EVENT RUMAH_Homie, Bunny, Sweety
Screenwriter: sweedyvdca // Casts: SVT Mingyu, Woori, Seungcheol,
***
Yang kubenci dari musim dingin selain hawa dingin yang menusuk adalah pohon-pohon telanjang di sepanjang jalan. Dahan-dahannya sepi tanpa daun dan dipenuhi butiran salju yang menggumpal seolah berebut turun. Seperti lukisan dalam beberapa sampul novel yang sering dibaca Woori sambil bergelung dalam selimut hangat.
Selain selimut, tempat favoritnya adalah kursi malas di dekat jendela besar apartemen. Dengan memeluk beberapa bantal, matanya melayang ke luar jendela. Menikmati indahnya salju yang mulai menutup seluruh jalanan. Yang menggantung di dahan-dahan bagai renda putih. Warnanya yang kontras saat turun pelan dari langit malam yang gelap.
Keindahan yang memenuhi benaknya dan yang selalu ia ceritakan dengan semangat, meski responku tetap itu-itu saja. Menganggapnya berlebihan atau menyuruhnya berhenti membaca novel fiksi.
Woori-ya... Kau benar. Ini indah.
Seharusnya lebih indah jika kau masih bersinar mengaguminya.
Setidaknya sudah 2 jam tubuhku membeku di taman apartemen. Salju sudah turun seharian ini. Dengan gembira mengawali musim dingin dan menyapa akhir tahun. Ini adalah musim dingin pertamaku tanpa Woori. Lebih tepatnya setelah Woori pergi meninggalkanku dan aku yang tak dapat menahannya pergi.
Kukira aku akan membenci musim dingin beserta seluruh salju yang turun di seluruh kota. Woori mencintai musim dingin. Kami pertama kali bertemu, berkenalan dan bercumbu di musim dingin. Karena itulah kupikir, setiap inchi dari musim dingin akan menikam kenangan kami. Tapi rasanya, aku telah merasakan dingin dan kesakitan itu sepanjang tahun.
Setelah duduk termenung menghitung butiran salju yang turun, aku mulai sadar. Hangatnya segala musim ikut terbawa pergi bersama Woori. Hatiku sepi mendingin. Mungkin kadar dopamin dan oxytocin dalam diri sudah berhenti berproduksi.
Mungkin Mingyu benar. Aku tak lagi mempunyai 'rumah' untuk pulang.
Apartemen yang kutempati bertahun-tahun, tak ubah layaknya tempat singgah istirahat sementara. Tidur, mandi lalu kembali pergi. Tak jarang, aku lebih memilih menghabiskan malam di kantor, di kedai sampai mabuk, atau bahkan menginap di hotel maupun rumah teman.
Untuk apa berpulang jika rumah sama kosongnya seperti jiwa? Tak ada lagi tangan hangat yang akan terbuka lebar saat aku kembali. Woori benar-benar hebat membangun pondasi 'rumah'-ku padanya.
Tak terasa, kakiku sampai di depan pintu. Pintunya berderit pelan membuka ruang gelap gulita. Sangat aneh karena lampu tidak menyala otomatis saat pintu sudah terbuka. Mungkinkah ada yang rusak?
Benar saja. Lampunya perlu menggunakan alat bantu untuk menyala. Setelah menekan beberapa tombol, kini cahaya memancar ke seluruh ruangan. Aku harus menghubungi pihak apartemen untuk masalah lampu.
Seperti biasa, kulepas coat, sepatu dan beberapa baju lapis. Menghabiskan waktu berlama-lama dalam kekosongan sekaligus kedinginan, membuat tenggorokanku kering. Kopi panas rasanya pas dinikmati sebelum berendam mandi air hangat.
"Astaga!"
Jantungku hampir loncat saat melihat sesosok makhluk tergeletak di lantai dekat dapur. Kulitnya yang putih pucat, membalut tubuh yang serupa manusia dewasa. Tubuhnya meringkuk dan terlihat menggigil, mungkin karena tak terbalut kain sedikitpun. Kepalanya ditutupi rambut putih gadingnya sangat halus dan lebat. Dia, terlampau indah untuk hanya disebut sebagai manusia.
Kupijat pelipis kepala perlahan dan mencoba duduk di kursi makan. Bagaimana bisa aku melupakan makhluk yang telah menghuni rumah sejak seminggu lalu? Oh, atau bisa dihitung sejak 3 bulan yang lalu, sebelum tahu bahwa kelinciku dapat berubah bentuk.
Tubuhnya mulai bergerak tak nyaman. Mata yang tertutup entah sejak kapan, mulai terbuka perlahan. Cantik, berbinar dan sempurna. Seperti seluruh dunia dapat tersedot oleh keindahan matanya. Dan mata indah itu mulai menemukan keberadaanku yang tak jauh darinya.
Senyumnya merekah saat mengetahui bahwa yang mengganggu tidurnya adalah laki-laki dengan tampilan urakan. Bibirnya tipis dan mengembang sempurna. Berwarna merah seperti apel dalam lukisan. Dan kini rambut putihnya mulai berubah dan memancarkan warna merah muda. Sepertinya itu tanda bahwa ia sedang senang.
Dengan tertatih, ia bangun berdiri lalu langsung menerjang tubuhku. Pelukannya erat dan hangat ditambah dengan jilatan sana-sini. Meski tadi terlihat kedinginan, tubuhnya sangat hangat seperti dipenuhi bulu tak kasat mata. Dengan bentuk yang seperti ini, ia masih tetap kelinci manis pemberian Seokmin 3 bulan lalu.
"Berhenti, Hannie. Kau bau."
Aku bohong. Harumnya bahkan melebihi aroma stroberi segar. Tapi posisi ini sangat membuatku tidak nyaman, terlebih ia tidak mengenakan baju sehelai pun. Walaupun kelinci atau makhluk jejadian apapun itu, tetap saja gerakannya dapat membuat darahku berdesir aneh.
Kepalanya mendongak dan ekspresinya berubah. Ada raut khawatir di sana. Terlebih rambutnya kini mulai berubah kekuningan. Ah, apakah ia khawatir padaku karena pulang sangat terlambat?
"Kau khawatir padaku?"
Bodoh! Sejak awal ia tak dapat mengeluarkan kata sepatah pun. Meskipun beberapa kali menggerakkan bibir seakan ingin mengatakan sesuatu, gerak tubuhnya yang lain seakan berbicara dengan gamblang. Terutama ekspresi wajah yang selalu dapat terbaca dan rambutnya yang berubah-ubah sesuai emosi. Seperti sekarang, mengedipkan mata indahnya berkali-kali menandakan jawaban 'iya'.
"Aku baik-baik saja. Apa kau lapar?"
Sudah kubilang, bonding antara kami seakan saling mengerti tanpa kata. Kini, dengan semangat ia menarikku masuk ke dalam dapur lalu menunjuk ke arah kulkas. Rambutnya kembali berwarna merah muda.
"Oke, tapi setelah kau memakai baju."
Dan akhirnya, di sinilah kami. Duduk berhadapan di meja makan. Dengan Hannie yang telah memakai kemeja putihku yang melahap tubuh kurusnya, sambil memakan buah-buahan dengan lahap. Senyumnya terus mengembang bahagia. Rambut dan wajahnya berwarna merah muda manis dan tak berhenti memancar. Sedangkan aku, masih dengan setelan yang sama melahap ramen panas.
Hannie sebelumnya adalah sejenis kelinci holland lop yang Seokmin berikan padaku secara cuma-cuma. Ia ingin dengan memelihara binatang peliharaan, aku mempunyai alasan untuk kembali ke rumah tepat waktu. Bukan meratapi kesedihan dengan mabuk sampai pagi, atau melakukan hal-hal aneh selepas pulang kantor.
Benar saja. Hannie merubahku secara perlahan. Tingkah lucunya, manjanya, lompat sana-sini penasaran dengan segala hal, membuat Choi Seungcheol rasanya kembali hidup. Ada sesuatu yang hangat menguar dalam diriku semenjak Hannie datang. Setelah sekian lama, ada yang membuatku semangat untuk kembali ke rumah. Wajah polos berwarna putih salju dengan telinga merunduk yang menungguku pulang.
"Jangan makan terburu-buru. Kau bisa sakit perut nanti."
Yah... sejak kapan binatang menuruti ucapan majikannya, kan? Meski Hannie sangat mungkin mengerti ucapanku, aksi makannya tidak melambat sama sekali. Dengan cepat ia memasukkan potongan pepaya, stroberi, kiwi, dan semacamnya ke dalam mulut tanpa jeda. Ia tidak berubah, meski wujudnya sangat jauh dari bentuk kelinci.
Namanya Sweety. Makhluk yang ada di depanku adalah Sweety. Sejenis peri telur yang dapat berubah bentuk menyerupai makhluk lain yang memecahkannya. Ia tetap Hannie si kelinci pada siang hari. Lalu kembali ke wujud asalnya saat malam datang.
Jika pertanyaannya kemana Hannie sekarang, jawabannya tepat di depanku. Hannie memakan peri telur itu seminggu yang lalu saat kabur dari rumah. Alhasil, peri telur itu memiliki wujud Hannie seutuhnya tanpa perlu berubah bentuk. Buruknya, peri itu tetap memiliki perilaku Hannie dalam tubuhnya. Kebiasaannya, kemampuannya, ingatannya, semua berasal dari Hannie.
Terdengar aneh? Sampai sekarang pun, aku masih tidak percaya. Namun, begitulah kenyataannya. Hasil riset berhari-hari setelah menemukan Hannie dengan sempurna berubah bentuk di depan mataku.
Tepat satu minggu yang lalu, aku melihatnya sendiri saat tubuhnya berubah bentuk. Jemari kaki dan tangannya tak lagi mempunyai cakar namun jemari halus nan lentik. Telinga yang menjuntai kebawah, berubah menjadi rambut. Bulu lebatnya menghilang, berganti kulit putih pucat telanjang. Sempurna, indah, tak terbantahkan.
Bagaimanapun bentuknya, ia masih binatang peliharaanku bukan?
"Maaf, hari ini aku pulang terlambat. Kau pasti kesepian." Aku mulai membuka pembicaraan setelah melihatnya selesai makan.
"..."
"Siang tadi, salju turun lebat. Banyak kendaraan yang berhenti beroprasi karena terlalu berbahaya dan membuat beberapa orang di kantor izin tidak dapat masuk. Itu membuatku sangat kelelahan hari ini." Seperti biasa, aku memang sering menceritakan segala aktivitasku di luar. Baik saat Hannie masih berwujud kelinci maupun sekarang.
"..."
"Lalu aku pergi ke taman depan. Duduk lama di sana memikirkan sesuatu. Tak sadar menghabiskan banyak waktu di sana. Aku minta maaf, Hannie," lanjutku meski masih tanpa jawaban.
Hannie menatapku lembut lurus-lurus. Rambutnya kini kembali putih gading. Kemeja yang dipakainya terlihat transparan karena terlalu senada dengan kulit. Ia diam memerhatikan, lengkap dengan bibirnya mengulum senyum hangat.
"Padahal kau menungguku pulang hingga beku kedinginan. Harusnya kau marah, tapi kau malah lari memelukku. Khawatir karena aku pulang terlambat. Hannie, kau mirip Woori."
"..."
"Terima kasih, sudah menjadi alasanku untuk selalu pulang ke rumah. Setidaknya dalam beberapa bulan belakangan."
"..."
"Ah, benar. Aku juga sudah lama tidak pulang ke Daegu. Apa ibu akan berlari memelukku sepertimu tadi?"
Rambut Hannie berubah menjadi sedikit keunguan. Kepalanya miring sedikit dan menatapku lekat-lekat. Ia sedang penasaran dengan sesuatu.
"Kenapa aku tidak pulang?"
"..."
"Aku belum siap melihat Woori lebih bahagia di Daegu bersama orang lain, dibanding bersamaku di sini, Han."
"..."
"Woori sudah menemukan rumahnya, sedangkan aku masih berharap hal yang sia-sia."
"..."
Hannie masih mendengarkan dengan serius, tapi tetap membisu. Aku mengerti sekarang bagaimana perasaan kosong Woori saat bercerita panjang padaku, namun tak ada tanggapan sama sekali. Ribuan alasan kubuat untuk membenarkan kebiasaan buruk itu. Padahal ia hanya ingin didengar, ditimpali sesekali, diberi semangat beberapa kata.
Aku merasakan hangatnya 'rumah' dari Woori. Tapi ruangan kosong dariku yang selalu ia dapatkan.
Hannie bangun dari kursinya saat melihat air mata bodohku terjatuh. Tangan kurusnya memelukku, lalu duduk di atas pangkuan. Senyumnya masih sama seakan mengerti dan menyemangati. Tubuhnya yang menempel semakin hangat saat aku meraung lalu balas memeluknya.
Benar. Aku merindukan sebuah 'rumah'. Aku butuh 'rumah' untuk tempat kembali yang baru. Rumah yang memelukku saat aku tidak baik-baik saja.
"Hannie, maukah kau menjadi rumahku?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top