EVENT SINDROM_BETWEEN US
Screenwriter: bebhmuach // Casts: BTS V & Red Velvet Irene
.
Stendhall syndrome: seseorang yang mengalami sindrom ini dalam waktu singkat akan merasa pusing, jantung berdetak cepat, kebingungan, dan akan berhalusinasi ketika melihat suatu karya seni yang indah.
.
©2018 bebhmuach
Bae Irene. Dari dulu gadis itu memesona.
Gadis itu memesona sejak masih mengenakan seragam SMU. Gadis itu memesona dengan riasan tipis yang mulai dikenakan ketika pergi jalan-jalan di akhir pekan. Gadis itu memesona tiap kali menggenggam tanganku memberi ketenangan saat saraf-saraf neuron di dalam kepalaku bereaksi selagi menatap lukisan di galeri. Gadis itu memesona karena seulas senyum manisnya, aku mengenal keindahan lain yaitu dirinya.
Omong-omong reaksi yang kubicarakan tadi, dokter Seokjin menyebutnya kelainan kejiwaan, dan aku membutuhkan terapi. Aku tidak sepaham dengannya. Karena setelah aku mengenal gadis berambut cokelat sepinggang itu, aku menyebutnya 'cinta' dalam versiku.
Maka itu aku menjauhi Seokjin, meski Irene bisa marah jika mengetahuinya. Di dekatnya aku selalu diperlakukan seperti orang sakit. Aku tidak suka itu.
Aku mendedikasikan diriku sebagai sahabatnya selama tujuh tahun. Selama itu pula mati-matian kupaksa perasaanku bersembunyi di sudut paling dalam. Berat memang, tapi akan lebih berat jika aku kehilangan Irene.
Sudah entah hari keberapa setelah kejadian di malam hari kasih sayang itu, aku kembali mendengar suaranya setelah ponselnya berulang kali sulit kuhubungi. Irene meneleponku semalam, ia ingin menemuiku di kafetaria tempat kami biasa bertemu.
Otakku penuh dengan antisipasi kalau-kalau dia membahas tentang malam itu, sementara tanpa terasa derapku telah sampai di depan pintu kafetaria. Dari dinding kaca transparannya, aku bisa melihat Irene tengah memutar-mutar sendok di dalam cangkirnya.
"Taehyung-a," sapanya antusias tepat ketika presensiku muncul di hadapannya. Senyum termanisnya penyambut terhangat menghapus rinduku yang menggunung.
"Ayo, duduk. Aku sudah memesan cappucino seperti biasa," katanya kikuk. Di hari saat ia mengatakan jika Oh Sehun—cinta pertamanya di SMA—menyatakan cinta padanya, kondisinya juga tak jauh berbeda. Irene terlihat kikuk, lantaran minggu lalunya ia mengetahui bagaimana perasaanku yang sebenarnya dari sebuah kartu ucapan yang kuberikan saat ulang tahunnya. Aku seperti diserang deja vu.
"Ponsel Noona rusak? Noona pulang ke Busan? Noona baik-baik saja, kan?" Aku tanpa basa-basi menyerangnya dengan pertanyaan yang sudah bersemayam di dalam benakku.
Irene tak langsung menjawab, lantaran pramusaji yang datang menghidangkan pesanan di atas meja. Setelah sosoknya menjauh, aku bisa mendengar Irene menghela napasnya terlebih dahulu sebelum menjawab.
"Aku sengaja mematikan ponselku, Taehyung-a. Aku tidak menginap di sana. Aku—" Aku mulai menyesap cappucino-ku perlahan selagi menunggu Irene melanjutkan ucapannya. "Aku menginap di apartemen Sehun dan menyiapkan ini." Tangan mungilnya mengeluarkan sebuah amplop putih dan meletakkannya di atas meja.
Rasa-rasanya likuid hangat tadi tertahan di tenggorokanku. Aku terbatuk kecil. "Noona kembali dengan Sehun?"
Irene tak menjawab, namun aku bisa melihat rona merah muncul perlahan di kedua pipinya sebagai jawaban.
"Noona, kau tidak waras ya? Sehun mengkhianatimu dan kau kembali membuka hatimu dengan mudahnya." Aku merasakan darahku mendidih. Ingin rasanya kupeluk saja tubuh itu dan mengatakan, "Kumohon lepaskan dia. Datanglah padaku."
Oh, tapi kenapa konyol sekali. Kim Taehyung benar-benar menyedihkan.
"Aku akan menikah dengannya."
"Me—apa?"'
Aku tidak akan mengumpamakan perasaanku 'seperti disambar petir', lantaran aku sendiri tidak pernah tahu bagaimana rasanya disambar petir. Ada rasa nyeri tiba-tiba menjalar di tubuhku entah berasal dari bagian mana.
"Aku akan menikah minggu ini."
Rasa nyerinya bertambah pekat. Dadaku sesak seperti dihimpit di antara dua dinding besar, sulit sekali bernapas.
Aku berpikir bahwa pembicaraan ini, juga pertemuan ini dan segala tukar tatap ini mulai bergerak menuju titik percuma. Seharusnya dari awal aku tidak setuju untuk bertemu. Siapa yang harus kusalahkan? Rinduku kah?
Setelah berbulan-bulan lamanya aku paham jika Irene benar-benar mencintai Sehun. Meski aku terus menghibur hatiku agar kewarasanku tetap terjaga. Inginnya marah mengetahui Sehun mengambil posisi sebagai cinta pertama Irene. Namun mengingat kehadiranku yang terjadi jauh-jauh hari setelah ia mengenalnya, aku mengaku kalah. Tetapi hubungan putus-sambung di antara mereka—seolah seperti permainan—tidak bisa kumaafkan. Selama ini, aku selalu ingin menjadi cinta pertama Irene dan berharap membangun sebuah hubungan harmonis hingga tua nanti bersamanya.
Karena Bae Irene adalah cinta pertamaku.
Tetapi yang tidak kupahami kebersamaan kami pada malam itu. Sukar bagiku melupakannya, ketika aku ingin membuka memori tersebut Irene seolah menutupnya dengan gesture 'tidak ada yang terjadi di antara kita berdua'. Aku mulai merasa ada sesuatu yang salah di dalam kepalaku. Apakah malam itu aku hanya bermimpi?
"Kau tidak memberiku selamat, Taehyung-a?"
Tatapanku mengunci ekspresi yang ditorehkan Irene pada wajahnya. "Selamat, semoga Noona bahagia."
"Terima kasih. Kau memang adik sekaligus sahabat terbaik yang kupunya."
Agaknya titel yang disematkannya padaku bersifat permanen, meski kebersamaan kami sudah menyentuh kegilaan nafsu.
Sepeninggalnya, perlahan kubuka amplop yang masih tergeletak di atas meja. Jantungku nyaris berhenti sepersekian detik ketika kedua mataku menangkap namanya tertera di selembar undangan itu.
Bae Irene selalu memesona.
Gadis itu memesona dengan potongan rambut baru lebih pendek, dan warna cokelatnya terlihat mengkilap tersentuh sinar matahari. Gadis itu memesona mengenakan dress putih sederhana dipadu dengan jaket denim yang selaras dengan sepatunya. Gadis itu memesona ketika menyesap sedikit demi sedikit cappucino miliknya. Gadis itu tetap memesona saat mengatakan akan menikah dengan laki-laki lain meski hatiku hancur berkeping-keping dibuatnya.
-o0o-
Kuembuskan lagi gulungan asap dari lubang hidung. Kali ini lebih halus ketimbang dua batang rokok pertama. Aroma tembakau yang bergulung-gulung di depan hidungku membawa setumpuk memori tentang Irene.
Ah, kupikir kesulitanku merespon sebuah keindahan dalam lukisan sudah lama hilang semenjak kehadiran Irene. Ternyata aku salah. Sebuah lukisan di depanku saat ini menarikku ke dalam kenangan hari demi hari yang kulalui bersama gadis itu. Perlahan kusentuh benda itu dengan jemariku, ada sensasi menggelitik saat pergesekkannya dengan kulitku. Senyum Irene menari-nari di dalam kepalaku. Namun berbeda dengan yang kulihat, jenis senyuman yang tak bisa kukategorikan manis. Ada yang lain dari cara Irene menarik ujung bibirnya; samar, halus, dan menggodaku untuk menyatukan bibirku dalam sebuah ciuman.
Salahkan Irene yang memulas bibirnya dengan lipstik merah nan menggoda, membawa gairahku naik hingga ke ubun. Kukecup bibir itu pelan berangsur dengan lidahku yang menjilatnya nafsu. Sama persis seperti yang terjadi saat malam hari kasih sayang waktu itu. Irene membalas ciumanku, sama nafsunya. Aku bisa merasakan begitu inginnya dirinya akan diriku, begitu pula sebaliknya. Kegiatan kami pun berlanjut, semua masih segar dalam ingatan. Bagaimana Irene menikmati perlakuanku padanya, seolah kami adalah sepasang kekasih yang dimabuk cinta.
Tidak ada respons penolakan yang dilakukan Irene malam itu. Kedua mata indah itu menatapku sendu, sesekali ia memejamkan matanya seolah memintaku untuk terus memanjakannya. Kami meneruskan kegiatan sampai akhir, bahkan hal yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya terjadi di malam itu. Kami menyatu, aku membuat Irene mendesah panjang dan menyebut namaku dengan nada yang sulit kuartikan tapi aku sangat menyukainya.
Aku berharap Tuhan menghentikan waktu saat itu juga. Hingga pagi menjelang, aku tak menemukan Irene di atas ranjang. Ia pergi tanpa pamit, membawa rahasia kami malam itu, dan menghindar dariku dalam waktu yang cukup lama.
Bayangan Irene perlahan mulai terberai, mengingat pertemuan kami di kafetaria tempo lalu. Gadis manis itu menganggapku seperti boneka mainannya. Yang lebih menyakitkan, ia menyembunyikan satu rahasia lain dariku.
Aku menjauhkan wajahku dari lukisan itu dan menempelkan ujung sigaret di atas permukaannya. Bara apinya mengoyak kanvas berlukis wajah Irene yang tengah tersenyum berseri. Detik berikutnya aroma bensin yang pekat menusuk indra penciumanku. Aku hampir lupa jika beberapa menit sebelumnya satu kakiku tak sengaja menyenggol sebuah jirigen dan membasahi lantai studio lukis ini dengan likuid itu. Sungguh tak sengaja, karena awalnya aku berniat mengguyur seluruh isinya dengan dramatis seperti adegan di salah satu musik video yang pernah kulihat.
Kurasa sudah cukup berbasa-basi, aku harus segera membumi hanguskan tempat ini beserta kenangan yang pernah terjadi di sini. Kunyalakan pematikku dan melemparnya asal selagi langkahku terayun menuju pintu keluar.
-o0o-
Aku melihat Irene lebih cepat mengangkat stiletto-nya, dan lantas duduk di hadapanku tanpa menyapa terlebih dahulu. Koran yang awalnya sedang kubaca, kulempar sembarangan ke atas meja.
"Apa yang sudah kau lakukan, Taehyung-a?" suara Irene yang sehangat sengatan matahari musim panas terdengar dingin dan tak acuh.
Tak mengindahkannya, aku menarik kursi guna mendekat ke arah meja, dan menyesap cappucino-ku perlahan sebelum buka suara.
"Bagaimana kabarmu, Noona?"
Segera saja aku mendapat tatapan sengit darinya. Aku berusaha menyatukan kedua alis, bersikap seolah pertanyaanku membutuhkan jawabannya.
"Kau menanyakan hal itu pada gadis yang gagal menikah lusa kemarin. Aku tidak baik-baik saja, jika itu yang ingin kau dengar."
Alih-alih merespon, aku tersenyum samar dan kembali menyesap minumanku dengan khidmat. Irene menyeret koran di atas meja, membuka lipatannya serampangan dan menunjukkan sebuah rubrik. Telunjuk kurusnya menuding kepala judulnya.
"Sebuah studio lukis di Garosu-gil habis hangus terbakar, pemiliknya hingga saat ini belum juga dapat ditemukan."
"Kau familier dengan ini, Taehyung-a?" Tatapannya menantangku tanpa takut.
"Jadi, kau menghubungiku hanya untuk membahas isi koran itu?" kilahku.
Pupil Irene melebar, sepertinya ia berang. "Berhentilah, Taehyung-a. Kumohon."
Aku benci jika Irene memohon padaku, tetapi ditujukan untuk orang lain. Kurang dari dua detik, wajahku berhadapan dengan wajahnya. Bisa kupastikan Irene terkejut.
"Aku akan berhenti, jika Noona juga berhenti bermain-main dengan perasaanku. Aku juga laki-laki, kau tahu itu, kan?" bisikku. Ibu jariku menyapu bibir bawahnya yang dipulas dengan lipstik merah. Irene benar-benar memesona.
Kulihat Irene terpaku di tempatnya.
"Omong-omong, tidak ingin kah Noona membagi satu rahasia padaku?"
Raut wajahnya tetap tenang, tetapi aku melihat bayang-bayang waspada yang bercampur kegugupan.
"Bukankah kita selalu berbagi rahasia? Ah, sebagai gantinya—" kataku tak rampung, memberi sedikit efek dramatis. Biasanya para gadis menyukai hal itu. "Aku akan memberi tahu dimana Sehun berada."
Kalimatku tak terdengar mengejutkan untuknya, aku sudah mengira. Tapi aku melihatnya menata napas dan segaris senyum tersemat di wajahku.
"Taehyung-a, menurutmu apakah kita masih bisa bersama-sama seperti ini seterusnya?"
"Akhirnya kau mengakui bahwa aku orang terdekatmu."
"Kau sebut semua ini persahabatan?"
Aku tersenyum sengau. Baiklah, Kim Taehyung kau sudah cukup untuk diam.
"Sahabat yang menggauli sahabatnya. Yah, mungkin persahabatan seperti itu sedang tren saat ini." Kikik geliku menguar mendengar kalimat konyol yang kuucapkan barusan. "Noona dan aku mempunyai hubungan simbiosis mutualisme. Kau membuatku bisa mengendalikan diri dengan kelainan aneh ini, dan aku membuatmu bisa hm ... maksudku, nyaris menikahi Sehun dengan bayi yang kau kandung. Bukan begitu?"
Matanya membulat, gigi-giginya terlihat beradu. "Kau sebut itu cinta? Kau tidak waras Kim Taehyung!"
"Aku melindungimu dari pria-pria jahat itu. Mereka lebih tidak waras daripada aku!"
Irene terdiam. Sudah sejak lama aku hanya menonton jalin hubungan asmara Irene dengan beberapa pria yang selalu ia ceritakan. Selama itu pula aku melindunginya tiap kali ia datang dengan tersedu saat semua pria itu mematahkan hatinya, termasuk Oh Sehun.
Aku mengamati jam tanganku sekilas, jaket yang tersampir di punggung kursi segera kutarik. Namun suara Irene menginterupsiku.
"Dimana Sehun?"
Pertanyaannya entah mengapa membuatku menjungkitkan sudut-sudut bibirku. Dengan tenang aku mengancingkan jaket selagi Irene masih menatap meminta jawaban.
"Teleponlah. Kau akan tahu sendiri."
Dering panggilan telepon terdengar samar-samar. Irene mnyisiri ruangan mencari sumber suara. Jeda semenit sampai akhirnya ia menatap sebuah kopor hitam di sampingku yang hampir terlupa keberadaannya.
"Pasti Noona tidak asing dengan nada dering itu, bukan?"
Tubuhnya mematung seketika. Itu adalah nada dering kesukaannya yang sengaja dipilih Sehun khusus untuknya, Irene pernah ceritakan itu padaku. Nadanya berbeda-beda, satu gadis dengan gadis yang lain. Harus kupuji keahlian Sehun yang satu itu.
Aku terkekeh sambil menyeret kopor itu mendekat ke arah Irene. "Mau bertemu Sehun, Noona?"
Sudah kubilang bukan, jika Bae Irene itu memesona.
Gadis itu memesona meski satu tangannya menutupi sebagian wajah cantiknya yang terkejut mengetahui keberadaan kekasihnya. Gadis itu memesona meski riasan matanya rusak lantaran air matanya yang tak kunjung berhenti mengalir. Gadis itu memesona maka itu kuberi hadiah agar ia bisa menikmati senyum kekasihnya dan bisa dibawanya ke mana saja.
"Kau adalah keindahan milikku, Bae Irene."
End.
Aku ingin menangis karena FF ini gak banget. sindrom gagal. hahaaa..
Semoga aja pembacanya terhibur agar aku ga kena sambit.
Salam penuh cinta dariku ♥~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top