar yang mereka dapatkan barusan.
"Gue pesen makanan dulu. Lo pada review gambar-gambar kita!" kata Lancelot sebelum berderap ke depan untuk memesan makanan.
"Kebiasaan lo, Ninja!" amuk Karina saat dirinya melihat video di kamera Hayabusa. "Videonya kenapa isinya cewek itu semua?"
Silvanna yang penasaran langsung mengambil alih kamera Hayabusa dan menyetel rekamannya. Terlihat di sana kalau ada gadis jepang berpayung yang menjadi titik pusat Hayabusa dalam mengambil gambar.
"Lo tenang, dong. Lumayan kan jadi daya tarik iklan promosi kita." Hayabusa membela diri.
Siapapun tahu kalau Karina terlihat begitu kesal saat itu. Padahal, baru tadi pagi Silvanna melihat dua bocah yang bersahabat sejak SD itu baikan setelah perang dingin kemarin.
"Bener juga kata Haya, Rin. Kita nggak ngambil video keseluruhannya, kok. Yang menarik-menariknya aja," kata Silvanna seakan membela Hayabusa. "Lo juga Haya! Kalo udah dapet model yang bagus, lo cari hal yang menarik lainnya." Ternyata Hayabusa juga tak luput dari omelan Silvanna.
"Ya bagi gue cuma dia yang menarik," sahut Hayabusa enteng.
Beberapa detik kemudian, ia melihat sesuatu yang dapat memagnet bola matanya. Seorang cewek Jepang bersama beberapa temannya masuk ke cafè itu dan duduk di salah satu bangku. Gadis itu adalah salah satu penari yang dominan direkam Hayabusa.
"Gue tinggal bentar, ya!" sahut Hayabusa berderap dari bangkunya dan berpindah ke bangku kumpulan cewek Jepang itu.
Kadar bad mood Karina mendadak naik. Ia mendelik galak ke arah Hayabusa yang sudah bergabung dengan para gadis itu. "Hayabusuk!" umpatnya.
Silvanna mengusap bahu Karina yang terlihat mau meledak-ledak. Karina menoleh pada Silvanna dan berpamitan untuk pergi ke toilet sebentar. Karina berderap dengan sejuta kekesalan di dada, menyisakan Silvanna sendiri yang masih betah di tempatnya.
Saat sendirian, seseorang menghampiri Silvanna dan duduk di sebelahnya. Aroma parfumnya sudah masuk katalog bebauan yang biasa dicium Silvanna. Ia hanya mendelik, mendapati sesosok cowok jangkung berpakaian serba hitam.
"Ngapain sih lo ikut ke sini? Mau bantuin kita nugas?" tanya Silvanna langsung tanpa menengok ke arah Granger.
"Mau ikut aja. Cewek Jepang cantik-cantik, sayang aja kalo nggak ke sini," jawab Granger seenak jidat.
"Revisian lo gimana?"
"Gue mau refreshing bentar. Nggak mau ada bayang-bayang si kumis Franco untuk sesaat. Lo jangan ingetin revisian," protes Granger. Silvanna hanya menghela napas.
"Oh iya, nanti sore lo ikut gue ya!" ajak Granger.
"Kemana?"
"Pokoknya, kita ketemu di area bermain. Gue mau ajak lo ke suatu tempat," kata Granger.
"Tapi gue mau nge-shoot sampe puncak acara kembang api nanti malem."
"Please, Silv. Gue udah kangen banget tempat itu."
"Kenapa lo nggak sama temen-temen lo aja?"
"Pokoknya gue maunya sama lo!" tegas Granger. "Jangan lupa. Gue nggak akan pergi dari sana sampe lo dateng!" kata Granger sebelum ia beranjak pergi.
Belum sempat Silvanna menahan Granger untuk menolak, Lancelot datang membawa satu nampan pesanan.
"Silv, kenapa?" tanya Lancelot duduk di seberang kursi Silvanna.
Silvanna menoleh dan hendak memberi tahu keberadaan Granger, sayangnya Granger keburu hilang berbaur dengan puluhan pengunjung cafè yang lain.
"E-enggak," sahut Silvanna sambil memikirkan alasan. "Karina lama banget ke toiletnya."
Berbagai pikiran mulai muncul di benak Silvanna. Ia benar-benar bingung, ia harus mengerjakan tugas kelompok sampai malam. Namun, Granger juga seperti yang tidak menerima penolakan.
"Oh iya, Lance. Buat acara kembang api, kita butuh kamera berapa buat nge-shoot?" tanya Silvanna.
Lancelot tampak berpikir. "Kayaknya satu aja cukup, deh. Cuma buat ngambil lesatan kembang api doang, sih. Emang kenapa?"
"Mmm.. Tadi gue dikabarin adik gue kalau dia ngunjungin gue ke Apartemen. Kemaren gue lupa nggak ngabarin dia kalo gue mau ngerjain tugas hari ini, sementara adik gue udah datang ke Victory Apartement. Kasian dia sendirian."
"Jadi?"
"Kalo nggak keberatan, gue mau balik duluan buat nyamperin adik gue. Kalo keberatan, gue bakal nitipin adik gue ke--"
"Lo balik duluan aja. Gue, Karina sama Hayabusa masih bisa handle, kok," kata Lancelot santai.
"Tapi gue beneran nggak enak sama kalian,"
"Adik lo juga penting, Silv. Dia nggak punya kenalan selain lo kan di Celestial?"
"Iya juga, sih."
"Ya makannya. Nggak apa-apa kok. Lo kan bisa ngedit nanti," kata Lancelot.
"Oke deh. Thanks ya, Lance." Silvanna menyeruput milkshake cokelatnya dengan hati-hati.
Entah kenapa, Silvanna rela berbohong pada teman-temannya demi menerima ajakan Granger. Dari nada bicara Granger, sepertinya cowok itu tidak main-main dengan ajakannya. Muncul rasa penasaran di benak Silvanna tentang tempat yang akan di datanginya bersama Granger.
Bersambung...
Mohon maaf nggak update beberapa hari ini. Sempet nggak enak badan kemarin" wkwk *curhat 😂
Semoga aja setelah ini aku bisa update rutin kayak dulu..
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top