Simfoni (Oneshoot)

Disclamer : Chara disini bukan milik saya, saya hanya meminjam nama mereka guna keperluan ff ini. Dilarang plagiat

Inspirate from : Anime Shigatsu Wa Kimi No Uso (Your Lie in April)

Philosopy : Piano. Sebuah benda dengan tuts berwarna hitam dan putih. Piano yang hanya ditekan tuts-nya masing-masing hanya akan menghasilkan nada biasa dan berantakan. Tetapi, apabila ditekan bersamaan dengan penuh perasaan, piano akan menghasilkan suara merdu bak kehidupan baru yang berwarna.

***

"Woah ... sugoi!" (hebat)

Seorang gadis dengan surai pendek berwarna cokelat seperti buah zaitun berseru girang dengan mata berbinar. Jika dilihat dari wajah, penampilan, dan suaranya, dia lebih cocok menjadi bocah cilik. Namun, mengingat umurnya yang sudah memasuki tujuh belas tahun ... itu mustahil.

"Tch ... berisik! Bisa diam sebentar?! Aku sedang belajar."

"Baiklah ...."

Gadis itu menatap malas suara yang berasal dari luar kamarnya. Tanpa membuka pintu pun dia sudah tahu kalau itu kakaknya.

"Woah ... dia sangat tampan. Kyaa!"

Tanpa sadar dia kembali berteriak saat matanya beralih ke laptop kesayangnnya. Alih-alih takut dengan kakaknya, dia justru sama sekali tak menggubris hawa suram dari kamar kakaknya.

"Hoi! Diam!"

Kesehariannya sebagai penggila para pria tampan dua dimensi dari negara asalnya-Jepang-membuat kakaknya terganggu. Itulah yang memicu pertengkaran mereka sehari-hari.

Alih-alih diam untuk menghindari mode ganas kakaknya, dia malah menghiraukan hal tersebut. Tentu saja Min Hwan Ji masih dalam mode fangirling saat kakaknya sedang menempuh perjalanan ke kamarnya.

Tok ... tok ... tok.

Suara gedoran pintu dengan tidak elit-nya menggema, membuat Hwan Ji mendengus sebal.

"Buka saja, tidak dikunci, kok."

Oh ... demi kerang ajaib. Min Hwan Ji, bisakah dia menghentikan sejenak kegiatannya untuk berpikir?

Brak!

"Apa yang-"

Hwan Ji kehabisan kata-kata saat kakaknya dengan tidak elit menanggalkan tangan putihnya ke telinga Hwan Ji. Sebelah tangannya yang menganggur ia gunakan untuk mematikan laptop adiknya.

"Oi oi ... ittai ... berhenti menjewerku! Iya iya ... aku diam!" (sakit)

"Bagus."

Kakaknya mengambil laptop adiknya dan berjalan keluar tanpa peduli Hwan Ji dengan tampang memelasnya.

"Min Yoongi, kembalikan laptopku baka!" (bodoh)

"Aku akan menyita barang laknat ini sampai aku selesai belajar. Kau sebaiknya juga belajar. Dan ingat! Aku tidak bodoh, kau yang bodoh."

Hwan Ji menggembungkan pipinya pertanda kesal. Yoongi kini mengeluarkan sifat dewasanya. Walau hanya berujar dengan setengah berteriak, Hwan Ji tetap mendengar perkataan kakaknya. Dengan itu ia hanya bisa menghela napas.

-

"Bisakah kau lebih lembut memainkannya? Kau hanya memperburuk suara musiknya."

Seorang wanita paruh baya yang terduduk di kursi roda dengan selang pengobatan yang menempel di hidungnya berinstruksi pelan. Instruksi yang mengarah ke anak laki-laki semata wayangnya. Si anak yang hanya bisa patuh pada kemauan sang ibu mencoba untuk memperbaiki nadanya, mencari titik yang akan membuat ibunya senang.

Tak!

Anak itu meringis pelan tatkala sang ibu memukulnya dengan sebilah rotan. Walaupun tangan anaknya sudah dipenuhi luka, sang ibu tetap saja berlaku keras.

"Apa kau bodoh? Yang benar itu seperti pelajaran kemarin!"

Alunan piano mulai terdengar kembali saat anak laki-laki berumur lima belas tahun itu mulai menekan tuts-nya. Lama kelamaan alunan itu menjadi sebuah lagu. Bukan lagu ceria yang biasa dibawakan pianis seumurannya, lagu itu penuh kesedihan.

Permainan piano memang ditentukan oleh pianis-nya, bukan? Terutama perasaan saat membawakannya.

***

"Hwan Ji!"

Seorang anak perempuan dengan kuncir dua tampak berlari-lari kecil menuju temannya. Yang dipanggil hanya melambai-lambaikan tangannya dengan kasar.

"Hoi! Yoo Eul!"

Gadis bernama Min Hwan Ji tadi memegang pundak temannya yang bernama Yoo Eul seakan memberi kekuatan setelah berlari-lari. Mereka memang menjalin sebuah hubungan batin yang kuat.

Bukan, mereka bukan pasangan lesbian atau sejenisnya. Mereka hanya bersahabat karib sejak sekolah dasar.

"Kudengar festival sekolah akan diadakan bulan depan. Kira-kira ... kelas kita mau menampilkan apa, ya?"

Yoo Eul bertanya pada gadis di sebelahnya. Yang ditanya malah mengedikkan bahu dengan tampang tak acuh.

"Entahlah. Aku tidak terlalu peduli. Yang penting hampir musim semi dan hidupku akan lebih tenang."

Hwan Ji berkata seolah-olah musim seminya kali ini akan lebih berwarna dari biasanya. Padahal sebenarnya rencananya paling hanya akan menonton anime dan main game lagi.

"Kalau ada game baru langsung hubungi aku, ya!"

Hwan Ji mengacungkam jempolnya ke arah Yoo Eul. Sejurus kemudian, mereka melambaikan tangan pada satu sama lain. Arah rumah mereka berbeda.

Saat sedang asyik berkhayal yang tidak-tidak, Hwan Ji dikagetkan dengan keberadaan seseorang di dekatnya.

Seorang laki-laki dengan tubuh agak-uhuk-kecil dan kurang proposional berdiri di taman, bersama seekor kucing hitam.

Selama beberapa saat, Hwan Ji memperhatikan gerak-gerik laki-laki itu. Dilihatnya laki-laki itu hanya mengelus kucing berwarna hitam di pangkuannya.

Merasa dirinya terlalu mengurus kegiatan orang lain, Hwan Ji kembali melangkah ke rumah yang tinggal beberapa gang lagi. Meninggalkan lelaki tadi yang ternyata menyadari pergerakan Hwan Ji sejak awal.

***

Pagi itu angin sedikit bertiup dengan kencang, membuat Hwan Ji harus mengeratkan jaket berwarna tosca-nya. Dengan rambutnya yang sudah sedikit berantakan tertiup angin, Hwan Ji melangkah semangat ke sekolahnya. Pasalnya, sekarang adalah hari persiapan festival sekolah yang sulit ditinggalkan.

"Hwan! Tunggu aku!"

Merasa terpanggil, Hwan Ji menoleh ke belakang. Sahabatnya sedang berlari kecil melewati zebra cross di seberangnya.

"Yoo Eul! Cepatlah, aku sudah tidak tahan dinginnya."

Sekali lagi Hwan Ji mengeratkan jaketnya dan mulai kembali berjalan ke sekokah bersama Yoo Eul di sampingnya.

-

"Apa? Aku jadi maid?!" (Pembantu)

Teman-teman sekelas Hwan Ji mengangguk. Mengabaikan raut wajah Hwan Ji yang sudah masam.

"Ayolah Hwan, demi kebaikan kelas. Lagipula wajahmu cocok, kok." Perempuan dengan rambut panjang berseru.

Hwan Ji yang notabenenya seorang otaku, akhirnya setuju menjadi maid.

Ya, kelas Hwan Ji akan menyajikan cosplay cafe* saat festival sekolah nanti. Berhubung yang lain sudah memilih dari tadi, Hwan Ji yang telat bisa apa?

-

"Hah ...."

Tubuh Hwan Ji kali ini terasa kaku karena hampir seharian ini dia mendapat tugas yang berat-berat untuk persiapan festival.

Tak disangka, Hwan Ji bertemu laki-laki kemarin kembali. Hwan Ji sedikit memiringkan posisinya agar tidak ketahuan mengamati.

'Apa yang dia lakukan? Membayangkan bermain piano?'

Laki-laki itu melakukan gerakan aneh lewat jemari tangannya. Sambil memejamkan matanya, laki-laki itu mulai menggerakkan jarinya, seperti membayangkan bermain piano.

'Kim Jinhwan?'

Guman Hwan Ji pelan saat laki-laki yang memiliki name tag Kim Jinhwan sedikit menghadap ke arah Hwan Ji. Sedetik kemudian laki-laki itu membuka matanya, membuat Hwan Ji menahan napas.

'Mampus ... aku ketahuan!'

Hwan Ji hanya bisa memberikan cengiran tak bersalahnya saat Kim Jinhwan mendekat.

"Kenapa kau mengikutiku terus dari kemarin?"

"Ha? Aku tidak mengikutimu, kok. Aku hanya tidak sengaja bertemu denganmu, hehe."

Lagi-lagi Hwan Ji hanya menyengir tidak bersalah, membuat Kim Jinhwan menghela napasnya.

"Hmm ... apa kau ... itu ... melihat apa yang aku lakukan tadi?"

Hwan Ji menyeringai aneh seakan mempuanyai rencana liciknya sendiri.

"Iya ... dan yang kau lakukan itu aneh. Benar-benar aneh Kim Jinhwan."

Jinhwan yang salah tingkah dan wajah agak memerah memundurkan posisinya. Dia kemudian berdeham pelan.

"Tolong jangan bilang siapa-siapa, aku akan melakukan apapun untukmu."

"Oh benarkah? Kau membuat keputusan yang salah Kim Jinhwan."

Hwan Ji tertawa iblis membuat Jinhwan menyadari perkataan bodohnya.

'Aku benar-benar bodoh. Apa-apaan dengan akan melakukan apapun untuk gadis aneh ini?'

"Hwan! Aku mencarimu ke mana-mana tahu!"

Secara tiba-tiba dan dalam waktu yang tidak tepat, sahabat Hwan Ji yaitu Yoo Eul menganggu momen "rencana licik" Hwan Ji. Membuat yang terpanggil melayangkan tatapan horor pada perempuan bersuara nyaring itu.

"Huh ... siapa yang kau panggil? Dia apa aku?"

Jinhwan menunjuk dirinya sendiri. Yoo Eul tampak kebingungan dan Hwan Ji menahan tawa.

"Tentu saja aku bodoh. Yoo Eul bahkan tidak mengenalmu. Hahahaha."

Akhirnya tawa Hwan Ji meledak, menyisakan dua manusia berbeda gender yang kebingungan. Sedetik kemudian, Hwan Ji berhenti tertawa dan malah tersenyum aneh.

"Oh ya, Eul, namanya Kim Jinhwan. Dia satu sekolahan dengan kita."

"Hmm ... Jinhwan dari kelas Dua-B, bukan?"

Jinhwan hanya mengangguk malas dan bersiap ingin pergi.

"Eh tapi ..., benar juga. Kalau aku memanggil Hwan Ji, Jinhwan pasti juga merasa terpanggil. Nama kalian, kan, mirip."

Yoo Eul menyeringai sambil menaik-turunkan alisnya. Sejurus kemudian Hwan Ji menjitak kepala Yoo Eul.

"Aduh ... eh, mana Jinhwan?"

"Entahlah. Lebih baik aku pulang."

Hwan Ji mengedikkan bahunya, mengambil tas kemudian melangkah pergi menuju rumah tercintanya. Hwan Ji meninggalkan Yoo Eul yang masih menggerutu kesakitan karena jitakan mautnya.

-

Pagi yang cerah di langit Kota Seoul. Seorang gadis dengan surai berwarna buah zaitun tampak meregangkan tubuhnya dan menguap, mengumpulkan nyawanya untuk memulai aktivitas hari ini.

Setelah melahap sepotong roti dengan selai stroberi, gadis itu-Min Hwan Ji, melangkah ke luar rumahnya. Menemukan pemandangan yang mungkin hanya ditemuinya setahun sekali.

Angin musim semi pertama yang membawa ratusan, ah bukan, ribuan kelopak bunga sakura yang berterbangan. Terbawa arah angin yang sedikit kencang, tetapi menyegarkan. Membuat siapapun terpukau melihat pemandangan menakjubkan ini.

Dengan mata berbinar dan hati yang dipenuhi semerbak bunga, Hwan Ji mulai melangkahkan kakinya menuju sekolahan. Tanpa henti bibir mungilnya menggumamkan kata-kata penuh ketakjuban bagi apa yang ia lihat pagi ini.

Belum cukup berkah Tuhan bagi Hwan Ji pagi ini, dia disuguhkan pemandangan indah saat mencapai lingkungan taman. Pohon sakura yang bunganya mulai berjatuhan, beberapa pasang kekasih dan orang-orang yang sedang menikmati berkah Tuhan kali ini serta seorang laki-laki yang akhir-akhir ini mengisi pikirannya.

Laki-laki itu memiliki rambut hitam pendek dengan potongan yang sedang trend di kalangan pemuda Seoul. Matanya terpejam seperti menikmati hembusan angin pertama musim semi kali ini dan jemari yang mulai bergerak seperti menekan tuts piano,

Tanpa sadar, Hwan Ji melangkahkan kakinya mendekati pemuda bersurai hitam itu hingga kini ia sudah berdiri di depannya. Dengan jarak seperti ini, Hwan Ji dapat dengan jelas mengamati lekuk wajah sang pemuda yang indah dan menciptakan wajah tampan.

Sedetik kemudian, pemuda itu menghentikan permainan jarinya dan membuka kedua kelopak matanya. Netra hitamnya bertemu dengan netra Hwan Ji yang berwarna biru cerah.

"Hwan Ji? Apa yang kau lakukan?"

Tersadar akan lamunannya, Hwan Ji gelagapan dengan wajah memerah. Sedikit melompat ke belakang saat menyadari jaraknya dengan Jinhwan benar-benar dekat.

"Ah ... eung ... aku ... hanya tidak sengaja melihatmu. Mau ke sekolah, 'kan? Ayo berangkat bersama!"

Dengan wajah yang masih memerah, Hwan Ji mengajak Jinhwan ke sekolah.

Tanpa disangka, Jinhwan malah tersenyum lembut, membuat Hwan Ji memalingkan wajahnya karena semakin memerah malu. Ini juga pertama kalinya Hwan Ji melihat Jinhwan tersenyum.

"Hei Jinhwan!" Hwan Ji memanggil namanya, membuat sang pemuda menoleh dan menaikkan satu alisnya, pertanda menunggu pertanyaan dari sang gadis.

"Kau mahir bermain piano, ya?"

Jinhwan sedikit tersentak atas pertanyaan Hwan Ji yang tiba-tiba. Sedetik kemudian, dia melangkah maju, sedikit meninggalkan Hwan Ji di belakangnya.

"Oi! Oi! Tunggu aku!"

-

Beberapa langkah lagi mereka berdua sampai di sekolah. Mereka mulai berpisah dan berjalan ke arah kelas masing-masing saat sampai di gerbang.

Tidak seperti biasanya, keadaan sekolahan masih sepi dan Hwan Ji menyukai suasana ini. Sebelum sekolah mulai ramai oleh murid-murid lainnya, Hwan Ji menggunakan kesempatan ini untuk menenangkan diri di taman belakang sekolah.

"Hah ... nyamannya."

Punggungnya ia sandarkan pada sebuah pohon sakura di taman belakang sekolah. Matanya terpejam menikmati embusan angin pagi. Sejenak pikirannya dengan tiba-tiba muncul sosok pemuda yang terus membayanginya. Kim Jinhwan.

Seketika wajah Hwan Ji langsung menunjukkan rona merah muda. Beruntung keadaan sekolah sepi sehingga tidak ada yang mengetahuinya.

"Ada apa dengan wajahmu itu?"

Sebuah suara maskulin menginterupsi pendengaran Hwan Ji. Wajahnya semakin memerah saat diketahui sang pemilik suara itu orang yang ada di bayangnnya.

"Ah uh ... aku hanya sedikit kedinginan."

"Kalau kedinginan kenapa tidak masuk?"

Skakmat! Hwan Ji kehabisan kata-kata. Gadis ini memang tidak ahli dalam kegiatan mencari alasan dan berbohong.

Tahu dirinya sedang terpojok, Hwan Ji mengalihkan topik pembicaraan.

"Kau bilang kau bisa bermain piano. Kenapa tidak tampil di festival sekolah saja?"

Sekarang giliran Hwan Ji yang bertanya pada pemuda di depannya. Pemuda itu menghela napas.

"Aku tidak mau."

"Festival sedang kebingungan mencari seseorang untuk mengisi acara penutup, lho. Kau bisa mengisinya. Aku akan bilang pada ketua OSIS nanti."

Raut wajah Jinhwan berubah menjadi kesal saat gadis di sebelahnya baru saja melontarkan kalimat itu. Tidak setuju dengan argumen Hwan Ji, Jinhwan menyanggah, "Tidak perlu macam-macam. Kau hanya perlu mendalami peran sebagai maid nanti!"

Kini giliran wajah Hwan Ji yang memerah kesal. Mulai berdiri dan menghentak-hentakkan kakinya, Hwan Ji memberi ultimatum.

"Lihat saja, aku akan membuatmu tampil."

Setelah memberi ultimatum, Hwan Ji langsung mengerahkan seluruh tenaganya untuk berlari. Beruntung para pengurus OSIS sudah datang saat ia sampai ke ruangan OSIS.

"Ketua, aku ada saran untuk acara penutup."

Ketua OSIS sekolah itu mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara, Hwan Ji.

"Ya? Apa itu?"

"Permainan piano oleh Kim Jinhwan dari kelas dua B."

Hwan Ji menyeringai setan, dia tidak bisa membayangkan wajah Jinhwan saat mengetahui jawaban ketua OSIS nanti.

***

Karena kemarin Hwan Ji tidak bisa menemukan Jinhwan kembali, dia berencana mencari Jinhwan hari ini. Kakinya melangkah ke arah kelas dua B. Dilihatnya murid-murid sedang bersantai, beberapa sedang membaca dan tampak serius mengerjakan sesuatu.

"Permisi."

Hwam Ji setengah teriak untuk mengambil perhatian penghuni kelas ini. Saat mereka sudah melihat ke arah Hwan Ji, barulah dia berbicara.

"Apa Kim Jinhwan sudah datang?"

"Untuk apa kau mencariku? Mau cari masalah lagi?"

Tiba-tiba suara Kim Jinhwan muncul dari belakang gadis itu. Pergerakan alami, Hwan Ji memukul Jinhwan dan berteriak. Hwan Ji kaget.

-

"Jangan melakukan itu lagi atau aku akan memukulmu lagi Kim Jinhwan!"

Mereka kini suda berada di taman belakang sekolah. Pipi Jinhwan masih berwarna merah karena tamparan keras dari Hwan Ji tadi.

"Tch. Kau saja yang terlalu berlebihan."

"Aku kaget."

Keduanya menampakkan muka masam. Sejurus kemudian, Hwan Ji mengingat tujuannya mencari Jinhwan kali ini.

"Ketua OSIS menyetujui usulanku. Kau harus tampil sebagai penutup acara. Tenang saja, aku akan menemanimu berlatih."

"APA?!"

"Tidak perlu begitu. Semua sudah menyetujui itu dan mereka percaya padamu."

Hwan Ji menepuk punda Jinhwan seakan-akan ibu yang bangga pada anaknya. Berbeda dengan Jinhwan, bukan wajah senang yang ia perlihatkan, justru malah wajahnya ketakutan.

Di pikirannya saat ini hanya ada kenangan masa lalu yang buruk baginya. Semua kenangan itu mengalir bagai arus deras sungai saat ia menekan sekali tuts piano. Simfoni yang menghanyutkan.

"Hei hei ... harusnya kau bangga. Kau kan bisa menjadi terke-"

"Batalkan!"

"Apa kau gila? Mereka sudah percaya denganmu, aku sudah percaya denganmu Jinhwan!"

Kini giliran Hwan Ji yang sedikit menyentak pemuda yang di depannya. Membuat pemuda itu menatap tidak percaya ke arah Hwan Ji.

"Kenapa ... kau percaya padaku?"

Hwan Ji tersenyum lembut. Kemudian memeluk Jinhwan. Ia tahu pemuda ini mempunyai masalah yang berat.

"Karena aku tahu kau bisa."

-

Sore itu dua insan berbeda gender sedang melakukan tugasnya masing-masing. Yang satu mengamati piano, yang satunya lagi sedang mengamati jendela luar.

"Sampai kapan kau mau mengamati pianonya terus? Ayo mainkan!"

Gadis itu, Hwan Ji, menyentak ke arah pemuda di depan piano dengan wajah kesal. Pasalnya, sudah hampir lima belas menit pemuda itu hanya mengamati piano tanpa bermain.

"Iya iya. Aku akan usaha."

Ting.

Suara tuts piano yang ditekan dengan lembut, membuat nada indah tersendiri bagi sang pemain. Tak sadar, pemuda itu sudah mulai memainkan sebuah lagu.

Hwan Ji yang tidak tahu apa-apa tentang dunia musik hanya mendengarkan dengan damai aliran simfoni yang mengalun pelan dari piano itu. Membuat kesenangan sendiri bagi indra pendengarannya.

Tuts terakhir sudah dibunyikan. Kim Jinhwan selesai memainkan satu lagu dengan piano yang sudah lama tak ia sentuh.

"Permainanmu bagus sekali. Terima kasih telah memanjakan telingaku. Haha."

Hwan Ji tertawa kecil, mencoba membuka pembicaraan. Jinhwan masih menunduk ke arah tuts piano yang berwarna hitam dan putih.

-

Sore ini mereka kembali ke ruang musik. Hwan Ji yang bertugas menemani Jinhwan, mengekor di belakang sang pemuda. Setelah sampai, mereka kembali memulai aktivitas seperti kemarin.

Jinhwan memainkan lagu dan Hwan Ji mendengarkan juga memberi kritikan. Setelah itu Jinhwan akan menunduk dan melihat ke arah piano. Kemudian mengangkat kepala dan menatap wajah Hwan Ji lekat sampai sang empunya memerah malu dan risih.

Namun, sekaran lain. Jinhwan tidak melakukannya. Jinhwan juga memainkan dua lagu yang berbeda. Kali ini lebih melankonis dan penuh romansa.

Entahlah, Jinhwan akhir-akhir ini berbeda dari sebelumnya di mata Hwan Ji.

Pemuda dengan surai hitam itu tiba-tiba mengangkat kepalanya, kemudian menggenggam pergelangan tangan gadis di sebelahnya, membuat gadis itu tersentak.

"Apa yang kau-"

"Hwan, aku ingin mengatakan sesuatu."

Hwan Ji yang mengerti, diam untuk memberi peluang bagi Jinhwan agar berbicara. Sebelum itu, Jinhwan menarik napas panjang.

"A-aku sepertinya menyukaimu."

Hwan Ji mengerutkan keningnya. Sesaat kemudian, wajah mereka berdua menjadi memerah dan atmosfer ruangan menjadi tegang.

"A-apa maksudmu?"

"Kau tahu, aku merasakan sesuatu yang aneh saat aku bersamamu. Enathlah, kurasa aku menyukaimu. Menyukaimu karena semua tingkah yang kau lakukan. Semua itu bagaikan simfoni yang kumainkan. Saat aku bermain piano dan mendengar nadanya, aku selalu teringat masa laluku yang menudihkan. Tetapi, saat ada kau yang menyemangatiku, aku jadi tidak takut lagi."

Wajah keduanya semakin memerah. Selain itu, ini pertama kalinya Jinhwan berbicara sebanyak ini. Hwan Ji yang bingung hanya bisa berdiri dari tempat duduknya dan mengambil tasnya.

Jinhwan yang sudah tidak percaya diri dengan jawaban dari Hwan Ji hanya menunduk. Sedetik kemudian, dia merasakan sebuah benda lunak di dahinya.

"A-aku ... kau tahu jawabannya."

Hwan Ji langsung berlari sekencang-kencangnya. Meninggalkan Jinhwan dengan pianonya sore itu. Mereka saling menyukai, hidup mereka saling melengkapi.

Dengan masa lalu Jinhwan yang buruk dan hidupnya yang terkesan monoton seperti tuts piano yang berwarna putih. Hanya menghasilkan nada-nada yang biasa dan membosankan. Tidak ada warna lain di hidupnya.

Sementara itu, Hwan Ji yang hidupnya sering tidak tertata dan dia bebas melakukan apapun. Seperti tuts piano berwarna hitam yang menghasilkan nada yang tidak sebagus tuts putih. Namun, tanpa tuts berwarna hitam, piano tidak akan lengkap.

Entahlah, tetapi itu kenyataannya. Simfoni piano itu sendiri membuat mereka berdua menyatu. Mereka saling melengkapi.


FIN

Screw : babymints_
Editor : anditia_nurul

A/n : Aku Tahu ini aneh sekali. Mohon kritikan dan sarannya ya kawan :*

P.s : author ini sedang tidak punya motivasi dan inspirasi mendukung bagi ff ini. Hanya dari anime dan lagu, itu saja -.-. Jadi harap maklum kalo jelek dan gak maksimal :v.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top