Promise

Lantai marmer itu masih lembab ketika Silvanna baru keluar dari kamarnya. Ia terlonjak dan langsung berhenti melangkah tepat di tengah pintu. Ia mengedarkan pandangan, lalu menemukan Miya yang tengah mengepel unit itu hingga dapur. Silvanna menghela napas. Miya terlalu rajin membereskan unit ini hingga hampir saja ia tidak pernah ikut membantu Miya.

Miya menyadari kehadiran Silvanna di dekat pintu kamar. Ia tersenyum ramah, "Kamu pulang malam, ya?" tanya Miya. "Maaf, aku semalam tidur duluan."

Silvanna mengangguk seraya tetap di tempat. Miya menyadari kekakuan Silvanna di dekat pintu kamarnya. "Nggak apa-apa, Silva. Itu udah hampir kering, kok." Miya kemudian membawa peralatan pel itu ke kamar mandi untuk dibersihkan. Setelahnya, ia kembali ke dapur dan mengambil daging dan kentang untuk bahan memasaknya kali ini.

Silvanna dengan ragu melangkah, mengecek kembali ke belakang untuk memastikan tak ada jejak kakinya yang mengotori lantai itu. Setelahnya, ia duduk di meja makan untuk membuat roti. "Kamu kerajinan, Miya," kata Silvanna seketika meraih pisau untuk mengoleskan selai. "Harusnya kita bagi tugas untuk ngerjain pekerjaan rumah."

Miya hanya menengok sedikit dari wastafel. "Aku udah biasa, Silva," jawab Miya. "Sejak aku tinggal sendiri dari satu setengah tahun lalu, semua kerjaan rumah aku kerjain sendiri."

"Tapi sekarang ada aku," sahut Silvanna.

Miya mendekat dan ikut duduk di meja makan dan membuat rotinya. "Bukan pekerjaan berat, Silva."

Jeda beberapa menit saat mereka menikmati sarapan pagi sederhananya.

"Kamu semalam ke mana?" tanya Miya.

Silvanna memang tidak bilang pada Miya kalau ia bertemu Natalia semalam. Bukan apa-apa, ia hanya takut Miya mencecarnya dengan berbagai pertanyaan perihal pertemuan itu. Bagaimanapun, Natalia adalah ibu mertua Miya. Bisa jadi, Miya kepo .

"Aku diajak main temen. Sekalian mau diskusi soal project akhir semester nanti," jawab Silvanna bohong. Miya hanya mengangguk lalu melanjutkan sarapan.

Terlintas dalam pikiran Silvanna tentang obrolannya dengan Natalia semalam. Apa benar yang dikatakan Natalia kalau Granger akan pergi dan meninggalkan semuanya, termasuk kuliahnya yang sedang tanggung-tanggungnya?

Silvanna lalu menatap piring dan sepotong roti yang belum dihabiskannya. Pikirannya menyibak tirai kenangan beberapa waktu yang lalu—saat dirinya masih ada di unit Orchid 2. Hampir setiap pagi, Silvanna sarapan bersama Granger meskipun cowok itu sering merecoki saat Silvanna sedang membuat makanan. Keisengan Granger yang sering membuat Silvanna kesal bahkan sampai bertengkar kecil, selalu berakhir dengan berdoa bersama sebelum makan. Kolase ingatan yang ada di balik tirai kenangannya membuat ia tersenyum tipis dalam diam.

Entah kenapa, Miya agak takut melihat Silvanna yang bengong sambil senyum-senyum sendiri. "Silva, kamu baik-baik aja?" tanya Miya seraya menatap Silvanna polos.

Silvanna yang kepergok melamun menatap wajah polos Miya. Ia melirikkan bola mata ke samping. "Ya, sangat baik."

Miya mengangguk meski agak ragu.

"Oh iya, Miya. Kalau kamu lagi kangen seseorang, kamu ngapain?" tanya Silvanna tiba-tiba.

Miya kembali menatapnya bengong sebelum menjawab. Beberapa detik ia melirik-lirikkan matanya, lalu menatap Silvanna dengan mata menyipit.

***

Pintu Apartemen terbuka, menampilkan sosok cowok bertubuh tinggi dengan pakaian serba hitamnya. Seketika itu, seorang petugas apartemen dibuat menelan ludah akibat takut pada cowok bertampang sangar itu.

"Ada apa?" katanya dingin dengan menyandarkan satu tangannya ke kusen pintu.

"Ada makanan untuk Anda," kata sang petugas bertubuh kurus seraya mengangkat paper bag sejajar dengan dadanya.

"Saya nggak pesen makanan."

"Tapi, tadi ada seorang gadis yang memesankannya untuk Anda."

"Siapa?"

"Nama pemesannya ada di dalam paper bag ini." Sang petugas makanan menyerahkan paper bag itu.

Granger terlihat tak berminat, ia mengira kalau makanan itu adalah kiriman dari Selena. Gadis bar itu masih saja mengejar-ngejarnya. Bahkan, hari-hari sebelumnya, Selena beberapa kali mengirimkan makanan pada Granger lewat kurir.

"Bawa aja lagi makanannya!" perintah Granger. "Saya nggak mau nerima paket dari orang yang tak dikenal."

"Tapi, si pengirim sudah menaruh pesan di dalam paper bag ini."

"Ya udah, lo buka terus bacain dari siapa," titah Granger. "Sekarang!"

Sang kurir makanan itu mengambil sebuah amplop cokelat lalu menunjukkannya pada Granger. Dari bahasa tubuhnya, kurir itu tahu kalau Granger memintanya untuk membuka amplop itu.

Sang kurir bersiap untuk membacakan nama pengirimnya. "Silva—"

Tak perlu menunggu nama itu selesai disebut, Granger langsung mengambil alih paper bag dan surat beramplop cokelat itu. "Terima kasih," ucap Granger sebelum menutup pintu dan meninggalkan sang kurir yang memandangnya heran.

Setelah pintu tertutup, Granger mengecek isi dari paper bag itu. Sekotak sandwich yang dulu sering Silvanna buatkan untuknya. Senyum di wajahnya mengembang, apalagi saat membaca isi surat beramplop cokelat itu.

Granger berderap ke kamarnya untuk mengambil ponsel. Ia jarang menggunakan ponsel apalagi saat berada dalam tempat tinggalnya. Setelah ponselnya ada di genggamannya, ia mengetikkan sebuah pesan.

***

Silvanna bergegas keluar kamarnya menjelang malam ini. Mantel cokelat dan tas selempang sudah dikenakannya untuk melengkapi pakaian kasualnya.

Silvanna terkesiap saat ia melihat Miya dan Alucard yang hampir berciuman di ruang tamu. Silvanna berdehem untuk menyadarkan mereka, lalu melangkah menuju pintu.

Miya dan Alucard yang kepergok Silvanna, sontak memisahkan diri. Ada guratan merah yang hadir di pipi Miya.

"Kamu mau ke mana, Silva?" tanya Miya untuk menekan rasa gugupnya.

"Mau keluar sebentar."

"Mau ditemenin?"

Silvanna menggeleng. "Kamu habiskan waktu saja sama suamimu. Anggap aja, aku kasih kesempatan buat kalian berdua." Silvanna melambai dan tersenyum iseng.

Di sofa, Alucard tersenyum nakal pada Miya saat Silvanna baru menutup pintu apartemen itu dari luar. Miya melirik Alucard lalu langsung menjauh ngeri.

***

Sebuah es krim cokelat diterima Silvanna langsung dari penjualnya. Saat ia hendak membayar, sebuah tangan seseorang lebih dulu menyodorkan sejumlah uang pada sang penjual es krim. Silvanna menoleh ke samping, dan mendapati sosok tinggi yang selalu berhasil menggetarkan hatinya.

Mereka menghabiskan es krim masing-masing setelah menemukan tempat yang nyaman untuk mengobrol.

"Gue seneng lo ajak gue ketemu. Beberapa lama setelah lo ninggalin Orchid 2 tanpa pesan," kata Granger membuka percakapan kala mereka memilih duduk di sebuah bangku taman itu.

"Gue cuma mau tau kabar lo," sahut Silvanna. "Lo baik-baik aja?"

"Baik, tapi nggak sebaik saat sama lo."

Obrolan mereka terjeda sesaat, membiarkan angin berbisik, menginspirasi tentang topik obrolan selanjutnya.

"Gue denger, lo mau pergi. Kenapa?" tanya Silvanna ragu sambil menatap Granger dari samping.

Granger juga menatapnya, "Dia udah cerita semua ke lo?" tanya Granger balik. Dari pertanyaan Silvanna, ia dapat menyimpulkan kalau Natalia sudah bertemu dengan Silvanna.

"Bagaimanapun, dia ibu lo, Granger. Dia pasti mau ngasih yang terbaik buat lo. Bisa jadi, ini adalah salah satu cara dia buat menebus semua kesalahan dia."

"Kesalahan dia nggak akan pernah bisa ditebus, Silv. Dengan cara apapun," sahut Granger bebal.

Silvanna menarik napas. Ia sudah bisa memperkirakan jawaban Granger. Dan seperti tadilah apa yang Silvanna pikirkan sebelumnya.

"Ibu Natalia sayang sama lo, Gran," ucap Silvanna rendah. "Gue tau perasaannya saat dia bicarain lo ke gue kemaren. Dia mau ngasih yang terbaik buat anak kandungnya."

Granger bergeming, mendengarkan tiap kata yang terlontar dari bibir mungil Silvanna.

"Sebagai ibu kandung lo, dia akan ngelakuin berbagai cara buat bikin lo bahagia."

"Bukan untuk bahagiain gue, Silv. Dia bahagiain dirinya sendiri!" sela Granger.

"Mungkin dia salah di masa lalu. Tapi saat ini, dia sadar dan berusaha buat—"

"Kenapa lo belain dia sih sekarang?" tanya Granger heran. Pertemuannya dengan Silvanna kali ini memutar balikkan mood-nya yang sudah ia susun sejak siang. Ia pikir, bertemu dengan Silvanna akan membuat dirinya bahagia malam ini.

"Gue bukan belain Bu Natalia. Gue merasa kalau gue juga perempuan yang bakal jadi ibu di masa depan. Gue nggak mau diperlakukan kayak gitu oleh anak gue sendiri kelak." Silvanna menuturkan alasannya. "Lo nggak bisa ubah takdir lo kalau lo memang benar anak Natalia," lanjutnya. "Dan lo harus tau kalau ukuran seorang perempuan untuk yakin pada laki-laki adalah bagaimana cara laki-laki itu memperlakukan ibu kandungnya."

Granger memegang kepalanya yang terasa berdenyut, kemudian ia mengacak rambutnya sendiri. "Udah deh, jangan ngomongin itu dulu." Granger protes. "Omongin topik lain aja," pinta Granger rendah seraya menoleh Silvanna. "Masalah itu, nanti bisa gue selesaiin sendiri."

Gadis itu mengangguk pelan. Ia tahu kalau Granger ingin menghentikan obrolan mengenai Natalia. "Skripsi lo gimana?" tanya Silvanna.

"Lebih baik saat ada lo." Jawaban Granger masih sama.

Silvanna memutar duduknya agar bisa leluasa menghadap dan menghardik Granger saat itu juga. "Pasti lo nggak bimbingan lagi, kan?" tebak Silvanna.

Granger mengangkat bahu, cuek.

"Mau sampai kapan, Gran?" Silvanna menyayangkan. "Apa lo mau lebih lama jadi mahasiswa?" lanjutnya tajam.

"Jangan hakimi gue dulu, Silv. Stop, lah. Gue mau obrolin hal lain."

"Soal apa?"

"Soal kita."

Silvanna mendesah kecil. "Apa yang harus dibicarain lagi?" kini nada Silvanna terdengar dingin.

"Banyak," sambar Granger menggeser duduknya mendekat ke Silvanna. "Salah satunya, rasa kehilangan gue semenjak lo minggat!" Granger berbaring di pangkuan Silvanna.

Saking kagetnya, Silvanna sampai terlonjak saat kepala Granger menempel di pangkuannya. Baru saja hendak protes, Granger menahannya.

"Biarkan gue begini dulu," kata Granger menatap sayu mata keabuan Silvanna.

Silvanna hanya membiarkan Granger berbaring di pangkuannya meski kakinya akan merasa kram satu jam dari sekarang.

"Banyak yang terjadi semenjak lo minggat, Silv. Gue balik ke kebiasaan dulu, kehilangan temen-temen gue, dan rasanya gue nggak punya siapa-siapa lagi di sekitar gue," tutur Granger.

Silvanna refleks mengusap rambut Granger selama mendengarkan cowok itu bercerita. Itulah kebiasaan lama Silvanna saat Granger manja padanya.

"Balik ya, Silv," pinta Granger.

Silvanna menggeleng lemah saat tatapan mereka bertemu. "Nggak semudah itu, Gran. Lo harus bisa dan terbiasa tanpa gue," ucapnya lembut selembut belaian tangannya di rambut Granger.

"Kenapa lo harus bohongin hati lo, sih?" tanya Granger. "Gue tau lo sayang sama gue, kan? Lo nggak usah bohong lagi."

"Gue emang sayang sama lo, itu karena gue peduli sama lo," sahut Silvanna. "Tapi gue sadar, kalau lo bukan buat gue."

"Siapa bilang?"

"Dari semua sikap lo ke gue, Gran."

Granger menyadari kesalahannya. Ia terlalu menyia-siakan Silvanna saat gadis itu ada di sekitarnya. Bahkan, ia tak pernah menanyakan langsung apakah Silvanna menyukainya atau tidak. Hingga saat Silvanna pergi, Granger baru menyadari kalau ia begitu kehilangan Silvanna.

"Sekarang, biar gue yang ngomong," kata Granger. "Dulu, memang gue sebodoh itu, nyia-nyiain perhatian yang lo kasih ke gue. Gue terlalu fokus pada harapan gue yang mustahil gue dapatkan. Dulu gue lupa diri, sampai-sampai gue melupakan semua kewajiban gue. Dan saat lo pergi secara tiba-tiba, gue mulai sadar kalau gue—teramat sangat kehilangan lo," ungkap Granger tanpa jeda. Kalimat itu memang keluar langsung dari hatinya. "Saat di dekat lo, gue merasa lebih baik dan jadi diri gue sendiri. Cuma sama lo, gue bisa jujur pada diri gue sendiri. Dan saat ini, hati gue ingin mengatakan kalau gue membutuhkan lo buat melengkapi gue."

Sejujurnya, ada getaran aneh yang muncul di aliran darah Silvanna saat itu. Kalimat itu yang ditunggu Silvanna selama ini. Tapi, hadir juga keraguan di sisi lain hatinya. Apakah ungkapan Granger tadi bisa dipegang atau tidak.

"Bicara memang semudah itu, tapi untuk membuktikannya, kita harus melalui berbagai proses. Buat gue itu penting, karena gue nggak mau yang lalu-lalu bakal terjadi lagi."

"Lo khawatir gue menyia-siakan lo lagi?"

Silvanna mengangguk. "Gue mau liat keseriusan lo, Gran," kata Silvanna. "Kelarin semua masalah dan tanggung jawab lo sekarang. Karena, jika lo serius pada tanggung jawab lo, gue bisa yakin kalau lo bisa serius sama gue."

"Jadi cuma itu syaratnya?"

"Ya," kata Silvanna ringan. "Janji?" Silvanna mengangkat jari kelingking.

"Oke, janji!" Granger mengaitkan jari kelingkingnya untuk menyanggupi janjinya seraya diiringi senyum Silvanna yang terbit.

Muncul pikiran iseng di otak Granger saat itu. Ia memejamkan mata dan mengetuk bibirnya, memberi kode minta ciuman pada Silvanna.

Pipi Silvanna sontak terasa panas. Telapak tangannya langsung menyambar dan mengusap bibir Granger. "Nggak mau!" tolak Silvanna.

Granger membuka mata. "Kayak yang nggak pernah aja."

"Soalnya yang terakhir menyakitkan." Silvanna teringat pada ciuman mereka yang terakhir beberapa waktu lalu di mana Granger menyebut nama gadis lain tanpa sadar saat mencium Silvanna.

"Makannya, sekarang waktunya untuk melupakan yang itu," tawar Granger. "Nggak ada lagi nama cewek lain di hati gue kecuali nama lo."

"Gombal!" Silvanna menggoncang kedua pipi Granger. "Gue mau liat keseriusan lo dulu."

Granger tersenyum miring. "Gue tau, itu salah satu kesalahan terbesar yang pernah gue lakuin dan langsung bikin lo minggat." Tangan kanan Granger mencari tangan kanan Silvanna. Ia menggenggamnya erat lalu mencium punggung tangan gadis itu dengan penuh peresapan. Wangi khasnya membuat Granger mabuk. "Jangan hilang lagi."

"Jangan tinggalin gue lagi," balas Silvanna.

Dari salah satu jajaran bangku yang tak bisa dijangkau pandang oleh Silvanna maupun Granger, hadir sesosok wanita paruh baya yang menggunakan teropong di matanya. Sejak Silvanna dan Granger duduk di bangku taman, Natalia terus memperhatikan mereka berdua. Senyum mengembang di bibir merahnya. "Ternyata, dia berhasil."

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top