EVENT SINDROM _ DON'T WANNA GROW UP
Screenwriter: FairyGodmother3 // Casts: BTS V & OC
....
Mengembuskan napas berat aku memandang ke arah cermin. Suara gemercik air riuh mengusir fokusku. Bibirku tertarik seketika, membentuk senyum tipis. Melihat bayanganku di kaca. Namun, tertelan kenyataan, karena ternyata sangat mengerikan. Tergelak sendiri ketika tahu kenyataan pahit bahwa aku tak lagi muda, aku sudah beranjak dewasa.
Mereka bilang aku tukang mimpi. Tak ingin tumbuh dewasa, walau nyatanya semua manusia akan beranjak tua. Sindrom Peterpan, lucu sekali ya. Aku memiliki hal seperti itu pada hidupku. Tak ingin beranjak tua dan hanya ingin hidup seperti anak kecil tanpa beban. Maksudku yah ... aku rela jika aku masuk ke dunia abadi dengan usia remaja. Itu menyenangkan. Tak perlu membiayai hidup, tak perlu memikirkan tuntutan standar sosial yang menjadi lingkaran setan dalam lingkungan. Namun, konyol sekali itu mana mungkin.
Pekerjaan bagus, gaji besar, teman-teman berada, dan menikah. Bagaimana standar kebahagiaan manusia dipangkas dengan asumsi seperti itu.
Lee Minha jangan bodoh, kau juga menjadi salah satu makhluk yang masuk dalam lingkaran tak berujung itu. Mendudukkan diri di atas kasur, aku menatap langit-langit kamar, terpampang sebuah gambar bintang yang sewaktu kecil aku gambar saat bermain di pinggir Sungai Han. Kalau dipikir lagi aku suka sekali masa itu.
Merebahkan diriku, kemudian aku berpikir. Ah ... mungkin rasanya menyenangkan jika hidup di dunia lain yang penuh dengan kebebasan. Hingga sebuah suara merobek segala atensi pada khayalanku.
Bintang itu bersinar terang, menampilkan semburat jingga yang segar, lalu cahaya terang tersorot ke arahku. Mataku terbelalak, hingga tubuh ini berbaring pada tempat asing. Rumput yang pucuknya mulai menguning, sapuan angin musim semi menyambutku. Tubuhku terduduk dan gemetaran, entah mimpi gila macam apa yang sebegini nyata.
Namun, sesosok laki-laki yang terlihat seperti remaja dewasa berdiri di hadapanku.
Iris itu biru sejernih laut lepas, hingga kapan saja aku mampu terseret ke dalamnya, surai pirang pucatnya tertiup angin dengan halus. Wajah itu terbingkai dalam keindahan yang sempurna, bibir yang menyunggingkan senyum tipis itu mengantarkanku pada kesadaran.
"Apa kabar, Lee Minha."
Suara itu sangat familier di telingaku, seakan kita pernah berjumpa. Mataku bergulir pada iris biru itu, telak mengunciku pada tatapan tajam yang membawaku pada sekelebat masa lalu.
Di pinggir Sungai Han, seorang bocah laki-laki dengan kincir di tangan kanannya berlarian mengejar angin. Hinggakemudian berputar pada hal mengerikan lainnya. Diriku dan bocah lelaki itu tercebur ke dalam air, tenggelam dan berakhir pada kegelapan.
"Kim Taehyung ...." Suaraku gemetar, seakan-akan aku mengucapkan nama yang tak mampu kuucapkan.
Namun, senyum laki-laki itu persis sama seperti senyum milik bocah yang dulu tenggelam bersamaku di sungai lima belas tahun yang lalu. Kim Taehyung.
"Jangan terkejut terlalu lama Minha-ah, ayo ikut!"
Hingga tangan pucat itu menarikku dan membawaku berlari melewati hamparan rumput ini.
Berdiri di dalam sebuah rumah pohon yang kini tak aku mengerti. Kini aku mengelilingi bagian ruangan yang membuat keningku mengernyit. Pohon ek besar yang dilubangi dan memiliki ruangan sebesar ini. Sungguh mustahil, walaupun aku maniak dengan segala hal berbau fantasi, tapi tak seperti ini juga. Nalarku tak masuk sama sekali dengan keadaan ini. Bagaimana kamarku berganti dengan dunia layaknya di negeri dongeng Cinderella.
"Lihat ke cermin," ucap Taehyung sembari duduk di salah satu kursi dekat meja dapur.
Aku berbalik dan mendapati cermin besar. Hingga aku tertohok dengan rupaku. Rambut sebahu, hitam legam, mata bulat, dengan pipi sedikit berisi dan semburat merah jambu. Mirip sekali dengan diriku yang dulu berumur sembilan belas tahun. Ya Tuhan, apa aku kembali muda?
"Ini mimpikan?" tanyaku tak percaya.
"Bodoh sekali, mana mungkin ini mimpi. Kau sendiri yang meminta untuk menjadi muda lagi kan?" Taehyung berdiri di sampingku. Rupa kami sama-sama dalam usia muda.
Aku menatap Taehyung tak percaya. "Kupikir aku hanya punya kelainan jiwa karena mengalami sindrom peterpan. Maksudku ... bagaimana ini jadi kenyataan. Kita tidak sedang melakukan syuting kan?"
Taehyung tersenyum kecut, lalu mendorong dahiku dengan ganas ke belakang. "Masih saja bodoh, kalau begitu aku tak mungkin ada, tak mungkin bisa berdiri di hadapanmu kalau ini dunia manusia. Kau tahu aku sudah mati tenggelam di sungai itu."
Aku terdiam, kemudian otakku berputar untuk berpikir. "Lalu sekarang aku sudah mati?"
"Belum," jawab Taehyung singkat.
"Loh? Kalau belum mati kenapa aku bisa di sini bersamamu?"
Taehyung menghela napas lelah. Ia berjalan dan merebahkan diri di ranjang lalu tangannya menunjuk sebuah bintang yang tergantung di langit-langit ruangan ini.
"Kau mengaktifkan tandanya, jadi aku datang. Hatimu bilang kau ingin hidup di dunia yang bebas dan menyenangkan. Bukankah dunia seperti ini. Dunia abadi yang takkan membuatmu tua dan merasa punya banyak beban."
Aku berjalan dan berdiri menghampiri Taehyung yang tertidur dengan mata menerawang jauh ke dunia yang tak kutahu apa itu. "Kalau begitu, aku bisa hidup bahagia di sini?"
Taehyung bangkit dan duduk dengan tegap. Cengiran kotak yang khas itu terpampang jelas di mataku. "Tentu saja. Kau bisa bahagia tanpa batas."
Aku terdiam. Memang semua ini yang aku impikan. Namun, tidak semuanya membuatku bahagia. Namun, bertemu Taehyung lagi membuatku lega.
"Orang tuaku bagaimana?"
"Mereka akan melupakanmu, seakan kau tak pernah terlahir dari rahim ibumu."
Aku tercekat, sudut hatiku terasa ngilu mendengar pernyataan Taehyung.
"Kalau aku ingin kembali tapi aku ingin hidup di sini di saat sedih, aku ingin melakukannya. Kalau selamanya mungkin itu ... aku masih menyayangi orang tuaku." Aku tertunduk dan menyesal sekali dengan apa yang kini aku hadapi.
Taehyung tertawa hambar. "Kalau begitu kau hiduplah selamanya di duniamu. Pergi dan datang sesuka hati tidak bisa dilakukan di sini."
Namun, aku melihat kesedihan yang dalam di mata Taehyung. "Taehyung-ah, aku ingin tahu, sebenarnya kau itu apa? Kau sudah mati lima belas tahun yang lalu."
"Aku menjadi peri kebahagiaan setelah aku mati, karena itu aku bisa membawamu ke sini. Kau dan aku terlibat benang merah yang belum terputus saat di sungai itu."
Aku tersenyum sendu. Memikirkan saat itu hatiku berdenyut nyeri. Mengambil tangan Taehyung yang bebas tergeletak di pahanya, aku menggenggam jemari itu erat.
"Kalau aku ingin hidup di sini bersamamu, tolong jangan buat orang tuaku melupakan diriku. Jika aku dinyatakan mati dan berakhir di sini aku tak apa."
Aku sudah gila telah mengatakan hal itu.
"Kenapa?" tanya Taehyung heran.
"Orang tuaku tak sendirian. Mereka bisa bahagia tanpaku, aku tahu itu terlihat jahat tapi mereka tidak akan terlalu sedih jika aku tak ada. Tak apa-apa. Hanya saja jika mereka tak mengingatku itu akan menyakitkan dan juga dirimu sudah lama sekali sendirian. Aku tahu kau selalu sendirian sejak kita tenggelam dan hanya diriku yang naik ke permukaan. Di sana gelap dan dingin. Kau sangat menderita merasakan itu." Aku mengusap pipi Taehyung yang basah karena air mata.
"Jadi sekarang aku kembali, mari main bersama lagi sampai kapan pun. Jangan sedih sendirian, jangan sakit atau ketakutan tanpaku. Taehyung-ah, aku minta maaf meninggalkanmu saat itu."
Hingga kemudian Taehyung menarikku dan memelukku erat. Ia menangis bagai anak kecil di pelukanku. Taehyung lima belas tahun silam yang kutemui di pinggir Sungai Han, dengan kincir angin yang kita mainkan bersama, kini aku kembali bersamanya.
"Jangan pergi, jangan tinggalkan aku lagi," lirih Taehyung.
Aku mengusap surai itu pelan. "Aku di sini."
Hingga aku sadar, sejak saat aku tenggelam di sana. Jiwaku sudah berhenti bertumbuh, karena memang seharusnya aku mati bersama Taehyung di sungai itu.
Sampai akhirnya, saat ini aku memilih hal gila. Menukarkan hidupku demi kebahagiaan yang kuanggap sangat sempurna. Aku bisa hidup seperti anak-anak tanpa batas. Bermain tanpa beban.
Dan memilih untuk bebas bersama Kim Taehyung, peri kebahagiaanku.
END
Screenwritter :
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top