RUMAH NOMOR SEMBILAN

Casts : (Wannaone) Daniel & (IOI) Somi

Author : anditia_nurul

***

"Kau harusnya tidak berteriak seperti tadi," kata teman sekelasku, Guan Lin saat kami berjalan pulang.

"Mau bagaimana lagi? Aku melihat hantu di dekatmu. Jelas saja aku refleks berteriak."

"Kau benar-benar membuat kehebohan."

"Ya. Aku tahu. Aku tidak akan mengulanginya. Mungkin."

Guan Lin menepuk-nepuk pundakku. Mungkin pertanda memberi dukungan. Bagaimana tidak? Tadi, di sekolah, aku tanpa sadar berteriak meneriakkan kalimat "ada hantu di dekatmu, Guan Lin". Dan, teriakanku itu sukses membuat suasana kacau.

Aku tidak sedang mengigau tadi. Aku memang bisa melihat hantu, setan, atau apapun sebutannya. Tidak hanya aku, tapi ayah, juga kakekku bisa melihat makhluk halus. Entahlah. Ini seperti bakat alami yang diwariskan secara turun-temurun.

Jujur, andai bisa memilih, aku lebih suka mempunyai penglihatan normal.

"Sampai jumpa besok, Daniel!"

"Sampai jumpa besok, Lin!"

Setelah berpisah dengan Guan Lin di perempatan jalan, aku melanjutkan perjalanan menuju rumah. Kususuri pedestrian sembari menendang-nendang kaleng softdrink kosong yang baru saja kutemukan. Sekadar menghibur diri karena berjalan sendirian.

Sial!

Uh?

Aku tanpa sadar meluapkan kekesalanku pada kaleng kosong itu. Tak ayal, kaleng kosong itu melambung cukup tinggi saat kutendang dan ... akhirnya mendarat di halaman sebuah rumah.

Rumah nomor sembilan.

Sejak aku pindah rumah ke kawasan ini, para tetangga kerap membicarakan tentang rumah bercat putih di depanku. Ada banyak cerita tentang rumah ini dan juga penghuninya. Mulai dari suara-suara aneh yang terdengar dari rumah ini setiap pukul dua dini hari; penghuni rumah yang tidak pernah keluar—sampai-sampai tetangga yang menghuni rumah nomor delapan dan sepuluh tidak tahu sebenarnya siapa yang tinggal di dalamnya. Seorang gadis? Pria tua? Wanita? Entahlah.

Namun, pemuda seumuranku yang tinggal tepat di depan rumahku, Seungwoo, berkata bahwa penghuni rumah ini adalah seorang gadis. Siapa yang tahu? Di antara para penduduk di kawasan ini, cuma Seungwoo yang mengaku pernah melihat penghuni rumah nomor sembilan ini.

"Aku benar-benar pernah melihatnya, Kang Daniel. Dia perempuan berambut panjang. Dia memiliki mata bulat yang indah. Dia cantik sekali." Seungwoo mengatakan itu padaku suatu hari.

"Tapi, kau harus hati-hati saat bertemu dengannya. Dia cantik, tapi berbahaya."

Cantik, tapi berbahaya.

Tampaknya penghuni rumah nomor sembilan itu menarik sekali ... hahahaha.

***

"Daniel!" Aku sedang memirsa televisi ketika kudengar ibu berteriak. Setengah malas, aku beranjak dari sofa, menghampiri ibu yang berada di dalam kamar adik kecilku. "Ada apa?" tanyaku, berdiri di ambang pintu.

"Susu adikmu habis. Ibu lupa membelinya kemarin. Tolong pergi belikan susu untuk adikmu di minimarket dekat sini," pintanya sembari menggendong adikku yang tampak gelisah.

Aku mendengus pelan. "Ya, sudah. Mana uangnya?"

Setelah mendapatkan uang, aku lekas beranjak menuju minimarket yang tidak jauh dari rumah. Suasana di sekitar rumah sudah sepi. Jelas saja. Sekarang sudah pukul setengah sembilan malam. Para tetangga pasti sedang asik menonton acara survival yang sedang tren belakangan ini. Sembari berjalan, kusumpal telingaku dengan earphone yang memperdengarkan lagu. Lumayan untuk menemaniku berjalan di bawah langit yang gelap.

Setibanya di supermarket, aku bergegas bergerak menuju rak susu balita. Kuambil satu dos susu dengan merek yang biasa diminum oleh adikku dan membawanya ke kasir. Butuh waktu lebih lama untuk berjalan ke tempat ini dibanding berbelanja di sini.

"Terima kasih sudah berbelanja di sini," kata sang kasir ramah seraya memberikan bungkusan juga uang kembalian. Aku hanya membalasnya dengan satu senyum simpul, kemudian beranjak dari minimarket.

Angin bertiup cukup kencang dalam perjalananku menuju rumah. Mau tidak mau, kurapatkan jaket merahku guna mencari kehangatan. Kugerakkan cepat kedua kakiku di tengah daun-daun kering yang berjatuhan di atas kepalaku, juga di atas trotoar yang kutapaki.

Aneh.

Tiba-tiba saja angin berembus kencang begini, padahal sekarang baru permulaan musim gugur.

Sedikit ketakutan, aku memutuskan untuk berlari. Namun, seiring pergerakanku cepat, seiring itu pula angin berembus dengan brutalnya. Astaga! Apa akan terjadi tornado atau semacamnya?

Aku semakin bergerak cepat. Benar-benar ketakutan kalau-kalau pusaran tornado tiba-tiba muncul di belakangku. Jika kulihat di televisi, angin tornado sungguh mengerikan sekali. Aku tidak sanggup membayangkan diriku masuk ke pusaran angin bersama semua yang—DUK!

BRUK!

"Ah." Rintih pelan keluar dari mulutku setelah aku tahu-tahu jatuh dengan kerasnya. Kepalaku rasanya sakit sekali. Apakah kepalaku berdarah? Tidak! Pandanganku bahkan mulai kabur. Tunggu! Rumah itu. Aku terjatuh di depan rumah nomor sembilan.

"Tolong."

***

Sentuhan-sentuhan lembut yang terasa, membuatku tersadar. Perlahan kubuka kelopak mata dan ... sebuah lengkung sabit yang manis tertangkap oleh netraku. Sosok gadis bermata bulat menyorotkan tatapan bahagia ketika melihatku. Secara tak langsung membuatku senang pula, tetapi rasa penasaran untuk mengetahui siapa dia, jauh lebih besar. Akhirnya, aku bertanya, "Kamu siapa?"

"Somi," jawabnya, kemudian tersenyum lagi. "Apa kau baik-baik saja, Daniel-ssi?"

"Uh? Oh? Aku ... aku baik-baik saja." Perlahan, aku bergerak mengambil posisi duduk. Pandanganku lantas teralih pada ruangan tempatku berada sekarang. Aku baru sadar bahwa semuanya serba putih. Dindingnya, perabot-perabotnya, bahkan bunga yang berada di atas meja di hadapanku pun berwarna putih. Mawar putih. Gadis bernama Somi ini pun memakai dress putih polos.

Aku yang mengenakan jaket merah sungguh terlihat mencolok di antara warna putih ini.

"Aku suka putih," tuturnya, seakan tahu apa yang aku pikirkan.

Aku mengangguk canggung.

"Mau kuambilkan sesuatu? Air minum, mungkin."

"A-ah, i-iya."

Somi lantas berdiri. Rupanya, dia cukup tinggi untuk seorang gadis. Dia sempat menyungging senyum sebelum berlalu dari hadapanku.

Sepeninggal Somi, aku masih menyapukan pandangan ke setiap sisi ruangan tempatku berada. Aku tidak tahu seperti apa surga terlihat, tetapi semakin aku menelisik setiap sudut ruangan ini, semakin aku merasa seolah berada di surga. Ditambah dengan gadis yang cantik bak bidadari seperti Somi. Mungkin ... tempat ini memang surga.

Tunggu! Kalau tempat ini surga, berarti ... aku sudah—astaga! Yang benar saja?

Aku buru-buru menyusul Somi, mencarinya sembari meneriakkan namanya. Aku baru teringat sesuatu. Mengapa aku tidak menanyakan tempat apa ini? Surgakah atau di mana? Kalau benar ini surga berarti ...

"Bukan," kata Somi begitu aku berhasil menemukannya di dapur yang masih dipenuhi warna putih. "Kamu belum ada di surga. Ini rumahku," tuturnya.

Aku mengembuskan karbondioksida dalam jumlah banyak seraya mengurut dada. Syukurlah. Kupikir aku sudah mati. Aku masih memiliki banyak dosa.

"Kalau kau tahu kau banyak dosa, mengapa tadi kau mengira tempat ini surga? Kau pendosa yang percaya diri dapat diterima di surga rupanya."

Kedua mataku membulat. Salivaku tertelan paksa. Apa tadi Somi—

"Ya," ujarnya, "aku bisa membaca pikiranmu," lanjutnya. "Ah, ya, ini minuman yang kau minta."

Gelas yang telah disodorkan Somi berpindah ke tanganku. Seiring kudekatkan bibir gelas ke mulut, indraku menangkap bau anyir. Aneh. Ini cuma air putih, tapi kenapa bau anyir? Apa jangan-jangan ...

"Maaf," kata Somi tiba-tiba, "mungkin itu pengaruh dari air sumurku."

Aku sungguh tidak tahu harus melakukan apa. Ingin menduga, tetapi Somi bisa membaca pikiranku. Aku jadi tidak enak jika menuduhnya yang bukan-bukan. Tak punya pilihan lain, aku pun meneguk air di gelas itu sembari menahan aroma anyir itu.

"Terima kasih," kataku.

Somi merebut gelasku, kemudian meletakkannya di meja terdekat. Dia lantas mengajakku kembali ke ruang sebelumnya. Sejurus kemudian, mataku menangkap sebuah benda tergeletak di dekat kaki sofa. Sebuah kantong plastik dengan label minimarket.

"AIGOO! Aku harus pulang sekarang!" Aku bergegas menghampiri kantongan di sana. Astaga! Eomma pasti mencariku. Aku akan dimarahi setelah ini. "Pintunya di sebelah mana, Somi-ssi?" tanyaku.

"Rumah ini tidak punya pintu, Kang Daniel."

Tunggu! Dari mana Somi tahu namaku. Seingatku, aku belum pernah menyebutkan nama sejak tadi.

Aku berdiri di dekat sofa, memegang kantong plastik berisi susu untuk adikku saat Somi berkata, "Tidak sulit mencari tahu siapa namamu, Daniel. Di sekitar sini, hanya kamu pemuda yang tersisa."

Maksudnya?

"Kau ini bicara apa?" Jujur, jantungku perlahan berdetak tidak karuan. Somi mulai membuatku agak takut. Terlebih, aku juga mulai teringat sesuatu. Ya. Entah mengapa, aku teringat ucapan Seungwoo.

Dia cantik, tapi berbahaya.

Apa mungkin sekarang aku berada di ...

"Sudah kubilang, bukan?" Somi mengikis jarak di antara kami. "Sekarang kamu berada di rumahku. Rumah nomor sembilan."

Aku berjalan mundur perlahan, berbanding terbalik dengan detak jantungku. Wajah cantik Somi mulai berhiaskan darah yang mengalir dari matanya. Dia menangis. Menangis darah.

"Tidak! Pergi! PERGI! TINGGALKAN AKU!!!"

Bukannya pergi, Somi malah semakin mendekat. Tidak hanya itu, angin kembali bertiup kencang. Rambut panjang Somi berkibar. Kuangkat kedua tangan, melindungi wajahku dari barang-barang yang terbang tak tentu arah. Aku berusaha bertahan, tetapi tiupan angin seakan mengisapku mendekat ke arah Somi.

"HENTIKAN! HEI! HENTIKAN INI!!!" Aku berteriak.

Namun, lagi-lagi Somi tidak mengindahkan ucapanku. Begitu aku tiba di hadapannya, tangan kanannya terarah ke leherku. Kurasakan jemarinya memeluk batang penyangga kepalaku.

"He-hentikan!" Aku memelas di antara rasa sakit yang perlahan menjalar di leherku. Aliran darahku seakan terhenti, pun aliran napasku. Rasanya, nadi-nadiku akan pecah.

Berusaha mempertahankan nyawaku satu-satunya, aku mencoba melepas tangan Somi yang mencekik leherku. Tapi, percuma. Cekikannya malah semakin kuat. Bahkan, aku tidak merasakan lagi kakiku menjejak bumi.

Somi ... mengangkatku.

"Ka—uhuk ... uhuk ... kau mau apa?"

"Nyawamu." Somi tersenyum. Senyum yang tidak indah lagi di mataku. "Aku butuh satu lagi nyawa laki-laki muda agar aku bisa menjadi manusia seutuhnya. Dan ..., aku butuh nyawamu ... untuk menyempurnakan itu."

Aku meronta-ronta sekuat yang kubisa. Berusaha melepaskan cekikan Somi di leherku. Namun, secara bersamaan, sesuatu yang tajam, menembus kulit leherku. Mungkin kukunya yang sengaja ia tancapkan di sana. Semakin aku meronta, semakin dalam tusukan itu terasa.

Air mataku bercucuran.

Sakit.

Aku benar-benar tidak sanggup bernapas lagi.

Aku benar-benar tidak sanggup menahan rasa sakit yang terasa.

Mungkin sebentar lagi ... aku akan mati.

***

"Hei! Cepat tolong! Ada pemuda yang butuh pertolongan di sini!"

"Astaga! Apa dia masih hidup?"

"Darah yang keluar banyak sekali!"

Keributan yang terdengar di sekitar membuatku terbangun. Kudapati diriku terbaring di atas trotoar, di antara orang-orang yang tampaknya tengah mengerumuniku. Aku lekas memperbaiki posisi tubuhku—berdiri, kemudian meraba-raba leherku.

Oh, astaga!

Syukurlah.

Yang semalam cuma mimpi.

Kupikir, aku benar-benar mati karena Somi.

"Kita terlambat. Dia sudah mati."

Ucapan seseorang di sekitar membuatku tersadar akan sesuatu. Aku sedang berdiri sekarang. Tapi ..., tubuhku. Tubuhku masih tergeletak di atas trotoar dengan darah yang mulai mengering di dekat kepalaku.

Tidak!

Mustahil!

Apa aku sudah mati?

"Ya, kau sudah mati, Kawan." Seseorang tiba-tiba menepuk pundakku. Ong Seungwoo. "Kau sudah mati, sama sepertiku."

=THE END=

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top