MIRROR (Oneshoot)

***

"Apakah kau mendapat undangan ulang tahun dari Choi Minho?"

Samar terdengar beberapa orang mengobrol di sepanjang koridor yang Soojung lintasi.

"Tentu saja. Ahh, aku tidak sabar untuk pergi ke acara itu."

Soojung mendengus pelan mendengar antusiasme para gadis yang sudah bergosip di pagi hari.
"Aku akan berdandan cantik sekali agar Minho mau berdansa denganku di acara ulang tahunnya."

Kali ini Soojung berdecak sedikit keras. Begitu kerasnya, hingga mampu didengar oleh beberapa orang yang asyik mengobrol di sana. Mereka menatap Soojung yang terus melangkah menjauh dengan tatapan tak biasa. Beberapa dari mereka mencebik kesal, bahkan sesekali menyindir.

"Uhh, gadis angkuh," komentar salah seorang gadis bersurai kecokelatan. "Lihat, bagaimana dia mencibir kita. Kurasa dia iri karena tidak mendapatkan undangan dari Minho seperti kita."

"Benar," sahut yang lain. "Mana mau Minho mengundang gadis berwajah datar sepertinya. Bisa-bisa suasana pestanya berubah suram nanti."

Selepas mengatakan itu, mereka semua tertawa. Mengabaikan fakta bahwa mungkin Soojung masih mendengar ocehan mereka meski telah berjalan menjauh. Padahal dengan suara sekeras itu, dalam jarak 1 km pun Soojung mampu mendengarnya. Baiklah, itu berlebihan. Namun, memang Soojung mampu mendengar semua perkataan teman-teman satu sekolahnya tadi. Semua tanpa terkecuali.
Soojung tidak menyalahkan pendapat mereka mengenai dirinya, karena yang dikatakan benar adanya. Jung Soojung bukan merupakan tipikal gadis yang menyenangkan. Dia berwajah datar -seperti yang tadi teman-temannya katakan. Menarik sedikit sudut bibirnya barang sebentar pun dia enggan. Yang ada jika tidak berwajah datar, gadis itu akan memberengut. Padahal jika Soojung mau berbaik hati menampilkan seulas senyum tipis, gadis itu akan terlihat cantik. Tidak seperti sekarang, suram sekali.
Oleh karena sikapnya yang tidak ramah semacam itu, Soojung sama sekali tidak memiliki teman. Mungkin beberapa orang memang mendekatinya di awal untuk mengajaknya berteman, tetapi mereka mundur teratur setelahnya. Soojung tipikal gadis yang membosankan, tidak pernah bisa diajak bercanda, dan tentu seperti yang telah dijelaskan tadi, sama sekali tidak bersikap ramah. Siapa juga yang mau berteman dengan gadis semacam itu?
Namun, menurut sudut pandang Soojung tidak demikian. Menurutnya, semua teman tidak ada yang tulus berteman dengannya. Mereka tidak ada yang setia. Bagi Soojung, seharusnya mereka lebih memahami dan menerima Soojung yang semacam ini. Memang apa yang salah dengan tidak pernah tersenyum? Bukan tanpa alasan Soojung tak melakukannya. Menurut gadis itu, bersikap terlalu ramah itu tidak terlalu baik. Terkesan konyol dan sedikit bodoh. Apa fungsinya terus tersenyum kepada orang-orang yang belum tentu menyukai kita? Hanya buang-buang tenaga.

Dan Soojung cukup keras kepala untuk mempertahankan prinsipnya itu.

"Pagi, Soojung!"

Yah, Soojung memang pernah menyebut jika semua orang selalu menjauhinya. Namun, ada satu pengecualian. Seseorang yang selalu mengusik hidup Soojung semenjak berada di bangku SMA. Sialnya, dia adalah teman sebangku Soojung.

"Hei, kenapa tidak membalas sapaanku? Itu tidak baik."

Soojung memutar bola matanya kesal. Dengan tetap mengabaikan si teman sebangku, Soojung mendudukkan diri di bangkunya. Gadis itu lantas mengambil satu buku dari tas dan membacanya. Dia perlu pengalihan untuk tidak menanggapi si teman sebangku.

"Soojung-a."

Soojung mendengus kesal. "Pagi, Kim Jongin. Puas?"

Jongin tersenyum lebar. Usahanya tidak pernah gagal. Meski dia tidak pernah mampu membuat Soojung tersenyum, tetapi lelaki itu selalu berhasil membuat si gadis membalas sapaannya. Seperti yang baru saja terdengar tadi. "Nah, begitu. Itu baru Soojung-ku."

Soojung merengut ketika Jongin mengusap puncak kepalanya tanpa permisi. Soojung-ku pantatmu, Soojung membatin. Demi ikan koi peliharaan ibunya, Soojung tidak pernah sudi dilabeli kepemilikan oleh lelaki tengil yang satu ini. Memang siapa Kim Jongin? Teman bukan, kekasih apalagi.

"Oh, Soojung," Jongin bersuara kembali. "Kau dapat undangan pesta ulang tahun Choi Minho, bukan? Kau datang dengan siapa? Denganku, yah?"

Soojung menghela napas panjang. Lagi-lagi pembicaraan mengenai pesta ulang tahun Choi Minho. Memang sehebat apa pesta itu? Soojung akui jika Minho adalah lelaki yang popular di kelas dan sekolahnya. Namun, terlalu berlebihan menurutnya jika terus saja semua orang membicarakan acara yang akan diadakan lelaki itu. Sok penting sekali.

"Soojung?"

"Aku tidak diundang."

Jongin mengernyit ketika mendengar jawaban Soojung. Lelaki itu membuka mulut hendak mengajukan pertanyaan lagi, tetapi Soojung telah menyelanya lebih dulu, "Jangan tanya aku mengapa. Tanya saja pada yang tidak mengundangku."
Jongin hanya mampu mengembuskan napas pasrah mendengar penuturan si teman sebangku. Sebetulnya, Jongin mungkin memahami mengapa rekannya ini tidak mendapat undangan. Mungkin saja Minho berpikir bahwa Soojung tidak tertarik untuk hadir. Namun, tidak memberi undangan sama sekali bukan keputusan yang baik juga. Bagi Jongin itu sedikit jahat.

"Hei, Choi Minho!" Entah memiliki keberanian dari mana, Jongin berseru keras dari tempat duduknya. Meminta perhatian Minho yang tengah berceloteh ria dengan beberapa teman sekelas mereka. "Kau tidak mengundang Soojung, huh?"

Soojung melebarkan matanya selepas pertanyaan sindiran yang Jongin ajukan. Begitupun Minho, lelaki itu tampak salah tingkah karena ketahuan bertindak sedikit jahat kepada Soojung. Merasa tidak enak ditatap oleh semua penghuni kelas, akhirnya Minho pun bersuara, "Memang Soojung mau datang?"

"Dia akan datang." Bukan Soojung, melainkan Jongin yang menjawab. Lelaki itu tampak melirik Soojung sejenak. Gadis itu tengah melayangkan tatapan membunuhnya kepada Jongin, tetapi lelaki itu tidak mau peduli. "Jadi, kau akan mengundangnya, 'kan?"

Choi Minho menatap Jongin dan Soojung bergantian. Terlihat lelaki itu menimang sejenak. "Baiklah," ujar lelaki itu akhirnya. "Jung Soojung, kau kuundang untuk datang ke pesta ulang tahunku."

O0O

"Soojung!"

Soojung terus melangkah, mengabaikan panggilan di belakang dirinya. Telapak tangannya sendiri terus terkepal kuat menahan rasa kesal. Dia kesal dengan Kim Jongin. Kesal karena selalu mengganggu dan mengurusi kehidupannya. Seperti tadi, lelaki itu dengan tidak sopannya menjanjikan Soojung akan hadir di pesta ulang tahun Choi Minho akhir pekan nanti.

"Soojung!"

Jongin segera meraih lengan Soojung ketika berhasil mengejar gadis itu. Lelaki berkulit tan itu tampak terengah-engah. Sedang keningnya mengerut penuh tanya. "Kau marah padaku?"

Soojung mendengus sembari menepis genggaman Jongin di lengannya. Gadis itu lantas membuang muka sembari merengut kesal. Sudah kentara sekali jika dia marah, dan Jongin masih bertanya? Soojung jadi meragukan kepekaan lelaki yang merupakan rekan sebangkunya itu.
"Soojung?" Sekali lagi Jongin berusaha menarik perhatian Soojung. "Jangan diam saja, bicaralah sesuatu. Kau membuatku takut."

Soojung memejamkan mata sebelum menatap Jongin kembali dengan sorot tajamnya. Terdapat kilat emosi di sana, membuat Jongin mau tak mau menelan ludahnya susah payah. "Kau tahu? Aku memang marah padamu, Kim Jongin. Karena dirimu sekarang aku harus menghadiri satu acara yang begitu mengesalkan."

Jongin mengernyit, merasa tidak mengerti dengan kata-kata Soojung. Menurut Jongin, mana ada pesta yang mengesalkan, yang ada malah menyenangkan.

"Lihat, sekarang aku harus bertahan untuk berada di sekitar orang-orang yang tidak menyukaiku. Argh, menyebalkan!"

"Kata siapa mereka tidak menyukaimu?"

Soojung menaikkan sebelah alisnya, tampak meremehkan Jongin. "Kataku dan itu bukan tanpa alasan. Bagaimana mereka menatapku, juga bagaimana mereka membicarakanku di belakang adalah bukti jika mereka semua tidak menyukaiku," jawab Soojung dalam satu tarikan napas.
Selepas mengatakan semua itu Soojung memalingkan muka. Enggan bersitatap langsung dengan Jongin karena entah mengapa pelupuk matanya mulai terasa berat. Sepertinya kesabaran Soojung sudah berada di ambang batas. Soojung benci dengan semua kenyataan itu. Kenyataan bahwa dia tidak disukai semua orang. Memang apa yang salah dengan dirinya?

"Aku tidak seperti dirimu, Jongin. Kau selalu dikelilingi banyak orang. Semua menyukaimu. Tidak seperti aku," Soojung mengungkapkan segala rasa iri yang dipendamnya kepada si teman sebangku.
Memang benar, Soojung iri kepada Kim Jongin. Lelaki itu menyebalkan yang satu ini memiliki semua yang Soojung inginkan. Perhatian semua orang, teman yang banyak, juga suasana ceria yang selalu hadir di setiap keberadaannya. Soojung mau seperti itu, dia mau seperti Kim Jongin.

"Jadi, kau mau seperti diriku?"

Soojung mengerjap cepat saat Jongin mengajukan satu pertanyaan yang menyentil dirinya. Sebelah sudut bibir Jongin terangkat, menampilkan satu seringaian yang membuat Soojung bergidik ngeri. Apa yang direncanakan lelaki yang satu ini?

"Kau bisa menjadi seperti aku. Akan kuberitahu satu rahasia."

O0O

"Masuklah."

Soojung ragu-ragu memasuki kediaman Kim Jongin. Hal yang pertama dilakukan gadis itu adalah mengamati setiap sudut rumah tempatnya berada saat ini. Rumah Jongin tidak terlalu besar memang, tetapi terasa nyaman dan hangat. Beberapa foto anggota keluarga terpajang. Menunjukkan betapa harmonisnya keluarga Jongin. Ahh, Soojung jadi semakin iri dengan lelaki itu.

Bukan karena Soojung tidak memiliki keluarga lengkap semacam Jongin, bukan. Keluarga Soojung lengkap, hidup dengan normal, sungguh. Namun, mengingat perbedaan besar yang dialami olehnya dan Jongin membuat Soojung sedikit merasa jika kehidupan tidak adil. Jongin memiliki banyak orang yang menyukainya, tidak bisakah dia memiliki sedikit cela untuk aspek lainnya?

"Hei, kenapa diam saja di sana?" Suara Jongin sukses mengintrupsi Soojung. Membuyarkan lamunan gadis itu, hingga mengembalikannya segera ke alam nyata. "Kemari, Soojung." Lelaki itu kembali memanggil Soojung sembari melambaikan tangan. Dan yang bisa dilakukan Soojung hanya menghampiri lelaki itu.

"Lihat!"

Soojung mengernyit ketika di hadapkan pada sebuah cermin yang terpajang di dinding. Cermin itu tidak terlalu besar dengan ukiran bercat hitam di sekitarnya. Cermin menarik yang mengingatkan Soojung akan dongeng Snow White.
"Apa yang kau lihat di sana?" tanya Jongin sembari menunjuk cermin yang ada di hadapannya dengan dagu. Membuat Soojung terpaksa mengamati cermin tersebut lekat.

"Tidak ada apapun," jawab Soojung dengan kening mengerut. "Kacanya terlihat berkabut. Kau belum membersihkannya, yah?"

"Amati lebih teliti lagi!"

Soojung mendengus kesal. Apa maunya Jongin, sih? Sudah jelas jika dilihat berapa kali pun, pantulan diri Soojung tidak terlihat jelas. Kaca yang terpasang berkabut, seperti yang dibilang Soojung. "Jongin, sampai kapan ak- Oh!"

Jongin tersenyum memperhatikan ekspresi Soojung. "Apa yang kau lihat, Soojung?"

Soojung mengerjap pelan. Gadis itu bahkan memicingkan netranya untuk mempertajam penglihatannya. Saat ini cermin di hadapan Soojung tidak terlihat berkabut lagi. Dia dapat dengan jelas melihat refleksi dirinya di sana. Jelas terlihat sekali bagaimana keningnya mengerut, alisnya saling tertaut, dan bibirnya yang mencebik.

"Apa yang kau lihat, Soojung?" tanya Jongin sekali lagi.

"Itu aku," jawab Soojung malas. "Kemudian apa? Tidak ada masalah dengan wajahku," protes gadis itu kesal.

"Memang tidak ada yang salah dengan wajahmu. Tapi, ekspresimu, Soojung. Apa kau pikir orang yang berekspresi seperti itu akan mudah disukai?"

Bibir Soojung mengatup diberi kritik semacam itu. Soojung tidak suka, dia tidak suka jika ada yang mengomentarinya. Itu berlaku juga untuk Jongin. "Itu adalah hakku mau berekspresi seperti apa. Kenapa aku harus peduli?"

Jongin mengembuskan napas pelan. Dia rasa, perlu usaha keras untuk dapat menyadarkan Soojung akan kekurangannya. "Baiklah, coba lihat cerminnya lagi."

Soojung mendengus, entah untuk ke berapa kalinya. Namun, dia tidak membantah sama sekali. Gadis itu tetap menuruti perintah Jongin, mengamati wajahnya yang direfleksikan oleh cermin. Tidak ada yang berbeda dengan yang terlihat sebelumnya. Hanya ada wajah Soojung.
Soojung baru saja hendak menyerah dan mengalihkan perhatian, sebelum kabut itu datang lagi. Soojung mengernyit, merasa mengenali kabut yang baru saja hadir. Kabut yang terlihat di cermin adalah kabut yang pertama kali dia lihat. Sepersekian sekon melintas, kabut itu menghilang. Membiarkan Soojung untuk mampu kembali melihat pantulan dirinya.

"Itu siapa?"

Tubuh Soojung membeku saat dia tak lagi melihat refleksi dirinya. Yang terlihat di sana justru wajah seorang wanita yang Soojung perkirakan berusia sekitar 30 tahunan. Namun ketika Soojung mengamati wanita itu baik-baik, gadis itu merinding. Wanita yang ada di dalam cermin mengenakan seragam sepertinya. Jika ditelisik lebih jauh, wanita itu juga cukup menyerupai dirinya.

"Itu dirimu, ketika berusia 25 tahun," terang Jongin. Entah sadar atau tidak, tetapi tidak terdengar lagi suara renyah lelaki itu. Yang terdengar justru suara yang berat dan begitu serius.

"Itu tidak mungkin," gumam Soojung pelan. "Kau bilang 25 tahun? Tapi lihat, aku seperti wanita 30 tahunan," protes Soojung kemudian.

"Itu memang dirimu, Soojung," Jongin menjelaskan dengan penuh kesabaran. "Lihat saja kerutan di kening itu. Mirip dengan milikmu, bukan? Hanya sekarang bertambah banyak saja. dan lihat kerutan di sekitar bibir. Itu efek karena sering merengut."

Soojung menggeleng pelan. Masih tidak mempercayai penjelasan Jongin. "Tidak mungkin. Bagaimana bisa aku menjadi wanita yang tidak menarik sama sekali? Aku bahkan terlihat tidak menyenangkan sama sekali."

Jongin terkekeh mendengar Soojung yang tengah mengomentari dirinya di masa yang akan datang. "Nah, itu yang kau pikirkan untuk dirimu di masa yang akan datang. Belum orang di luar sana. Mungkin kau tidak akan mendapat jodoh jika berwajah seperti it--- Ups!" Jongin mengatupkan bibir segera. Soojung sudah menatap dirinya begitu tajam kembali. Kelihatannya ucapan Jongin sudah kelewat batas.
"Baik, lihat lagi sekarang."

Soojung memutar bola matanya malas. Gadis itu kembali memperhatikan apa yang terlihat di cermin. Sekali lagi kabut datang, seperti sebelumnya. Beberapa saat kemudian kabut menghilang perlahan. Seperti yang Soojung duga, terlihat lagi wajah seseorang yang mirip dirinya. Kali ini seorang wanita yang berusia sekitar 40 atau 50 tahun. Namun, Soojung tebak jika usia sebenarnya mungkin sekitar 30 tahunan.

"Itu wajahmu saat berusia 35 tahun."

Tepat. Seperti dugaan Soojung usia yang sebenarnya berbeda dengan yang terlihat. Wajah wanita yang tampak lebih tua dibanding usianya. Belum lagi kerutan di wajah, semakin hari semakin bertambah. Ditambah dengan raut yang sama sekali tidak ramah, membuat wanita itu tidak mudah untuk disukai.

"Apa masih ada lagi?"

Jongin mengetukkan jemari telunjukknya di dagu. "Sepertinya sekali lagi."

Soojung mengembuskan napasnya kasar. Entah mengapa untuk yang terakhir kali jantungnya berdebar cepat sekali. Dia penasaran wajah seperti apa lagi yang akan ditampilkan si cermin. Soojung berharap, semoga wajah masa depannya tidak bertambah parah.
Kabut kembali hadir dan seperti sebelumnya, menghilang dengan perlahan. Menampilkan satu sosok yang mungkin adalah diri Soojung di masa yang akan datang.

Deg.

"It-itu -"

Napas Soojung tercekat. Tubuhnya bergetar ketika melihat yang ditampilkan cermin milik Jongin. Kali ini bukan lagi wanita dewasa. Yang terlihat adalah seorang nenek tua yang begitu menyeramkan. Nenek tua dengan banyak kerutan di wajah dan ekspresi galak yang menakutkan. Seperti nenek sihir.

"Itu dirimu di usia 50 tahun," ujar Jongin menjelaskan. "Menurutmu, bagaimana?"

Soojung tidak mengatakan apapun. Gadis itu segera berbalik membelakangi cermin. Dia tidak mau melihat refleksi masa depannya lagi. "Aku mau pulang."

"Soojung."

"Aku mau pulang, Jongin," ujar gadis itu ketakutan. "Aku tidak mau melihat apapun lagi. Aku mau pulang. Bukankah kau bilang itu yang terakhir?"

Jongin hanya mampu menghela napas pasrah. Melihat Soojung yang ketakutan membuat lelaki itu tak tega untuk membantah. "Baiklah, kau boleh pulang," ujar Jongin akhirnya. "Mau kuantar pulang?" tanya lelaki itu menawarkan diri.

"Tidak. Aku bisa pulang sendiri," jawab Soojung dengan kepala menunduk.

Jongin menatap teman sebangkunya itu lekat. Merasakan ketakutan gadis di hadapannya itu. Gadis itu bahkan nyaris mengeluarkan air matanya.

"Baiklah," Jongin memilih menuruti keinginan Soojung untuk pulang sendiri. "Tapi, kuharap kau memikirkan pesanku ini, Soojung."

"Cermin berbicara dalam puncak kejujuran. Yang diperlihatkannya apa adanya tanpa dusta. Jika baik, maka terlihat baik. Jika buruk, maka terlihat buruk. Jadi, seperti itulah cermin memandangmu, Soojung. Kau mengerti maksudku, bukan?"

O0O

Cermin memandangku buruk.

Itu simpulan yang didapat Soojung. Egonya masih tidak mau menerima itu. Namun, apa yang dikatakan Jongin cukup logis. Tidak ada sisi baik yang diperlihatkan oleh cermin yang dipandanginya saat berada di rumah Jongin. Menandakan bahwa sikap yang Soojung tunjukkan dalam katagori buruk. Anggapannya selama ini salah.

"Jadi, sikapku selama ini salah?" tanyanya kepada diri sendiri. "Lalu aku harus bersikap seperti apa?" gadis itu mengembuskan napas, putus asa.

Perlahan, Soojung beranjak dari ranjangnya. Gadis itu berjalan menuju cermin besar yang terpajang di kamarnya. Cermin miliknya memang tidak seajaib cermin Jongin, tetapi Soojung rasa miliknya berfungsi sama dengan kepunyaan Jongin. Sama-sama menunjukkan puncak kejujuran.
Soojung menatap refleksi dirinya lekat-lekat. Masih terlihat diri Soojung yang sebelumnya. Soojung yang berwajah amat tidak ramah. Sekelebat bayangan masa depan yang ditampilkan oleh cermin milik Jongin kembali melintas. Jika Soojung masih juga menunjukkan rupa tak ramahnya, maka apa yang terlihat di cermin ajaib Jongin akan menjadi nyata. Dan Soojung tidak mau itu terjadi.
Pelan-pelan Soojung menarik napasnya. Menghirup oksigen banyak-banyak sembari mengumpulkan keberaniannya. Dengan usaha yang cukup keras, Soojung menggerakkan kedua sudut bibirnya. Menariknya perlahan hingga seulas senyum terukir. Tidak hanya itu, Soojung juga mengendurkan otot keningnya hingga tak lagi kerutan tampak di sana.

Soojung mengerjap takjub. Itu dirinya. Yang terpantul di cermin adalah diri Soojung. Soojung yang terlihat ramah, manis, dan cantik.

Soojung menarik kedua sudut bibirnya semakin lebar. Senyumnya semakin merekah. Entah mengapa Soojung mulai menyukai dirinya yang seperti ini.

Tersenyum ternyata rasanya -menyenangkan.

O0O

Soojung benar-benar merasakan perubahan pada dirinya setelah memberanikan diri untuk bersikap lebih ramah. Banyak hal yang ia lakukan, dimulai menyapa seseorang ketika bertemu dan juga tidak pelit untuk mengumbar senyum. Hal yang terjadi luar biasa. Tidak ada lagi cibiran atau tatapan tidak suka yang dilayangkan kepadanya. Semua orang memperlakukan Soojung dengan baik.
Ternyata semua anggapan dirinya bahwa semua orang yang tidak menyukainya salah. Mungkin benar jika semua orang tidak menyukainya di masa lampau, tetapi itu karena sikap Soojung sendiri. Buktinya, ketika dia mengabaikan semua ego dan mencoba bersikap lunak, semua tampak menyambut Soojung dengan baik.

"Wah, kau terlihat cantik sekali malam ini, Soojung."

Soojung yang tengah menikmati minumannya berbalik segera. Senyum gadis itu mengembang tatkala menemukan sosok yang begitu menginspirasinya untuk berubah jadi lebih baik. "Hai, Jongin. Kenapa baru datang?"

"Tadi sedikit macet di jalan. Jadi, apa yang terjadi sekarang?" celoteh lelaki berkulit tan itu sembari memperhatikan penampilan Soojung dari atas sampai bawah. Gadis bersurai kelam itu tampak cantik dalam balutan gaun hitam tanpa lengan. Belum polesan make-up tipis pada wajah cerahnya, menjadikan Soojung sebagai gadis tercantik yang Jongin temui di pesta ulang tahun Minho.

"Kau tampak luar biasa, Soojung," puji Jongin. "Pantas tadi kulihat Minho terus melirik ke arah sini. Kelihatannya dia ingin mengajakmu berdansa nanti."

Soojung terkekeh mendengar komentar Jongin. Seperti biasanya, lelaki itu masih bebas berkomentar sesuka hatinya. "Yah, mungkin tawaran Minho nanti akan sayang untuk dilewatkan. Namun, aku lebih tertarik untuk berdansa dengan seseorang yang mengajariku untuk bersikap lebih baik."

Sebelah alis Jongin terangkat. Pernyataan Soojung cukup menarik minatnya. "Wah, aku jadi penasaran siapa lelaki beruntung itu," ujarnya sedikit menggoda.

Soojung hanya tersenyum menanggapi Jongin. "Siapa lagi kalau bukan si Jongin bodoh yang mengajarkanku untuk tersenyum dengan bantuan cermin ajaibnya," balas Soojung tak mau kalah menggoda Jongin.

"Cermin ajaib?" Jongin mengernyit ketika Soojung menyebut satu istilah asing baginya. "Apa maksudmu dengan cermin ajaib?"

Tarikan sudut bibir Soojung mengendur, perlahan senyumnya lenyap. Menyadari kebingungan Jongin membuat gadis itu merinding. "Hei, apa kau lupa, Jongin? Itu cermin yang bisa menampilkan rupa kita di masa mendatang. Cermin di rumahmu," terang Soojung berusaha membuat Jongin mengingat si cermin ajaib. Bisa saja lelaki itu hanya lupa, atau malah pura-pura lupa.

Namun, kelihatannya bukan keduanya. Jongin tampaknya memang tidak mengetahui cermin yang Soojung maksud. Terbukti dengan raut wajahnya yang memahami apa yang Soojung katakan. Menyadari semua kejanggalan yang dilaluinya beberapa waktu terakhir ini membuat Soojung merinding kembali. Masa yang dialaminya di rumah Jongin tidak nyata?

"Sudahlah," Jongin bersuara setelah menangkap rona ketegangan di wajah Soojung. "Dan apapun yang telah terjadi padamu, aku bersyukur. Setidaknya aku dapat terus melihat wajah ceriamu," ujar Jongin kemudian.

Soojung mengerjap pelan. Berusaha kembali memperoleh kesadarannya. Jongin benar, apapun yang terjadi sudah berhasil mengubah kehidupan Soojung kini. Saat ini, gadis itu tidak lagi kesepian. Dia telah memiliki banyak teman sekarang. Semua orang menyukainya. Tanpa terkecuali.

Yah, meskipun dia tidak pernah tahu apakah cermin ajaib yang dilihatnya waktu itu betul-betul ada atau tidak.

"Jadi, masih tertarik untuk berdansa denganku?"

Soojung menoleh dan mendapati sebelah tangan Jongin terulur ke arahnya.

"Tentu, dengan senang hati."

.
.
.

Jika kau ragu dengan tampilan dirimu, maka coba saja bercermin. Siapa tahu kau melihat keajaiban. Jika tidak, percayai saja apa yang kau lihat. Karena cermin berbicara dalam puncak kejujuran. Yang diperlihatkannya apa adanya tanpa dusta.
.
.
.
Fin

A/n : Entah berhasil bikin fantasy atau tidak, tapi kuharap ini menghibur. Terinspirasi sekaligus remake dari buku kumpulan dongengku semasa kecil (entah buku itu ada di mana sekarang). Semoga tidak berakhir aneh.
Salam,
Lee-jungjung

Screw : lee-jungjung
Editor : Rilamickey

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top