[Chat 17]
Game Sambung Cerita
.
.
Babak pertama start!
List sambung cerita:
1. Kumi
2. Kazare
3. Fin
4. Zaskia
5. Leeya
6. Lemper
7. Rashi
8. Natha
dstnya
Story:
Melelahkan.
Lagi-lagi mereka menodai mejaku, memberi coretan dan ukiran tak berguna. Kini, kelas yang disinari oleh hangatnya sinar mentari sore itu kosong, bersisa diriku seorang di dalamnya. Berbanding terbalik dengan keadaan di bawah sana, lapangan yang riuh dengan suara gelak tawa dan obrolan.
Fatamorgana itu terlalu mewah untukku, lantas kualihkan pandanganku segera. Helaan napasku memenuhi ruangan sepi, segera kuambil lap untuk membersihkannya, berusaha mengembalikan seperti keadaan semula.
Menjalani keseharian layaknya seseorang yang tak berhak untuk hidup itu, membuatku berandai-andai, sebenarnya manusia adalah makhluk apa? Bagaimana caranya agar diriku dapat membaur dengan mereka?
Aku tidak bisa memahaminya. Mengapa mereka melakukan hal seperti ini padaku? Bukankah kesannya seperti aku yang menjadi penjahatnya di sini?
Butuh waktu cukup lama untuk menghilangkan noda-noda sialan itu. Tanganku sampai pegal membersihkan noda semacam itu hampir setiap hari.
Aku menarik kursi, dan duduk sembari melipat tanganku lalu meletakkan kepala di antara lipatan tanganku. Napasku terhela. Rasanya sangat lelah menjalani kehidupan seperti ini.
Lagi-lagi aku berpikir, untuk apa aku hidup?
anak laki-laki tidak menangis.
nasihat yang sama selalu terbesit setiap kali kejadian ini terulang. mengangkat kepala, aku menatap keluar jendela. bahkan sejak lahir, apa manusia memang sudah ditakdirkan berjalan di arah yang serumit ini?
"hidup ..." aku memangku wajahku, kemudian mendengus. sedikit lucu bagaimana orang-orang itu seolah tersinggung dengan fakta aku lahir ke dunia.
sepertinya akan lebih menyenangkan jika kulanjutkan.
hidup hingga usiaku 90 tahun hanya untuk membuat mereka semakin kesal.
"Hei, Kano? Kenapa belum pulang?"
Seseorang menyentuh bahuku dengan lembut. Membuatku menoleh dengan rasa sedikit kaget. Kirain semua sudah pulang, pikirku. Terlalu kaget sampai tak bisa memaksakan senyum.
Kulihat Teruhime berdiri sambil menggedong tas jinjingnya di bahu kanan. Dia maju selangkah, tubuh terjulur untuk mengintip ke arah mejaku yang masih kotor. "Oh, mereka berulah lagi?" ujarnya pelan, laki-laki berambut kecokelatan itu mengangguk-angguk. "Besok akan kutegur lagi."
"Sudahlah, tidak ada gunanya," pungkasku dengan nada putus asa. Pasti terlihat sangat menyedihkan. Aku sampai kasihan sendiri mendengarnya. Jariku mengorek bekas vertikal panjang yang diukir dengan ujung cutter.
Teruhime menepuk-nepuk bahuku. "Ayo, kita ambil meja baru saja di gudang sekolah. Habis itu kutraktir es krim. Besok kau luang? Kita pergi main sepakbola, nanti kukenalkan ke teman-temanku."
Mendapat kata-kata cemooh sepanjang waktu di sekolah semakin aku terbiasa dengan perasaan abai. Jika aku meladeni mereka yang ada mungkin lebih parah dari sekadar coret-coret meja.
Di dalam ruang keputusasaan ini, aku bersyukur masih ada Teruhime yang mau menjadi temanku.
Namun, kembali kupikir. _Orang sepayah aku mengapa bisa mempunyai teman sebaik Teruhime?_, pikirku.
Misalnya aku menghilang dari dunia penuh lara ini, apakah Teruhime akan bebas? Apakah akhirnya Teruhime dapat melakukan keinginannya tanpa harus mengkhawatirkan aku yang payah ini?
Dan sebaliknya, jika Teruhime yang menghilang dariku duluan, mungkin saja aku kehilangan harapan untuk sekadar menarik napas.
“Kok diam? Besok ikut, tidak?”
Teruhime lagi-lagi mengagetkanku. Bagai templat, kutanggapi ajakannya dengan kalimat tolakan.
“Tidak usah ... Nanti aku malah mengganggu.”
“Tapi kau belum coba, kan? Barangkali kali ini kau benar-benar bisa dapat teman baru.”
“Tidak butuh. Aku ... cukup dengan Teruhime, kok. Ah, kalau kau juga terganggu, main saja dengan teman yang lain ....”
“Kano ...”
Untaian kata yang keluar dari mulut Teruhime selanjutnya seolah memecah toples kaca berisi ketakutan di dalam hatiku.
“... aku kan, tidak bisa menemanimu selamanya.”
Aku tahu. Aku lebih mengerti tentang itu daripada siapa pun. Kalau Teruhime bilang padaku untuk pergi, saat itu juga pasti aku akan pergi, karena aku memang tak pernah dan takkan pernah layak untuknya.
Tapi, ucapannya itu apa maksudnya? Mengusirku? Atau memang rasa pedulinya yang begitu besar? Tapi, aku yang sudah terlanjur dibenci semua orang ini betul-betul tidak butuh teman.
Aku tahu kata-kataku tadi seolah omong kosong, dan bertentangan dengan apa yang kupikirkan saat ini. Hanya saja, di kepalaku saat ini hanya ada sosok Teruhime yang seolah berjalan menjauh.
Aku hanya butuh Teruhime.
“Tidak mau ...”
“Kano?”
“Aku tidak mau ditinggal Teruhime. Tidak boleh.”
Di dalam kelas yang hening ini, rasanya aku bisa melakukan apa pun untuk mencegah Teruhime melangkah dariku.
"Kano, kau ini kenapa, sih? Kenapa kau jadi aneh begini?" Tanyaan yang diucapkan oleh Teruhime terdengar mengkhawatirkanku–tetapi, hatiku seolah berkata, 'Apakah pertanyaan itu dimaksudkan untuk menyudutkanku? Apakah sudah pasti ia ingin meninggalkanku?'
Entah apa yang ada di pikiranku saat ini. Aku benar-benar ingin merengkuhnya supaya Teruhime hanya ada di sini, bersamaku–aku tidak butuh orang lain.
"Apa itu artinya kamu tidak mau lagi bersamaku?" tanyaku kepadanya seraya mengambil sesuatu dari kantong celanaku. "Aku hanya butuh kamu di sisiku, entah hidup–atau mati."
Teruhime terlihat mengernyitkan dahi seolah berpikir sesuatu setelah aku menanyakannya. Mungkin karena pertanyaanku?
"Aku tak selamanya bisa bersamamu, Kano." Ia berujar sembari menggelengkan kepala. "Ada kalanya aku pergi, begitupun yang lain."
Terdiam menjadi balasan dariku, menunduk dalam dengan tangan masih menggenggam erat benda yang selalu kubawa.
"Maaf ... aku tak bisa terus bersamamu ...."
.
.
[END]
.
.
Babak kedua start!
List:
1. fin
2. rashi
3. lemper
4. sachan
5. Kumi
6. kazare
Story:
"jadi!" sekotak penuh cemilan terbalut rapi di tanganku. 8 bulan lebih perjuanganku belajar membuat biskuit tidak sia-sia. obesesiku dengan kumpulan film ghibli juga ikut serta dalam menyempurnakan rencana ini.
akhirnya dengan ini aku bisa mencari perhatian ke seorang pemuda yang menarik perhatianku sejak awal masuk sekolah.
"akan kutujukkam pesonaku melalui kue kering ini!" seruku bersemangat.
preman sekolah yang mencuri hatiku, akan kucuri balik hatimu dengan kotak penuh cinta ini!
"Menunjukkan pesona? Kamu yakin?" Rin, teman terdekatku di sekolah ini terkekeh geli ketika melihatku yang kegirangan. Ia membuka tutup kotak tersebut, tanpa tahu malu dan memasukan salah satu kue buatannya ke mulutnya. "Enak, sih. Tapi masa iya gadis sebarbar kamu yang membuatnya?"
"Jangan ngaku-ngaku kamu yang buat, deh, ini pasti buatan kakakmu, 'kan?"
“Terserah. Aku mau mengantar ini dulu.”
Kutinggalkan Rin yang masih mengejekku, ke parkiran belakang sekolah. "dia" biasanya selalu di sana sepulang sekolah.
Dadaku berdebar. Bagaimana ya, reaksinya nanti?
Saat aku menunggu, seseorang menyapaku.
"Oh senpai! Sedang apa di sini?"
Aku mendongak, hampir menjatuhkan kotak biskuitku. Ketika menatap Wei Wei yang menghampiriku, barulah aku menghela napas.
"Oh Wei Wei, aku sedang menunggu seseorang," ujarku, tidak bisa menahan senyum ketika membayangkan 'dia'.
"Oh."
Aku hanya mengangguk, menangkap Wei Wei yang menatap kotak biskuitku, kemudian membuang muka dengan cepat. Kenapa lagi anak ini?
"Ah, kalau begitu aku pergi dulu."
Sebelum aku dapat merespon, Wei Wei telah berlari menjauh. Menatap punggungnya yang perlahan-lahan menghilang, aku hanya dapat mengangkat bahu dan kembali fokus menunggunya.
Dipikir-pikir, kenapa ekspresi Wei Wei agak menakutkan tadi?
Ah, biarlah.
Kembali menatap kotak biskuitku, aku dapat merasakan jantungku yang kembali berdegup kencang.
Ah, aku benar-benar tidak sabar melihat reaksinya!
Butuh waktu beberapa lama hingga sosok yang kunantikan datang, menampakkan diri dengan gaya premannya. Segera saja, aku berdiri, berniat untuk memberikan ia kotak biskuit yang telah kubuat.
Namun, ada yang aneh dari perawakannya. Memang benar, biasa ia berjalan dengan bercak darah di bajunya. Tapi, hari ini, ia berjalan sempoyongan. Mengapa ia seperti itu?
"Senpaiー"
Saat hendak memanggil namanya, segera saja kuurungkan saat ia meraung layaknya hewan buas. Irisku membelalak, refleks menjauh ketika ia mencoba menerkamku.
Wajah putih pucat dengan beberapa luka di badannya. Darah, serta ekspresi yang nampak seperti mayat hidup. Apa-apaan ini? Apa sedang ada syuting film? Tetapi, dari gelagatannya, ia terlihat sedang tidak bercanda.
Aku bergerak mundur, tetapi tembok sial ini siapa sih yang membangunnya di sini?
Aku bergerak ke samping, berusaha lari darinya. Tidak. Dia bukan dia. Dia bukan sosok yang kudambakan selama ini. Sebenarnya apa yang terjadi sampai ia jadi begitu?
Aku menoleh ke belakang. Tangannya terulur untuk menangkapku. Mulutnya terus meraungkan suara yang mengerikan. Namun, saat kulihat matanya, ia seperti memintaku jangan menjauh.
Bagaikan tersihir, langkahku melambat. Sementara ia bergerak semakin dekat denganku. Otakku sudah memerintahkan untuk kembali berlari, tetapi rasanya ada yang mengganjal di hatiku.
"HEI LARI!"
Aku mendengarnya. Aku mendengar teriakan itu dengan sangat jelas. Tapi tetap saja, kenapa aku sangat sulit mengalihkan pandangan darinya?
"FIINNN!!" Suara Rin Weiwei Aceng Budi adalah yang terakhir aku dengar sebelum ia yang kudambakan menggigit tanganku. Seketika, kue kering yang kubawa lepas dan terjatuh.
~
"HAH." Napasku terengah-engah. Aku melihat sekeliling. Ini masih di sekolah.
"Kamu kenapa? Enak, sih. Tapi masa iya gadis sebarbar kamu yang membuatnya?"
Lho? Dialog ini?
.
.
[END]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top