EVENT SINDROM_You're Not Kim Taehyung

Screenwriter: Ndikakei // Casts: BTS V & OC

***
Kim Taehyung mengingkari janji. Menjejalkan nikotin setelah sekian tahun belajar puasa, stres katanya. Kepalanya terasa mau pecah diikuti sayatan-sayatan semu pada dadanya. Sesak, ingin menangis tapi gengsi.

Jemarinya masih lihai mencepit cigar mojito, hasil curian dari sahabat karib, "Dia tidak mau kau sentuh?!" Jung Hoseok menggebrak meja, menguncang beer yang tinggal setengah.

Yang ditanya cuma mendengus tidak suka. Menyesap lagi racun pada gulungan tembakau, menyembur monoksida dengan helaan lelah.

"Eksistensiku telah dihapus, hyung." Hoseok mengamati, bagaimana netra kawannya itu bengkak dan memerah, total kelelahan tapi masih sok tegar. "Jia bilang aku sudah mati."

Mati dalam artian sebenernya, dimana seharusnya Kim Taehyung sudah melebur hancur dibawah tanah, telah bahagia di surga atau menari indah di neraka. Yang pasti, Kim Taehyung seharusnya sudah mati.

Maka, terlemparlah ia pada hari-hari kacau dimana Jia berteriak kesetanan akan dirinya. Dimana pada tiap malamnya Jia menjerit takut, meringkuk di pojok ruangan tak ingin disentuh. Dan paginya berspekulasi bahwa Kim Taehyung adalah mayat yang bangkit dari kubur.

Melihat Taehyung sendu, alisnya berjengit naik, "Kok bisa Tae?"

"Aku tidak tahu apa yang terjadi selama aku pergi, Jia hanya bilang dirinya hamil." Botol beer diremas, marah sekali hanya dengan mengingatnya.

"Wahh jadi kau akan segera jadi ayah?!"

"Tadinya, sebelum Seokjin hyung memberitahuku Jia keguguran." Hoseok mengangguk paham, tak berani lagi menyahut, sebab sorot kelam Taehyung begitu bengis.

Kim Taehyung buta, ia seperti orang bodoh diantara sekelumit perkara yang tak ia tahu sumbunya. Berkali-kali lisannya memberi tanya, berkali-kali pula ia merasa segalanya mulai memusingkan dan rumit. Apa, bagaimana, siapa, dan mengapa masihlah menjadi misteri untuk setiap keingintahuannya.

"Mumpung sudah disini, bersenang-senanglah sebentar. Berniat menari?" taehyung mendengus lagi , sohibnya ini tidak peka sekali. Tidak lihat apa suasana hatinya masih biru-biru mendung. Duh, pantas saja jomblo.

"Kau saja," ujarnya singkat, membiarkan Hoseok menghampiri riuh.

Taehyung cuma melihat, setengah ingin setengah malas. Sudah lama sekali ia tak lagi 'nakal' sejak ia mengikat janji sehidup semati dengan Jia. Haruskah ia mencicip lagi kenikmatan di depan sana??

Dentuman musik yang mengusik seperti meledek, memprovokasinya untuk ikut berbaur dibawah lampu halogen. Taehyung ingin, tapi tidak bisa.

Ia sudah bersumpah tidak akan menyentuh wanita manapun lagi setelah Tuhan memberikan Jia. Dan sayangnya, Taehyung bukan jenis lelaki tukang berkhianat. Ia lelaki baik-baik, yang saking baiknya rela sakit hati sebab jarak yang tak kentara jauhnya itu memisahkan tautan cintanya.

Satu gelas disambar kasar, meminumnya sekali tegak. Wajah Jia terbayang lagi. Senyum pagi harinya, kecupan selamat tidurnya, kerlingan matanya yang menggoda, tutur lisannya yang lembut, jemari kecilnya yang menyisir helai surai pirang Taehyung, segalanya. Taehyung rindu segala yang ada pada istrinya. Bahkan ia begitu rindu dengan nasi goreng hambar buatan Jia.

Satu gelas lagi ditegak, sedikit membanting gelas setelahnya. Kepalang kesal sekalian frustasi. Kali ini teringat hari kemarin. Jia berteriak marah, katanya Taehyung adalah penyebab calon kehidupannya gugur.

Meski tidak tahu bagaimana bisa, Taehyung menurut saja dijadikan pelaku pembunuhan. Sebab, ia merasa gagal menjaga Jia.

Ahh betapa payahnya.

Tiga gelas.

Empat gelas

Lima gelas, dan Taehyung sudah tak sadarkan diri. Mabuk sampai Hoseok merasa perlu untuk mengantarkannya pulang.

.

.

.

.

Pintu diketuk tiga kali, tidak ada sahutan. Pintu diketuk lagi, kali ini agak keras dan barulah gadis bermata hazel itu menyambutnya dengan wajah kaget. Nyaris ditutup lagi begitu melihat Hoseok memapah Taehyung.

"E-eh! Ini aku, Jung Hoseok. Aku cuma datang mengantarkan suamimu. Dia mabuk." Sebelah kakinya menahan pintu, nyaris terjepit kalau saja refleknya tidak bagus.

Jia menggeleng cepet, "Dia bukan Kim Taehyung."

"Kau ini bicara apa sih? Biarkan aku masuk dulu, dia berat sekali." Hoseok tidak peduli mau Jia waras atau tidak, jadi dia asal menyerobot masuk menggeser Jia agak kasar.

Kim Taehyung dibanting ke sofa, "Masa kau lupa dengan suamimu sendiri."

"Aku tidak lupa," ia melirih pelan, menunduk menatap kaki telanjangnya. "Tapi, dia memang bukan Kim Taehyungku."

Hoseok mendesah tak paham. Meski sering menonton film biru, bukan berarti otaknya jadi rusak dan tak pandai mengingat kalau Kim Taehyung yang barusan ia papah adalah manusia lain yang mirip dengan rupanya. Lagi pula yang namanya anak tunggal mana punya saudara kembar kan?

Ahhh Hoseok jadi teringat perkataan Taehyung soal menghapus eksistensi.

"Aku ngga ngerti apa yang terjadi diantara kalian. Kurasa cukup rumit. Aku tidak akan ikut campur," katanya lantas melangkah mendekati Jia. "tapi dia memang Kim Taehyungmu." Dan Hoseok berlalu begitu saja, meninggalkan Taehyung yang mengerjap-ngerjap pusing mencari cahaya, juga Jia yang mematung bingung.

Masih cerah sekali diingatannya yang kelam saat malam menjemput kedamaiannya. Di bawah sinar rembulan, ia jelas-jelas melihat darah dimana-mana. Ia bahkan ingat kemana warna merah itu bermuara, tubuh Kim Taehyung yang tergolek tak bernyawa.

Takut-takut ia mendekati Kim Taehyung palsunya. Menatapnya begitu rindu juga takut. Tangannya menggapai wajah rupawannya, merapikan anak rambut yang menutupi mata. Jemarinya bermain disana, memilin kecil-kecil lalu beralih menyusuri hidung, philtrum kemudian labium. Mau dilihat dari manapun ia adalah Kim Taehyung, begitu mirip hingga ia tak bisa menemukan celah kepalsuan.

Tapi tetap bukan, Kim Taehyung sudah mati. Tidak mungkin hidup lagi.

"Tae, aku rindu." Setetes bening turun membuat jalan tikus di pipi. Tak kuasa menerima fakta bahwa suaminya sudah mati. "Apa kau datang untuk menghantuiku?" Kemeja putih diremas, menahan tangis supaya tak kacau. Takut Kim Taehyung palsu terbangun.

Lengkungan tipis mengejutkannya, tangan mungil diraih erat, diletakkan tepat didada. Masih dengan pandangan mengabur, Kim Taehyung berujar susah payah mengumpulkan kesadarannya, "Aku. Rindu. Sangat."

"Rindu. Tak ingin melepasmu sebentar saja." Taehyung tak terkerjut waktu Jia berusaha melepaskan tautan tangannya.

"Tapi kau bukan Kim Taehyungku."

Senyum itu masih mengembang penuh, namun diwarnai dengan sorot kecewa. Ia pikir Jia telah mengingatnya dengan baik, ia pikir Kim Taehyung telah kembali hidup. Nyatanya, ia tetap dianggap mati sekacau apapun Jia merindukannya.

"Apa yang mebuatmu yakin?"

Jia menggeleng. Tak ingin banyak bicara.

Dan Taehyung telah terlalu lelah untuk drama murahan yang tak ia mengerti alurnya. Maka dengan sekali hentak, Taehyung menarik Jia mendekat. Meraup bibir tipisnya. Mempermainkannya sesukanya.

"Apa kau ingat aku sekarang?" tanyanya disela cumbuannya. Jia mendesah tertahan kala dengan sengaja jemari Taehyung menggelitik cupingnya, lantas menyambung cumbuan tergesa-gesanya dengan pergerakan lidah. Membiarkan naluri menuntunnya hingga itu semua mampu menjawab betapa rindunya ia pada Jia.

"T-taegh..."

"Aku rindu." cumbuannya turun, menggigit ceruk. Memberi tanda sembari tangannya yang lain menyusup di balik kaos.

"Ja-jangan u-ugh..."

Ya, kalau boleh jujur Jia juga rindu. Rindu sekali. Itulah sebabnya ia tak bisa. Ia tak ingin mengkhiantai cintanya pada suaminya meski ia telah tenang di surga.

Tidak bisa, meskipun sentuhannya sangatlah Kim Taehyung.

"A-aku ugh... ttdakh..." Berkali-kali tangan Taehyung ditampik, tapi gagal. "Aku tidak bisa Tae." ujarnya cepat. Tapi Taehyung tidak peduli. Ia tetap bermain dalam sendu. Membiarkan tangannya meremas dua hal yang nampak kembar, membuat Jia melengkung kebelakang. Lagi, Taehyung memberi tanda. Menyesapnya lama.

Apanya yang tidak bisa? Kim Taehyung masihlah suaminya, tentu ia bebas menyentuhnya disana-sini. Taehyung sudah membuat keputusan, ia tidak akan peduli betapa cerewetnya Jia kali ini.

Ia pandang Jia sebentar, ia sudah kacau. Ingin memberontak tapi ingin lebih. Taehyung cuma tersenyum kecil lantas memberinya ciuman kupu-kupu dimata yang dibasahi air mata.

"Jangan menangis lagi, ada aku disini."

"Tidak bisa." Ciumannya beralih ke pipi, menghapus jejak air matanya dengan lidah.

"Kau bisa sayang."

"Tidak. Kim Taehyung harusnya sudah ma-" Bibirnya diraup lagi, kali ini kasar. Memberi gigitan kuat supaya Jia berhenti membual.

Capgras delusion benar-baner mengacaukan segalanya. Membunuh eksistensinya yang setia berdiri disisi Jia. Taehyung tidak tahu kapan ini bermula. Ia baru tahu belakangan ketika Seokjin memberi tahunya bisa saja ini akibat pengaruh obat-obatan.

"Sayang, lihat aku. Aku disini. Belum mati."

Jia terdiam lama, menuruti Taehyung untuk menatapnya tepat dimata.

"Apa kau tidak bisa merasakannya? Ini sungguh aku." Kim Taehyung nyaris menangis saking frustasinya. Tapi Jia hanya terdiam. Lama sekali.

Jemarinya sibuk membenarkan rambut Jia yang acak-acakan. Menanti Jia yang ragu-ragu untuk bicara. Bibirnya yang digigit itu diusap Taehyung, "Katakan apa saja yang ingin kau katakan."

"Tae... "

Ia menanti, sambil berharap esok akan lebih baik dari hari ini.

"Kau tidak mungkin Kim Taehyung." Taehyung mendengus. Bukan ini yang ia ingin dengar.

"Sebab aku yakin telah membunuhmu 3 minggu lalu."

The End. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top