[Chat 12]

Random Pic Fic

.
.
.

[Kumi, Gambar 1]
Sebuah slime berwarna biru berdiri di hadapanku. Aku melotot, menatap wajah tanpa mata itu. Padahal, dunia ini bukanlah dunia fantasi. Tapi, tiba-tiba terdengar suaranya beserta ayunan gerakannya.

"Asal lo tau, ya, dek."

Buset, kayaknya ini efek kebanyakan nonton streaming Kobo, sampai-sampai jadi berkhayal yang tidak masuk di akal kayak gini.

.

[Natha, Gambar 1]
Dua orang berbeda warna rambut namun segender sedang terlibat cekcok di ujung gudang, sang tertua sedang mendorong-dorong bahu termuda sembari tangan kirinya memegang pinggang sendiri. Matanya terlihat menyalak dengan wajah merah padam, seragam yang dikenakannya pun terlihat absurd karena bagian belakang dikenakan menjadi bagian depan. Ia, sang tertua menunjuk termuda dengan wajah marah bercampur malu dan tentu dia mengatakannya dengan nada sedikit tinggi. "Asal lo tau! Gua begini gegara lo yang nyuruh gua buru-buru ke sini!"

.

[Ann, Gambar 1]
"Yahaha payah, masa udah AR 59, spiral belum tembus lantai 12."

Sudah berkali-kali aku mendengar ejekan itu. Kesal tapi juga salahku, karena tidak mengbuild karakter genshin ku.

Spiralku cuman mentok lantai 8 dan itupun aku sudah amat sangat senang saat melihat angka damage 10000 lebih.

Keren kan? Oia dong.

"Gimana sih lu, payah banget! Makanya karakter tuh di build."

"Heh, asal lo tau ya dek, gue itu males ngespiral!"

Okeh, aku teriak di depan umum.

.

[Mayu, Gambar 1]
Sebelum aku bercerita, aku merupakan penyintas UTBK hasil nembak dengan kehokian 80 persen. Masih tidak percaya itu terjadi, tapi nyatanya sekarang aku mengikuti ospek di kampus baruku. Keringat berkucur, dahulu langsung kinclong. Panas banget sampai mau pingsang. Mana KaTing di depan sana sibuk berkoar-koar dengan bibir memble dan kalimat andalannya, "Asal Lo tahu ya, Dek. Kami nih walau mirip slime dan enggak secantik atau seganteng kalian, Kami lebih berpengalaman dan lebih memiliki rasa solidaritas! Jadi kawanin tuh ...." Haduh, memang mirip slime. Ribut mulu, mana keringatnya bau bawang.

.

[Kazare, Gambar 1]
"Asal lo tau, ya, dek. Ini bukan jalan umum! Kalo lo mau lewat sini, harus bayar!"

Begitu yang kudengar setelah menengok ke sebuah gang. Terdapat beberapa anak dengan tinggi tanggung yang berkacak pinggang mengelilingi seorang anak kecil. Anak kecil itu hanya diam, menyingkirkan tangan yang menunjuk mukanya.

"Gue bukan adek, lo. Berapa sih emang bayarnya. Gue beli nih jalan sekalian. Sekarang lo pada yang pergi, ini jalan punya gue!"

Begitulah balasan yang kudengar dari anak kecil yang dipalak. Para pemalak itu pun buru-buru mengambil uang yang berceceran di tanah dan segera pergi meninggalkan anak kecil yang ternyata sultan itu.

.

[Rin, Gambar 1]
Oke, mungkin dipalak bukan sesuatu yang Yoojin harapkan ketika dia masuk ke ruangan itu.

"Asal lo tahu ya, dek," ujar si pemalak, yang sebenarnya hanya seorang resepsionis baru di guild Haeyeon, "tempat ini enggak bisa dimasuki sembarang orang."

Yoojin tahu, makanya sekarang dia sedang berusaha masuk ke dalam, karena dia bukan 'sembarang orang'. Ia kini bisa merasakan tatapan-tatapan orang lain, bahkan sampai bisikan-bisikan yang dilontarkan di antara mereka.

"Gue butuh lo untuk keluar dari gedung ini. Secepatnya," tambah si resepsionis sinis.

"Tapi—"

"Enggak ada tapi-tapian. Secepatnya."

"Wah, gila sih," Yoojin mendengar seseorang berbisik, "tuh cewek bakal dipecat besok kayaknya."

Tidak perlu menunggu besok karena Yoohyun memutuskan untuk mengumumkan kedatangannya di saat itu, bingung melihat kakaknya berdiri seperti anak hilang di lobby.

Si resepsionis dipecat tiga menit kemudian.

.

[Syifa, Gambar 1]
Belakangan ini ada meme yang sedang viral di sosmed. Itu adalah wujud slime Rimuru, tapi sekarang aku sering menjumpainya sebagai wujud dari Kobokan Aer a.k.a Kobo Kanaeru.

“Asal lo tau ya, Dek!” seru Kobo saat streaming pada Ollie.

“Gua bukan Adek," sanggah Ollie.

“Asal lo tau, ya, Llie.”

Percakapan singkat mereka selalu terngiang, ditambah kedua vtuber itu terbahak-bahak.

.

[Eri, Gambar 1]
Di tengah Padang rumput luas yang entah ada di mana, seorang (atau seekor?) Slime biru tengah menunjuk ke arahmu. Merasa terpanggil, kau lantas mendatanginya. Dan betapa terkejutnya dirimu ketika slime itu bicara.

"Heyyy dek, iya, dek, kamu yang di sana. Asal lo tau ya, dek. Dunia itu keras, lebih keras dari tembok Cina. Mau duit? Ya kerja, Jan mau enaknya aja. Lu mau nunggu duit tumbuh dari pohon? Kalo gitu Sampe seribu abad juga enggak bakal terwujud, dek. Udah, kalo capek mending jadi slime aja samab gue."

Kamu ternganga, tidak namun berkata-kata.

.

[Zaskia - Gambar 1]
“Asal Lo tau ya, Dek.”

Makhluk mungil, biru, jelek, dan layak diinjak di depannya ini menunjuk wajah Jane dengan ekspresi kesal---mungkin.

Jane coba menginjak makhluk tersebut, tetapi dia berguling di atas rumput untuk menghindar. Sambil tertawa, gadis pirang itu kembali mencoba untuk menginjak kakaknya yang sekarang berubah bentuk dan jadi tak berharga. Kapan lagi dia dapat kesempatan merundung pria yang suka sok-sokan seperti James?

.

.
.
.

[Kumi, Gambar 2]
Helaan napas aku keluarkan, garis bibir melengkung tipis di wajahku, membentuk senyuman penuh kepasrahan. Nampaknya, hari ini aku akan dimarahi karena menghabiskan uang yang terletak di atas meja bar.

"Kau ... sepertinya sudah sehat, ya, hari ini."

Benar, berkat uang nyasar kemarin yang kubelanjakan untuk obat.

Manager menjeda suaranya sesaat lalu wajahnya memerah, "Bagaimana bisa kau memakai uang itu seenaknya?!"

Aku hanya tersenyum di depan, meskipun gelisah di dalm hati. Halo, anxiety, my old friend. Siapa suruh meletakkan sembarangan, kan kalau hilang bukan salahku.

.

[Kazare, gambar 2]
"Hello, Anxiety," sapaku, "my old friend."

Aku mendudukkan diri di sebuah kursi di depan minimarket. Di sana, sudah ada temanku yang datang lebih dulu. Kami berjanji untuk pergi ke suatu acara bersamaan dan minimarket inilah titik pertemuan kami.

Anxiety. Ya, terdengar aneh memang untuk sebuah nama. Entah apa yang dipikirkan oleh orangtuanya saat memberi nama untuk temanku ini. Namun, temanku ini ternyata bangga dengan namanya. Memang keluarga aneh.

.

[fin, gambar 2]
Ah, rasanya seperti ingin mati. Pikirku saat ini, bertemankan cahaya remang-remang dari terang bulan.

Klik klak klik klak.

Bunyi pulpen yang kutekan tanpa henti menemani benakku yang tidak karuan. Jantung berpacu dan tangan berkeringat dingin.

"Padahal sudah lama tidak begini," lirihku gemetar. Meringis menangisi perasaan yang menyiksa.

"Hello, anxiety, my old friend. Long time not see."

.

[Rin, Gambar 2]
Mungkin ini saatnya menyerah, batin Karamatsu capek.

Bagaimana tidak? Kakak kembarnya satu-satunya ini baru saja ketahuan mengambil uang adik kembar pertamanya. Hal tadi itu biasa tentu, tapi kali ini Choromatsu sedang berencana menggunakan uang itu untuk membeli figure Nyaa-chan yang terbaru.

"KAN CUMA DIKIT JUGA UANG LU, MANA CUKUP?!"

"GUE BISA DAPET DISKON, KAKAK BODOH! OTAK DIPAKE!"

Yang akhirnya berujung dengan pertikaian. Choromatsu, yang bukan merupakan seseorang yang atletik bahkan sejak kecil, anehnya kini tengah mengunci Osomatsu di lantai, kedua tangan kakak kembarnya itu ditahan di belakang.

Ichimatsu nampaknya malah menikmati adegan di depannya, kini semangkuk popcorn di tangan. Todomatsu sama sepertinya, memutuskan untuk merekam apa yang sedang terjadi. Jyushimatsu sedang berteriak, berusaha menenangkan kedua kakak kembarnya, yang malah berujung membuat mereka berdua semakin berteriak untuk berargumen.

Intinya, Karamatsu lelah.

Dia memutuskan untuk memakai kacamata hitamnya lagi, bersumpah tidak melihat apa-apa.

Hei, kalau dia tidak bisa melihat masalahnya, artinya bukan urusan dia.

.

[Mayu, Gambar 2]
Kim Dokja mengembuskan napas kasar. Bukan pasal sembarang pasal, ucapan yang tiba-tiba saja dikeluarkan Yoo Jonghyuk sewaktu menyelesaikan sub-skenario tadi membuatnya kepikiran. Bagaimana tidak, sunfish berkedok protagonis itu tiba-tiba saja menarik tangan Kim Dokja yang bebas, lalu dibawanya menuju bibir. Ya, dicium ala-ala putri bangsawan.

Apalagi setelahnya Yoo Jonghyuk berkata, "Aku tidak akan melepaskanmu malam ini. Mau kau lari pun, aku akan ■■■."

Tangannya mengusak rambut kasar. Belum lagi Dinding Keempat yang asyik memanas-manasi.

Kim Dokja makin cemas saja ketika suara langkah berat mulai menghampirinya. Tanpa menoleh pun, Dokja tahu itu Yoo Jonghyuk. Pembaca itu jadi takut, apakah dia akan dibunuh oleh lelaki bongsor itu?

/Padahal mah Yoo Jonghyuk cuma mau ajak Dokja latihan stamina, karena sewaktu menyelesaikan skenario Yoo Jonghyuk merasa Kim Dokja tidak bersemangat. Memang kalau sudah punya riwayat over-thinking dan kecemasan, semua jadi berbeda makna.

.

[Syifa, gambar 2]
"Kenapa, sih, ngurus anak kecil itu nguras tenaga," gumam Loid.

Dia mata-mata. Orang dengan seratus wajah, tapi mengapa menjadi seorang ayah sangat melelahkan.

“Chichi! Anya mau tinggal di Castle!”

Baru saja permintaan kecil sudah dikabulkan. Ini anak sudah melunjak rupanya.

“Tidak, Anya. Rumah kita, 'kan, juga besar.”

“Anya maunya Castle!”

Jika bukan karena misi Loid tidak akan stress tidak ketulungan seperti ini.

.

[Zaskieh - Gambar 2]
Setelah sebelumnya jadi slime karena keisengan sang adik, kini atasannya meminta James untuk melakukan pekerjaan tak biasa. Dia diminta berubah wujud lagi, supaya bisa mempermudah misi.

Pasca kejadian menjadi slime tersebut, lelaki pirang ini jadi punya sedikit trauma terhadap benda-benda yang berukuran lebih besar darinya. Apalagi kalau dia harus mengecil lagi nanti. Namun, apa boleh buat? Atasan sudah bertitah, sebagai pria dengan harga diri tinggi dan demi duit untuk menghidupi adiknya yang miskin.

Pria itu tersenyum miris. "Hello, anxiety, my old friend."

.

.
.
.

[Natha, Gambar 3]
"Bro! Yang berlari sambil gendong sampe ke garis finish dia yang menang!"

"Oke! Yang kalah harus traktir seblak 5 mangkok!"

"Gas! Jangan ngeluh encok kalian!"

.

[Kumi, Gambar 3]
Aku menggertakan gigi seraya berlari. Sialan, kenapa pemuda rusuh ini berat dan beisik sekali?! Bukannya aku tidak kuat, tapi tingkahnya memalukan.

Sembari berlari menuju garis finish, aku menahan ego dan malu. Membiarkannya berteriak sesuka hati. Pokoknya harus menang, kalau tidak, percuma pengorbananku!

.

[Mayu, Gambar 3]
"Hai, Hinata. Selamat ya jadi posisi pertama lomba kemarin," ucap Yachi sambil menyalami Hinata yang memasang wajah bangga. "Tapi aku penasaran, waktu itu kamu enggak mau dipasangin sama Kageyama, kan? Kenapa waktu lomba aku malah lihat kamu digendong Kageyama untuk lombanya?"

Hinata tersenyum lebar. "Oh, itu! Soalnya Tsukishima tiba-tiba bilang kalau aku ikut itu bareng Kageyama, aku bisa main kuda-kudaan!" ucapnya dengan semangat 45.

.

[Kazare, gambar 3]
"Woi! Pegangan yang bener!"

Aku menghela napas. Kenapa temanku ini dari tadi gak bisa dibilangin sekali aja. Dan kenapa pula harus aku yang menggendongnya, hanya karena berat badanku lebih berat dua kilo darinya. Dari tadi dia hanya sibuk melambaikan tangan pada para penggemarnya. Heran juga, orang sepertinya punya penggemar?

"Lu kalo jatoh, gak mau gua tolongin," kataku sekali lagi. Persetan dengan lomba tujuh belasan ini. Kenapa pula ada yang menyetujui lomba macem ini. Hadeh.

.

[Ann, Gambar 3]
Hari ini ada lomba lari dan aku adalah salah satu peserta (yang dipaksa) ikut. Katanya sih kalo menang bak dapet hadiah, palingan buku sama alat tulis.

"Nanti kamu gendong aku ya, terus lari ya? Aku males lari soalnya." Temanku nampak kebingungan. Ia lalu memukul kepalaku dengan buku matematika, rasanya sakit.

"Curang, nanti lu di diskualifikasi."

"Gapapa, aku kan banyak duit," ucapku sambil mengibaskan rambut.

.

[fin, gambar 3]
Aku benci festival olahraga. Sedikit berbeda dari anak-anak yang lain, aku tidak tahan terik matahari. Berdiri 5 menit di bawahnya saja sepertinya aku bisa tumbang. Jadi di sini aku, duduk jauh dari lapangan, di bawah rindang pohon.

Tatapaku mengarah lurus, menangkap dua sosok yang ikut meramaikan festival. Terkekeh kecil, merasa geli melihat mereka sangat bersamangat, menuju garis finish dengan senyum sumringah.

"Terlihat sangat menyenangkan ..."

.

[Rin, Gambar 3]
"Wanjir, MANG, ITU ADA TUKANG CIRENG! KE SANA, CEPET!"

"Lu panggil gue 'mang' sekali lagi, gue banting lu," Daichi menghela napas lelah. Benar-benar, teman-temannya itu tidak ada yang waras. Mungkin dia salah pertemanan.

Lagi pula, siapa teman waras yang meminta temannya sendiri untuk menggendong dia? Setelah latihan voli dua jam? Hanya Suga.

Mungkin salahnya juga mau-mau saja mengikuti kemauan Suga, tapi tawaran akan ditraktir makanan apapun yang ada di depan sekolahnya terlalu menggiurkan.

Demi kewarasannya sedikit, Daichi memutuskan untuk tidak mendekati gerobak cireng yang ditunjuk Suga.

"TAPI, MANG! ITU ADA CIRENG! WEH, BERHENTI! JANGAN KELEWATAN!"

"Gue enggak mau cireng. Martabak aja ayo."

.

[Loti, Gambar 3]
"PERCEPAT LANGKAHMU! TUNJUKKAN AKU GELORA JIWA MUDAMU, SHINONOME!" pekik Tsukasa dari punggung Akito. Suara nyaringnya tiada henti melontarkan kalimat motivasi pada adik kelasnya--Shinonime Akito--yang sibuk berlari sambil membopong Tsukasa.

"Diam! Aku juga sedang berusaha di sini!" omel Akito merasa sebal. "Kalau kau masih banyak bicara, akan aku lempar tubuhmu ke udara!

"Mana bisa! Itu sama saja kalah! Bukankah kau suka kemenangan? JANGAN PATAH SEMANGAT. TERUS LARI DAN AKU AKAN REBUT MEDAL KEMENANGAN UNTUKMU!" balas Tsukasa teriak lagi tepat di samping telinga Akito yang mengeluh-eluh.

"MASA BODOH DENGAN KEMENANGAN! Berhenti berteriak di telingaku!" jeritnya frustrasi sambil mempercepat langkah.

.

[Syifa, gambar 3]
“Jangan patah semangat, kawan!” Dari belakang, Ice menyoraki Blaze yang menggendongnya.

“Lu yang keberatan.”

Kalau bukan karena kalah taruhan tanding makan, mana mungkin Blaze rela gendong makhluk biru ini.

“Siapa yang duluan nantangin lomba makan?”

Blaze menggertakan giginya. Salah dia memang kenapa harus pilih lawan si paus rakus ini.

‘Awas aja nanti,’ batin Blaze penuh kesumat.

.

[Zaskia - gambar 3]
"CEPETAN, JAMES! CEPET! LARI! LARI! LARIII"

Jane berteriak-teriak sambil memegangi bahu kakaknya, sementara James yang menjadi kuda dadakan harus merelakan punggung mengangkat bobot tak normal---menurut James---gadis di atasnya.

“Berisik. Tukeran, yok!”

“LAMBAT BANGET! GIMANA CARAMU NGEJER MUSUH, SIH!”

Mendengar provokasi tersebut, James memacu langkah. Kedua tangan memegangi paha sang adik dari belakang, dia mengetatkan rahang dan kembali berlari.

.

[fin, gambar 3]
"Baji-san!! Semangat!!"

Perlombaan lari putra, tidak fuku sangka Baji Keisuke yang biasanya enggan mengikuti kegiatan sekolah, memilih untuk berpartisipasi. Dengan sorakan Chifuyu—yang sebenarnya juga merupakan salah satu konstestan  lari—menyemangati Baji dengan sepenuh hatinya.

Merasa tersaingi, Fuku berdiri tepat di sisi lapangan. Berdesakan untuk membiarkan suaranya terdengar keras.

Tidak bisa dibiarkan!!

Menahan malunya, untuk menjaga harga dirinya dan melampaui tekad Chifuyu, Fuku mengambil nafas dalam-dalam.

"BAJI-KUN, SEMANGATT!!"

.

.
.
.

[Eri, Pict 4]
Oh, astaga, mengapa kamu masih di sana?

Rambut pirang bergelombang itu masih terlihat lembut. Senyuman secerah matahari pagi yang selalu berhasil menangkan hatiku itu masih tersungging di bibirku. Sayangku, sampai kapanpun, kamu tetaplah gadis paling cantik di mataku.

Hanya saja, tolong, berhentilah mendatangi nisanku setiap hari. Lupakan aku. Aku ingin kau bahagia

.

[Rin, Gambar 4]
"Stop."

"Hm?"

"Stop senyum-senyum kayak orang gila."

"Tapi gue keliatan manis, 'kan?"

Kasamatsu ingin muntah mendengarnya. Kepedean temannya yang satu itu memang tidak tahu batas.

"Gila beneran gue kalau denger lo ngomong terus. Cepetan fotonya, Mori!"

"Ih, sabar dong, senpai. Kesempurnaan butuh waktu," ujar Kise yang mengajukan diri sebagai fotografer di sesi photoshoot klub basket Kaijou hari ini. Biasanya dia yang akan menjadi modelnya, tapi kali ini ia ingin membiarkan yang lain berada di depan kamera juga.

Masalahnya, yang Kise tunjuk adalah Moriyama. Mana mungkin sesi foto hari itu akan berjalan lancar.

"Gue jadi ingin pulang," gumam Kobori dari samping Karamatsu. Mukanya mual, seakan-akan tengah menahan muntah seperti dirinya.

"Habis ini kita tinggalin aja Mori sama Kise di sini."

"Tapi kan mereka enggak ada kartu bus...?"

"Biarin. Tinggal."

Kobori nampaknya memang tidak khawatir dengan mereka sejak awal karena dia hanya mengangguk saja, matanya melihat ke arah lain—apapun yang bukan pemandangan Moriyama ketawa-ketawa sinting sambil memegang bunga.

.

[Kumi, Gambar 4]
Izek mengerjapkan matanya, iris merah tersebut terpaku pada senyuman manis dan ceria milik istrinya. Meskipun diterpa oleh hangatnya mentari, serta dikelilingi oleh bunga kuning. Ia mendapati sorot sedih dari tatapan sang gadis.

"Ruby," panggil Izek, dengan suara kecil. Gadis itu menoleh, memiringkan kepalanya, lantas tertawa kecil. Namun, suaranya perlahan menghilang. Dada Izek terasa sesak, ia mencoba mengulurkan tangan. Tapi, gagal.

Keberadaannya kini menghilang.

Pemuda dengan helaian rambut putih itu terbangun, napasnya terengah-engah. Ia mencengkram seprainya, menjambak rambutnya secara frustasi. Lalu, ia pun bergumam, "Kau merepotkan ..."

.

[Mayu, Gambar 4]
Aku benci bunga. Aku juga tidak terlalu menyukai matahari. Tidak karena aku alergi pada serbuk bunga ataupun anti sama yang namanya keringat. Akan lebih cocok jika dikatakan aku ingin berhenti menyukai hal yang membuatku kembali mengingat dirinya.

Rambutnya yang berkilau di bawah sinar matahari, senyumnya yang membuat perhatianku teralihkan dari buket bunga yang dipegangnya.

Sosoknya seakan menjadi satu-satunya entitas yang berhasil menerima respon dari reseptor rangsangku, membuat jantungku berdetak lebih kencang karena kehadirannya.

Namun sejak saat itu, tubuh dinginnya di bawah pohon rindang masih terpaku jelas di dalam ingatan. Bagaimana aku meneriakkan namanya di siang terik, tetes air mataku jatuh di antara bunganya yang sudah bertebaran.

Jika aku mengingat masa lalu, aku bahkan masih bisa merasakan bagaimana kakunya jari yang senantiasa kugenggam itu, tidak lagi memancarkan kehangatan yang sudah lama kupuja-puja.

Bersama dengan keegoisanku untuk tidak melupakannya, kuharap matahari dan bunga menjadi obat tenangnya di sana.

.

[Loti, Gambar 4]
Aku hanya bisa tersenyum sambil memejamkan mata. Air mata tidak sanggup aku sembunyikan--tiada henti mengalir menuruni lekuk wajahku.

Betapa sakit dan bahagianya diriku saat ini. Aku sangat bahagia karena kekasih yang sangat kucintai ini membawakanku bunga kekuningan yang memiliki aroma menenangkan untuk kebanyakan gadis.

Apalagi saat aku menerima buket ini dan melihat senyum bangga lelaki di hadapanku. Sungguh, sejujurnya, mulutku tidak sanggup menuturkan bisikan hati kecil yang akan mematahkan senyuman itu.

sesungguhnya, air mata ini terus mengalir karena aku alergi bunga.

.

[zaskieh - gambar 4]
Jane berjalan mendekati sang kakak, di tangannya ada sebuket bunga sewarna emas yang dibelinya beberapa saat lalu. Gadis yang biasanya tak berdandan atau sekadar menyisir rambut tersebut tampak berbeda hari ini. Auranya secerah matahari pagi dan rambutnya yang mulai kembali panjang berkibar tertiup angin.

“Jamesss.” Dengan suara paling manis yang bisa dibuatnya, gadis itu menyapa sang kakak yang sedang menikmati hidangan kopi buatan sendiri sambil menatap laptop dan tumpukan pekerjaan yang tak ada habisnya.

James menoleh sambil menurunkan kacamata baca. “Kamu ada maunya pasti. Dasar miskin.” Pria itu mengeluarkan dompet.

.

[Kazare, gambar 4]
"Haha akhirnya!"

Aku tersenyum senang sembari membawa sebuah buket bunga yang cantik. Dengan langkah gemulai, aku mulai berjalan. Menghampiri suatu tempat yang kini mulai sepi pengunjung.

"Ini untukmu. Terima kasih, ya," ucapku masih dengan senyum lebar di wajah.

Aku meletakkan buket tersebut di atas sebuah karpet hijau berbentuk persegi panjang yang pinggirannya diberi keramik. Buket tersebut bersender di sebuah batu tegak bertuliskan "RIP - In Memoriam."

"Kau sudah pergi, jangan kembali lagi."

.

[Luci, gambar keempat]
"Terima kasih."

Gadis itu tersenyum sembari membawa sebuah buket bunga berwarna kuning.

'Ahh, betapa indahnya senyumanmu itu. Membuat mataku silau saja.' Aku berpikir sembari memperhatikan setiap gerik kecil yang dibuat olehnya.

Meski begitu, tak peduli betapa indahnya senyumanmu itu, entah kenapa aku hanya bisa bereaksi dengan senyuman pahit yang terukir di wajah.

Entahlah, mungkin karena aku tahu bahwa aku tak bisa memilikimu.

.

[Syifa, gambar 4]
Siapa dirinya? Kenapa selalu datang dalam mimpiku?

Perempuan dengan senyuman dan selalu ada bunga di tangannya itu datang lagi di mimpi Fang.

Fang tidak kenal dengan dia. Tapi setiap kali Fang ingat dengan bunga tidurnya, ia selalu merasa sedih, seperti ada sesuatu yang telah lama hilang dan dirindukannya.

“Fang, jangan banyak melamun. Kau tidak lupa hari ini peringatan hari kematian Ibu?” Kaizo menepuk pundak sang adik yang termenung. “Kita harus berkunjung ke makam Ibu.”

Deg!

Ah, ternyata benar. Bagaimana bisa Fang melupakannya. Bukan lupa sebenarnya, hanya saja dia masih belum rela Ibu pergi begitu cepat.

“Iya, Fang juga tiba-tiba kangen banget sama Ibu.”

.

[fin, gambar 4]
"Fuku-san! Selamat atas kemenanganmu!"

Fuku balas tersenyum kecut, sembari menggenggam erat buket bunga kuning di tangannya. Puluhan tahun ia menari, berusaha setengah mati untuk sampai kepuncak, akhirnya dia sampai ke titik yang ia inginkan.

Berjalan menjauh dari kerumunan, Fuku menatap langit biru yang terbentang lebar.

"Aku berhasil." Tatapannya sendu. Kenangan lama berputar kembali, seperti kaset lama yang tidak bisa dihapus.

Rambut panjang hitam dan senyum cerah yang menawan, gambar itu terus tersimpan di benaknya. Tiap kalimat yang terus meyakinkan untuk melangkah maju, hingga nafas terakhirnya berhembus.

"Aku berhasil melanjutkan hidupku ..."

.
Warn! Kinda thriller

.
.
.

[Kumi, gambar 5]
Napasku tercekat, mendapati pepohonan penuh dengan warna merah. Apakah ini? Aku ingin terjun ke dalamnya, namun takut. Rasanya, tubuhku tak mampu bergerak.

Samar-samar, terdengar langsung suara yang memanggilku.

"Selamat datang ... maukah menjadi bagian dari kami? Kami membutuhkan darahmu."

Aku ingin menolak, tapi aku tak mampu menggerakkan badanku seinchi pun. Apakah ini akhir dariku? Mengapa ... aku bisa berakhir di sini?

.

[Zaskia - gambar 5]
“Yuk, buka mata. Bisa, yuk. Yuk.”

James berusaha melepas pelukan adiknya. Sejak awal memasuki arena permainan ini, gadis itu menempel lebih lekat daripada prangko pada amplop surat.

Di beberapa langkah, Jane juga sempat bergelantungan di badan sang kakak dan membiarkan pria itu membawanya melintasi hutan semerah darah ini.

“Takut ....” Gadis itu bercicit pelan. Kedua kakinya memeluk pinggang James. Menambah beban si sulung Morgaine.

James membuang napas. Menyerah berusaha menjauhi gadis itu dari badannya dan mulai berjalan seperti penguin. “Makanya kalau takut, itu enggak usah sok-sokan mau masuk.”

"Tapi, penasaran."

"Ujung-ujungnya, juga kamu gak ngeliat.”

.

[Loti, Gambar 5]
Pohon Pemakan Orang. Siapa yang tidak tahu mitos itu? Kedua kakiku melangkah melewati akar-akar yang melilit potongan daging segar di sekitar jalanan. Aroma mayat yang membusuk, bercampur dengan amis darah dan bau menyengat daging segar membuatku refleks menutup mata.

Aku tahu ini semua hanya mimpi. Atau itulah yang biasa aku katakan pada diriku agar berani mencari jalan keluar setiap kali terjebak di dunia aneh.

Semenjak aku tersesat di hutan saat usia 5 tahun, mimpi mengerikan telah menjadi keseharianku. Hutan ini pun salah satunya. Bertahun-tahun aku dipaksa melihat hal seperti ini atau bahkan terjebak di dalam situasi di mana aku akan dicabik-cabik.

Kemudian kedua kakiku melangkah menginjak daging segar di antara akar-akar. Aku menahan keinginan untuk mengeluarkan isi perutku.

Saat aku mendongak lagi, sesosok mahluk berwujud mengerikan berdiri di hadapanku.

Mata bulat dengan retina reptilnya menatap lurus sehingga membuat napasku tercekat. Aku bisa merasakan kedua kakiku yang mulai gemetaran. Betapa inginnya aku menjerit ketika tangan berlendir yang dilumuri darah merah itu meraih dan menangkup wajahku. Akan tetapi tidak ada suara yang keluar.

Sampai akhirnya sesuatu mulai melilit kakiku, bergerak naik ke atas dan menarikku ke dalam kegelapan. Pada saat itu juga--aku tidak sadar kehilangan kemampuanku bernapas.

.

[Oyenji, gambar 5]
Aku membuka mata. Tidak ada apapun selain merah yang mendominasi area pandangku. Tertatih-tatih aku berdiri, berusaha untuk mengingat apa yang telah terjadi.

Aku meraba telapak tanganku, serupa dengan pemandangan mengerikan di depan mata. Daging terkoyak hingga putih dapat dilihat dengan mata kosong serta kulit yang terkelupas. Mataku membulat lebar, ingin menjerit namun mulutku terasa seperti dijahit. Tidak bisa dibuka.

"Yo!"

Aku menoleh, terdapat sosok pria yang muncul dari balik pohon. Dirinya melambaikan tangan, bukan tangan miliknya. Namun, entah tangan siapa yang dia ambil dari tumpukan mayat tersebut. Aku bergidik ngeri.

Pria bersurai merah muda itu terkikik geli sebelum mengatakan hal gila. "Selamat datang di alam transit sebelum ke Neraka. Aku adalah malaikat penjagamu."

.

[Mayu, Gambar 5]
"Pernah dengar hutan terlarang?"

Aku sontak menoleh begitu sahabatku tiba-tiba saja mengangkat topik tabu di desa kami. Semua warga tahu namun memilih untuk tidak membicarakannya. Bukan karena entitas mistis seperti BigFoot atau manusia serigala, tapi karena kawasan angker di tengah-tengah hutan yang menjadi akibatnya.

Gemas, aku sontak memukul temanku. "Kau ini, sudah tahu itu mitos semata, masih saja asyik menceritakannya," ucapku pelan lantas beralih ke turis dari kota. Dengan senyum tipis aku berucap, "Jangan dipercaya, ya. Anak ini memang pembual, masih saja percaya rumor aneh tentang hutan itu. Padahal, hutan itu adalah hutan yang mati-matian dijaga kelestariannya dari zaman nenek moyang kami. Makanya turis dilarang masuk jika tidak diantar warga setempat, takutnya malah merusak alam."

Kedua turis itu mengangguk paham. "Kalau begitu, apa kamu bisa mengantar kami ke sana? Aku penasaran, karena sepertinya sangat tenang di sana."

Aku mengangguk dan membawa mereka pergi ke hutan, meninggalkan barang bawaan mereka dijaga oleh sahabatku tadi.

Sudah cukup kami berjalan sampai bercengkrama dan bercanda ria, kami sampai di kawasan angker yang kusebut di awal. Daerah hutan karnivora, yang menjadi penutrisi hutan dan lingkungan di sekitarnya. Bagaimana bisa?

"Wah, apa ini? Aku baru pertama kali lihat yang seperti ini!" ucap salah satu turis itu, aku tidak yakin apakah dia senang atau ketakutan. Namun sebagai warga desa yang baik hati, aku memasang senyum terbaikku untuk mereka.

"Iya, ini hanya ada di desa kami. Namanya pohon karnivora, tempat yang akan menjadi peristirahatan terakhir kalian."

Mereka menatapku bingung. Namun belum sempat menyuarakan protes, aku mendorong mereka ke arah pohon itu. Darah mereka di mana-mana, aku senang melihatnya.

"Kuharap kalian menjadi protein yang bagus buat hutan ini. Maaf ya, bukannya aku menipu kalian, tapi memang hutan ini bukan hutan terlarang untuk desa kami," ucapku dengan lagak bersalah.

.

[Syifa, gambar 5]
Solar menelan ludahnya susah payah. Dia merasa ini bukan arah yang benar untuk keluar dari hutan.

“Hutan apaan ini sebenarnya? Kamu yakin ini jalan keluarnya, Duri?”

Pohon-pohon aneh serta menyeramkan. Wisata untuk menikmati alam bukanlah yang seperti ini.

“A-aku pun tak tahu, Solar,” cicit Duri ketakutan. Melalui insting sajalah sebenarnya ia mengarahkan Solar.

Terjebak di tengah hutan dengan bentuk yang menyerupai jantung itu bukanlah suatu yang bisa dikatakan sebagai hiburan.

“AKU MAU PULANG!”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top