📸4-Anomali atau Keajaiban?
Dering bel istirahat pertama berbunyi, Rama segera beranjak dari tempat duduknya dan menyusul seorang gadis yang telah memelesat duluan ke luar kelas. Mengekor di belakangnya, lelaki itu hanya tersenyum kecil, ia tahu kalau temannya itu sedang kelaparan sekarang.
"Mau sarapan?" ujar Rama dari belakang.
Rana menoleh, menemukan sosok tinggi menjulang di belakangnya sedang berjalan santai, ia pun mengangguk. "Mau bareng?"
Rama mengangkat tangannya. "Boleh, aku bawa bekal sama roti, mau rotinya?"
Mata gadis itu seketika berbinar, ia lantas mengangguk antusias. "Kalau gitu kita lari!" Rana segera menarik tangan Rama dengan sekejap. Rama sendiri tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya mengucap doa, semoga muka kepiting rebusnya tidak terlihat oleh siapapun.
Sesampainya di kantin yang terletak di tengah sekolah, dekat dengan UKS dan lapangan upacara, Rana yang setinggi seratus lima puluh lima sentimeter tenggelam dalam antrean murid-murid yang juga ingin sarapan semangkuk soto ayam. Sambil melihat antrean yang, menurut Rama, brutal itu, ia segera memilih tempat duduk dan mengeluarkan bekalnya.
Sebagai sahabat masa kecil Rana, Rama paham bahwa gadis itu memang tidak pernah sarapan pagi di bawah pukul 9, sama dengannya dan sebagian besar murid di sekolah ini yang sekarang merangsek ke kedai soto Bu Romelah. Kalau Rama memang baru lapar di jam-jam seperti ini, makanya ia jarang makan berat di bawah jam 9, sementara Rana, setahu Rama, gadis itu tidak ingin ketika ia sudah berangkat sekolah tetapi harus diinterupsi oleh panggilan alam.
Rama sempat mengeluarkan ponselnya sebentar dan membuka instagram, memanjakan matanya dengan beberapa karya fotografi yang hadir memenuhi linimasa-nya. Ada satu akun yang selalu menarik perhatiannya, satu akun fotografi yang menggunakan kamera analog dan hanya memotret suasana di malam hari. Lelaki itu menyukai kontras warna lampu dan gelapnya malam, atau baginya, beberapa gambar terasa seperti dunia baru yang belum pernah ia lihat dan menggelitik rasa penasarannya, seperti foto pasar malam dan foto kembang api yang ia lihat sekarang. Sejujurnya, Rama tidak pernah mencoba memotret saat malam hari, ataupun dulu saat ayahnya masih rajin memotret, tak pernah ia menemui ayahnya bekerja di malam hari. Sempat beberapa kali terbersit kalau ia ingin memotret suasana malam hari dengan kamera analog yang ia miliki, meski ia harus mencoba bagaimana pengaturan terbaiknya.
Mungkin, itu ide yang bagus.
Lelaki itu menekan tombol hati dan segera kembali memandang ke kerumunan di depan Bu Romelah, tak berapa lama tubuh mungil Rana terlihat di pelupuk matanya, ia segera menanggapi dengan melambaikan tangan.
Rana tersenyum dan menghampiri Rama.
"Sebenernya kamu nggak perlu dadah-dadah," ujar Rana.
"Kenapa?" tanya Rama sambil membuka bekalnya.
"Kamu tinggi, kaya mercusuar. Kalau di tempat ramai gini aku tinggal liatin aja mana orang paling tinggi."
Rama hanya mengunyah menanggapi celetukan Rana.
"Omong-omong, kameraku udah jadi."
Rana terbelalak. "Serius? Cepet juga!"
Rama mengangguk. "Ko Kris memang bisa diandalkan."
"Habis berapa?" tanya Rana pelan sambil sedikit mendekatkan wajahnya ke Rama.
Lelaki itu jadi tersedak dan memutuskan untuk minum dulu sebelum menjawab.
"Empat ratus lima puluh ribu," jawabnya disela-sela batuk yang masih berlanjut.
"Boleh aku cicil?" Anggukan Rama menjawab pertanyaan Rana. Gadis itu tersenyum. "Aku bayar dua ratus ribu dulu ya ... dan maaf."
"Kemarin udah minta maaf."
"Maaf lagi, soalnya ...." Rana mengaduk-aduk sotonya, khawatir. Sebagai sahabat masa kecil dari Rama, ia mengetahui bahwa kamera yang tidak sengaja ia ceburkan ke kolam kemarin adalah benda penting bagi Rama.
"Udah, nggak apa-apa. Toh, yang penting kamu bertanggung jawab." Rama tiba-tiba menyodorkan sebuah roti bundar di depan Rana.
Tiba-tiba disodori roti begitu, Rana kembali terbelalak dan terkejut. "Filling strawberry?"
"Iya, kesukaan kamu." Rama tersenyum tipis.
Rana memekik kecil dan menerima roti tersebut dengan senang hati. Mereka berdua pun lantas melanjutkan sesi sarapan mereka dengan perasaan yang sama-sama ringan.
📸
Bel pulang sekolah berbunyi, Rama dan Rana bersama-sama melajukan sepeda mereka ke toko reparasi kamera langganan Rama yang dimiliki oleh seseorang yang dipanggil Rama sebagai Ko Kris.
"Dari dulu kalau servis kamera selalu ke Ko Kris?" tanya Rana.
Rama mengangguk. "Sejak ayah masih ada, bahkan cuci film pun di mereka, kok. Dulu yang pegang ayahnya, namanya juga sama." Lelaki itu terkekeh.
Rana mengangguk.
Servis kamera yang mereka tuju tak jauh dari rumah, tetapi harus menuju ke arah yang berbeda dari rute pulang mereka. Dari sekolah mereka, di sebuah pertigaan jalan, mereka harus belok ke kiri alih-alih lurus untuk menuju ke toko reparasi, lurus jika mereka mau pulang.
Setelah mengayuh sejauh 250 meter, mereka sampai ke sebuah rumah dengan plang yang sarat akan gambar kamera dan foto.
"Permisi." Rama masuk ke dalam toko bersama Rana yang mengekor dari belakang.
Seorang pria keturunan peranakan Tionghoa berusia awal 30 tahunan yang tadi duduk di belakang etalase segera mengangkat kepala dari komputer dan menyambut Rama dengan baik.
"Ah, ambil kamera ya?"
Rama mengangguk.
"Tunggu, ya." Dengan cekatan dan tanpa menunggu lama, lelaki yang kemungkinan bernama Ko Kris itu segera kembali di depan Rama dan Rana.
"Setelah dicek semua normal kok."
Rama dan Rana tersenyum bahagia menerima kabar tersebut. Merasa tidak ada masalah, mereka segera melakukan pembayaran dan mengayuh sepeda pergi, kembali ke rumah, kecuali Rama yang memutuskan untuk pergi ke taman sebentar untuk mencoba kamera. Di taman ia segera berkeliling dan dengan jeli mencari objek-objek untuk dia foto. Ia mengabadikan susunan dinding bata yang rapi dan satu yang terlihat miring, lalu memotret langit yang mulai membiru dengan gradasi kuning, menyambut senja. Ia melihat pantulan kolam yang beriak dan memotret apapun di sana yang terlihat abstrak.
Semuanya lancar. Ia juga melihat sepasang murid SMA, mungkin seumuran dengannya, laki-laki dan perempuan, asik bercengkerama sambil menikmati dua porsi batagor yang mereka beli bersama-sama. Rama melihat mereka yang duduk di bangku beton dan bayangannya yang kontras terpapar di dinding bata yang ada di taman. Lelaki itu segera mengangkat kamera.
"Tunjukkan padaku, keajaiban itu!" Rama berbisik pada kameranya.
Suara tombol rana yang ditekan segera terdengar, dan itu mengakhiri sesi test drive yang ia jalankan sore ini. Jadi, Rama segera pulang sambil bersenang hati, bersuka ria. Sesampainya di rumah, ia segera membuka rol film yang ada di dalam kameranya, mengangkatnya ke depan lampu untuk melihat hasil negatif yang terpapar di pita film 35mm miliknya.
Ko Kris benar, semua tercetak normal dalam film tersebut, kecuali satu saja yang membuat Rama mengernyit penuh keingintahuan. Ia membuka laptopnya sampai 180 derajat dan menaruh warna putih memenuhi layar, lalu ia meletakkan film tersebut di atas layar putih yang telah ia atur, dengan bantuan ponselnya ia memotret film di gambar yang spesifik memantik rasa penasarannya.
Setelah membalik filmnya menjadi foto dengan warna positif dengan aplikasi editor, Rama hanya bisa melongo dan mengirim hasil pindai cepatnya ke Rana.
Rama: liat gambar ini.
Rama: itu merah-merah yang ada di tengah mereka apa?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top