📸9-Perburuan Pertama

Rama harus mengakui bahwa ekskul teater benar-benar bisa bergerak dengan cepat dan tepat, dalam waktu tiga hari, surat ijin untuk melakukan syuting di tengah kegiatan pembelajaran berhasil diterbitkan, diselingi dengan briefing juga selama tiga hari itu.

“Untuk awal-awal kita bisa memproses dulu stock shot kegiatan anak-anak kelas 3.” Ujar Rama saat di rapat tempo hari. “Berbarengan dengan itu, anggota ekskul teater silakan melakukan casting.”

Benar, ekskul teater juga sangat ambisius karena mereka memutuskan untuk menyelenggarakan casting untuk pemeran utama pria dan pemeran utama wanita, masing-masingnya akan diambil 3 pemeran dari kelas 1 sampai kelas 3.

“Ngomong-ngomong soal kameramu.” Rana membuka percakapan saat di kantin. “Kamu nggak lupa, ‘kan?”

Sebenarnya hampir, jawab Rama dalam hati. Untung saja dia segera ingat kalau urusan keanehan kameranya juga belum selesai. Baik Rana maupun Anya hampir sepenuhnya yakin kalau kameranya memang memotret keajaiban, jadi mungkin itu berkat, sama seperti kenyataan bahwa kamera yang dulu dipegang ayahnya itu masih bisa berfungsi setelah dihajar oleh air garam di lautan luas.

“Aku pengin memanfaatkan keajaiban itu—kalau kita sepakat apa yang kejadian sama kameraku adalah keajaiban.” Rama menyendok sesuap nasi ke dalam mulutnya, mengunyah sebentar dan melanjutkan. “Aku butuh kesempatan untuk foto-foto backstage, jadi sekalian saja aku butuh anak-anak teater jadi talent-nya.”

“Kalau begitu, aku sih punya ide gila.” Rana menjentikkan jarinya. “Kamu tahu kan kalau anggota ekskul punya kesempatan untuk mengisi rubrik secara bebas di buletin dan mading, asal lolos submisi ke ekskul jurnalis?”

Mata Rama membulat, sepertinya ia paham ke mana arah pembicaraan Rana.

“Memang kamu punya rencana apa?” Pancing Rama.

Kemudian begitulah, bergulir ide gila milik Rana yang membuat Rama sukses menganga. Namun, sejurus kemudian ia langsung tersenyum penuh seperti bulan sabit, ide Rana memang gila, tapi sangat mungkin bisa dilakukan!

Saat dering bel istirahat kedua berbunyi riuh, Rama segera mengeluarkan kamera antiknya dan bersama Rana, mereka memasuki perpustakaan. Di depan meja pendaftaran, Ibu Pustakawati melihat Rama dan kamera antiknya dengan tatapan menyelidik, tetapi lelaki itu lantas menunjukkan badge yang ada di lengan kirinya.

“Dari ekskul fotografi.” Rama tersenyum, berusaha menjaga mukanya.

Mata elang Ibu Pustakawati lantas beralih ke Rana.

“Ah!” Rana tampak berpikir dengan cepat. “Dari ekskul theater, temen sekelas juga, mau baca–baca buku dan kerja kelompok.” Terang Rana panjang lebar.

Ibu Pustakawati mengangguk. “Jangan berisik dan jangan mengganggu, ya.”

Rama dan Rana mengangguk, lalu berbalik sambil mengeluarkan helaan napas.

“Kenapa Ibu Perpus serem, ya,” ujar Rana, Rama hanya menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal.

Rencana dari Rana adalah memotret setiap orang secara acak dan anonim, argumen Rana tadi adalah, mau yang dipotret sedang sendirian atau sedang berduaan, atau bahkan dengan banyak orang, objek benang merah misterius itu akan tetap muncul.

“Lagipula, akan susah kalau kita harus mencari oraang-orang yang kira-kira mereka pacaran, kita harus nebak-nebak. Mending foto secara acak bagaimana pun kondisinya, dan bisa sejalan dengan sebuah tema: connection.”

Saat itu lah mata Rama berbinar dan rahang bawahnya turun, menanggapi ide sangat brilian dari sahabatnya itu. Rama dan Rana berjalan berjejeran di depan dan belakang, menembus rak-rak buku yang berdiri di sisi kanan dan kiri mereka, sambil melihat di sela-sela rak jika ada murid-murid yang patut diamati.

“Ketemu!” Rama berbisik saat matanya menangkap seorang murid yang sedang berdiri di depan rak buku sambil memperhatikan sebuah buku yang ada di tangannya.

Lelaki itu kemudian mengangkat kameranya, mengatur fokus sambil harus tetap bersembunyi di balik rak buku. Dari lensa viewfinder, ia mengatur zoom agar objek yang tertangkap hanya jari tangan murid itu, dan buku di tangannya, tanpa harus menunjukkan wajah.

"Tunjukkan padaku, keajaiban itu!" Bisik Rama.

Tombol rana pun ditekan.

Rama berbalik ke Rana yang ada di belakangnya, sambil mengedipkan matanya ke gadis itu, ia juga memberikan jempolnya. Rana menyambut dengan senyum, dan dimulailah perburuan hari itu.

Baik Rana dan Rana membidik setiap murid yang ada di dalam perpustakaan tanpa harus memotret wajah mereka secara gamblang. Menurut Rama, ide Rana yang satu ini memang sangat artsy, dan segala konsep yang dijelaskan Rana segera terbentuk di dalam kepalanya.

Setelah membidik salah seorang siswa tadi, Rama membidik sekumpulan murid yang duduk di salah satu meja panjang di perpustakaan, kemudian, sepasang murid yang sedang tertawa kecil sambil membaca buku di salah satu rak yang sama.

Perpustakaan sekolah mereka tidak begitu besar, dan tidak begitu ramai meski di jam istirahat, para murid akan lebih fokus mencari makanan daripada mencari ruangan berpendingin seperti perpustakaan.

“Dapat berapa?” tanya Rana.

“Sepertinya sekitar 7 foto, masih ada slot, kok, mungkin 3 foto lagi cukup biar aku gak pusing nanti buat pilih-pilih,” jawab Rama sambil berjalan menuju salah satu bagian perpustakaan yang dipenuhi oleh meja dan kursi untuk membaca dan belajar bersama.

Baru keluar satu langkah dari jejeran rak, Rama berhenti. Rana yang ada di belakangnya hanya bisa mengerutkan dahi.

“Kenapa?” tanya gadis itu, penasaran kenapa Rama berhenti.

Mengabaikan jawaban Rama, gadis itu berinisiatif keluar sendiri dari balik punggung tinggi Rama. Hanya perlu tiga langkah untuk keluar dari balik bayangan Rama, Rana ikut melihat arah pandangan Rama, dan dalam sekejap Rama sudah bergeser sambil memutar arah badannya.

Rana mendongak, melihat Rana yang menatap ke arahnya dengan wajah serius.

“Nggak apa-apa.” Rana tersenyum. “Foto aja, jangan tunjukin wajahnya, ya.”

Mulut Rama hanya bisa menganga, tangannya mengepal keras. Ia menyugar rambut setengah panjangnya sambil membuang napas panjang.

“Ck.” Rama berbalik, lalu mengangkat kameranya sejajar dengan mata.

Tiba-tiba saja, seragamnya terasa ditarik sedikit dari belakang, samar-samar lelaki itu bisa mendengar apa yang diucapkan oleh Rana dari balik punggungnya.

“Jangan tunjukkan juga hasilnya, simpan saja.”

Rama menggigit bibir bagian bawahnya.

“Tunjukkan padaku keajaiban itu.” Ia berbisik.

Tombol rana pun ditekan, merekam Theo yang sedang berhadapan dengan seorang murid perempuan di depannya—Monica.

📸

Dering bel pulang sekolah telah berbunyi. Rama dan Rana segera berjalan bersama ke gedung ekstrakurikuler, tetapi mereka harus berpisah jalan karena Rama ingin mengecek progress dari timnya sebelum nanti mengadakan rapat bersama, berbarengan dengan ekskul teater yang sedang sibuk mempersiapkan proses casting.

“Gimana progress kita?” tanya Rama begitu masuk ke dalam ruangan ekskul.

Teman-temannya juga baru saja sampai saat itu, tapi mereka segera berdiskusi intens.

“Kalau dari usulku sih, visualnya kita perlu shoot-shoot yang minimalis gitu. Bisa center simetris di tengah atau pakai rule of thirds.” Salah satu anggota ekskul fotografi memaparkan idenya.

“Oh, karena mau kesannya lebih ke refleksi diri, ya?” tanya Rama.

Temannya mengangguk. “Terus lebih ke enggak mengganggu meski nanti ada shoot yang ramai kaya kegiatan pembelajaran atau kegiatan lain, nanti bisa pakai efek dreamy begitu. Terus MC bisa ngelihat dari jauh, sesuai sama yang digambarkan di naskah.”

Rama mengangguk. Memang khusus treatment film kelulusan ini agak menantang. Karena naskah yang diterima adalah naskah drama, jadi visual dan pergerakan kamera tidak tertulis dalam naskah, seperti naskah film pada umumnya. Jadi untuk storyboard dan pergerakan kamera akan direncanakan berbarengan dan harus selalu berdiskusi dengan team ekskul teater.

“Aku setuju, ada tanggapan lain?” ujar Rama, berusaha memantik diskusi.

Begitulah, rapat ekskul fotografi pun berlangsung sampai beberapa menit ke depan.

“Oke, sekarang tinggal diskusi dengan ekskul teater, tolong minta waktu ke mereka, ya.” Rama membongkar tasnya dan mengeluarkan kamera. “Aku mau cuci film dulu.”

Teman-temannya mengangguk.

Dikatakan cuci film pun sebenarnya tidak benar, karena ekskul fotografi susah meminta ijin untuk menyimpan cairan kimia selain cairan pembersih seperti obat pel dan pembersih kaca, jadi Rama hanya melakukan metode pindai cepat, lalu menyiapkan klise filmnya untuk nanti dicuci di luar, tentu saja di toko kameranya Ko Kris.

Namun, ada satu rasa penasaran yang hinggap di benak Rama. Iseng, lelaki itu mengangkat klisenya ke arah lampu.

“Ah, terlihat!” Benang yang ada di kelingking setiap orang itu sudah tercetak di klise filmnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top