Backslide


Karina menubruk punggung Silvanna saat menghindari Hayabusa. Ia kesal pada cowok Jepang itu. Untungnya, Silvanna punya keseimbangan tubuh yang baik sehingga ia tidak perlu merasakan sakit dan malunya tersungkur di lantai depan kelas.

"Kenapa sih, Rin?" tanya Silvanna saat gadis itu memosisikan diri di samping Silvanna.

Karina tak menjawab, ia hanya mengangkat kedua bahunya seraya salah satu lengannya melingkar di lengan Silvanna.

Silvanna menengok ke belakang, mendapati Hayabusa yang berjalan ke arahnya bersama Lancelot. Silvanna mengedikkan dagu pada Hayabusa berusaha mencari jawaban. Namun, cowok Jepang itu malah menaikkan kedua telapak tangannya.

"Paling berantem lagi!" sahut Lancelot menyeimbangkan langkah Silvanna. Hayabusa pun begitu, ia berjalan di samping Karina.

Karina yang masih enggan bicara, menarik Silvanna untuk menukar posisinya. Karina ingin ada sekat antara dirinya dengan Hayabusa.

Selama kelas berlangsung, Karina tidak melontarkan sepatah kata pun pada Hayabusa. Ia masih marah pada cowok itu tentang kejadian kemarin di mana Hayabusa mengingkari janjinya.

"Rin, jangan kayak bocah, deh. Gitu doang ngambeknya kayak mau perang nuklir," kata Hayabusa yang mulai jengah pada sahabatnya itu.

"Lo pikir aja, gue udah beli tiket nonton kemaren dan lo batalin gitu aja lima menit sebelum film dimulai!" sahut Karina kesal.

"Bukan maksud gue mau ingkar janji. Kagura telepon gue minta dijemput di stasiun. Lo pikir gue tega? Dia belum hafal jalanan Celestial," jelas Hayabusa membuat Silvanna dan Lancelot tahu penyebab pertengkaran mereka.

"Dan itu artinya lo lebih mentingin si ojek payung itu, kan?" terka Karina. Masih ada api amarah di balik bola matanya.

"Gue cuma mau bantu dia, Rin. Dia mau ke rumah kakaknya. Kebetulan, kemaren kakaknya belum pulang kerja."

"Alasan!" sembur Karina. Ia menarik Silvanna untuk berjalan lebih dulu dengannya.

"Lo nggak jadi nonton sama Haya?" tanya Silvanna saat mereka memastikan posisinya jauh dengan Hayabusa dan Lancelot.

"Dia seenak jidat batalin acara kita kemaren. Gue udah ngantri beli tiket film yang baru rilis kemaren, setelah dapet, dia batalin. Kacau!" Karina meluapkan kekesalannya dengan mengetuk-ketuk buku hard cover yang dipeluknya.

Selama perjalanan menuju kantin, Karina masih menceritakan kekesalannya pada Hayabusa. Silvanna dengan tenang mendengarkan dan sesekali memberikan masukan pada Karina mengenai sikapnya.

Baru saja menginjak lantai kantin, sepasang kaki bersepatu hitam menghalangi langkah mereka. Silvanna mendongkak dan menemukan sepasang iris hitam yang selalu membuatnya lemah. Tapi tidak kali ini. Mata itu terlihat biasa untuk Silvanna.

"Lo pindah ke mana?" tanya Granger.

"Lo nggak perlu tau," sahut Silvanna dingin.

"Gue berhak tau karena lo pindah tanpa ngasih tau gue."

"Buat apa? Harusnya lo seneng gue pergi. Lo bisa bebas party, bawa pacar-pacar lo tanpa ada gangguan dari gue lagi." Suara Silvanna terdengar tenang, namun memiliki makna dalam tentang perasaannya. Hanya Silvanna yang merasakan panas di sekitar dadanya.

"Lo salah, Silv. Gue kehilangan lo," ungkap Granger lemah.

"Kehilangan?" kata itu seakan menjadi kata teraneh yang Granger lontarkan untuk Silvanna. "Lo bukan kehilangan gue, Gran. Lo cuma belum terbiasa."

Selama obrolan itu berlangsung, Karina hanya menatap keduanya bergantian seraya memikirkan kemungkinan yang terjadi di antara mereka berdua. Begitu juga dengan Hayabusa dan Lancelot yang melihat mereka dari kejauhan.

"Claude udah cerita semuanya, dan fix, lo pergi atas kesalahan gue." Granger mengakui kesalahannya dan berhasil mengundang iris keabuan itu untuk berkaca-kaca. "Balik ya, Silv."

"Nggak ada yang salah, Gran. Memang udah keputusan gue buat pergi dari unit itu. Gue cuma mau menikmati kegiatan gue di sini dengan tenang. Gue sadar, gue juga berhak buat bahagia. Jadi, please jangan paksa gue buat balik ke Orchid 2," kata Silvanna bijak. "Sekarang, gue berharap lo lebih baik dari sebelumnya. Tanpa gue." Silvanna menepuk bahu Granger sebelum menggandeng Karina menuju salah satu konter makanan di sana.

"Tapi gue kehilangan lo, Silv. Cuma lo yang bikin gue merasa kehilangan!" seru Granger dari tempat semula setelah berbalik dan menatap punggung Silvanna. Suaranya menarik perhatian seluruh pengunjung kantin.

Silvanna terhenti begitu pun ia menyadari ada beberapa pasang mata yang memperhatikannya dari kursi-kursi kantin, termasuk Miya dan Alucard, serta Fanny dan beberapa temannya. Silvanna enggan berbalik untuk melihat Granger.

"Oke, Silv. Lo jangan menyesal kalau sampe gue balik kayak dulu!" ancam Granger tak main-main.

"Silv?" Karina menyadarkan Silvanna yang terbengong sesaat. Ia menatap Silvanna dengan tatapan bingung.

Silvanna menoleh, " Rin, gue mau sendiri dulu, ya," pamit Silvanna disusul anggukan Karina.

Silvanna pergi dari kantin tanpa memedulikan orang lain yang memperhatikannya, termasuk Granger. Ia hanya fokus pada jalan di depannya dan tujuan yang ia sendiri pun belum tahu.

Karina melepas dan membiarkan Silvanna menenangkan diri. Beberapa saat kemudian Hayabusa dan Lancelot menyusul Karina.

"Dia kenapa?" tanya Hayabusa.

"Nggak tau. Silvanna belum cerita apa-apa ke gue," jawab Karina tanpa sadar. Sesaat kemudian ia menoleh dan mendapati Hayabusa berdiri di sampingnya. Karina tercekat. Ia langsung menarik Lancelot untuk menyekat Karina dengan Hayabusa.

Cowok Jepang itu menghela napas. Belum bisa ditebak kapan Karina akan memaafkannya.

***

Silvanna duduk di kursi makan. Ia sudah meneguk segelas air putih untuk menenangkan diri. Ia meletakkan gelas kosong itu di meja dengan paksa hingga menimbulkan bunyi ketukan.

Silvanna memijat keningnya yang mendadak terasa pusing. Bertemu dengan Granger setelah berhari-hari tak pernah mendengar kabarnya lagi, masih menyisakan getaran aneh dalam dirinya. Ia seakan kehabisan akal untuk menghindari Granger.

Mungkin satu-satunya cara untuk menghindari Granger adalah pindah kampus. Namun itu tak mungkin dilakukan oleh Silvanna mengingat Mythical University adalah kampus impiannya sejak dulu.

Tak lama kemudian, Miya masuk apartemen itu lalu menghampiri Silvanna dengan langkah ragu. Ia menarik kursi makan di depan Silvanna lalu mendudukinya.

"Kamu lagi ada masalah?" tanya Miya perhatian sambil meletakkan paper bag di atas meja lalu menuangkan air putih ke gelasnya.

Silvanna terkaget lalu menghela napas saat tahu itu Miya. "Sedikit," jawabnya lemah.

Miya tersenyum tipis. "Aku barusan ke toko kue sama Alucard. Brownies di sana terkenal enak banget. Aku bawain buat kamu." Miya membuka paper bag itu lalu membuka tutup box brownies dan menyodorkannya pada Silvanna.

Sekotak brownies cokelat ada dihadapan Silvanna saat itu. Terlihat menggoda dan enak. Silvanna tersenyum sebelum mengambil sepotong brownies itu. "Thanks."

Miya mengangguk. "Katanya, cokelat bisa ngurangin bad mood."

Silvanna menikmati tiap gigitan brownies itu. Benar saja, mood-nya lebih baik dari sebelumnya.

Miya menggumam kecil, masih ragu untuk menanyakan suatu hal pada Silvanna. "Kamu lagi ada masalah besar sama Granger?"

Silvanna diam sesaat lalu mengangguk. Ia menghabiskan potongan terakhir brownies yang ada di tangannya.

"Maaf, tadi aku sama Alucard nggak sengaja lihat perdebatan kalian di kantin," kata Miya pelan. "Tapi setahuku, Granger orangnya nekat. Sangat nekat."

Silvanna memperhatikan Miya lebih dalam. Cewek berambut panjang itu tampaknya ingin mengatakan sesuatu tapi masih ingin menahannya.

"Dia orangnya sulit dicegah, Silva. Dan kedengarannya, ancaman dia nggak main-main."

"Kamu kenal Granger?" tanya Silvanna.

Miya mengangguk lemah. Silvanna menghela napas. Setiap orang yang ditemuinya, pasti kenal dengan Granger, termasuk Miya. Apakah Miya termasuk daftar salah satu cewek yang pernah dekat dengan Granger dulu? Kalau sampai iya, betapa Playboy-nya Granger itu.

"Silva, kalau aku boleh menyarankan, kamu bisa kasih kesempatan untuk Granger. Sepertinya, kamu bisa mengubahnya. Dia membutuhkan kamu," kata Miya.

"Dia nggak pernah butuh aku, Miy. Lagian dia pasti seneng aku pergi dari hidupnya."

"Tapi, Silva, bisa dicoba dulu kan?"

Silvanna geram, ia sontak berdiri dari kursi makan. "Kamu belum tau apa masalah kami, Miya. Jadi mohon jangan kasih aku saran yang seperti tadi!" kata Silvanna.

Miya terkaget, ia segera mencari letak kesalahan dari kata-katanya. "Aku minta maaf."

"Terima kasih atas browniesnya, Miya. Dan sepertinya, menyendiri di kamar akan lebih menenangkan," pungkas Silvanna sebelum berderap menuju kamarnya.

Silvanna sepertinya marah pada Miya. Ia bisa merasakannya saat mendengar kalimat terakhir dari Silvanna sebelum masuk kamar. Atau memang benar, Miya tidak ada hak untuk mencampuri malasah Silvanna dan Granger.

***

"Ganteng, kamu datang lagi ke sini ternyata." Selena yang baru duduk di kursi bar samping Granger, langsung bergelayut manja di bahunya.

Granger menoleh dan membiarkan Selena berada di pundaknya, namun tanpa rasa minat. Ia kembali meneguk minuman dalam gelasnya.

"Aku rasa, kamu lagi stress," kata Selena manja. "Kalau begitu, kita habiskan malam ini bersama, biar kamu nggak stress lagi. Bagaimana?" Selena menggoda Granger yang masih terdiam.

Granger menoleh sambil menggoyangkan gelas wine di tangannya. "Tawaran yang menarik, Selena. Tapi gue nggak butuh," tolak Granger kembali meneguk sisa wine-nya.

Selena menghela napas, lelah. Ia tak tahu lagi bagaimana cara untuk mendekati Granger. Harga dirinya sudah terinjak oleh cowok bangsat itu. Selena hampir menyerah.

Ditengah dentuman musik DJ dari Bruno, Martis memanggil Selena untuk mendekatinya. Dengan malas, gadis bar itu memenuhi panggilan Martis.

"Cara lo kurang halus, Selena," kata Martis setelah Selena duduk di sampingnya di sofa.

"Maksud lo?"

"Bikin dia mabok berat!" Martis memberi arahan. "Dia nggak bisa kontrol diri kalau lagi mabok berat. Dan lo bisa berbuat apapun yang lo mau," bisik Martis yang langsung disambut seringaian Selena.

"Terkadang, lo berguna juga, Bangsat!" kata Selena seraya menyapukan telunjuknya di dagu Martis.

Selena mencoba melancarkan aksinya. Ia membisikkan sesuatu pada Moskov, sang bartender. Moskov sempat menyela apa yang diminta Selena, namun atas uang yang ditawarkan Selena padanya, Moskov berubah pikiran.

Selena mengambil alih posisi Moskov saat itu. Ia memasukkan sesuatu yang tadi didapatkannya dari Martis--pada gelas wine yang lain. Setelah itu, ia meminta Moskov untuk menukar gelas itu dengan gelas Granger. Moskov menurut dan rencana Selena berhasil.

Musik mengalun lembut. Ini saatnya para pengunjung tempat itu mencari pasangannya untuk diajak berdansa bersama di tengah sensasi lampu temaram nan memabukkan.

Selena langsung menarik Granger ke tengah untuk mengajaknya berdansa. Sepertinya, cowok itu sudah mabuk, karena ia menurut saat Selena menuntun dan mulai mengajaknya berdansa.

Claude hanya duduk di sofa bersama Martis. Ia memperhatikan Granger yang mulai hanyut dalam musik bersama Selena. Entah kenapa, Claude merasa geram.

Dalam pikiran Claude saat itu, Granger tak lebih dari seorang playboy yang baru saja mendapatkan mangsa segar. Granger tak pernah mencoba untuk mencari atau meminta maaf pada gadis yang menyukainya.

Claude bangkit lalu menepuk bahu Granger. Saat Granger menoleh, satu tinjuan dilayangkan Claude untuknya. Suasana bar jadi tegang, Martis dan X-Borg bahkan menghampiri mereka untuk melerai.

"Kita selesaiin masalah kita di luar!" sahut Claude keras. Ia tak mau membuat keributan di tempat ini. Dengan geram, Granger menyetujui ajakan Claude.

Selena mau tak mau harus merelakan Granger meninggalkannya lagi. Malam ini, ia masih gagal mendapatkan Granger.

.

"Bangsat! Lo kenapa mendadak mukul gue?" sahut Granger melepas paksa cengkeraman X-Borg.

"Pukulan itu belum seberapa, Gran. Lo nggak pernah ada usaha buat nyari atau minta maaf sama Silvanna. Bukannya lo malah asyik-asyikan di sini sama cewek bar!"

"Itu terserah gue! Lagi pula, dia nggak maafin gue. Dan kalo lo suka sama dia, lo ambil aja!"

Satu tinjuan lagi dilayangkan Claude untuk Granger. "Cuma pengecut yang bilang begitu!" Claude tambah geram. "Lo nggak pernah ada usaha buat nyelesaiin masalah lo. Lo cuma bisa lari dari semuanya dan bersenang-senang seakan lo nggak akan pernah punya masalah lagi!"

"Tau apa lo tentang masalah gue? Lo nggak akan pernah ngerti!"

"Seenggaknya, lo berpikir dewasa! Selesaiin setiap masalah yang lo punya! Jangan cuma mencari pelarian. Hidup lo nggak akan pernah bisa tenang!"

Dari kejauhan, sebuah sedan hitam berhenti di dekat pintu parkiran bar. Jendela pengemudi terbuka dan menampakkan seorang pemuda bersurai pirang. Ia memperhatikan perkelahian yang terjadi di depan tempat hiburan malam itu.

"Granger?" katanya ketika menyadari salah satu yang terlibat perkelahian. Ia sontak keluar mobil, tak peduli di mana ia parkir.

Pemuda pirang itu ikut melerai Granger dan Claude. "Granger, ada apa ini?"

Claude menurunkan kepalan tangannya ketika dilerai Alucard.

"Tolong ajarin Granger tentang cara menghargai wanita!" kata Claude tajam sambil menunjuk Granger.

Granger mengusap darah segar yang muncul di sudut bibirnya.

Alucard terdiam. Ada makna yang menyelinap dari kalimat yang dilontarkan Claude barusan. Alucard mengangguk paham. "Sekarang, Granger jadi urusan gue," kata Alucard kemudian.

Claude maju selangkah, "Awas aja kalo sampe gue liat Silvanna nangis lagi gara-gara lo!" ancam Claude pada Granger sebelum berderap pergi dari tempat itu.

Granger masih enggan berkata-kata. Apalagi saat melihat Alucard, kekesalannya malah bertambah.

"Gue anterin lo pulang," kata Alucard.

"Nggak usah, gue bisa sendiri!" Baru selangkah, Granger memegang kepalanya dan berlutut di tanah. Kepalanya seberti baru saja terkena serangan nuklir.

Dengan sigap, Alucard membantunya berdiri dan memapah Granger sebelum ia benar-benar tak sadarkan diri.

Bersambung...

Maaf gais baru sempet update. Sempet ada masalah sama hp-ku. Semoga ke depannya aku rajin update lagi 💕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top