HEART (Oneshoot)
Red
.
.
.
Gadis dengan mata hazel serta surai hitam legam sebatas punggung itu melongokkan kepala saat bel apartmennya berbunyi. Dia terdiam sesaat di balik pintu dengan dahi yang mengernyit. Ruang tengah apartmennya sudah gelap karena jika tidak salah, sekarang sudah pukul sebelas malam.
Penasaran, Han Ara memutuskan untuk melangkah turun dari lantai dua dan berjalan menuju pintu tanpa curiga. Gadis itu sesekali menguap dan mengerjap-ngerjap mencoba memperoleh kesadarannya.
Dia baru saja membuka pintu apartmen saat mendapati sebuah kotak berukuran sedang tergeletak di depannya.
Dia menunduk, menatap bingung kotak tersebut lalu kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, tapi tidak mendapati siapa pun disana.
Koridor gedung tampak begitu lengang hingga dia memutuskan untuk mengambil benda tersebut.
Dahinya mengernyit semakin dalam sembari membolak balik kotak itu mencari-cari nama pengirim. Namun, dia tidak menemukan apapun selain hanya noda merah di ujung kotak yang dia tidak tau apa isinya.
"Siapa yang mengirim paket ini?" Gumamnya lirih sembari menutup pintu dan membawa kotak itu masuk.
Ara mendudukkan tubuhnya di sofa ruang tengah setelah menghidupkan lampu lalu kembali mengernyit bingung. Seingatnya dia tidak memesan apapun beberapa hari ini, dan dia tau betul orang tuanya tidak akan repot-repot mengirimkan sesuatu jika mengirim uang saja bisa. Lalu siapa yang mengirimkan kotak itu padanya?
Dia menghela nafas dalam lantas mulai membuka lakban yang merekat sebelum kedua tangan mungilnya membuka bagian atas kotak tersebut.
1 detik ...
3 detik ..
"AAAAA!"
Ara terlonjak dan melemparkan kotak itu jauh-jauh lalu meloncat dari posisinya. Matanya membelalak lebar dengan bibir bergetar serta kedua tangan menutupi mulutnya tak percaya.
Tubuhnya bergetar, kakinya terasa melemas dan dia hanya bisa terduduk merosot ketakutan menatap benda seukuran kepalan tangan berwarna merah sudah tergeletak di lantai dingin rumahnya. Darah segar yang masih berlumur serta berceceran dimana-mana. Perutnya mendadak mual saat aroma amis menyeruak ke dalam inderanya.
Itu jantung.
Ya. Melihat sekilas pun Ara tau kalau itu adalah jantung. Bukan jantung hewan melainkan jantung manusia yang masih segar seperti baru saja di tarik dari tubuhnya.
.
.
***
.
.
1 tahun kemudian ...
.
.
Pagi yang sendu dengan langit berwarna kelabu ketika seorang gadis cantik berambut hitam pekat berjalan menunduk memasuki kelas. Sorotnya datar dan terkesan kosong meski siapa pun tak bisa mengelak kalau parasnya begitu mempesona.
Jika harus dideskripsikan, dia punya bola mata bulat dengan iris hazel, hidung mungil serta bibir penuh merah plum. Tubuhnya tinggi dan kulitnya selembut bayi. Benar-benar seperti boneka hidup.
Namanya Han Ara, gadis tercantik di sekolahnya serta incaran para lelaki. Namun, anehnya Ara tak pernah merespon satu pun laki-laki yang mencoba mendekatinya. Dia terkesan menjauh dan tidak peduli pada siapa pun yang mencoba mendekat, seolah mereka adalah virus yang harus dia jauhi.
Mereka tidak tau alasan Ara bersikap dingin. Teman-teman kelas dan orang-orang di sekolah hanya tau kalau Ara memang tidak suka jika ada laki-laki yang mendekat ke arahnya lebih dari semeter.
Park Jimin salah satunya. Siapa pun tau kejadian beberapa bulan lalu ketika Jimin mencoba iseng mendekati Ara, dan seperti sebuah musibah saat dari jarak lima meter Jimin berjalan ke arahnya, gadis itu sudah berteriak dan memaki dengan kalimat yang tak dapat siapa pun mengerti.
"Berhenti mendekatiku jika kalian tidak ingin mati!"
Oh ayolah ...lelucon macam apa itu?
Kala itu Jimin dan teman-temannya hanya tertawa keras dan mencibir padanya. Menganggap Ara adalah gadis gila hingga rumor itu beredar dan semua orang mulai menjauhinya.
Gadis itu mendudukkan tubuhnya pada bangku pojok paling belakang. Wajahnya menoleh keluar jendela.
Dia menarik napas dalam, mencoba mengabaikan semua obrolan teman-teman sekelas yang menurutnya sudah keterlaluan.
"Lihatlah! Dia cantik tapi menakutkan"
Itu suara Jimin yang disusul tawa teman-temannya. Ada Suga yang hanya mencibir kecil, Namjoon yang menatap tak suka ke arahnya, Jungkook yang tersenyum manis menatap Ara serta Kim Taehyung yang terbahak bersama Jimin.
"Benar! Jangan pernah mendekatinya!"
Suara berat Taehyung disambut kekeh kecil dari Jungkook yang kini justru menoleh ke arah keempat temannya.
"Jangan bicara begitu," laki-laki berambut hitam pekat dengan gigi kelinci itu kembali menoleh pada Ara, menatap lekat dengan sorot yang tak dapat di artikan lalu tersenyum tipis.
"Kalian harus tau, gadis cantik memang sulit didekati."
Suga dan yang lainnya menertawakan ucapan Jungkook barusan.
"Hey! Jangan bilang kau menyukainya," tebak Namjoon yang lantas membuat Jungkook terkekeh pelan lalu berjalan pergi meninggalkan kelas.
"Bocah itu benar-benar polos."
"Benar! Seperti tidak ada gadis lain saja," Jimin menambahi.
"Aku tidak akan pernah tertarik dengan gadis dingin seperti dia."
Suga lantas mencibir ke arah Han Ara yang kini tampak tengah membaca buku di mejanya.
"Ku harap kau memegang ucapanmu."
Ketiga orang itu menatap ke arah Taehyung yang kini menoleh pada gadis itu, membuat ketiga temannya mengernyit.
"Hey! Kau terlalu serius Tae," canda Jimin sembari meninju pelan lengan Taehyung, namun laki-laki itu hanya terkekeh kecil lalu menatap datar ke arah pintu kelas.
***
Jungkook baru saja selesai mandi dan berganti pakaian, rambutnya bahkan masih basah dan kini dia tengah mengeringkan rambut dengan handuk ketika suara bel rumahnya berbunyi.
Laki-laki itu spontan menoleh dengan dahi mengernyit lalu berjalan menuju pintu. Alisnya terjungkit naik ketika mendapati seseorang berjaket hitam dengan tudung yang menutupi kepala kini berdiri di hadapannya.
Sosok itu mendongak lantas tersenyum tipis membuat Jungkook ikut tersenyum ke arahnya.
"Oh Tae! Masuklah."
Taehyung mengangguk saat Jungkook melangkah lebih dulu membiarkan Taehyung berjalan di belakang sembari mengawasi gerak-geriknya.
"Ada apa? Tumben kemari."
Jungkook mendudukkan tubuhnya di sofa, membiarkan Taehyung menatap seisi bangunan apartmennya. Meski mereka tinggal di gedung yang sama, tapi harus Jungkook akui, ini adalah pertama kali teman sekelasnya itu mampir ke tempatnya.
"Tadinya aku ingin minta bantuanmu," jawab laki-laki bersurai cokelat dengan iris tajam itu masih dengan berdiri menatap Jungkook.
Jungkook mengernyit sembari menghentikan pergerakannya mengeringkan rambut.
"Minta tolong apa?"
"Aku harus memasang lampu di ruanganku, tapi aku butuh bantuanmu untuk memegangi pijakan."
"Oh"
Jungkook berjalan ke kamar. Meletakkan handuk disana lalu kembali keluar dan tersenyum ke arah Taehyung.
"Baiklah." Taehyung tersenyum kecil lalu berjalan lebih dulu.
.
.
.
"Jadi ini rumahmu?"
"Hm," Taehyung mengangguk kilas seraya tersenyum lebar, membiarkan Jungkook menatap sekitar.
Rumah Taehyung lebih terkesan klasik karena perabotan yang dia gunakan rata-rata bergaya vintage. Ada beberapa lukisan abstrak di dinding, hiasan-hiasan kecil dari kayu yang diletakkan di meja serta sebuah figura foto di sebelahnya.
"Seleramu lumayan," puji Jungkook masih dengan melihat sekitar sementara Taehyung mengambilkan sebotol minum untuknya.
"Kau mau minum apa? Aku hanya punya ini."
"Tidak perlu repot-repot. Lagi pula aku cuma mau bantu memasang lampu"
Taehyung mengedikkan bahu lalu meletakkan botol itu di atas meja ruang tengah rumahnya.
"Jadi dimana ruangannya?"
"Kau buru-buru sekali," Taehyung terkekeh sembari menuangkan minuman berwarna gelap --yang Jungkook tebak itu sejenis anggur-- ke dalam gelas.
"Aku harus mengerjakan tugas sekolah setelah ini."
Taehyung mengangguk-anggukkan kepala lalu menunjuk sebuah pintu yang ada di ujung lorong dalam apartmentnya.
"Itu ruang pribadimu?"
Taehyung lagi-lagi mengangguk lantas membiarkan Jungkook lebih dulu berjalan kesana sementara dia tersenyum menyeringai.
"Memang ini ruangan apa? Kamarmu?"
"Bukan."
"Lalu?"
"Masuk saja jika penasaran."
Jungkook tak menjawab, justru membuka knop pintu ruangan itu.
Gelap.
Itu adalah hal pertama yang dia tangkap lalu di susul pengap serta aroma aneh yang entah kenapa membuatnya tanpa sadar menahan napas.
"Tae?"
"..."
"Ini ruangan apa sih?"
"..."
"Tae?"
Jungkook masih berjalan masuk sembari tangannya mencari-cari saklar lampu.
Cklek!
Laki-laki ituk mendongak dan mendapati lampu ruangan menyala terang.
Tunggu! Bukankah tadi Taehyung bilang lampunya rusak?
Belum sempat menjawab kebingungannya sendiri, kini kelopak mata Jungkook membelalak ketika mendapati pemandangan di hadapannya.
Ada seonggok manusia terbaring di dalam bath up dengan posisi tengkurap serta bola mata yang membelalak. Namun, yang paling membuat Jungkook terkejut adalah sosok itu sudah setengah kering dan di penuhi dengan darah.
Kakinya lemas, sendinya terasa lepas dan tubuhnya bergetar tiba-tiba. Jantungnya berdetak kencang dengan kakinya yang sebisa mungkin mundur perlahan.
"I-ini ..."
Jungkook merasa lidahnya kelu. Perutnya mendadak mual hingga ia berbalik hendak berlari. Namun langkahnya terhenti, saat mendapati di hadapannya Taehyung berdiri diam dengan sorot dingin.
"T-taehyung?"
Jungkook tergagap, tubuhnya mundur perlahan saat Taehyung menyeringai dan berjalan mendekat. Sialnya, Jungkook baru menyadari kalau sekarang Taehyung membawa pisau di tangannya.
"T-tae apa yang kau lakukan?"
Demi Tuhan! Jungkook ketakutan bukan main. Jantungnya berdetak semakin tak beraturan dengan peluh sudah membanjir di pelipisnya ketika Taehyung semakin dekat, membuatnya terpojok dan jatuh terjungkal.
"Taehyung ku mohon jangan mendekat!"
Lagi, Taehyung justru menyeringai.
Laki-laki itu tersenyum tipis ke arah Jungkook, tapi entah kenapa Jungkook malah semakin takut.
"Jangan mendekat!"
Jungkook berteriak ketakutan. Sungguh! Ia merasa benar-benar terancam.
"Bukankah sudah ku katakan sebelumnya?"
Suara berat Taehyung yang terdengar mengerikan itu mampu membuat Jungkook bingung sekaligus ngeri. Laki-laki itu kini berdiri di hadapannya sementara Jungkook berusaha berdiri.
"Apa maksudmu?! Kenapa kau melakukan ini?!"
Taehyung menatapnya tajam lalu menjilat pisau dalam genggamannya. Lidahnya sedikit tergores dan itu terasa menyayat, hingga Jungkook sedikit memejamkan mata ketakutan.
"Aku sudah ingatkan untuk tidak menyukai Han Ara," Jungkook mengernyit.
"Tapi kau masih melakukannya"
Kali ini iris Taehyung berkilat marah, membuat Jungkook mulai menyadari arah pembicaraan laki-laki itu.
"T-tae aku bisa jel-"
Crottt!
"AKH!"
Darah segar membanjir dan menodai kaos putih yang Jungkook kenakan saat dengan gerakan tiba-tiba Taehyung menusuk organ vitalnya.
Cairan merah pekat itu mengenai wajah dan tangan Taehyung, tapi tanpa rasa jijik dia justru menjilatnya sebelum memutar pisau yang masih menancap di dada Jungkook.
"Kau seharusnya tidak menyukainya bodoh!"
Taehyung menusukkan pisaunya semakin dalam, memutar hingga sahabatnya itu membelalak kesakitan. Dia lantas mendorong tubuh Jungkook yang sekarat ke lantai.
Taehyung berjongkok, menyaksikan wajah kesakitan dan sekarat sahabatnya lalu tersenyum menyeringai.
"Maafkan aku, Jeon."
Crottt!
Taehyung merogoh lubang di dada Jungkook dan mengoyak jantung laki-laki itu dengan tangannya hingga Jungkook meregang nyawa.
Taehyung menyeringai, menunjukkan wajah bengis lalu menarik kasar organ vital Jungkook. Dia terkekeh, menatap segumpal darah seukuran tangan yang baru saja dia cabut, mengakibatkan darah Jungkook berceceran di lantai ruangan itu.
"Kau terlalu berani, Jeon."
Setelahnya, dia berjalan mengambil kotak di sudut ruangan dan meletakkan jantung Jungkook disana.
Taehyung menjilati tangannya tanpa rasa jijik, lalu membersihkan sisanya dengan kain sebelum membungkus rapi kotak itu.
Laki-laki itu terkekeh, suaranya terdengar menakutkan, lalu dia menoleh ke arah mayat lain di ruangan itu.
"Aku membawakanmu teman hari ini, hyung."
***
Ara baru saja berniat keluar untuk membeli sesuatu ketika iris hazelnya mendapati satu kotak berwarna cokelat tergeletak di depan pintu apartmennya. Tanpa sadar dia membelalak takut, tangannya reflek berpegangan pada sisi pintu dengan kepala yang menoleh ke kanan dan kiri namun seperti kejadian satu tahun lalu, Ara tak menemukan siapa-siapa disana.
Cepat-cepat dia menutup pintu apartmennya. Berdiri ketakutan dengan bola mata yang bergerak gelisah serta nafas yang tak beraturan.
Tangannya bergetar, namun dia berusaha mencari-cari ponsel dalam saku jaketnya. Tergesa-gesa, Ara mencoba menelfon seseorang, menempelkan benda persegi putih itu di telinga kiri sembari menunggu tersambung dengan orang di seberang sana.
Ara menggigiti ujung kukunya gugup sembari menghentak kakinya sesekali tak sabaran. Sungguh! Dia benar-benar takut sekarang, bola matanya bahkan sudah meradang merah menahan tangis.
Gadis itu mengerjap ketika suara seseorang menyahut di seberang.
"Oppa!"
Panggilnya dengan suara parau dan bibir bergetar.
"Ara, ada apa? Kenapa suaramu seperti itu?"
Ara tak langsung menjawab, justru melirik sekilas ke arah pintu di belakangnya.
Bayangan setahun lalu ketika di apartmentnya yang lama, dia menemukan kotak berisi jantung manusia membuatnya cemas bukan main.
"Oppa..."
"Ara, katakan sesuatu."
Ara tak bisa menahan, air matanya benar-benar turun dan dia terisak ketakutan.
"Han Ara! Katakan! Ada apa?!"
"Oppa, aku takut ..."
Hening, seseorang di seberang sana terdiam sesaat hingga dia kembali menyahut.
"Baiklah. Tunggu beberapa menit lagi aku sampai sana. Jangan kemana-mana"
tuttt ...
Setelahnya Ara hanya bisa terduduk merosot sembari memeluk kedua lutut dan menunduk takut.
***
Gedung apartmen gadis itu seketika ramai saat beberapa polisi dan tim forensik datang. Ruang apartmennya bahkan sudah diberi garis kuning, tak mengijinkan siapa pun melewatinya.
Han Ara hanya terdiam, menunduk ketakutan dengan tubuh bergetar dalam rangkulan Hoseok -sepupunya.
Laki-laki itu sesekali mengusap bahu Ara, mencoba memberikan ketenangan sama seperti setahun lalu ketika dia mendapati Ara berteriak histeris dan ketakutan dalam apartmennya.
Ya. Hoseok tau kejadian satu tahun lalu. Laki-laki itu menarik napas dalam, mengamati polisi dan tim forensik yang tengah mencari bukti atau sidik jari yang mungkin ditinggalkan si peneror.
Dia lantas menunduk, menilik wajah Ara yang masih pucat pasi sama seperti ketika tadi dia menemukannya.
"Tenanglah. Kau aman. Aku disini dan polisi pasti akan segera menemukan pelakunya."
Ara tak menjawab, pikiran sedang tak bersamanya. Sorotnya kosong sesaat hingga dia mendongak menatap Hoseok cemas.
"Oppa ..."
Hoseok menjungkitkan alisnya.
"Jika itu benar jantung manusia, bukankah artinya ada seseorang yang terbunuh?"
Skak!
Benar. Ara memang memikirkan itu sejak tadi. Ralat, sejak setahun lalu. Dalam kurun waktu yang lama itu dia terbelenggu dalam lembah hitam, menghabiskan waktu dengan rasa takut dan kecemasan.
Ara tak mengerti, apa motif si pelaku menerornya, yang Ara tau hanya setahun lalu orang itu meninggalkan sepucuk surat dalam kotaknya, mengatakan pada Ara untuk tak dekat dengan laki-laki mana pun.
Sejak saat itu, Ara menjadi gadis pendiam dan tertutup. Dia terkesan menjauh, bukan tanpa alasan. Dia benar-benar tak ingin kejadian itu terulang lagi.
Meski Ara tidak mengerti, dia hanya mencoba menjauhi kemungkinan terburuk karena setelah setahun lamanya, polisi bahkan tak menemukan jejak pelaku. Itu semakin membuatnya khawatir.
Namun hari ini, semuanya kembali terjadi.
Demi Tuhan! Dia merasa benar-benar terancam. Hidupnya seperti terus diawasi dan jika ia melakukan kesalahan sedikit saja itu akan membahayakan orang lain. Siapa yang mau hidup seperti itu? Tidak ada. Begitu pun Ara.
Gadis itu kembali memeluk Hoseok erat, menangis tersedu-sedu dalam dekapan sepupunya itu, membuat Hoseok hanya terdiam sembari berpikir keras mencoba mengingat-ingat apa sebenarnya yang terjadi pada adiknya.
Selama setahun Hoseok tak pernah diam, dia terus mencari tau tentang kasus teror adiknya dan entah benar atau salah, Hoseok yakin dia menemukan suatu kejanggalan.
Laki-laki itu terdiam, lalu menarik bahu Ara menjauh dari dekapannya dan menatap serius bola mata gadis itu.
"Ara, tolong katakan padaku."
Hoseok terlihat benar-benar serius sekarang, membuat gadis itu menghentikan tangis dan menatapnya bingung.
"Apapun yang kau tau, ku harap kau mau menjawab jujur."
Hoseok mencoba meyakinkan dan Ara mengangguk patuh. Laki-laki itu menarik napasnya sejenak, sedikit ragu namun akhirnya dia kembali menatap gadis itu serius.
"Katakan! Dimana Kim Seokjin?"
Deg!
Ara terdiam, bola matanya mengerjap.
"Katakan apapun yang kau tau tentang Seokjin. Dimana dia sekarang? Bukankah kalian sempat hampir berpacaran?"
Ara menelan susah payah salivanya, tangannya mengepal erat di sisi tubuh dan pikirannya mengawang jauh pada sosok laki-laki yang pernah mengisi hari-harinya itu.
Kim Seokjin, dia adalah senior di sekolahnya yang dulu. Laki-laki tampan dengan senyuman manis yang mampu mengaduk isi perutnya. Seseorang yang begitu mencintai dan dicintainya dan Ara ingat, sebelum kejadian itu Seokjin sempat mengirim pesan padanya.
'Ara, maafkan aku. Mungkin kau terlalu berharap lebih untuk hubungan kita tapi aku benar-benar menyesal karena harus pergi dan tinggal di luar negeri. Jangan pernah mencariku dan ...lupakan aku.'
"Ara."
Gadis itu tersadar dari lamunan panjangnya tentang Seokjin, tak menyadari likuid bening sudah kembali menumpuk di kelopak matanya.
"D-dia ..."
"Katakan! Dimana Seokjin?"
Ara tampak ragu, sejujurnya dia juga tidak tau negara mana yang kini menjadi tempat tinggal laki-laki itu. Seokjin menghilang, seperti angin dan Ara bahkan tak bisa menerka keberadaannya.
Hoseok sedikit memicing, lantas menilik wajah sepupunya itu semakin serius.
"Maafkan aku, Ara. Tapi aku benar-benar merasa ada yang tidak beres dengan menghilangnya Seokjin."
Gadis itu mendongak, mengernyitkan dahi menatap Hoseok yang kini tampak berpikir.
"Kau pernah bilang dia pergi ke luar negeri, tapi ..."
Ara semakin mengernyit, air mukanya penasaran hingga tanpa sadar dia menahan napas.
"Aku tak menemukan laporan apapun soal keberangkatannya ke luar negeri."
Deg!
"Bukankan ini aneh?"
.
.
***
.
.
Sudah dua hari setelah kejadian itu Ara tak berangkat sekolah. Dia bahkan tidak tinggal di apartmentnya karena Hoseok tidak ingin Ara sendirian, jadi dia menyuruh gadis itu tinggal bersamanya.
Hari ini dia memutuskan untuk kembali ke rutinitasnya, mencoba melupakan kejadian itu dan menyerahkan kasusnya pada Hoseok yang notabenya adalah polisi dan tim yang bertugas menangani kasusnya.
Gadis itu berjalan pelan melewati koridor sekolah, mengabaikan semua gunjingan karena sekarang otaknya masih dipaksa memikirkan soal Seokjin dan keganjilan-keganjilan lainnya.
Dahinya mengernyit, bola matanya mengerjap ketika langkahnya terhenti di depan pintu kelas dan mendapati segerombolan anak laki-laki mendadak diam melihatnya.
Dia tau, mereka itu yang beberapa hari lalu juga membicarakannya. Entah kenapa, tapi Ara terfokus pada satu sosok berambut kecoklatan yang kini menatapnya datar dan terkesan dingin.
Ara merasa d'javu. Kepalanya tiba-tiba pusing hingga dia memilih melangkah cepat menuju bangku.
"Hey! Aku tidak melihat Jungkook beberapa hari ini."
"Benar. Kemana bocah itu?" Jimin menyahut pertanyaan Namjoon, mereka hanya saling menatap bingung lalu mengedikkan bahu.
"Kau tau dimana dia Tae?" kali ini suara Yoongi yang menoleh ke arah Taehyung.
"Bukankah kalian satu gedung?"
Taehyung hanya mengangkat bahunya acuh, lalu iris beningnya menatap punggung Ara yang berjalan sedikit limbung keluar dari kelas.
"Kau itu bagaimana? Dia temanmu juga dan bisa-bisanya kau tidak tau kenapa dia tidak sekolah dua hari ini"
Taehyung hanya terkekeh menjawab pertanyaan Namjoon. Dia lantas berdiri dengan kedua tangan yang menyusup ke dalam saku celana.
"Kami tak pernah benar-benar berteman." Jawabnya acuh lantas berjalan pergi meninggalkan ketiga orang yang kini menatapnya bingung.
***
Ara memejamkan matanya kilas, membiarkan angin pagi itu menyapu permukaan wajahnya dan memberikan sedikit ketenangan dalam batinnya yang selalu merasa gelisah. Rambutnya menari, hingga lamat-lamat dia membuka kelopaknya.
Tiba-tiba, bayangan wajah laki-laki yang tadi menatapnya berkelebat dalam benak Ara, membuat gadis itu mengernyit tipis lalu berpikir keras.
Dia yakin, entah dimana tapi dia pernah melihat laki-laki itu.
Ya. Mereka memang sekelas, tapi Ara tak pernah benar-benar mengenal teman-temannya. Oh ayolah, dia memang tak punya teman.
Gadis itu menunduk, merasakan degup jantungnya yang berirama mengingat tentang Seokjin. Laki-laki itu tampan dan punya sorot yang ...
Deg!
Ara mengerjap. Tanpa sadar pegangannya pada pembatas gedung mengerat.
Kim Seokjin, bukankah dia punya seorang adik laki-laki? Dan jika Ara tak salah ingat, namanya Kim Taehyung.
Ara semakin melebarkan kelopak matanya. Tiba-tiba percakapan segerombolan laki-laki di kelasnya tadi mengiang dalam inderanya.
"Hey! Aku tidak melihat Jungkook beberapa hari ini"
"Benar. Kemana bocah itu?"
"Kau tau dimana dia Tae?"
"Bukankah kalian satu gedung?"
Benar. Bukankah salah satu dari mereka memanggil laki-laki itu dengan sebutan 'Tae'? Dan entah hanya perasaannya saja, tapi Ara merasa teman sekelasnya itu punya iris dan kelopak mata yang mirip dengan Seokjin.
Apa ini sebuah kebetulan?
Kriiinggg!!!
Suara dering ponsel menginterupsi lamunannya. Gadis itu merogoh saku lalu menatap nomor yang memanggilnya.
"Hallo, oppa"
"Ara dengarkan aku baik-baik"
Ara mengerjap, merasa bingung karena suara Hoseok terdengar serius dan terkesan buru-buru.
"Ara kau mendengarku?"
"Ya, oppa. Ada apa?"
"Dengarkan aku baik-baik dan jangan terkejut"
Kening gadis itu semakin berkerut dalam. Dia benar-benar tidak mengerti apa yang Hoseok katakan, tapi dia merasa cemas tiba-tiba.
"Kami sudah menemukan mayat Seokjin."
Deg!
1 detik .. Ara terdiam
3 detik .. gadis itu merasakan nyeri dalam rongga dadanya.
"Ara kau masih disana?"
Ara tersadar, dia menunduk tanpa sadar membuat likuid bening menetes dari kelopak matanya.
"Y-ya, oppa."
"Aku harap kau tidak terkejut lagi. Tapi selain menemukan Seokjin, kami juga menemukan mayat lain disini."
Ara kembali bingung, pikirannya mengawang-awang.
"Dia Jeon Jungkook teman sekelasmu."
Lagi, jantungnya terasa mencelos.
Entah kenapa, Ara justru teringat seseorang yang beberapa menit lalu dipikirkannya hingga dia mendengar derit pintu atap gedung dibuka, membuatnya reflek berbalik dan membelalakkan mata.
"Jauhi Kim Taehyung. Apapun yang terjadi tetap berada di keramaian karena kami akan segera sampai di sekolahmu"
Fokusnya tak lagi pada suara Hoseok di seberang sana, melainkan pada sosok yang kini menatapnya datar sembari berjalan mendekat.
Tanpa sadar tubuhnya bergetar, irisnya tak lepas menatap Taehyung dengan kakinya yang bergerak mundur perlahan.
"Ara! Kau dengar aku?!"
"O-oppa."
Gadis itu tergagap lirih. Sungguh! Demi Tuhan dia benar-benar takut sekarang.
"Han Ara, kau baik-baik saja?"
Taehyung semakin mendekat ke arahnya.
"D-dia disini, oppa ..." suara gadis itu bergetar menahan cemas.
"Ara coba ulur waktu dan jangan sampai memancing emosinya. Sebentar lagi kami sampai"
Tuttt...
Sambungannya terputus, membuat Ara semakin bergolak takut karena Taehyung kini sudah berdiri tepat di depannya.
Laki-laki itu tersenyum tipis mendapati raut ketakutan gadis yang tak lepas menatapnya.
"K-kau siapa?" tanya gadis itu gagap namun Taehyung hanya mengangkat kedua alisnya.
"Bukankah kau sudah mengenalku? Aku teman sekelasmu. Kim - Tae -Hyung"
Taehyung tersenyum di ujung kalimatnya, membuat Ara bergidik ngeri melihat seringaian laki-laki itu. Sejujurnya Taehyung hanya tersenyum biasa, tapi entah kenapa di mata Ara dia benar-benar terlihat seperti psikopat.
"Jangan mendekat!" sergah gadis itu dengan tangan gemetar, membuat Taehyung memicing ke arahnya.
"Aku tau siapa kau! Jadi jangan mendekat!"
Gadis itu memundurkan tubuh, mendekat ke pinggir pembatas membuat Taehyung membelalakkan mata cemas.
"Ara! Jangan kesana!"
Gadis itu tak bergeming, sejujurnya dia tidak tau apa yang Taehyung inginkan. Tapi dalam pikirannya, lebih baik loncat dari atas sini daripada mati ditangan laki-laki itu.
"Aku tau kau membunuh Seokjin!"
Deg!
Taehyung mengerjap.
"Aku juga tau kau membunuh Jungkook!"
Ara berteriak, tak kuasa menahan air mata dan rasa sesak dalam dadanya. Laki-laki di hadapannya benar-benar seorang tak punya hati dan dia membenci sosok itu.
"Apa salahku?! Kenapa kau menerorku, huh?!"
Taehyung terdiam sesaat, menatap wajah Ara yang memerah menahan emosi lalu dia tersenyum tipis.
Senyum yang lagi-lagi begitu terlihat mengerikan.
"Kau salah. Aku tidak pernah membunuh mereka." Jawabnya lirih namun gadis itu masih bisa mendengarnya.
"Kau benar-benar gila Kim Taehyung!"
"Whoa! Akhirnya kau tau namaku"
Taehyung terkekeh senang. Wajahnya begitu terlihat sumringah dan itu aneh menurut Ara.
"Kau tau, aku menunggu sejak lama hanya untuk mendengar kau memanggilku."
Kali ini nada bicara Taehyung terkesan melembut, membuat Ara semakin tak mengerti dengan jalan pikir laki-laki itu.
"Aku menyukaimu sejak lama tapi ..."
"..."
"Kau menyukai hyung-ku"
Tak salah lagi. Kim Taehyung adalah adik Kim Seokjin seperti dugaannya.
"Aku tak suka melihatmu dengannya atau dengan laki-laki manapun"
"Apa?!"
"Kau hanya diciptakan untukku Ara dan selamanya begitu"
"Kau gila!"
Ara tak habis pikir. Jadi selama ini Taehyung menyukainya? Jadi dia melakukan semua itu dengan alasan mencintainya? Membunuh siapa pun yang mencoba mendekat dan menghalangi jalannya? Dia benar-benar seorang psikopat.
Ara kembali mundur saat Taehyung mendekat, membuat kelopak mata laki-laki itu membulat.
"Jangan mendekat atau aku akan loncat!"
Gadis itu mengancam. Kakinya bahkan sudah berpijak pada pinggiran gedung hingga sesekali angin menghuyung tubuh mungilnya.
"Ara!"
"KU BILANG JANGAN MENDEKAT!"
Taehyung menelan bulat salivanya. Tangannya terulur ragu hingga dia hanya bisa membatu dalam posisinya.
Sungguh, dia mencintai gadis itu. Mengagumi sosok Ara yang dulu ceria, menyukai senyum manis gadis itu lalu mencuri potretnya diam-diam. Taehyung sangat menyukai Ara dan dia tidak mungkin membiarkan gadis itu dimiliki orang lain atau pergi meninggalkannya.
Taehyung lantas menyeringai, lalu mengambil pecahan botol yang tergeletak tak jauh dari posisinya, membuat Ara membelalak.
"Jika kau mengancam, aku juga bisa melakukannya," ujar Taehyung lirih lalu mengarahkan ujung botol yang pecah itu ke lehernya, membuat sayatan tipis namun berdarah disana.
Ara membelalak.
"Kim Taehyung! Apa yang kau lakukan?!"
Teriak gadis itu cemas sekaligus ketakutan. Bagaimana tidak? Darah itu sudah merembes di kerah seragam laki-laki itu, membuat bulunya meremang.
"Aku lupa mengatakan padamu"
Taehyung semakin menyayat kulit lehernya, membuat sesuatu yang perih dalam hati gadis itu hingga Ara sedikit menyipit tidak tega.
"Aku rasa perlu memberikanmu jantungku juga."
Ara membelalak.
"Supaya kau tau kalau aku benar-benar menyukaimu."
"KAU GILA KIM TAEHYUNG!"
Taehyung hanya terkekeh lalu menjilat darahnya yang ada di ujung pecahan botol lalu kembali melirik pada gadis itu.
"Jangan coba-coba melakukan hal gila! Sebentar lagi pol-"
Crottt!
Kejadiannya begitu cepat. Ara merasakan perutnya mual tiba-tiba saat Taehyung menusukkan pecahan botol tadi ke dadanya. Menghasilkan lubang cukup besar hingga Ara membelalak dengan persendiannya yang melemas.
Tubuh gadis itu bergetar hebat ketika satu tangan Taehyung merogoh dada. Laki-laki itu sempat tersenyum sembari menahan sakit, membuat Ara hanya bisa membatu menyaksikan apa yang ada di depan matanya.
"A-akuh.. "
Bruk!
"Taehyung!"
Laki-laki itu jatuh tengkurap, menyebabkan botol tadi menusuk bagian wajahnya hingga darah mengucur dari sana.
Dia tewas, dengan tangannya sendiri.
Laki-laki gila itu membunuh dirinya sendiri, ketika mencoba mengambil jantung dan menyerahkannya pada Ara sebagai bukti cinta.
Melakukan semua kejahatan atas nama cinta.
Kim Taehyung seorang psikopat gila.
Ara terduduk lemas dengan air mata yang tak henti menetes dari kelopaknya. Dia masih tak percaya Kim Taehyung melakukan semua itu di depan matanya.
Gadis itu terkekeh, tersenyum menatap jasad Taehyung.
"Han Ara!"
Suara Hoseok dan beberapa polisi yang langsung memberi garis kuning mengalihkan perhatiannya.
Hoseok berlari menghampiri Ara dan mendekap gadis itu namun Hoseok terkesiap ketika Ara terbahak dalam dekapannya.
Laki-laki itu menunduk, menatap air muka Ara yang begitu asing dalam inderanya.
"Ara?"
Gadis itu semakin terbahak sembari menunjuk-nunjuk jasad Taehyung di hadapannya.
Hoseok terdiam.
.
.
Sepertinya mental gadis itu sudah benar-benar terganggu.
.
.
Fin
Screenwriter : Rilamickey
Editor : lee-jungjung
Covered : mitchibee
A/n: Akh! Akhirnya kita debut juga guys! Aku persembahkan karya pertamaku di Moviction untuk kalian semua orang-orang tersayang khususnya all member yang udah membangun MvT jadi grup kepenulisan :") Untuk semua movie lovers dan semua pecinta fiksi :") Terus berkarya. Let's dream!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top