📸8-Gamang

Rama baru saja sampai di rumahnya tepat sepuluh menit sebelum adzan isya berkumandang. Setelah membersihkan diri dan lain-lain, ia baru bisa membuka ponselnya dan menemukan bahwa grup chat WhatsApp ekskul-nya sudah ramai—ditambah ada satu grup lagi yang baru saja dibuat.

Lelaki itu tersenyum, sudah dimulai! Rama dan ekskul-nya belum pernah membuat film pendek dengan durasi lebih dari 3 menit sebenarnya, kebanyakan yang mereka bikin adalah video sinematik dengan durasi yang singkat, yang sebenarnya cukup menaikkan angka engagement di sosmed ekskul fotografi.

Kali ini tantangan membuat film pendek betul-betul datang! Ditambah, ia pasti tahu bahwa yang paling senang dengan proyek kolaborasi ini adalah Rana.

Gadis itu selalu tertarik dengan perfilman! Rama dan teman-temannya sekarang harus mempelajari naskah, membuat storyboard dan merencanakan visual seperti apa yang ingin ditampilkan oleh segenap tim, termasuk ekskul teater itu sendiri.

Saat tangannya merogoh ke dalam tas ransel sekolahnya, ia mengambil sekitar seratus lembar naskah berukuran A4, di sampulnya tertera judul “Keping Masa” yang ditulis oleh Monica Bernadette. Sejenak Rama merasa kecewa dan iba karena itu bukan naskah milik temannya—Rana.

Ngomong-ngomong soal Rana, sambil menghempaskan tubuhnya ke kursi di depan meja belajar, pikirannya melayang ke tadi sore saat masih di toko bunga milik Anya.

Tadi Rama memutuskan untuk tinggal sebentar, dan membiarkan Rana pulang dulu dengan dalih ingin beristirahat sejenak sambil memotret bunga-bunga milik Anya. Tentu saja itu kebohongan kecil.

“Kalau tidak salah, keajaiban itu ada di layanan spesial?” Anya tersenyum sambil mengangguk menjawab pertanyaan Rama, sementara tangannya sibuk menyirami bunga-bunga.

“Ada apa?” tanya Anya setelah hening yang menggantung lama.

“Boleh aku pesan juga?”

Mata Anya membulat. “Layanan spesial?”

Rama mengangguk mantap.

“Boleh, aku persiapkan dulu. Sambil itu, aku terangkan dulu ya kalau kamu harus memilih dua bibit bunga, satu yang pasanganmu sukai, satu yang kamu sukai—”

“Bukan untuk aku,” potong Rama.

“Oh,” Anya menutup mulutnya. “Untuk orang lain,” gumamnya.

“Tidak bisa?” tanya Rama.

Anya menggeleng. “Bisa kok, Kalau begitu, intinya dua bibit bunga dari dua orang yang kamu pengin jodohkan itu.” Gadis itu lantas tersenyum dan memberikan brosur layanan spesial beserta harga dan syarat-syaratnya ke Rama.

Dua bibit bunga, kedengarannya remeh, tapi sebagai seorang sahabat yang sudah bersama sejak kecil, sejujurnya Rama bingung harus menjawab apa.

Ia tidak tahu Rana suka bunga apa, apalagi Theo, seseorang yang sama sekali tidak akrab baginya.

📸

“Kamu, tuh, suka sama Theo, ‘kan?” Mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu membuat sesendok soto ayam yang baru saja masuk ke mulutnya justru langsung masuk ke tenggorokan dan membuatnya tersedak.

Rama yang ada di hadapannya refleks mengambil tisu dan mengarahkan gelas minumnya mendekat ke arah Rana.

“Kamu ngomong apa barusan?” tanya Rana dengan panik, suaranya mendesis.

“Ya … gitu?”

Rana menepuk jidat, sahabatnya ini memang sukanya to the point sampai tidak bisa melihat situasi dan kondisi.

“Iya, kamu mau memastikan aja, ‘kah?” jawab Rana pelan-pelan dan berbisik.

Lelaki itu mengangguk tak nyaman.

“Aku ada pertanyaan bodoh.”

Yang tadi saja sudah pertanyaan bodoh, batin Rana. “Apa?”

Sebelum Rama melanjutkan perkataannya, ia menengok ke kanan dan ke kiri, yang harusnya itu ia lakukan sejak tadi.

“Misal kamu bisa menyebutkan satu bunga yang identik denganmu dan dirinya,” Rama menggerakkan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan dan kirinya naik-turun di waktu yang sama saat mengatakan kata dirinya, “bunga apa yang bakal kamu pilih?”

Mata cokelat milik Rana menerawang jauh, melewati figur besar Rama yang ada di depannya.

“Mungkin bunga anggrek untuk dia, kalau aku … tulip?”

Rama hanya mengangguk mendengar jawaban Rana. Ketika akhirnya Rana bertanya untuk apa pertanyaan tersebut, Rama menjawab kalau tu pertanyaan yang tadi sekilas mampir di kepalanya dan iseng ia tanyakan.

“Siapa tahu juga bisa jadi tema menarik buat pameran foto.” Rama melengkapi jawabannya.

Jam istirahat pun berakhir, mereka segera merapikan makanan dan minuman yang mereka pesan sebelum Rana membayar dan bersama-sama mereka pergi menuju kelas. Namun, tentu saja, mereka nanti akan bertemu kembali saat rapat bersama.

📸

Rama mengajak seluruh teman-temannya untuk pergi ke aula, berhubung peserta rapatnya ada banyak, mereka memutuskan untuk berkumpul di dalam aula sekolah saja. Di sana, para anggota ekskul teater juga sudah berkumpul, Rana melambaikan tangannya, disambut Theo dan Monica yang melambai pelan.

Lantaran agar dianggap ramah, Rama membalas sapaan tersebut, disusul teman-teman satu ekskulnya. Ia dan teman-temannya pun lalu duduk di sebelah gerombolan anak-anak ekskul teater.

Dahlia segera berdiri dan berjalan ke depan mereka, lalu membuka rapat dan mengenalkan dirinya, kemudian lanjut mengenalkan Rama dan teman-teman sebagai kolaborator.

“Kami akan berpartisipasi dalam pembuatan film pendek untuk kelulusan, jadi mohon bantuannya.” Rama tersenyum tipis, sambutannya disambut tepuk tangan meriah, terutama dari Rana.

Rapat pun dilanjut dengan penyesuaian naskah dan pemilihan target visual yang diinginkan, sampai tepat pukul 5 sore.

“Oh, ya, aku mau pulang duluan ya,” ucap Rama kepada Rana.

“Eh, kenapa? Kenapa gak bareng aja kalau searah.”

“Emm …,” Rama berpikir sebentar sambil menggaruk telinga kanannya, “mau foto-foto, aku mau memastikan kameraku lagi.”

“Lebih baik kalau aku ikut, ‘kan?” Kali ini Rama terdesak oleh Rana, tapi tentu saja, ia tidak kekurangan akal!

“Kamu bukannya nanti masih harus lanjut tugas ekskul, belum tugas presentasi jurusan, deadline dua hari lagi, belum tugas gambar juga, ‘kan?”

Rana menepuk dahinya. “Benar juga!” Meski wajah Rama tampak datar sekarang, tetapi di dalam hatinya, ia tersenyum penuh kemenangan.

Tak sulit memang untuk membujuk Rana.

Setelah dibilang begitu, saat Rama melajukan sepedanya keluar sekolah, ia sudah tak melihat Rana dan sepedanya, gadis itu sudah pulang duluan, sesuai rencana. Rama pun ikut mengayuh sepedanya, dan di pertigaan dekat rumah mereka, ia berbelok ke arah kiri, menuju ke toko bunga sekaligus rumah Anya.

“Bunganya adalah bunga anggrek dan bunga tulip,” ujar Rama setelah masuk ke dalam toko.

“Kamu yakin?” Rama mengangguk menanggapi pertanyaan Anya. “Kalau begitu aku butuh nama orang yang akan dijodohkan.”

Rama pun menulis kedua nama yang diminta di buku catatan kecil yang disediakan Anya. Saat menerima buku itu, Anya sedikit terkejut membaca namanya.

“Kamu yakin?” tanya Anya sekali lagi. “Bukannya kalian dekat?”

“Kami hanya tidak mungkin berpacaran.” Rama tersenyum, lalu menoleh ke arah pintu toko yang terbuat dari kaca, di sana tubuhnya memantul tipis menyatu dengan pemandangan di balik kaca.

Anya mengangguk. “Oh, dan harap diingat kalau ini mungkin bisa saja gagal, satu-satunya penyebabnya adalah karena cinta yang bertepuk sebelah tangan. Lalu, aku tidak menerima refund untuk itu.”

Lelaki itu mengangguk mantap, meyakinkan tindakannya.

Anya tersenyum. “Kalau begitu, apa aku boleh tahu alasanmu melakukan ini?”

Alasan, ya … pertanyaan bagus, tapi cukup membuat Rama terdiam cukup lama.

“Mungkin … karena ia sahabat terbaikku.” Akhirnya Rama menjawab.

“Mungkin?”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top