Monkey and Money


Fanny x Claude

- Special Chapter -

Tepat di depan resepsionis sebuah kantor, Fanny melangkah ragu hingga ia tertinggal langkah oleh Claude. Masih ada rasa harap-harap cemas yang tersisa di dalam benaknya. Meskipun Claude sudah mewejanginya selama perjalanan menggunakan bus tadi, Fanny tetap merasa gugup.

Namun, gugupnya Fanny hari ini tidak sebesar gugupnya kemarin saat ia pertama kali menginjakkan kaki di kantor ini. Rupanya, kemarin sang pimpinan perusahaan ini tidak bisa menerima tamu dikarenakan begitu banyak jadwal meeting dengan para relasinya.

Penundaan pertemuan Fanny dengan calon pimpinannya dimanfaatkannya untuk memperbaiki semua berkas lamaran yang diperlukan, termasuk CV. Fanny meminta bantuan Silvanna untuk mendesainkan CV-nya agar terlihat lebih menarik. Untungnya, Silvanna mau membantu Fanny dengan cuma-cuma, mengingat Fanny adalah sahabatnya di kampus.

Claude menengok ke samping, merasa kehilangan Fanny yang tadi berjalan di sebelahnya. Ia memutar kepala dan badannya lalu menemukan Fanny yang melangkah kecil sambil mengamati ruang resepsionis yang begitu mewah. Fanny pikir, ini perusahaan yang cukup bonafide di kota ini.

"Heh, lama amat lo kayak siput! Cepetan!" seru Claude.

Fanny mendengus lalu menyusul Claude. Saat itu, cowok itu sedang berbincang dengan resepsionis.

"Tuan Yu Zhong sudah mengonfirmasi kedatangan Anda. Silakan menunggu sebentar, sekretaris beliau segera memanggil Anda," kata sang resepsionis.

Setelah mengangguk, Claude mengajak Fanny untuk duduk di sebuah sofa tak jauh dari resepsionis. "Nanti lo ngobrolnya santai aja. Nggak usah gugup," pesan Claude saat Fanny duduk di sampingnya.

Fanny mengangguk lalu segera melepas jaketnya, dan menyiapkan berkas CV. Ia menitipkan tasnya pada Claude lalu merapikan rambut sebahunya yang sekarang sengaja diurai. Biasanya, gadis tomboy itu selalu menguncir rambutnya.

"Emang bener ya, dulu lo magang di sini?" tanya Lolita di sela waktu menunggunya.

Claude mengangkat alis, "Dan gue bisa kerja di sini setelah lulus."

Fanny tersenyum simpul beberapa detik sebelum seorang gadis berpenampilan resmi memanggilnya.

"Nona Fanny, mari ikut saya," kata sang sekretaris berambut ikal panjang itu dengan ramah.

Fanny bangkit dan berpamitan pada Claude. Selama perjalanan menuju ruang sang pimpinan, Fanny kembali mengecek penampilannya di jajaran jendela kaca yang ia lewati.

Tepat di ujung pandangannya, ia menemukan sebuah pintu berwarna gelap yang ia yakini sebagai ruangan atasan. Ia menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan saat sang sekretaris membuka pintu dan menyilakannya masuk.

Kursi atasan memutar tepat saat Fanny berdiri di depan meja kerja sang pimpinan. Seorang pria berusia sekitar pertengahan empat puluhan menyambut Fanny dengan ramah lalu mengajaknya bersalaman.

"Kamu temannya Claude?" tanya sang pimpinan.

"Benar, saya Fanny, teman kampus Claude," jawab Fanny sopan dan ramah.

"Mari silakan duduk," pinta sang atasan yang ternyata bernama Yu Zhong.

"Terima kasih," ucap Fanny. Ia segera menyerahkan berkas-berkas lamarannya pada sang pimpinan. "Maaf, Pak. Ini CV dan berkas pendukung untuk bahan pertimbangan Bapak."

Yu Zhong menerima map berkas itu lalu mengecek isinya. Ia membaca dengan saksama tiap berkas yang dilampirkan sambil mengangguk-angguk kecil.

"Ya, Fanny. Jika kamu diterima di sini, kapan kamu bisa mulai magang?" tanya Yu Zhong langsung meletakkan berkas yang terbuka di atas meja.

Fanny yang terkaget, langsung bergumam sebentar. "Minggu depan saya sudah siap magang di sini, Pak."

"Bagus, kamu saya langsung terima di sini sekaligus untuk menggantikan karyawan yang cuti hamil. Saya akan minta sekretaris saya langsung membuatkan surat keterangan kalau kamu mulai magang di sini." Penjelasan Yu Zhong begitu menggembirakan bagi Fanny.

Ingin rasanya Fanny berjingkrak saat itu juga. Namun ia masih menahannya dan hanya mengekspresikan kesenangannya melalui senyum yang mengembang.

"Terima kasih banyak, Pak. Saya sangat senang mendengarnya."

"Sama-sama."

"Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak. Terima kasih sekali lagi atas kesempatannya."

Yu Zhong menyilakannya keluar dengan sebuah kode. Fanny melangkah menuju pintu setelah menorehkan senyum pamit seraya mengangguk.

"Oh iya, Fanny," panggil Yu Zhong.

Fanny kembali menoleh.

"Ngomong-ngomong, kamu mirip Claude!" serunya menggoda lalu tersenyum simpul membuat pipi Fanny memanas saat itu juga.

Belum sempat berkata apa-apa, Fanny melihat kode yang sama dari Yu Zhong yang menyilakannya keluar.

***

"Bisa-bisanya bos lo nyamain gue sama lo!" sahut Fanny pada Claude saat keduanya berjalan menuju halte bus terdekat.

"Tapi lo seneng kan, bisa diterima di perusahaan itu tanpa nunggu kabar lama-lama kayak yang lain?" tanya Claude.

"Iya, sih." Fanny menoleh ke arah Claude. "Hebat ya lo, masih in touch sama mantan bos lo," kata Fanny.

"Oh iya, abis ini lo mau ke mana?" tanya Claude.

"Nggak tau, sih. Paling langsung balik."

"Mampir dulu yuk, ke bengkel gue. Sekalian mau ngecek kerjaan di sana."

"Oh lo punya bengkel?" tanya Fanny. "Boleh deh."

Tak ada kata yang tercipta di antara mereka selama perjalanan di dalam bus. Hingga Claude menuntun Fanny untuk berdiri saat mereka sampai di halte tujuan mereka.

Claude memimpin jalan, masuk ke sebuah gang di antara gedung bertingkat di pinggiran kota. Fanny sempat berpikir, mana ada bengkel yang berdiri di tempat se-terpencil ini. Ia mulai menaruh curiga pada Claude.

Pemikiran Fanny dilunturkan saat mereka tiba di sebuah jalan besar yang lain. Ternyata geng tadi hanyalah akses cepat bagi pejalan kaki untuk sampai di jalan ini. Kini mereka berada di sebuah jalan raya dekat perumahan elit yang begitu rindang. Claude masih memimpin jalan di depan.

Claude mendadak berhenti membuat kening Fanny menubruk punggungnya.

"Kalo mau ngerem, ngode dong!" protes Fanny seraya mengusap keningnya yang malang saat Claude membalikkan badan.

"Oh iya, gue cuma mau bilang kalo lo dilarang jelalatan di bengkel gue. Di sana banyak cowok ganteng yang bakal bikin lo terkesima!" info Claude sangat tidak penting untuk Fanny.

Gadis itu mencibir dari belakang saat Claude melanjutkan langkahnya. "Gue nggak bakal tergoda sama cowok manapun. Cowok tipe gue susah dicari!" balas Fanny.

"Masa sih?" tanya Claude iseng. "Oh iya, gue tau sekarang. Tipe-tipe cowok lo kayak cowok robot itu kan? Si Saber?" Claude berlagak baru mengingat. Padahal ia hanya ingin menggoda Fanny.

Fanny mendongkak ke arah Claude, "Apa sih?.. Monyet!"

"Apa lo bilang?" Claude mendelik ganas pada Fanny.

"Itu di atas lo ada monyet!" tunjuk Fanny ke arah pohon di samping Claude.

Cowok itu menoleh, mendongak ke arah pohon itu dan mendapati seekor monyet yang siap melompat dari dahan pohon itu. Claude bersiap untuk menangkap monyet itu. Tanpa diduga, monyet itu malah melompat dan memilih mendarat di bahu Fanny. Sontak Fanny langsung menjerit dan mengusir monyet itu. Sayangnya, monyet itu malah bermain-main di bahu dan kepalanya.

"Claude!!!" jerit Fanny mengibaskan tangannya untuk mengusir monyet itu.

Claude memutar bola matanya. "Dasar monyet!" seru Claude dan menggendong monyet itu dari belakang dan menariknya meskipun monyet itu seakan tak rela. "Liat cewek aja langsung nyamber." Claude meletakkan monyet itu di bahu kirinya.

Fanny masih terlihat shock, rambutnya Berantakan akibat monyet itu yang tadi mengacak-acak dan melompat di atas kepalanya.

"Peliharaan gue. Dexter," kata Claude disambut wajah masam dari Fanny.

Bagaimana tidak? Fanny hampir dicakar oleh monyet nakal itu. Dan monyet itu juga yang berhasil membuat penampilan Fanny jadi tak keruan.

"Sama nyebelinnya!" gumam Fanny merapikan rambut dengan jari-jarinya.

Tak lama kemudian, Dexter melompat ke pelukan Fanny. Sepertinya, monyet itu sedang ingin digendong oleh Fanny.

Fanny kembali menjerit, namun Claude segera menenangkannya.

"Monyet gue nggak bakal gigit!" Claude merasa telinganya pengang mendengar jeritan Fanny.

"Gue nggak peduli! Gue takut sama monyet!" seru Fanny yang masih berusaha menghindar kala Dexter meraih-raih tangannya.

Claude memutar matanya lalu memperingatkan Dexter dengan bahasa yang hanya mereka yang mengerti. Dari saat itu, Dexter tetap di bahu kiri Claude.

Tak lama kemudian, mereka sampai di sebuah kios bengkel di sebelah rumah berukuran minimalis. Fanny berpikir kalau itu adalah kediaman Claude dan keluarganya. Namun, sejauh matanya memandang, rumah itu terlihat sepi dan tak terurus dari luar.

Terlihat juga di bengkel motor kecil itu ada beberapa pelanggan yang tengah menunggu antrean perbaikan kendaraannya. Seorang montir bengkel bertubuh subur terlihat kalang kabut melayani para pelanggan. Claude segera menghampiri montir itu.

"John, yang lain ke mana?" Claude mengedarkan pandangan mencari montir lainnya.

"Yang lain lagi pada absen. Jadi gue sendirian aja. Mana lagi rame-ramenya," sahut sang montir.

Claude menghela napas. Ya udah, nanti gue bantuin lo. Gue ajak temen gue masuk dulu." Claude menepuk bahu sang montir yang sedang mengecek oli motor matik yang ada di sana.

Claude membukakan pintu untuk Fanny dan mempersilakan gadis itu masuk ke rumah mungilnya.

"Kok sepi?" tanya Fanny saat ia duduk di sofa ruang tamu.

"Gue tinggal sendiri," jawab Claude seraya membereskan beberapa botol dan bungkus makanan yang ada di atas meja ruang tamu.

"Orang tua lo—"

"Gue mau bantuin John dulu. Lo kalau mau minum atau ngemil, ada di kulkas," kata Claude yang sepertinya sengaja menyela pertanyaan Fanny.

Sejak perkataannya disela, Fanny hanya mengangguk pada sang tuan rumah. Ia diam dan memikirkan beberapa kemungkinan yang terjadi pada Claude selama ini. Namun, pikiran Fanny belum juga membuahkan hasil. Pemandangan rumah mungil yang cukup Berantakan sangat membatasi kemampuannya berpikir. Ia tak bisa tinggal diam, meskipun cewek tomboy dan agak pemalas, Fanny tidak bisa kalau melihat tempat yang super Berantakan seperti ini.

Fanny langsung membuka jaketnya dan mengangkat lengan bajunya untuk mulai membereskan apa yang menjadi gangguan pandangannya. Ia mencari sapu dan plastik untuk mengumpulkan sisa-sisa makanan. Entah kenapa, Fanny langsung tergerak saat melihat keadaan rumah itu.

Sampai akhirnya, Fanny selesai membereskan ruang tamu, mengelap kaca, dan menyuci piring. Setelah mencuci tangannya, ia membuka kulkas untuk mencari bahan makanan yang bisa dimasak. Sayangnya, saat pintu kulkas terbuka, ia hanya menemukan beberapa butir telur, sesikat pisang, sekaleng susu, dan tepung terigu. Selebihnya minuman kaleng bersoda.

Fanny sempat berpikir sejenak, memikirkan apa yang ingin ia buat. Ah, daripada banyak mikir, mendingan buat saja apa yang dia bisa. Fanny jadi lebih sering memasak semenjak Silvanna tinggal di apartemennya meskipun hanya beberapa hari.

Sementara itu, Claude tengah menangani motor matic pelanggan terakhir sore ini. Berkat tangan cekatannya, masalah beberapa motor tadi sudah tertangani dengan baik. Saat ini, tinggal satu pelanggan terakhir yang minta digantikan V-Belt di motor maticnya.

"Claude, monyet lo ganggu gue!!" jerit Fanny.

Claude yang mendengarnya hampir terbentur tang yang dipegangnya.

"Udah, lo temenin aja temen lo, ini gue yang beresin." John mengambil alih tugas Claude. Claude segera bangkit dan membersihkan diri sebelum masuk ke rumahnya.

Betapa terkejutnya Claude saat masuk dan mendapati Fanny berdiri di sofa sambil memegang sapu. Ada Dexter di sofa yang lain—yang hampir melompat padanya.

Keterkejutan Claude berlanjut saat mengetahui ruangan itu sudah lebih bersih dari yang terakhir ia lihat. Tak ada debu juga yang menempel di kaca jendelanya. Peralatan dapur juga tidak menumpuk seperti saat ia lihat pagi tadi. Claude berjalan menghampiri Dexter dan meletakkannya di bahu kirinya. Fanny bisa bernapas lega saat Dexter duduk anteng di bahu Claude.

"Lo lagi ngapain, sih?" tanya Claude.

"G-gue lagi bikin—" Fanny tak melanjutkan perkataannya. Ia langsung melesat ke dapur dan mendapati telur ceplok buatannya gosong di atas teflon. Telur itu sudah tidak bisa diselamatkan lagi. Fanny mendesah pasrah lalu menunduk.

"Lo mau masakin gue?" tanya Claude.

"Tadinya gue mau berterima kasih sama lo dengan cara ini. Lagian, lo juga keliatan sibuk banget di bengkel. Lo malah nyempetin diri buat nemenin gue tadi."

"Lo nggak perlu lakuin semua ini, Fann," kata Claude di luar dugaan Fanny. Gadis itu mengira Claude akan marah karena ia gagal membuatkan sesuatu untuknya. "Lo udah mau beresin kandang gue aja udah lebih dari cukup."

Fanny yang tadinya menunduk, memberanikan diri mendongkak dan menatap mata cokelat madu milik Claude. Entah dari kapan ada rembesan keringat di dahinya. Menatap Claude seperti ada sesuatu yang tersembunyi, terasa tenang, serta gugup secara bersamaan.

"Kita makan di luar aja. Kerjaan gue juga udah selesai, kok," kata Claude. "Lo bersihin diri lo dulu di kamar mandi kamar gue. Kamar mandi situ kerannya rusak." Claude menuntun Fanny menuju kamarnya dan menutup pintu itu dari luar saat Fanny masuk.

Fanny mengecek penampilannya di kaca yang terpajang di lemari kamar Claude. Setelah memastikan tak ada yang aneh pada penampilannya, Fanny melangkah menuju pintu kamar. Namun, ia terpaku pada sebuah papan dart yang dipajang di belakang pintu. Di sana tertancap beberapa pin dan dua tulisan "Monkey" dan "Money" pada tiap carik kertas kecil berwarna kuning, mirip sebuah notepad. Fanny yang penasaran, mendekatkan diri ke arah papan dart itu lalu memperhatikannya.

Gadis itu terlonjak saat pintu kamar terbuka dari luar. Sesosok pemuda berambut spiky masuk ke kamar itu. "Lo lama amat, sih? Ngapain aja di kamar mandi?" tanya Claude yang bersandar dengan tangannya di sisi pintu.

Fanny terlihat gugup. Claude mendapati Fanny tengah memperhatikan papan dart-nya. "Lo liatin dart gue?"

Fanny mengangkat alis, "Menarik. Tapi kenapa cuma ada dua kata di sana? Monkey sama Money?" tanya Fanny tanpa mengalihkan pandangannya dari papan dart.

"Karena monyet itu Dexter, peliharaan gue sejak kecil. Dan Money, itu kebutuhan gue saat ini. Siapa pun bakal butuh duit, kan?"

"Iya sih. Tapi, biasanya orang lain nempelin tujuan masa depan mereka juga."

"Lo pikir, duit cuma buat masa sekarang? Duit juga bisa buat masa depan kali!" sahut Claude membuat Fanny mendesah kecil. "Udah sana lo keluar dulu. Gue mau ganti baju!"

"Monyet lo buang dulu!" seru Fanny yang langsung didorong Claude dan menutup pintunya.

Saat menahan daun pintu, muncul beberapa pikiran yang membuatnya berpikir sejenak dalam diam. Tak seperti cewek lainnya, membawa Fanny ke rumahnya memang sedikit merepotkan, sekaligus meringankan sedikit beban pekerjaan rumahnya.

"Claude, monyet lo!!" jerit Fanny dari luar membuat Claude harus mengganti baju sesegera mungkin.

***

Seselesainya mereka makan di sebuah warung makan terdekat, Claude mengantar Fanny ke halte bus terdekat. Claude sudah menawarkan diri untuk mengantar Fanny sampai apartemen, tapi Fanny menolak karena gadis itu memintanya untuk segera istirahat mengingat Claude tadi menangani banyak masalah motor pelanggannya.

Sekembalinya Claude ke kamarnya, ia langsung merebahkan diri di kasurnya seraya memandangi papan dart yang sudah bukan jadi rahasia. Fanny sudah tahu apa yang menjadi fokusnya saat ini.

Claude teringat satu kalimat dari cewek itu saat mereka berjalan menuju halte bus untuk mengantar Fanny pulang, "Lo jangan lupa, tulisin juga tujuan masa depan lo di papan dart itu."

Claude tersenyum simpul, sepertinya ia tahu apa masa depan yang dimaksud Fanny. Ia langsung mengambil secarik kertas kuning dan menuliskan sesuatu. Ia menancapkan kertas itu pada sebuah pin papan dart. Dari jarak beberapa langkah, Claude melemparkan pin itu dan menancap di area papan dart yang kosong.

Tulisan barunya di papan dart untuk melengkapi semua tujuan dan apa yang ia butuhkan adalah "Monkey, Money, dan Fanny."

Special Chapter
Fanny x Claude

Ceritanya agak aku paksain nih wkwkwk. Belum ada ide cemerlang soal mereka berdua soalnya wkwk..

Next update akan melanjutkan jalan cerita aslinya ya guys..

Happy reading...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top