Disappointed
Gemerlap lampu disko bergerak cepat mengiringi musik DJ yang dibawakan Bruno malam itu. Kerasnya musik itu tak mampu mengubah mood Selena yang berantakan saat itu. Gadis bar itu hanya duduk di sofa sambil menghisap sebatang rokok. Martis yang baru membawa sebotol minuman, meletakkan botol itu di meja depannya. Ia pun duduk di samping Selena yang terlihat murung.
"Muka lo kayak yang lagi kehabisan gairah hidup tau nggak!" kata Martis seraya mendecih.
"Berisik lo, Bangsat!" sahut Selena galak. Ia pun menghisap kembali rokoknya yang tinggal setengah.
"Napa sih, lo kayak yang nggak enjoy malam ini?" tanya Martis. "Masih nungguin Granger?"
Kali ini Selena menoleh pada Martis meski tidak mengeluarkan kata-kata apapun.
"Gue denger sih, dia nggak bakalan ke sini lagi. Dia udah punya komitmen sama ceweknya buat ninggalin semua kebiasaan buruknya," kisah Martis yang langsung disambut wajah sewot Selena.
"Sejak kapan dia punya cewek?" tanya Selena seakan tak percaya.
"Menurut informasi sih, mereka jadian belum lama ini. Dia cewek yang dulunya satu unit apartemen sama Granger," sahut Martis. "Dan yang gue denger dari Bruno sama X-Borg, cewek itu berhasil bikin Granger berubah drastis. Bahkan, Granger udah damai sama ibu kandungnya, sekaligus dapat undangan sidang skripsi. Padahal setahu gue, itulah hal yang paling mustahil terjadi dalam hidup Granger."
"Hebat juga cewek itu!" kata Selena sinis. "Gue jadi penasaran, segimana istimewanya cewek itu di mata Granger."
Martis tersenyum simpul, "Kalo lo mau rebut Granger dari cewek itu, gampang kok."
Selena tertarik pada topik pembicaraan Martis. Ia pun mendekat dan memasang telinga untuk Martis yang akan membisikkan sesuatu padanya. Yang jelas, Selena seperti mendapat pencerahan ketika mendengar bisikan Martis saat itu.
"Terkadang, lo berguna!" ujar Selena saat Martis selesai membisikkan sebuah akal bulus yang akan dilakukan Selena. Gadis bar itu tersenyum licik. Ia yakin, caranya pasti berhasil.
***
"Nanti malem jangan lupa, lo harus dinner sama gue dan Bunda. Gue nggak nerima penolakan!"
Nada pesan yang memaksa dari Granger membuat Silvanna mengembuskan napas berat. Saat itu juga Fanny langsung menoleh di tengah makan siangnya. Gadis tomboy itu lantas memasang muka selidik pada Silvanna. Pasalnya, karena membaca sebuah pesan, Silvanna sampai menghentikan makan siangnya.
Punya akal iseng, Fanny merebut ponsel Silvanna saat gadis itu terlihat lengah. Silvanna hendak merebut lagi, sayangnya tidak bisa karena Fanny terus memutar-mutar tangannya agar Silvanna kesulitan merebut kembali ponselnya.
Fanny membaca pesan yang menjadi bahan lamunan Silvanna saat itu. Ia mengangguk dan merasa tertarik pada pesan itu. Fanny salah fokus pada nama kontak yang tertera.
"Granger," sahut Fanny dan merelakan ponsel itu direbut kembali oleh pemiliknya. "Kayaknya, dia serius banget ya sama lo? Sampe ngajak lo dinner bareng nyokapnya!" sahut Fanny tak habis pikir. "Kalian jadian udah berapa lama emang?"
"Belum genap seminggu, sih. Sejak dia ngasih kalung ini aja," jawab Silvanna seraya mengelus kata Gravanna pada kalungnya.
"Kayaknya lo harus mastiin lagi, deh," saran Fanny. "Soalnya gue takut banget lo kenapa-kenapa. Berdasarkan track record dia yang gue tau, dia orang yang nggak gampang dipercaya. Apalagi masalah percintaan."
Kalimat dari Fanny membuat Silvanna berpikir. Sepertinya Fanny benar, ia harus hati-hati dan jangan sampai hatinya tersakiti lagi. Ia masih harus menggunakan akal sehat untuk mencintai seseorang, termasuk Granger. Cinta saja belum tentu cukup karena cinta terkadang menjebak dan hanya membuat hati semakin sesak.
Fanny yang menangkap ekspresi bimbang dari Silvanna, langsung salah tingkah dan bermaksud ingin meralat kalimatnya. Ia tahu, perkataannya tadi mengundang banyak pikiran aneh di otak Silvanna.
Fanny bergumam, "Umm Silv, sorry, bukan maksud gue buat bikin lo nggak yakin sama Granger. Gue cuma takut lo disakitin lagi," kata Fanny. "Gue tau, lo sayang banget sama dia. Setidaknya, lo harus bisa bikin dia ngebuktiin kalo dia juga sayang sama lo."
"Tapi saran lo ada benernya juga, Fann," kata Silvanna pelan. "Gue harus pastiin kalo Granger beneran sayang sama gue atau nggak. Gue harus dapet bukti yang bisa yakinin gue kalau Granger serius sama gue."
"Sebaiknya begitu." Fanny setuju.
Keduanya mengakhiri obrolan dan melanjutkan makan siang mereka yang sempat tertunda. Tak berapa lama kemudian, ponsel Silvanna berdering menandakan ada sebuah panggilan masuk. Silvanna lantas menyandarkan ponselnya pada sebuah botol saus yang ada di meja ketika tahu Odette menghubunginya melalui video call.
"Halo my girl! Lo kemaren ilang ke mana? Gue hubungin susah banget!" amuk Odette setelah Silvanna mengangkat panggilannya.
"Gue lagi pergi, Dette. Nggak bawa hape," ucap Silvanna bohong.
"Bohong, Dette. Dia lagi pacaran!" celetuk Fanny yang masih menikmati menu makan siangnya.
"Eh ada Fanny ya?" tanya Odette. "Heh, Fann. Lo udah nggak galau soal tempat magang lagi?"
"Ada pangeran kesiangan yang nolongin dia di tengah kebuntuan, Dette." Kali ini Silvanna yang menceletuk membalas Fanny. Fanny hanya mendengus.
"Akhirnya Fanny nggak jomblo lagi!" ucap Odette antusias di seberang sana.
Silvanna tertawa sekaligus senang melihat keceriaan Odette. Mau tak mau, Silvanna merindukan sahabatnya yang satu itu.
"Oh iya, guys. Bulan depan gue liburan. Gue bisa balik nih ke Moniyan! Lo pada bisa balik ke Moniyan juga, kan?"
"Bulan depan gue ada project akhir semester, Dette. Mungkin menjelang akhir liburan gue bisa balik," jawab Silvanna.
"Gue juga magang di sini, Dette. Nggak bisa balik karena kantornya ada di deket sini." Fanny juga ikut menjawab.
Seulas wajah kecewa muncul pada Odette. "Yah kalian gimana, sih? Gue tuh pengen ketemu kalian, jalan bareng, nongkrong, cuci mata, ngegosip, atau kemping bertiga!"
"Gue juga mau, Dette. Tapi ini project besar akhir semester, gue nggak bisa ninggalin gitu aja," nego Silvanna.
"Ya udah, deh. Kayaknya gue yang harus ke Celestial nemuin kalian. Soalnya semester depan gue udah mulai sibuk sama praktek."
"Oke, kita tunggu lo ke sini ya, Dette. Jangan bohong!" sahut Silvanna.
"Oke!" seru Odette setuju. "Gue mau pergi dulu, nih. Sampe ketemu ya. Bye, my girl!"
Odette mengakhiri panggilan videonya. Silvanna kembali mengantongi ponselnya dan menghabiskan sisa menu makan siang yang ada di piringnya.
***
Menjelang malam itu, Silvanna sudah bersiap dengan pakaian terbaiknya untuk bertemu dan makan malam bersama Granger dan Natalia. Hanya make up tipis serta menguncir separuh rambut Cream panjangnya sudah dirasa cukup oleh Silvanna. Tak lupa, Silvanna mengenakan kalung yang diberikan Granger beberapa hari yang lalu.
Selama menunggu di lobi, Silvanna terus mengelus kalung itu sambil sesekali teringat pada perkataan Fanny tadi siang. Rasa ragu mulai muncul lagi dalam diri Silvanna, mengingat Granger bukanlah orang yang mudah serius pada apapun. Sedikit pun Silvanna tidak berharap kalau Granger hanya main-main padanya.
Selama lima belas menit Silvanna menunggu di lobi, namun batang hidung Granger belum juga terlihat. Saat ia mengecek arloji, Granger sudah terlambat lima menit dari waktu janjian. Silvanna mendesah, ia memutuskan untuk menyusul Granger ke Orchid 2, tempat kenangannya bersama Granger.
Sementara itu, Granger yang sudah bersiap dengan warna pakaiannya yang cerah, membuka pintu saat seseorang menekan bel apartemennya.
"Sorry, gue telat, Sil—" Granger melotot saat melihat seorang gadis yang ternyata bukan Silvanna.
"Halo tampan, lama nggak ketemu," sahut gadis bersurai pink, Selena.
Granger menorehkan tatapan remeh, "Ngapain lo ke sini?" tanya Granger.
Selena tak menjawab, ia hanya tersenyum simpul sambil mendorong Granger keras-keras hingga keduanya masuk ke apartemen itu. Sengaja, Selena mengganjalkan sebelah sepatunya di pintu.
"Heh maksud lo apa?!" kata Granger terdengar emosi. "Mendingan sekarang lo pergi dari sini!"
"Tenanglah, Granger. Aku cuma mau mampir sebentar, sambil mau tau keadaan kamu," kata Selena mencoba menggelayut manja pada Granger.
Granger menghindar dan menepis cengkeraman tangan Selena di lengannya. "Lo jangan kurang ajar!" Granger terlihat begitu marah. "Silakan keluar dan tinggalkan tempat ini sekarang!" Granger menunjuk pintu keluar.
Tak ada pergerakan apapun dari Selena hingga membuat Granger merasa semakin kesal. Ia melangkah menuju pintu untuk membukakan pintu dan mengusir Selena. Sayangnya, Selena menarik lengan Granger dan merapatkan tubuhnya.
Selena memegang pipi Granger dengan kedua tangannya. "Kamu nggak tau kalau aku begitu merindukan kamu," kata Selena lembut dan manja.
"Jangan coba-coba menggoda gue karena saat ini gue udah punya cewek!"
"Persetan, Granger!" Selena tak peduli. "Aku nggak peduli siapa pun cewek kamu. Yang jelas, aku bisa menebus rindu sama kamu." Jari Selena mulai menyusur dari mulut hingga perut Granger.
"Jangan paksa gue untuk berbuat kasar, Selena!" Granger sudah di puncak amarahnya. "Silakan lo pergi dari sini!"
.
Sementara itu, Silvanna yang sudah sampai di depan pintu Orchid 2 melangkah ragu. Ia menatap sensor sidik jari yang biasanya ia pakai sebelum akhirnya pindah unit. Tentu saja, sidik jarinya sudah tidak akan berpengaruh pada unit apartemen itu.
Pandangan Silvanna terpaku pada sepatu pink yang mengganjal pintu. Terlihat seperti sepatu perempuan. Silvanna yang penasaran, langsung membuka pintu tanpa mau berpikir dulu.
Silvanna menarik napas lalu membuangnya kasar. Mata keabuannya mulai berkaca-kaca saat melihat adegan yang tak pernah mau ia lihat. Seorang gadis yang berjinjit dan hampir berciuman dengan Granger.
Semua yang bergerak seakan berhenti. Bahkan, Silvanna bisa merasakan perputaran bumi saat itu juga. Rasa sakit saat melihat kekasihnya bermesraan dengan gadis lain, melebihi rasa sakit teriris apapun. Tak ada yang bisa ia lalukan saat itu selain merasakan air matanya terus jatuh dari asalnya.
Silvanna menutup mulutnya dan berangsur mundur saat Granger dan Selena sama-sama menoleh padanya. "Gue nggak nyangka, Gran!" kata Silvanna pelan sambil gemetar dan kemudian terisak. Ia lantas keluar dari unit itu dan berlari semampunya.
"Silv, gue bisa jelasin!" sahut Granger berusaha mengejar Silvanna, namun Selena tetap menahannya.
"Sialan lo!" geram Granger pada Selena. "Lo nggak lebih baik dari seorang perusak hubungan orang!" Granger menarik paksa Selena keluar unit itu lalu melempar tangannya saat berada di luar. Ia tak peduli saat Selena merasa kesakitan.
"Lo dengerin baik-baik. Lo jangan berani-berani nampakin diri di depan gue lagi karena gue nggak mau kenal lo lagi!" ucap Granger setajam tatapan amarahnya. Ia berbalik dan mengejar Silvanna yang sudah tak terlihat lagi.
Di dalam lift yang membawa serta tubuh Silvanna yang terasa lemah dan melayang, gadis itu tak henti-hentinya menangis. Bahkan, ia tak bisa mengontrol isaknya hingga terasa sesak di bagian dada. Untungnya, hanya ada dia di dalam lift itu.
Sesampainya di lantai dasar, Silvanna keluar sambil sesekali memegang dinding di sekitarnya untuk menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Namun, pertahanan Silvanna akhirnya runtuh juga. Di sebuah lorong sepi dekat akses lift, ia menyandar di tembok, merosot dan memeluk lututnya sendiri sambil membayangkan pemandangan paling pahit sepanjang sejarah hidupnya.
Secepat itu dan semudah itu Granger mengkhianatinya. Ternyata, Granger sama sekali belum berubah. Silvanna merasa ia hanya menjadi pelarian cowok itu saja.
Di tengah tangisnya, Silvanna meraba lehernya, mengelus kalung pemberian Granger dan melepasnya paksa hingga kalung itu terputus. Sepertinya, ia sudah tak butuh kalung itu lagi. Tanpa sadar dan didorong oleh emosinya, Silvanna melempar kalung itu sembarang.
Seseorang yang akan menaiki lift, melihat ada seorang gadis yang tengah terpuruk di tengah lorong. Dari tampilan luarnya, pemuda itu seperti mengenali sosok gadis itu. Ia tak jadi menaiki lift dan memilih menghampiri gadis itu. Pemuda itu berdiri di depan Silvanna, lalu berlutut seraya memegang bahu gadis itu.
Silvanna mendongkak saat ada sesuatu yang menyentuh bahunya. Seraut wajah Lancelot hadir di depannya. "Lance," lirihnya.
"What's wrong?"
Silvanna tak sanggup menjawab karena tangisnya kembali bucat. Lancelot yang tak tega, menarik Silvanna ke pelukannya. Gadis itu hanya menurut dan menangis di bahu teman sekelasnya itu.
"Lo tenangin diri lo dulu," kata lancelot lembut sambil mengelus rambut Silvanna.
Silvanna masih enggan berkata-kata. Hanya isak dan erangan kepedihan yang keluar dari mulutnya.
Lancelot memikirkan cara lain untuk membuat Silvanna tenang. "Kita cari tempat lain aja." Lancelot menuntun Silvanna untuk berdiri.
Silvanna menurut dan ia pun membiarkan Lancelot menuntunnya hingga satu tujuan yang belum ia ketahui.
***
Beberapa saat kemudian, Granger keluar dari lift di lantai dasar dan langsung mengedarkan pandangan untuk mencari sosok Silvanna. Sayangnya, sejauh matanya memandang, Silvanna tak terlihat olehnya. Granger tak mau menyerah begitu saja.
Ketika Granger melewati lorong menuju belakang Apartemen, ia menginjak sesuatu. Ia menunduk dan meraih kalung Gravanna yang harusnya ada di leher Silvanna. Kalung itu sudah putus. Granger menggenggam erat kalung itu sambil menyesali kesalahpahaman yang terjadi di antara mereka. Pemuda itu merapatkan rahangnya. Ia bertekad untuk tidak mau kehilangan Silvanna, lagi.
Bersambung...
Haduh konflik lagi guys huhuhu 😢
Dan sepertinya cerita ini sudah memasuki chapter-chapter akhir nih...
Mau ada season 2 nya nggak?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top