New Roommate

"Silvanna mana?!"

Granger mencekat Fanny yang baru ingin membuka pintu unit apartemennya. Cowok itu memegang bahunya seraya membalikan badan gadis berkuncir pendek itu.

Fanny tercekat lalu melotot ganas pada Granger. "Napa lo nyariin dia?" sahut Fanny sambil berkacak pinggang. "Bukannya lo seneng Silvanna nggak di tempat lo lagi?" kesal Fanny.

"Nggak perlu nanya gitu!" sahut Granger. "Suruh Silvanna keluar. Gue mau ngomong," titah Granger.

"Enak aja. Kiranya gue babu lo!" sahut Fanny. "Silvanna nggak di sini. Lo cari aja ke tempat lain!" Fanny membuka pintunya dan bergegas masuk. Namun kaki Granger mencegah pintu itu tertutup. Fanny mendorong pintu itu dari dalam sekuat tenaga.

Hampir saja Fanny menyerah karena dorongan Granger begitu kuat, Lolita datang dari kamarnya karena mendengar suara ribut. Fanny lantas melempar kode pada Lolita untuk membantu menahan pintu itu.

Tenaga dua orang cewek juga tidak sebanding dengan tenaga Granger yang masih mendorong pintu itu sambil memanggil Silvanna.

Claude muncul lalu menarik Granger menjauh dari pintu itu. Punggung Fanny dan Lolita terhenyak ke belakang dan berhasil menutup pintu itu. Mereka terduduk memunggungi pintu.

"Ngapain lo ke sini? Dia nggak ada di sini!" kata Claude yang terdengar oleh Fanny dan Lolita dari dalam.

"Siapa lagi temen dia di kampus selain Fanny?!"

"Bisa aja dia ke tempat temennya yang lain!" sahut Claude. "Lo kira Silvanna nggak punya temen sekelas atau orang lain di luar sana?"

Di tengah keributan itu, Lolita yang menemani Fanny duduk menyender pintu, memondar-mandirkan bola matanya.

"Silvanna nggak balik bareng lo?" tanya Lolita khawatir.

"Katanya, dia mau diskusi tugas kelompuk dulu sama yang lain," jawab Fanny pelan.

"Kalo dia dicegat Granger gimana?"

Fanny menggelengkan kepalanya yang mendadak pusing. Fanny dan Lolita sudah mendengar semua cerita dari Silvanna tentang apa yang terjadi di antara Silvanna dan Granger. Mereka mengizinkan Silvanna tinggal di unit apartemen itu sampai ia mendapat tempat baru.

Beberapa saat kemudian, mereka tak mendengar suara Claude dan Granger lagi dari depan. Mereka langsung bernapas lega.

Baru saja hendak melangkah ke kamar masing-masing, bell unit apartemen itu berbunyi. Mereka tercekat dan mempersiapkan diri bilamana Granger kembali lagi ke unit itu untuk mencari Silvanna.

Fanny memgode Lolita untuk menerima tamu itu. Sayangnya Lolita tak langsung menurut. Keduanya saling lempar tanggung jawab untuk membukakan pintu. Dan akhirnya Lolita mengalah. Ia memasang badan untuk menerima tamu.

Seseorang yang memencet bell, jauh dari perkiraan mereka. Silvanna berdiri tegah sambil menenteng tas laptop di depan pintu.

"Lama amat sih?" protes Silvanna.

Lolita mengecek keadaan di luar, sekiranya aman ia langsung menarik Silvanna masuk.

"Granger tadi ke sini nyariin lo!" kata Lolita disambut anggukan Fanny.

"Gue udah tau. Makannya gue ngumpet dulu di lorong lift," sahut Silvanna santai. "Sorry ya, gara-gara gue kalian jadi ikut kucing-kucingan sama Granger." Silvanna menunduk setelah berkata demikian.

"Kita sama sekali nggak keberatan kok, Silv. Lo santai aja. Lagian, buat kami Granger itu nggak terlalu penting buat ditakutin." Fanny menepuk bahu Silvanna dan mencoba menghiburnya.

Bell kembali berbunyi, ketiganya tercekat lagi. Kini, Silvanna yang memberanikan diri membukakan pintu, tak peduli siapapun yang akan dihadapinya. Ia tak peduli saat Fanny dan Lolita mencegahnya.

Seorang gadis tomboy berseragam teknisi berdiri di depan pintu. "Permisi, saya sedang mencari Nona Silvanna Aurelius. Apakah salah satu di antara Anda bertiga?" tanya gadis itu sopan.

"Saya Silvanna. Ada apa?"

"Saya Kimmy, utusan Ibu Natalia. Saya sudah menyiapkan kamar baru untuk Anda. Sore ini juga, saya antar Anda ke sana," jelas Kimmy.

Fanny maupun Lolita sama-sama melotot. Tak menyangka kalau Natalia bisa cepat mengabulkan permintaan Silvanna.

Silvanna memandang Fanny dan Lolita secara bergantian. "Gimana?"

"Syukurlah, Natalia udah kabulin semua permintaan lo," kata Fanny dengan senyum ringan.

Silvanna kembali memandang gadis tomboy itu. "Sebentar, saya bereskan barang-barang saya dulu."

Kimmy dipersilakan masuk oleh Lolita agar menunggu Silvanna di dalam.

Silvanna tidak menyangka kalau Natalia akan memenuhi permintaannya dalam waktu yang cepat.

***

Silvanna mengikuti arah langkah Kimmy seraya menggered koper dan menggendong ranselnya. Seperti saat pertama kali ia menginjakkan kaki di apartemen itu, Silvanna memperhatikan tiap nama dan nomor unit yang dilaluinya.

Setibanya di unit bertuliskan Rose 1, Kimmy menghentikan langkah.

"Ini tempat baru Anda, Nona. Jangan khawatir karena roommate Anda seorang perempuan bernama Miya Archer. Namun, saya tidak tahu pasti kalau beliau ada di dalam atau tidak. Tapi, sudah ada persetujuan darinya untuk Anda tinggal di sini."

Kimmy menyambangi gagang pintu dan menekan beberapa tombol di alat yang dibawanya. "Nona, boleh saya minta sidik jari Anda?"

Silvanna menyerahkan tangan kanannya. Melalui bimbingan Kimmy, Silvanna menempelkan jari-jarinya pada fingerprint pintu itu.

"Perpindahan kamar di tengah semester, memang sedikit menyulitkan. Maka dari itu, sidik jari harus direkam manual seperti ini," jelas Kimmy pada Silvanna.

Tak lama kemudian pintu itu terbuka, namun bukan karena dibuka oleh Silvanna melainkan oleh seseorang dari dalam sana.

Silvanna kembali dibuat terkejut saat ada seorang pemuda pirang yang keluar dari unit apartemen itu. Tipe roommate seperti apa lagi yang harus berhadapan dengan Silvanna?

Ekspresi pemuda pirang itu tak kalah terkejut dengan Silvanna. Namun, beberapa detik kemudian, seorang gadis bersurai perak muncul di belakangnya.

"Hai, apa kamu roommate baruku?" sambut gadis itu terlihat semeringah.

"Ya, gu-- aku Silvanna."

"Ya, Bu Natalia sudah memberitahuku sebelumnya. Selamat datang, Silvanna."

Silvanna tersenyum kaku pada gadis itu.

Gadis itu menoleh ke pemuda pirang itu. "Katanya kamu ada janji? Udah sana nanti telat!" titahnya pada pemuda itu.

Pemuda itu hanya mengangguk dan langsung pergi. Gadis itu tersenyum kembali menyambut Silvanna.

"Kalau begitu, saya permisi dulu. Semoga Anda nyaman di tempat baru Anda, Nona," pamit Kimmy pada dua gadis yang ada di depannya.

.

"Kamarmu yang itu, yang ada balkonnya," Miya menunjuk kamar baru yang akan ditempati Silvanna.

"Kamu nggak milih kamar balkon?"

Miya menggeleng, "Percuma. Aku nggak akan sering ke sana. Aku takut ketinggian," jawab Miya lembut. "Ya sudah, segera tata kamarmu. Aku mau memasak untuk makan malam kita."

"Mau aku bantu?"

"Aku sudah biasa masak sendiri, Silva. Kamu tata dulu kamarmu dan istirahatlah."

"Cewek ini baik banget. Bakalan damai gue di sini." Silvanna membantin kala memperhatikan Miya yang sudah beranjak ke dapur dan memilih panci.

.

Silvanna menata barang-barang di kamar barunya. Ia baru selesai menata baju dan kasur senyaman mungkin. Kebetulan, kamarnya yanh ini lebih luas dari kamarnya yang sebelumnya.

Saat menata meja belajar, Silvanna meletakkan benda terakhir yang dikeluarkannya dari dalam ransel. Sebuah figura fotonya dengan Granger saat di Privat Island. Ia memandang lekat foto itu dan mengusap kacanya. Beberapa detik kemudian, Silvanna menangkup bingkai itu  dan melepas isinya. Ia merobek bagian foto Granger.

Silvanna bergegas ke balkon, suasana hampir gelap menyambutnya. Namun, di ujung pandangannya ia melihat mentari yang belum tenggelam penuh.

Ia menatap potongan foto Granger. "Bye!" ucapnya sebelum merobek foto itu lebih kecil. Saat foto itu tak berbentuk lagi, ia mehamburkannya ke udara dan membiarkan gravitasi menariknya ke bawah.

Silvanna hanya berharap, perasaannya yang hancur berkeping-keping, ikut terbang bersama serpihan foto itu dan tak pernah kembali lagi.

***

Silvanna keluar kamar. Ia melihat Miya menyambutnya dari kursi makan dengan senyuman ringan.

"Mari, Silva. Kita makan bersama," ajak Miya yang tengah menyiapkan piring, sendok dan garpu.

Silvanna menghampiri dan mengagumi hasil kerja Miya yang terbilang rapi. Makanan yang dihidangkanya pun sangat menggugah selera makan.

Silvanma heran kenapa ia menyiapkan tiga piring. "Kok piringnya ada tiga?"

"Ah iya, aku lupa bilang," kata Miya ragu. "Umm, apa boleh Alucard ikut makan bersama di sini?"

Silvanna bingung harus bagaimana. Ia tidak bisa melarang karena Miya-lah yang lebih dulu tinggal di situ. "Nggak apa-apa kok."

"Syukurlah. Kupikir kamu nanti terganggu. Soalnya kan mulai hari ini, unit apartemen ini bukan milikku saja."

Kesan pertama gadis ini di mata Silvanna memiliki nilai plus tersendiri. Ia terlihat lembut, baik, sopan, dan rajin. Tapi satu yang membuat Silvanna ilfil padanya. Apa dia sering mengajak pacarnya ke unit ini? Kalau Miya tinggal sendiri, terus mereka ngapain?

Dering ponsel Miya mengganggu percakapan keduanya. Miya mengode untuk mengangkat panggilan itu sebentar.

"Oh baiklah, tidak apa-apa. Kamu hati-hati," kata Miya terdengar kecewa. Ia menutup sambungan teleponnya dengan lemas.

"Alucard tidak jadi ikut makan di sini. Dia akan pergi dengan para rekan kerjanya makan malam bersama client," jelas Miya terdengar kecewa namun ia menahannya.

"It's ok. Kamu nggak sendirian sekarang kalau pacarmu nggak bisa makan bersama kamu." Silvanna berusaha menghibur.

Pemikiran negatif tentang Miya dan pacarnya terus mengganggu Silvanna. Ia sangat ingin menanyakannya pada Miya. Namun karena pertanyaan itu dirasa tidak sopan, Silvanna memilih memendamnya.

"Oh iya, Silva. Kamu kuliah baru tahun pertama di sini?" tanya Miya saat menyendokkan nasi ke piringnya. Ia mengoper tempat nasi pada Silvanna kemudian.

"Ya, aku baru tahun pertama di sini," jawab Silvanna sekalian menyendokkan nasi ke piringnya.

"Aku seneng banget pas Bu Natalia ngabarin kalau aku bakal punya roommate baru. Soalnya, roommate lamaku mengundurkan diri akhir semester lalu. Jadi, selama ini aku sendiri di sini," jelas Miya.

"Hah? Miya hampir lama sendirian di unit ini. Kenapa Natalia nggak nempatin gue sama Miya aja dari awal. Sialan juga Natalia!" batin Silvanna kesal saat mengetahui cerita Miya.

Miya memperhatikan Silvanna yang terdiam sambil memainkan nasi dengan sendoknya. "Silva? Kamu nggak apa-apa?"

Saat Silvanna tersadar, ia hanya melihat muka polos Miya yang menyorong ke arahnya.

"Oh, ng-nggak. Makan aja yuk. Kamu mimpin doa."

Miya mengangguk lalu mengepalkan tangan untuk memimpin doa. Setelahnya, mereka menikmati makan malam mereka.

Saat Silvanna menyendokkan nasi dan lauk yang dimasak Miya, ia sangat ingin memuji masakan itu. Miya memang pandai memasak. Sepertinya, dia sudah terbiasa memasak.

"Miya, masakan kamu enak banget!" puji Silvanna yang tertegun saat satu sendok ayam saus asam manis tiba di mulutnya.

Miya tersenyum senang mendengar pujian dari Silvanna. "Ah, terima kasih."

"Kamu kayak yang udah biasa masak ya?"

"Ya. Aku mulai terbiasa memasak sendiri sejak masuk kuliah. Itung-itung untuk berhemat."

"Memang seharusnya seperti itu. Di tempat lamaku, aku juga sering masak. Bahkan, memasakkan makanan untuk roommate menyebalkanku dulu."

"Menyebalkan? Kamu ada konflik sama roommate lamamu?" tanya Miya penasaran.

Silvanna tersadar dengan apa yang barusan dikatakannya. "Sedikit. Jadi, lupakan saja."

Keduanya melanjutkan makan. Menu makan malam yang tampak enak itu sangat sayang untuk tidak dihabiskan.

***

Malam semakin larut. Inilah malam pertama Silvanna menempati tempat baru yang suasananya jauh lebih damai dari sebelumnya. Namun, Silvanna masih enggan untuk tidur. Masih ada yang mengganjal di pikirannya.

Untuk melepaskan beban pikirannya malam itu, Silvanna melangkah menuju balkon. Sinar bulan purnama menyambutnya di sana. Rambut tipisnya melayang-layang tersibak angin malam. Silvanna merapatkan sweeternya guna menahan angin yang berusaha menelusup celah kain.

Satu pikiran yang mengganggunya saat ini adalah keadaan Granger saat ini. Biasanya, kalau mereka sedang baik-baik saja, mereka tengah asyik bermain game online sampai kantuk menyambang.

Ah, apa sih yang Silvanna pikirkan?

Bukannya dia sudah merobek foto Granger dan berusaha melupakannya? Tapi kenapa malam ini ia kembali memikirkannya?

.

Tak hanya Silvanna, Granger yang tengah duduk di meja bar berdama botol-botol minuman juga tengah memikirkan Silvanna yang pergi tanpa pamit.

Tak pernah Granger pikirkan sebelumnya kalau harus ditinggalkan dua gadis yang berarti dalam hidupnya. Pertama Lesley yang memilih untuk kembali pada Gusion dan meninggalkan Kota Celestial. Kedua, Silvanna yang tiba-tiba menghilang tanpa pamit.

Dua kasus itu tentu saja mengoyak hati Granger dan kembali membuat luka lamanya muncul ke permukaan.

Tinjuan dari Claude menyadarkan Granger kalau ia baru saja menyia-nyiakan seseorang yang berniat mulia pada hidupnya. Selain tinjuan, satu kalimat yang ia ingat dari Claude adalah

"Lo goblok, Gran. Lo nyium Silvanna sambil nyebut nama cewek lain! Itu yang bikin Silvanna jengah dan ninggalin lo sekarang!"

Granger kembali mengacak rambutnya dan meneguk sisa minuman yang ada di gelasnya. Moskov kembali menuangkan minuman yang sama pada gelas Granger.

Sedari tadi, ada Martis yang memperhatikan Granger dari sofa dekat meja bar. Ia tahu kalau saat ini Granger tengah patah hati.

Martis memanggil seorang gadis yang bekerja di bar itu. Gadis itu menghampiri Martis.

"Apa?" tanyanya galak.

"Santai, Selena," sahut Martis sambil memberikan tempat duduk untuk Selena di sampingnya.

Selena duduk seraya dirangkul Martis. "Gue tau lo suka sama Granger. Gue rasa ini kesempatan lo buat dapetin perhatian dia," bisik Martis.

"Mana mungkin," Selena pesimis seraya mencibir martis.

"Dia baru aja patah hati. Dan ini kesempatan lo buat dekat dengan Granger."

Selena menatap Martis selidik. "Apa alasan lo ngasih tau ini semua sama gue?"

Martis tersenyum simpul. Ia membisikkan sesuagu pada Selena.

Bola mata Selena kesana-kemari mendengar tiap kalimat yang dibisikkan Martis. Gadis itu tersenyum licik.

"Oke, gue anggap ini bisnis dengan lo!" kata Selena semringah. Ia bangkit dan melangkah semangat menghampiri Granger di meja bar.

"Halo, Tampan. Udah lama aku nggak lihat kamu ke sini," kata Selena lembut sambil memasang pose menggoda pada Granger.

Granger menoleh dingin padanya.

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top