Granger's Mother
"A-apa? Jadi Bu Natalia sengaja menempatkan saya di unit apartemen Granger?" kata Silvanna membuat Natalia segera berbalik dengan gusar.
Natalia menatap kaget Silvanna yang entah dari kapan berdiri di sana.
"Nona Aurelius..."
"Jadi maksudnya, kasus saya itu bukan karena kesalahan sistem? Ini semua rekayasa Ibu Natalia?" duga Silvanna masih terlihat tak menyangka. Ia berjalan semakin masuk ke ruangan itu.
"Saya bisa jelaskan, Nona." Natalia terlihat begitu panik seraya salah tingkah. "Saya hanya--"
"Apa Anda tahu kalau yang Anda lakukan itu sudah merugikan saya?" Silvanna menegaskan.
"Tolong dengarkan penjelasan saya dulu, Nona. Saya punya alasan tersendiri melakukan itu." Natalia mencoba berbicara dengan tenang. "Saya hanya ingin mengubah sifat Granger pada saya dan kembali menerima saya di kehidupannya. Saya ingin dia memaafkan semua kesalahan saya di masa lalu yang pernah meninggalkannya dan ayahnya."
Mata Silvanna membulat, "Apa itu artinya, Anda... Ibu kandung Granger?" Silvanna terbata menanyakannya.
Natalia menunduk, menatap lantai marmer yang dipijaknya. Ia tak perlu menjawab, pastinya gadis pintar di depannya sudah bisa menebak apa jawabannya.
Silvanna menggeleng tak menyangka, "Apakah Anda tahu, seberapa hancurnya kehidupan Granger setelah Anda meninggalkannya?"
Natalia membisu sejenak seraya menatap mata keabuan Silvanna yang memancarkan kekecewaan.
"Itulah sebabnya, saya menempatkan kamu satu unit dengan Granger. Berharap kamu bisa mengubah Granger sedikit demi sedikit," harap Natalia.
"Kenapa harus saya yang Anda tumbalkan untuk menghadapi Granger? Saya penghuni baru yang tak tahu apa-apa."
"Nona, saya pikir dengan adanya gadis yang satu tempat dengannya, akan sedikit mengurangi rasa bencinya pada saya. Setidaknya, Anda bisa jadi temannya bercerita dan memberikan dia perhatian lebih agar Granger bisa lebih baik."
"Sayangnya cara Anda tidak berhasil," sahut Silvanna tanpa jeda. "Anda hanya membuat saya terluka karena menghadapkan saya dengan Granger," lanjutnya. "Kali ini saya menyerah. Saya ingin Anda memindahkan saya ke tempat baru secepat mungkin."
"Tapi Nona, tak mudah memindahkan tempat di tengah semester seperti ini."
"Apapun alasannya, saya nggak peduli. Saya punya hak juga untuk keberatan jika harus terus tinggal dengan Granger," kata Silvanna tegas. "Atau, saya akan membawa masalah ini ke jalur hukum." Silvanna mulai mengancam.
Natalia semakin tidak berkutik. Ia bingung harus bagaimana lagi.
"Saya rasa, urusan saya sudah cukup. Saya tunggu kabar baik dari Anda tiga hari dari sekarang. Kalau tidak, masalah ini akan benar-benar panjang," ancam Silvanna sebelum meninggalkan ruangan itu.
Natalia mengeram kesal seraya menepuk keningnya dengan kepalan tangan. Ia mundar-mandir di depan meja kerjanya selama beberapa menit. Ia kemudian menyambar gagang telepon dan menekan beberapa nomor, "Kimmy, bisa ke ruangan saya sekarang?"
Natalia membanting gagang telepon setelah mendengar kesanggupan dari Kimmy. Ia tak habis pikir, cara yang ia gadang-gadang akan berhasil mengubah Granger, ternyata jauh dari kata berhasil.
***
Menjelang malam itu, Natalia berjalan gontai menuju halte Victory Apartment. Pikirannya kacau saat ini. Kesempatannya untuk diterima lagi di kehidupan Granger pupus sudah karena Silvanna tak berhasil mengubah Granger.
Wanita berusia pertengahan lima puluhan itu duduk sendiri sambil menunggu sopirnya menjemput. Ia menatap langit yang menggelap. Ada gumpalan awan hitam yang siap mengguyurkan hujan.
Tak lama kemudian, sebuah mobil sedan hitam berhenti di depannya. Ia lantas berdiri dan menempati jok belakang. Hujan turun dengan lebatnya sedetik setelah Natalia menutup pintu mobil.
Sepanjang jalan, natalia hanya menatap titik-titik air yang menempel pada jendela mobil. Menatap kosong jalanan yang mulai diterangi lampu di kanan kirinya. Sesekali ia memijat pelipisnya yang terasa berdenyut.
Tiga puluh menit kemudian, Natalia sampai di rumah bak istana yang dibelikan oleh suami barunya sebagai hadiah pernikahan. Namun, di rumah yang super besar itu ia tetap merasa sendiri. Selain harus rela sering ditinggal suaminya ke luar negeri karena urusan pekerjaan, ia juga hanya tinggal di rumah itu bersama beberapa asisten rumah tangga.
Maka dari itu, Natalia ingin bekerja untuk melepas rasa kesendiriannya, sekaligus ingin dekat dengan putra semata wayangnya yang tak pernah menganggapnya lagi. Itulah alasannya, suami Natalia memberikannya pekerjaan di Victory Apartment, salah satu cabang usaha properti yang dimiliki suaminya.
Natalia menutup payung setibanya di teras rumah. Ia langsung disambut Eudora, salah satu asisten rumah tangganya yang membawakan handuk untuknya.
"Terima kasih, Eudora," ucap Natalia saat mengeringkan pakaiannya sebelum masuk ke dalam rumah.
"Saya akan menyiapkan air hangat untuk Nyonya. Ada yang ingin saya siapkan lagi?" tanya Eudora sopan.
"Buatkan saya kopi pahit setelah saya selesai mandi. Lalu, antarkan ke ruang kerja saya," pinta sang majikan.
Eudora mengangguk mengerti lalu berpamitan untuk pergi ke dapur.
.
Natalia masuk ke ruang kerjanya yang cukup luas. Terdapat satu meja kerja yang luas, komputer keluaran terbaru, serta beberapa rak buku sebagai perpustakaan pribadinya.
Kopi pahit pesanannya sudah terhidang di meja bersama beberapa potong brownies dan cupcake.
Background ruang kerjanya adalah jendela besar bersekat kayu yang menerawang langsung pemandangan di luar.
Ia menerawang jauh ke langit hitam yang masih menjatuhkan rintikan hujan. Malam itu, ia terus kepikiran tentang desakan Silvanna untuk menyiapkan tempat baru. Pun dengan hilangnya kesempatan Natalia untuk kembali dekat dengan anak tunggalnya, Granger.
Terbesit di pikirannya tentang peristiwa beberapa tahun silam.
Flashback
"Bunda, lihat. Gambar pesawatku dapat nilai bagus!" sahut seorang anak lelaki berusia delapan tahunan saat menunjukkan gambar pesawatnya.
Wanita itu berlutut sambil melihat buah karya anak laki-lakinya. "Ya, kamu memang berbakat, Granger. Bunda bangga padamu," sahut Natalia seraya memeluk Granger kecil.
"Ayah kapan pulang, Bunda?" tanya Granger kecil dengan polosnya seraya menatap Natalia.
"Ayahmu masih tour ke luar kota, Sayang. Besok, mungkin ayahmu pulang," sahut Natalia.
"Aku mau minta diajari main gitar, Bunda. Ayah sudah janji padaku!" kata Granger dengan antusiasnya.
"Ya, kau harus belajar banyak pada ayahmu."
Beberapa menit kemudian, pintu depan rumah mungil itu terbuka. Seseorang yang menggendong tas gitar masuk lalu menjatuhkan diri di sofa.
Natalia dan Granger tercekat.
"Ayah!" Granger antusias untuk menyambut kepulangan ayahnya. Namun, Natalia menahannya karena Baxia terlihat begitu lelah.
"Sayang, lebih baik kamu ke kamar dulu ya. Biarkan ayahmu istirahat dulu." Natalia menuntun Granger masuk ke kamarnya. Setelah itu, ia menghampiri sang suami yang sedang terlihat stress di ruang tamu.
"Mau aku buatkan kopi atau teh?" tanya Natalia lembut.
"Kopi pahit!" pesan Baxia lesu.
Natalia menurut. Ia beranjak ke dapur untuk membuatkan secangkir kopi pahit pesanan suaminya. Beberapa menit kemudian, ia menghidangkannya di meja ruang tamu.
"Kau terlihat suntuk. Ada apa?" tanya Natalia lalu merangkul suaminya yang tengah menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
"Johnson menipu kami. Dia pergi membawa uang hasil jeripayah kami selama tour!" jawab Baxia membuat Natalia kaget dan menutup mulutnya.
"Itu artinya?"
"Kita tidak punya pemasukan selama Johnson belum tertangkap."
"Apa?" Natalia semakin tercekat. "Lalu bagaimana dengan sekolah Granger? Dia harus bayar ujian. Uang sewa rumah ini juga belum dibayarkan." Natalia melepas rangkulannya pada sang suami. Perasaan kacau dan khawatir mulai menyelimuti hatinya.
"Kau tak perlu memikirkan itu, Natalia. Itu semua tanggung jawabku," ucap Baxia di tengah Natalia yang berapi-api.
"Tidak ada jalan lain, Baxia. Kau harus mengizinkanku bekerja. Setidaknya, untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan Granger."
"Kau tak perlu bekerja, Natalia. Album terbaruku akan rilis sebentar lagi."
"Itu kelamaan. Aku tidak mau Granger putus sekolah. Jadi jangan halangi aku untuk bekerja!" pungkas Natalia sebelum pergi ke kamarnya.
Beberapa bulan berlalu. Natalia sudah bekerja di sebuah perusahaan yang bonafid. Di sana ia menjadi sekretaris pribadi seorang boss yang kini menjadi suami barunya.
Ketika itu, Natalia sengaja pulang untuk menjemput Granger agar ikut tinggal bersamanya.
"Aku nggak mau ikut Bunda. Aku mau sama Ayah di sini!" Granger berontak saat Natalia memaksanya naik ke sebuah mobil mewah.
"Kamu harus ikut Bunda, Sayang." Natalia bersikukuh untuk membawa Granger.
"Tidak Natalia! Dia akan tetap tinggal bersamaku. Jika kau mau pergi, pergi saja sendiri. Jangan bawa hartaku satu-satunya!"
"Kau takkan bisa membahagiakannya, Baxia. Biarkan dia ikut bersamaku!" Natalia kembali menarik Granger.
"Tidak!" Baxia melepaskan tangan Natalia ya g mencengkram Granger. Ditariknya Granger untuk bersembunyi di belakang punggunh Baxia. "Aku akan melakukan apapun untuk membahagiakan Granger. Kamu, bahagiakan dirimu sendiri saja!" pungkas Baxia sebelum menarik Granger masuk ke rumah mungil mereka.
Flashback off.
Ingatan itu kembali mengoyak batin Natalia. Kesalahannya di masa lalu, tak pernah ia maafkan. Akibat keegoisannya itu, ia harus rela dibenci oleh anak kandungnya sendiri hingga saat ini.
Dering ponselnya membuyarkan semua kenangan pahitnya di masa lalu. Sebuah panggilan masuk dari sang suami tercinta.
"Ya," sahut Natalia seraya menahan isak.
"Kau menangis lagi?"
"Tidak. Aku hanya memikirkan desakan gadis itu untuk segera menempatkannya di tempat baru."
"Turuti saja kemauannya dan tidurlah. Kau perlu istirahat."
"Ya."
"Besok aku mengambil penerbangan pagi. Kemungkinan, besok sore aku sampai rumah."
"Ya, hati-hati di jalan. Selamat beristirahat," Natalia menutup telepon itu.
Natalia meneguk kopi pahitnya sedikit demi sedikit. Sebelum kembali bekerja di mejanya.
Wanita itu teringat sesuatu. Ia membuka laci meja kerjanya lalu mengeluarkan sebuah album foto yanh warnanya sudah tidak keruan. Ia membuka lembar demi lembar album yang menampilkan cetakan foto masa lalunya dengan Baxia yang tercetak hitam putih.
Foto yang menjadi saksi bisu perjalanan kisah cintanya dengan Baxia, hingga dikaruniai seorang anak laki-laki yang begitu ceria.
"Maafkan Bunda, Nak. Karena keegoisan Bunda, kamu jadi seperti ini," lirih Natalia saat melihat foto terakhir Granger bersamanya. Kala itu, Granger tersenyum lebar. Senyum yang tak oernah Natalia lihat lagi sampai saat ini.
***
Granger terbangun dari tidurnya dan langsung terduduk. Mimpi buruk itu lagi! Mimpi yang tak pernah Granger harapkan hadir dalam tidurnya lagi.
Mendadak kepalanya terasa pusing, perutnya merasa lapar. Ia menatap jendela yang sedikit terbuka. Entah berapa lama ia tertidur, ia tak ingat.
Granger melangkah keluar kamarnya. Takjub melihat apartemennya begitu rapi. Mendadak, ia teringat Silvanna. Ia butuh penjelasan gadis itu tentang apa yang terjadi padanya. Seingatnya, Granger hampir gila setelah bertengkar dengan Lesley yang kemudian berpamitan padanya.
"Silv?" Granger mengetuk pintu kamar Silvanna. Tak ada sahutan.
Granger mengecek jam dinding yang menggantung di tembok sekat antara kamarnya dan Silvanna.
Pukul lima sore, biasanya Silvanna sudah ada di apartemen jam segini.
"Silv, lo di dalem ya? Makan yuk, di luar aja," ucap Granger namun tetap tak ada sahutan apapun.
Granger kesal, ia membuka kamar Silvanna yang ternyata tidak dikunci.
"Silv?" Granger mendekat ke arah tempat tidur, bermaksud untuk membangunkan Silvanna yang tertidur di balik selimut.
"Kita makan di--" Granger kaget saat ia menyibak selimut itu dan muncul sosok Claude di sana.
"Ngapain lo di kamar Silvanna?" tanya Granger panik.
"Ini bukan kamar Silvanna lagi, Bro."
"Maksud lo?"
Claude bangkit dan berdiri berhadapan dengan Granger. Beberapa detik kemudian..
Bugg!!
Claude tanpa permisi menghajar pipi kiri Granger hingga tersungkur ke dekat meja belajar.
"Bangsat! Kenapa lo hajar gue?" amuk Granger yang langsung berdiri. Ia menyiapkan kepalan tangan untuk membalas Claude.
"Karena lo emang pantas dihajar!" balas Claude emosi.
"Apa masalah lo sama gue, hah?!"
"Lo nggak pernah mikirin perasaan orang lain! Dan sekarang, lo harus biasain hidup sendiri tanpa Silvanna di sini!" Claude masih berapi-api.
"Apa salah gue sama Silvanna?"
"Lo nggak pernah nanya perasaan dia, Gran! Lo terlalu sibuk mikirin cewek yang nggak peduli sama lo!" gertak Claude yang sudah tak bisa menahan emosinya lagi. "Kerjaan lo cuma bisa bikin Silvanna nangis, nangis, dan nangis!"
Granger masih mendengarkan Claude sebelum ia menghajar pipi Claude untuk balas dendam.
"Kenapa lo biarkan Silvanna masuk ke kehidupan lo lebih dalam kalau akhirnya lo nggak pernah kasih kepastian," nada bislcara Claude kini lebih tenang. "Kenapa lo seakan selalu ngasih harapan ke Silvanna, namun akhirnya lo abaikan dia? Dia cewek, Bro. Hati dia tipis."
"Kenapa nggak lo aja yang bahagiain dia?"
Satu tinjuan lagi diterima Granger di perutnya. "Kalau dia cinta sama gue, udah gue lakuin dari dulu!" sahut Claude kesal. "Dia nggak cinta sama gue! Dia cintanya sama lo, Bangsat!"
Flashback
Ketika Silvanna curhat semua pada Claude mengenai tingkah lakunya yang selalu membuat Silvanna sakit hati. Saat Claude merangkul Silvanna dan menenangkan gadis itu agar tidak terisak lagi,
"Apa lo nggak mau ngasih kesempatan cowok lain buat membahagiakan lo?" tanya Claude.
"Maksud lo?" Silvanna menatap mata cokelat terang Claude.
"Gue sayang sama lo, Silv," ucap Claude lembut.
Silvanna menunduk, tak berani menatap manik cokelat itu lagi.
"Ya, gue tau. Di hati lo pasti cuma ada Granger. Tapi gue bisa ngerti, lo nggak mau nerima gue karena lo nggak mau mempermainkan perasaan gue, kan?" Claude mencoba berpikir positif.
"Sedikitpun, gue nggak benci sama lo Claude. Gue cuma mau mencoba jujur sama hati gue. Gue cuma menyayangi Granger." Perkataan bijak dari Silvanna membuat hati Claude tersentuh dan semakin merangkulnya erat.
Flashback off.
Granger ternganga ditengah kesakitannya akibat pukulan kedua dari Claude. Cerita dari teman bangsatnya itu sangat sulit dipercaya.
"Tapi Silvanna udah punya cowok, kan?"
"Bocah tengil itu adik kandungnya. Dia rela dateng ke sini cuma mau ngeliat, apakah lo suka sama Silvanma atau enggak. Apa lo berusaha buat dapetin Silvanna atau enggak? Dan ternyata tingkah lo di depan Dyrroth nunjukin kalo lo juga suka sama Silvanna. Itu yang bikin dia yakin dan biarkan Silvanna bertahan di sini."
Granger mendadak tambah pusing. "Sekarang di mana Silvanna?"
"Dia udah pergi. Jauh dari kehidupan lo!" sahut Claude.
Mendengar kabar Silvanna pergi, terasa lebih menyakitkan daripada mendapatkan dua tinjuan dari Claude tadi.
Granger keluar kamar Silvanna menuju kamarnya. Setelah mengenakan baju dan jaket, ia bergegas keluar dari unit itu.
Claude tahu tujuan Granger selanjutnya.
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top