EVENT SINDROM _ DECISION

Screenwriter: Aliviazlf_ // Casts: Seventeen Wonwoo & OC

***

Bunyi pintu terbuka menyambut indra pendengaran Wonwoo kali ini. Lelaki itu mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru gudang. Sepi, gudang ini benar-benar sepi. Hanya Wonwoo saja yang mempunyai ide untuk mengadakan uji nyali di dalam gudang sekolah yang sudah lama tak terurus ini.

"Cha! Ayo kita mulai malam pertama uji nyali kita!" seru Wonwoo semangat. Netranya tak berhenti untuk memindai seluruh isi dari gudang tersebut.

Benar-benar tak terurus! Mungkin itu yang ada di benak Wonwoo sejak masuk tadi. Kain-kain putih menutupi seluruh benda yang tersimpan di dalam sini. Juga jaring laba-laba yang perlahan menumpuk di beberapa titik menambah kesan tak mengenakkan di benak beberapa orang yang berdiri di belakang Wonwoo.

Lelaki bermata sipit yang sejak tadi berdiri di belakang Wonwoo tak mampu menahan getaran yang terasa di sekujur tubuhnya. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di gudang ini, firasatnya mengatakan akan ada hal buruk yang akan terjadi. "Yak, Jeon Wonwoo! Kau gila?"

Wonwoo menatap lelaki bermata sipit itu sekilas. Seringai kecil timbul di kedua sudut pipinya. "Kau takut?" Nada Wonwoo terdengar sinis dan meremehkan. Seolah-olah dialah yang paling pemberani di antara mereka semua. "Yasudah, pulang saja jika takut!"

Lelaki bermata sipit itu terlihat tidak terima dengan semua kata-kata yang keluar dari lelaki bermarga Jeon tersebut. "Enak saja! Jangan sebut aku Prince Sooyoung jika aku tidak berani!"

jawabnya tak dengan nada tak kalah sinis. Wonwoo tersenyum penuh kepuasan mendengarnya.

"Kita lihat mulai hari ini, Kwon Sooyoung!"

"Baik, kita mulai hari ini!"

Wonwoo menepuk pelan kursi yang dipenuhi debu di beberapa sisinya, sebelum duduk di atas kursi yang sudah bersih dari debu tadi. "Baik! Hari ini kita akan memulainya! Aku di gudang sebelah, dan kau di sini, Bagaimana?"

Sooyoung mengangguk semangat. Namun, di dalam hati ia merutuki semua keputusan yang ia buat kali ini. Ada sebuah rasa yang membuncah kala lelaki bermarga Jeon itu mengatakan jika ia takut. Ingin rasanya ia membalas semua perkataan Wonwoo dan mengatakan dengan lantang bahwa itu semua tidak benar.

***

Wonwoo berjalan pelan memasuki gudang yang berada di ujung tangga lantai paling atas di sekolahnya. Tak banyak siswa yang tahu keberadaan gudang ini karena siswa tak akan berani naik ke lantai paling atas di sekolah yang penuh dengan tumpukan meja rusak dan barang-barang tak digunakan lainnya. Tapi demi uji nyali, Wonwoo melakukan itu semua.

Wonwoo menyeringai kecil, ternyata apa yang ditakutkan oleh beberapa siswa di sekolah ini tidak benar. Tidak ada yang namanya hantu dan sejenisnya di sini. Memang, gudang ini sangat gelap. Bahkan, Wonwoo hanya menggunakan senter yang terdapat di ponselnya sebagai alat penerangan.

"Tidak ada apa-apa! Kenapa mereka semua harus takut? Cih, mereka benar-benar penakut!" ujar Wonwoo sambil berjalan ke arah jendela yang sedikit terbuka. Angin sejuk di malam hari langsung menyambut kehadirannya. Dari lantai paling atas ini, Wonwoo dapat melihat keseluruhan isi sekolah.

"Apa yang dilakukan si pengecut di gudang sebelah, ya? Mungkin dia sedang menangis!" Wonwoo terkekeh kecil di akhir kalimatnya. Membayangkan Sooyoung yang meringkuk ketakutan di sudut ruangan membuat semangatnya terus membuncah. Dalam hatinya, ia ingin membuktikan bahwa ia benar-benar seorang laki-laki yang pemberani dan tak ada tandingannya.

Namun, angin dari jendela yang semula tenang dan menghanyutkan, tiba-tiba terasa begitu kuat. Bahkan, kertas-kertas yang ada di dekat jendela ikut berterbangan mengikutinya.

"Kenapa kau begitu sombong?" Suara itu mirip sebuah dengungan di telinga kanannya. Wonwoo menengok ke kanan dan kiri, tapi tidak ada siapa-siapa.

"Mungkin hanya perasaanku saja!" Wonwoo terus bermonolog untuk menyakinkan bahwa apa yang baru saja didengarnya hanya delusi semata. Wonwoo kembali menatap ke arah jendela. Mencoba menghiraukan semua hal-hal aneh yang tadi dirasakannya. Namun, sebuah bisikan tepat di telinga kanannya membuat tubuhnya meremang seketika.

"Kalau aku bukan halusinasi, lalu kau mau apa?"

Wonwoo berteriak seketika. Di sampingnya, berdiri seorang perempuan berambut sebahu dengan wajah yang amat pucat. Ditambah lagi dengan sayatan kecil dengan darah mengering di beberapa bagian lehernya dan tubuhnya yang tidak menapak di atas tanah.

Ingatkan Wonwoo untuk memeriksa kesehatan matanya besok karena yang Wonwoo tahu kali ini, tubuhnya seolah-olah terasa ringan dan pandangannya menggelap. Wonwoo kehilangan kesadarannya.

***

Berita tentang Wonwoo yang pingsan di dalam gudang sekolah menyebar begitu cepat. Bahkan, lebih cepat daripada angin yang berembus. Wonwoo geram, mau ditaruh di mana muka Wonwoo kali ini? Wonwoo yang dikenal dengan siswa yang penuh ambisius dan tak ingin dikalahkan, kini tengah menjadi bahan olok-olokan para siswa lainnya. Hati kecilnya terasa tercubit!

Liat saja, Wonwoo akan kembali ke dalam gudang sekolah lagi malam ini! Tak peduli dengan sosok yang membuatnya pingsan malam kemarin. Wonwoo hanya ingin meluapkan semua rasa kesal dan dongkol dalam hatinya.

"Hei! Kau makhluk menyebalkan, di mana dirimu?" Wonwoo tak main-main dengan ucapannya untuk datang lagi ke gudang malam ini. Tak peduli dengan Sooyoung yang sejak siang tadi mencegah niat buruknya ini.

Beruntung tak terjadi apa-apa dengan Sooyoung kemarin malam dan Sooyoung masih bersyukur akan hal itu, Tuhan masih sayang kepadanya ternyata. Berbeda dengan Wonwoo yang seperti orang kesetanan kali ini. Kali ini juga, Sooyoung tak ingin ikut campur dengan semua ide gila yang ada di otak Wonwoo.

"Masih berani datang ke sini?" Wonwoo menyeringai, suara itu datang lagi. Bahkan lebih cepat dari yang dibayangkannya.

"Pasti! Aku tidak akan takut dengan makhluk rendahan sepertimu!" ujar Wonwoo sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru gudang. Cahaya dari layar ponselnya masih menjadi penerang utama kali ini.

Perempuan itu belum muncul, itulah yang ada di benak Wonwoo. Tak ada tanda-tanda bahwa perempuan itu akan hadir lagi, kecuali lewat suara bisikan yang menghampiri.

Wonwoo membuka jendela gudang secara perlahan sambil menghirup udara malam yang begitu segar. Setidaknya udara malam mampu melunturkan sedikit rasa takut dalam hatinya. Bohong jika Wonwoo sepenuhnya berani, rasa takut itu masih ada walau jumlahnya tidak banyak lagi.

"Hei! Muncul jika kau berani!" Wonwoo menendang kursi yang sudah tak terpakai dengan kuat, hingga menimbulkan bunyi yang mengagetkan.

"Masih mau menemuiku? Aku beri kesempatan jika kau ingin pergi! Tapi jika tidak, jangan salahkan aku dengan kemungkinan yang akan terjadi!" Bulu di sekujur tubuh Wonwoo meremang seketika. Suara itu terdengar tidak main-main.

Wonwoo mendongakkan kepalanya dengan congak. Seolah menyampaikan makna tersirat sebagai jawabannya. "Baik, jika kau memang berani!"

Perempuan itu muncul! Bisik Wonwoo dalam hati. Perempuan itu muncul dengan fisik yang cantik. Luka dan sayatan dalam tubuhnya seolah tidak pernah ada! Matanya begitu cerah. Namun, seolah ada ketakutan yang tersimpan rapi dalam mata kelamnya. Fisik yang sempurna dan senyum yang menenangkan ternyata tak bertahan lama. Perlahan, tubuh perempuan itu berubah seperti sosok yang pertama kali Wonwoo lihat di dalam gudang.

Seringai muncul dari bibir tipis perempuan berambut sebahu itu. Namun, Wonwoo tetap melihat pancaran mata tak biasa. Seolah ada rasa kesepian dan ketakutan yang tetap tak berubah meski fisiknya sudah berubah.

"Masih berani melihatku?"

"Aku tidak akan pernah takut dengan makhluk sepertimu! Kau sudah mati! Kau bukan bagian dari dunia ini lagi! Menganggu saja!" bentak Wonwoo memecah keheningan malam di dalam gudang.

"Kau sombong!" Hanya kata-kata itu yang keluar dari bibir tipisnya. Suaranya halus meski terdengar samar.

Wonwoo tertawa keras, sambil memicingkan mata ke arahnya. "Memang! Ada masalah denganmu jika aku sombong?"

Perempuan itu diam, ditambah lagi dengan kepalanya yang perlahan-lahan semakin menunduk dalam. Namun, beberapa menit kemudian perempuan itu menegakkan kepalanya dengan cepat. Pancaran matanya tajam.

Perempuan itu tertawa dengan keras. Begitu keras hingga rasanya tawa itu berubah menjadi sebuah tawa kemirisan. Perempuan itu terisak pelan. Wonwoo terheran melihatnya.

"Manusia sombong harus mati!" Suara itu terdengar kelam dan mencekam.

Tubuh Wonwoo terasa kelu. Suara itu terdengar bukan main-main. Tapi, Wonwoo terus meneguhkan pendiriannya. Makhluk halus sepertinya bukan bagian lagi dari dunia ini! Tak mungkin bisa melakukan apa pun lagi!

"Aku bisa melakukan apa pun! Bahkan, memusnahkan manusia sepertimu bukanlah hal yang sulit untukku!" Perempuan itu melangkah maju. Tubuh Wonwoo terasa terpojokkan. Ditambah lagi dengan luka sayatan yang ada di sekitar leher perempuan tersebut. Oh, Wonwoo tak tahan lagi jika harus melihat luka itu.

Tatapan mata perempuan itu kosong. Dengan tubuhnya yang tak lagi menapak di atas tanah, tubuhnya terus maju mendekati Wonwoo. Perlahan, Wonwoo melangkah mundur.

"Merasa terpojokkan?"

Wonwoo menggeleng kuat, sebenarnya itu hanya alibi untuk mengalihkan pandangannya dari semua luka sayatan itu. "Tidak! Harusnya, kau pergi saja ke duniamu dan membusuk di neraka! Kau makhluk yang tidak berguna!"

Perempuan itu menahan langkah kakinya. Sebuah pisau tajam terasa menusuk ke dalam ulu hatinya! Tidak, dia sudah tidak bernyawa, lalu kenapa rasanya masih menyakitkan?

"Aaa! Kau makhluk yang tidak berguna! Kau yang harusnya mati!" Perempuan itu berteriak histeris. Seperti ada sebuah energi lain yang memaksanya datang lebih cepat ke arah Wonwoo dan mencekik lehernya dengan kuat.

Meskipun begitu, Wonwoo tetap berusaha melarikan diri. Tak pernah terbayang dalam benaknya hal ini akan datang melengkapi hidupnya. Tidak, Wonwoo tidak ingin nyawanya pergi dengan tidak wajar seperti ini!

"Lepaskan! Kau tidak punya kuasa untuk menghilangkan nyawaku!" Wonwoo terus mencoba melepaskan diri, meskipun tepat di belakangnya ada jendela yang terbuka dengan lebar.

Tangan Wonwoo terasa tak kuat lagi menahan beban tubuhnya. Ditambah lagi dengan cekikan kuat di lehernya. Wonwoo tidak bisa bernapas! Dadanya terasa begitu sesak. Dia butuh oksigen dalam tubuhnya. Tangan Wonwoo tak kuat lagi menahan beban di tubuhnya. Tangannya tergelincir ke belakang. Tubuh Wonwoo terasa melayang.

Bayangan perempuan berambut sebahu juga semakin jauh dari eksistensinya. Namun, seolah ada suara yang mengisi di pendengarannya. Memaksa Wonwoo untuk tetap membuka mata.

***

"Hye In!"

"Ahn Hye In!"

"Hye In, kau bodoh! Soal seperti ini saja tidak bisa!"

"Kau harus lebih banyak belajar lagi, Hye in-ah!"

Tubuhnya terasa menggigil. Seruan itu seolah sudah menjadi makanannya sehari-hari. Hye In tidak bodoh! Hanya saja, dirinya sedikit istimewa. Berkali-kali dirinya mencoba menguatkan diri.

"Eomma, aku mendapat piala lagi hari ini!" Hye In terdiam. Tangannya tak berhenti meremas ujung pakaian yang dikenakannya. Di hadapannya, sepasang suami istri tersenyum lebar sambil mengelus surai panjang perempuan di samping kiri Hye In dengan sayang. Betapa beruntungnya dia!

"Wah! Kau memang putri appa! Kau yang terbaik, Hye Sung-ah!"

Rasanya, Hye In seperti patung tak bernyawa saja di ruangan ini. Ada, tapi seolah tak dianggap. Tak apa, Hye In sudah terbiasa. Yang ia lakukan hanya meremas ujung pakaian yang dipakainya dengan kuat, bahkan semakin kuat. Hye In mengedarkan pandangannya dengan tatapan kosong. Tidak, Hye In tidak gila.

"Eomma, kenapa Hye In menatap kita seperti itu? Aku takut!" Suara itu terdengar menyakitkan bagi Hye In. Tapi Hye In seolah menulikan kedua telinganya.

Perempuan paruh baya itu menyentuh pundak gadis pintar dengan begitu sayang. Lalu, tatapannya beralih pada Hye In yang seolah seperti patung. "Hye In-ah, ayo masuk kamar!" Suaranya memang terdengar lembut. Tapi, memiliki makna tersendiri bagi Hye In.

Agar Hye In pergi dari sini!

Lagi-lagi Hye in mengangguk dengan linglung. Tak apa, bukankah memang sejak dulu seperti itu?

Wanita paruh baya itu tersenyum tipis dan berjalan ke arah Hye in. "Ayo, eomma antar ke kamarmu!" Lagi dan lagi Hye in hanya mengangguk patuh.

"Istirahatlah, besok kau harus sekolah!"

Mungkin yang dimaksud adalah sekolah bagi siswa berkebutuhan khusus, bukan sekolah pada umumnya! Sekolah bersama orang-orang yang berada dalam taraf sejenisnya. Hye In ingin menangis mendengarnya!

Benar saja, tangis itu seketika pecah usai ia menutup pintu. Dadanya terasa sesak. Ia diperlakukan sangat berbeda dengan kakaknya, mungkin hanya karena ia adalah anak berkebutuhan khusus. Fisiknya memang seperti anak berusia 17 tahun pada umumnya. Tapi, mentalnya tak sebagus itu. Kalau kata masyarakat di sekitar tempat tinggalnya, ia adalah anak berketerbelakangan mental.

Tangan Hye In meraba meja belajar yang tak jauh dari pintu. Tangannya meraih sebuah cutter kecil yang ada di balik kotak berharga miliknya. Ya, ia menyebutnya dengan kotak berharga. Karena berisi barang-barang yang paling berharga dalam hidupnya, melebihi apapun itu!

Perlahan, tangannya menyingkap lengan panjang yang menutupi sebagian besar luka di lengan kanannya. Luka itu begitu banyak dan seolah Hye In ingin menambahnya hingga menjadi lebih banyak lagi.

Hye in tidak menangis saat benda tajam itu menembus kulit putih pucatnya. Perasaannya malah jauh lebih membaik jika benda tajam itu tak berhenti membuat luka dalam tubuhnya, lagi dan lagi.

Tangisnya sudah hampir berhenti. Kini, tangannya mulai meraba kotak berharganya lagi. Mencoba mencari barang lain selain cutter yang tadi sudah ia gunakan.

Sebuah buku. Ya, tangannya kembali meraih buku berwarna putih kecoklatan itu dalam dekapannya. Buku ini yang menjadi saksi setiap luka dan rasa sakit yang ia terima sejak dulu. Perlahan tangannya mulai menari di atas buku yang sudah nampak usang tersebut. Menulis bait kata yang menggambarkan isi hatinya kali ini.

Kepada embun yang setia menanti mentari, juga kepada bintang yang tak kunjung jemu menjemput sang malam hari. Hati ini tak lagi sanggup menahan setiap perih yang datang menghampiri. Perih yang terasa mengoyak hati hingga relung-relung yang tak terjamah lagi.

Kepada sang pemilik dunia ini, bolehkah aku mengadu tentang isi hati? Hati yang sudah penuh dengan koyakan dan luka ini, tak sanggup lagi. Hati terasa mati, air mata pun rasanya enggan datang menghampiri pipi yang pucat ini.

Jika boleh diri ini meminta, bolehkah jiwa ini ikut mati? Hidup ini sebuah pilihan, tapi jika batin ini tak ingin lagi. Aku harus apa?

Hidup dan mati adalah dua hal yang amat sulit tuk kupilih saat ini. Jadi, bagian mana yang harus kupilih nanti?

Memang, hidup menjadi perjalanan yang harus dilalui setiap insan yang bernyawa di dunia ini. Tapi, ingatkah kita jika dalam hidup kita mempunyai pilihan yang teramat ingin hati ini lalui? Sama seperti Hye in, Hye In ingin hidup tanpa rasa sakit lagi. Juga, pergi dari semua hingar bingar dunia yang fana ini. Terutama membawa pergi jiwanya dari manusia sombong dan terlalu membanggakan dirinya lebih dari apapun itu!

Ternyata Hye In memilih pergi. Beberapa hari setelah kejadian itu, Hye In lebih memilih menggantung dirinya di gedung sekolah yang tampak sepi. Namun, sebelum itu Hye In kembali menggores bagian tubuhnya lagi. mencoba membiasakan diri dengan semua rasa sakit yang datang menghampiri.

***

Sebuah benturan keras menarik kesadaran Wonwoo. Begitu sakit hingga kepalanya terasa berputar begitu hebat. Wonwoo tak tahu lagi, yang ia rasa matanya kembali memberat dan kesadaranya lenyap di antara keheningan malam.


END

Screenwritter by 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top