EVENT RUMAH_Comeback Home

Screenwriter: anditia_nurul  // Casts: BTS Jungkook, Chan-Woo & Minseo (OC)

***

Aku memandangi rumah minimalis bercat hijau muda di depanku. Pintunya tertutup rapat, tetapi daun-daun jendela yang berada di samping terbuka lebar. Tidak ada suara yang terdengar dari dalam. Aku sempat mengira penghuninya sedang keluar. Namun, sebuah motor yang terparkir di samping rumah membuatku menepis pikiran itu. Penghuni rumah ada di dalam.

Tanganku bergerak mendorong pagar setinggi dada agar aku bisa masuk. Engselnya mengeluarkan bunyi yang cukup keras. Pagar rumah ini tidak berubah. Masih sama seperti sepuluh bulan lalu—berbunyi, lengkap dengan cat hijau tua yang mulai pudar dan mengelupas.

Aku melangkah ke teras dan berdiri tepat di depan papan nama yang tertera. Keluarga Jeon Jeong-Hwa. Dalam hati, aku merasa lega karena rumah ini masih milik keluarga Jeon, keluargaku.

Di sebelah papan nama keluarga, terpasang tombol bel. Benda ini bisa kukatakan hampir tidak berguna karena suara engsel pagar sudah menjadi penanda bahwa ada tamu yang datang. Eomma membeli benda ini karena kasihan pada penjualnya. Kata si penjual kala itu, dia belum berhasil menjual satu pun barang yang dibawanya. Entah benar-benar belum ada yang laku atau hal tersebut hanya sebuah trik untuk membuat konsumen merasa iba. Apa pun itu, dia berhasil mendapat simpati Eomma.

Aku memandangi benda tersebut sembari bertanya-tanya dalam diri, haruskah kutekan benda ini? Seharusnya, suara engsel pagar yang masih cukup keras membuat penghuni rumah segera membuka pintu. Namun, tampaknya tidak ada pergerakan yang mendekat ke pintu. Sepertinya mereka sibuk melakukan sesuatu.

"Ting tong."

Aku memberanikan diri menekan bel. Suaranya terdengar cukup keras. Selang beberapa detik, aku mendengar seseorang berteriak dari dalam, "Tunggu sebentar." Itu suara Appa.

Aku menelan ludah. Aku segera menegakkan tubuh sembari menunggu pintu di depanku terbuka. Jantungku berdetak cepat seiring bunyi kunci yang diputar, terdengar. Kuhela napas panjang, bersiap menatap wajah Appa setelah bertahun-tahun. Begitu, daun pintu ditarik ke belakang dan pandanganku berserobok dengan pandangan Appa, aku merasa napasku berhenti sesaat. Rasa haru mulai mendesak pelupuk mataku. Akan tetapi, sepersekian detik kemudian, yang kudapati adalah pintu yang kembali ditutup, bahkan dikunci.

"Siapa yang datang?" Aku mendengar suara Eomma.

"Bukan siapa-siapa."

"Bukan Jung-Kook?"

"Sudahlah. Nanti masakanmu hangus."

Aku menunduk. Satu bulir air mataku jatuh dan membasahi ujung sepatuku. Sesuatu di dalam dadaku remuk dalam sekejap. Apakah aku sudah mulai dilupakan? Apakah aku sudah tidak menjadi bagian dari keluarga ini setelah kesalahan yang telah aku lakukan? Apa karena itu mereka tidak datang pada hari aku dinyatakan telah menyelesaikan hukuman? Padahal, aku sudah menebus kesalahanku. Lima tahun berada di dalam penjara, apakah itu belum cukup?

Aku jatuh terduduk di depan pintu. Sebisa mungkin aku menahan air mataku agar tidak memburai. Aku berharap setelah lima tahun, aku kembali bisa merasakan hangatnya sebuah rumah, sebuah peluk dari Appa dan Eomma. Namun, harapanku sepertinya terlalu tinggi untuk seorang anak yang baru saja keluar dari penjara. Appa dan Eomma enggan menerimaku di rumah ini lagi.

Entah berapa lama waktu telah berlalu tanpa seinci pun aku meninggalkan tempat. Suara kunci yang diputar serta daun pintu yang terbuka membuatku terperanjat. Sekilas kaki yang tampak dari balik pintu adalah sepasang kaki milik perempuan. Kaki Eomma. Kemudian, sepasang kaki itu beranjak meninggalkan pintu yang terbuka sedikit.

Aku berdiri. Kuanggap pintu yang terbuka itu sebagai tanda bahwa aku boleh masuk. Aku melangkah ke dalam rumah. Appa duduk di kursi dengan hidangan makan siang yang telah tersaji di atas meja di hadapannya. Sementara itu, Eomma tengah mengambil beberapa mangkuk nasi. Tepat di saat Eomma mengambil mangkuk yang ketiga, Appa serta-merta menyahut, "Kita hanya berdua, Min-Seo~ya."

Aku melihat Eomma melirikku takut-takut. Aku mengerti, Eomma tidak bisa membantah ucapan Appa. Sejak dulu memang begitu.

"Ayo makan, Jung-Kook~ah."

Aku mengangguk mendengar suara Eomma yang pelan dan serak.

"Kita tidak bisa makan dengan orang yang kotor, Min-Seo~ya."

Langkahku tertahan. Aku diam dan memejamkan mata, berusaha menahan sakit yang kembali menerjang dadaku. Kata-kata Appa terdengar keterlaluan. Namun, aku tidak bisa melawan karena aku cukup tahu diri. Aku pun sudah keterlaluan membuat mereka kecewa.

"Ganti bajumu, Jung-Kook~ah."

Aku menuruti ucapan Eomma. Kubawa diriku menuju kamar yang tidak jauh dari ruang makan. Kamarku dahulu. Di dalamnya tidak tampak seperti terakhir kali aku menempatinya. Kasur tanpa seprei, meja yang di atasnya ada sebuah kotak besar. Saat kubuka, isinya adalah barang-barangku. Aku beranjak ke depan lemari dan membukanya. Hanya ada beberapa lembar pakaian di dalam. Itu pun pakaian yang aku tidak ingat pernah memilikinya. Lagi pula, pakaian-pakaian tersebut tampak baru. Entah ke mana pakaianku yang sebelumnya. Apakah sudah disumbangkan? Sepertinya begitu.

Sudahlah. Aku harus bergegas.

Setelah berganti pakaian, aku bergabung dengan Appa dan Eomma di ruang makan. Aku mengambil sendiri mangkuk nasiku, lalu duduk di sebelah Eomma.

"Kau sudah dengar kabar tentang Chan-Woo?" Appa bersuara. Aku yakin beliau bertanya pada Eomma. Jadi, aku terus saja mengambil nasi.

"Ya." Eomma menyahut.

Chan-Woo yang dimaksud Appa mungkin Chan-Woo anak tetangga. Dia seumuran denganku. Kami melewatkan masa sekolah bersama-sama, setidaknya hingga SMA. Dia melanjutkan kuliah di sebuah universitas negeri. Selanjutnya, aku tidak tahu lagi karena aku telah berada di dalam penjara.

"Dia diangkat jadi manajer di perusahaan tempatnya bekerja. Dia masih muda, tapi sudah hebat sekali. Sangat membanggakan orangtua."

Nasi yang baru saja masuk ke mulutku terasa seperti bola duri saat meluncur di tenggorokan. Leherku terasa sakit, seperti dicekik dari dalam. Aku tahu Appa sedang menyindirku. Aku tahu. Dibandingkan dengan Chan-Woo yang seorang manajer, aku hanya seorang mantan narapidana kasus narkoba.

Untuk kesekian kali, aku berusaha menahan air mataku agar tidak menetes. Aku enggan menangis di meja makan. Tidak. Setidaknya bukan di depan Eomma. Tak punya pilihan, aku berpura-pura tidak mendengar ucapan Appa. Aku memutuskan untuk makan dengan baik. Itu saja. Sayangnya, keinginan sederhana itu lagi-lagi berbuah pahit. Aku hendak mengambil satu-satunya udang yang tersisa di piring lauk, tapi Appa lebih dulu menyambarnya.

Menyedihkan.

Dulu, ketika aku masih anak-anak, Appa dengan senang hati memberikan udang di mangkuknya untukku. Appa bahkan rela memotong-motongnya agar aku langsung makan saja. Sekarang, rasanya aku tidak mengenal Appa. Aku tidak mengenal siapa pun di rumah ini. Malah, rumah ini tidak seperti rumah yang pernah aku tinggali sebelumnya. Aku tidak menemukan obrolan hangat yang biasa terjadi di meja makan.

"Seandainya kita punya anak seperti Chan-Woo," ucap Appa seolah aku tidak ada di sini.

Aku meletakkan sumpitku di bibir mangkuk bersamaan dengan Eomma yang berkata, "Appa!"

"Maaf, aku sudah membuat Appa dan Eomma kecewa," kataku, kemudian berdiri. Suara berisik dari kursi yang tergeser membuat suasana sedikit gaduh. Namun, aku lekas melangkah meninggalkan meja makan.

"Jung-Kook-ah, kau mau ke mana?" Pertanyaan Eomma menghentikan langkahku. Suara beliau masih terdengar bergetar.

Aku menghela napas panjang. "Mencari rumahku yang baru, Eomma."

"Tapi, ini rumahmu," sergah Eomma.

Mataku memanas. Aku bisa merasakan sedikit cairan meleleh di sudut mata. Lantas, aku menggeleng untuk menanggapi perkataan Eomma. "Rumah adalah tempat di mana kita bisa diterima. Bukankah begitu yang pernah kalian ajarkan padaku? Aku merasa tidak diterima di tempat ini lagi, jadi ... tempat ini bukan rumahku. Ini rumah Appa dan Eomma."

Mungkin aku yang terlalu menelan kata-kata itu bulat-bulat. Rumah adalah tempat di mana kita bisa diterima. Hal itu yang mendorongku melakukan apa saja untuk bisa diterima di lingkar pertemanan populer dan kaya di sekolah. Termasuk mengedarkan dan menggunakan barang haram itu. Sialnya, aku terlambat menyadari bahwa mereka teman-teman yang buruk. Mereka menjebakku dan membiarkanku ditangkap polisi atas kepemilikan barang haram dalam jumlah banyak yang sebenarnya milik kami bersama. Entah bagaimana cara mereka bisa lolos saat pemeriksaan urine. Namun, aku yakin orangtua mereka yang banyak uang, berada di balik semua itu.

Aku benar-benar bodoh.

Aku kembali melangkah. Bersamaan dengan itu, kudengar Eomma mendesak Appa untuk mengatakan sesuatu. Aku mengabaikan teriakan Eomma yang melarangku pergi. Dengan berat hati, aku melangkah melewati pintu dan mulai mengenakan sepatu.

Sejujurnya, aku tidak tahu akan pergi ke mana setelah ini. Mencari rumah baru, apa lagi untuk seorang mantan narapidana, bisa kupastikan bukan hal yang mudah. Ditambah lagi, aku tidak punya uang sepeser pun.

"Lepaskan sepatumu!" Suara berat di belakangku membuatku segera berhenti mengikat tali sepatu. Namun, aku tidak serta-merta melakukan apa yang terucap dalam suara tersebut.

"Kenapa? Bukankah ini yang Appa inginkan? Appa sudah menganggapku tidak ada, bukan?" Aku berusaha membuat nadaku terdengar dingin agar Appa tidak tahu air mataku sudah membasahi wajah.

Ada hening yang cukup panjang sampai-sampai aku merasa Appa tidak benar-benar ingin mencegahku pergi. Jadi, kulanjutkan saja mengikat tali sepatuku. Tepat di saat aku berdiri dan bersiap melangkah, aku mendengar kalimat itu.

"Kau ... tidak boleh meninggalkan rumah ini lagi, Jeon Jung-Kook." Aku mendengar suara itu serak, bergetar, tapi tetap terdengar tegas.

"Apa aku punya alasan untuk tetap di sini?"

"Appa melarangmu. Appa... tidak mau kau meninggalkan rumah ini lagi." Kali ini suara Appa terdengar lirih. Tidak lama setelah itu, sepasang tangan meraih pundakku, kemudian memutar tubuhku. Appa kini tepat berada di depanku. Entah sejak kapan beliau mendekat. Namun, jarak yang tidak cukup sejengkal itu membuatku melihat dengan jelas sepasang mata Appa yang berkaca-kaca. "Appa minta maaf. Seharusnya, Appa menyambutmu dengan cara yang lebih pantas."

Appa pasti bisa melihat air mataku yang masih berderai tanpa bisa kuhentikan. Tanpa berkata apa-apa, Appa langsung menarikku ke dalam pelukannya. "Kau sudah berada di rumah. Kau sudah kembali pada Appa dan Eomma. Kau tidak boleh ke mana-mana lagi."

Aku mengangguk patuh. "Aku tidak akan ke mana-mana lagi, Appa. Aku janji."[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top