📸3 - Pra-anomali

"Maaf."

Rama menoleh ke belakang lalu berkacak pinggang. "Permintaan maaf diterima."

Rana memainkan jari jemarinya, saling memijit. Di dalam dirinya ada rasa ragu dan rasa tidak enak yang mencuat. Rama yang memerhatikan gerak-gerik Rana segera mengambil kedua tangan gadis itu, menghentikan gerakan penuh rasa penyesalan itu.

"Kamera itu selamat waktu kecebur di samudera Hindia." Rama berujar.

Namun, perkataan tersebut justru sebenarnya membuat Rana semakin menyesal dan khawatir. Apa yang dikatakan Rama benar, kamera itu sempat disapu oleh gelombang lautan dari samudera Hindia hingga terarak ke pesisir Thailand—satu-satunya yang tidak selamat saat itu adalah si empunya kamera, Ayah dari Rama.

"Kamu percaya?" tanya Rana.

Rama tak perlu menanyakan maksud pertanyaan Rana, ia dengan mantap mengangguk.

"Kalau—"

"Aku nggak mau memikirkan hal lain," potong Rama.

Gadis itu segera bungkam.

"Kehilangan Ayah sudah cukup bagiku. Kalau memang aku harus kehilangan kamera itu juga …." Rama menarik napas, "Kita urus besok saja." Perlahan, Rama melepaskan tangannya dari jari Rana.

Mereka pun lanjut menaiki sepeda Rama untuk kembali ke taman sebentar untuk mengambil sepeda Rana. Beruntung siang itu sedang cerah-cerahnya meski mereka harus tahan-tahan saja dilihat oleh banyak orang karena keluyuran dengan baju yang kebasahan, tapi lagi-lagi, lihat sisi positifnya: mereka bisa mengeringkan baju.

“Untuk ongkos servisnya nanti aku ganti.”

“Separuhnya saja,” ujar Rama.

Di belakang cowok itu, Rana mengangguk. Sesampainya mereka di rumah, Rana segera menceritakan insiden yang terjadi di taman dengan ibunya, meski harus kena marah, Rana menerima hal tersebut. Ia mengganti pakaian dan membiarkan laptopnya berada di atas meja, tidak peduli dengan naskah yang teronggok di dalam sana.

Sepertinya ia akan mengundurkan diri saja.

*

Rama baru saja berganti pakaian dan menceritakan apa yang terjadi pada Ibunya. Saat itu Ibunya hanya bisa tersenyum pasrah dan mengangguk pelan, sambil berpesan pada Rama jika memang kamera itu masih bisa digunakan nantinya, maka itu rejeki baginya, kalau tidak, kamera itu bisa dipajang di toko roti milik mereka, jadi benda kenang-kenangan dari almarhum Ayahnya.

Perkataan Ibunya ada benarnya, lagipula ia juga terbiasa dengan berbagai kamera, sebagai ketua ekskul fotografi yang sudah di-merger dengan ekskul drama saat ia kelas sepuluh. Hanya saja, memang kamera itu adalah benda yang berharga baginya, kamera yang paling dekat dengannya.

Dibuai dengan angin dari baling-baling kipas yang berputar dan yang bertiup dari jendela, lama-lama mengantarnya pada kantuk, kemudian yang Rama lihat adalah Ayahnya yang tampak tersenyum bahagia dan menunjuk ke langit biru.

Di sana ada jejak awan yang baru saja ditembus oleh sebuah pesawat, dan mereka memotret momen itu bersama-sama, sebelum akhirnya merebahkan diri di taman bunga, mimpi siang bolong waktu itu terasa nyata untuknya.

Mimpi singkat itu berakhir saat pintu kamarnya diketuk.

“Yaa?” balas Rama, bangkit.

“Bangun, kamu tadi belum makan kan, Nak?” Suara Ibunya ada di balik pintu.

Benar juga, tiba-tiba saja perut Rama berbunyi. Ia melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul tiga sore.

“Iya, Rama bangun.” Ia lanjut menyahut, dan mungkin berpikiran sekalian mandi karena tubuhnya lengket dan gatal, duh, kolam tadi semoga tidak terisi jentik-jentik atau bakteri yang membuatnya gatal-gatal.

Rama membuka pintu kamarnya yang ada di lantai dua dan turun, dari tangga terdapat koridor yang mengarah ke toko roti yang diurus Ibunya, selepas Ayahnya meninggal karena kecelakaan pesawat saat ia masih kecil. Dari koridor itu ia dapat melihat satu-dua pengunjung toko yang membeli roti di toko kecil milik mereka lewat pintu kaca yang diberi stiker blur. Di samping toko adalah dapur tempat tiga pegawai ibunya sedang sibuk memanggang roti, tetapi kali ini sepertinya mereka sedang beristirahat dan hanya menyiapkan sedikit stok, barangkali untuk dihabiskan malam nanti, sampai toko tutup pada pukul delapan malam.

Pada saat-saat tertentu, meski toko tutup, dapur akan tetap ngebul sampai semalaman suntuk jika ada pesanan di pagi harinya. Rama bersyukur toko roti kecil milik Ibunya bisa berkembang dan cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari, bahkan berperan cukup penting untuk memberdayakan perempuan di kompleks mereka, toko mereka adalah satu dari banyak usaha mikro yang jadi andalan RT mereka untuk memberdayakan para ibu-ibu atau para remaja yang ingin memiliki uang jajan sampingan.

Rama belok ke kiri, memasuki ruang cuci dan mengambil handuk, lalu membilas tubuhnya dengan air yang mengucur dari pancuran. Selepas mandi, baru ia benar-benar duduk di meja makan dan memulai santap siangnya yang terlambat.

Selepas ia menghabiskan sepiring sayur asem, Ibunya masuk ke rumah dan mengutus Rama untuk ganti menjaga kasir.

“Ibu mau sholat dulu,” ujar Ibunya, tergopoh-gopoh menuju ke mushola rumah.

Ia menyanggupi dan segera mencuci piring, lalu memakai celemek dan berdiri di belakang mesin kasir. Tampak toko sedang sepi, barangkali karena hari beranjak menuju senja, dan ternyata, karena Rama berpikiran seperti itu, seorang pria yang mengendarai ojek daring turun dari motor dan masuk ke dalam tokonya.

“Selamat sore, silakan memilih,” ujar Rama dengan ramah, menyambut pelanggan.

“Emm, saya mau tanya, apa kira-kira masih ada jajan pasar?”

Ah, waktu yang tidak tepat untuk menanyakan itu, pikir Rama.

Rama menggeleng. “Karena sudah sore, jajan pasar sudah habis, karena pasti kue basah tidak akan awet selama itu,” jawab Rama.

Pelanggan tersebut hanya tersenyum miris. “Ah, sudah aku duga, memang perjalanan ke sini agak sulit juga.”

“Apa Mas mau mengunjungi seseorang?” tanya Rama.

Pelanggan tersebut mengangguk. “Rumahnya di sekitar sini, namanya kalau tidak salah … Bapak Tarmudji.”

Seketika mulut Rama membentuk o bulat. “Oh, yang itu, Mas mungkin saudaranya, ya?” tanya Rama sambil berlalu ke meja kasir, mendekat ke etalase yang ditutupi kaca, etalase pendingin.

“Anggap saja seperti itu.” 

Rama mengambil sebuah Pai buah dari dalam etalase. “Jajan pasar tidak ada, tapi pai buah ini baru dibuat siang tadi, biasanya almarhum anak dari Bapak Tarmudji suka beli ini, dua porsi, salah satunya untuk Bapak Tarmudji sendiri.” Lelaki itu menjelaskan sambil tersenyum.

“Ibu saya membuat pai buah ini tanpa gila tambahan, jadi rasa manisnya hanya dari buah yang dijadikan bahan masakan, jadi cocok untuk Bapak Tarmudji yang sudah tua dan menderita diabetes, setidaknya itu yang pernah saya dengar. Mas mau beli ini untuk oleh-oleh?” jelas Rama, lebih lanjut.

“Oh, boleh.” Pelanggan itu tampak mengangguk antusias.

Transaksi pembayaran segera dilakukan setelah itu.

“Sampaikan salam saya buat Bapak Tarmudji,” ujar Rama. “Pasti tidak mudah kehilangan anak yang mendahului umurnya, kan?” 

Pelanggan tersebut mengangguk. “Akan saya sampaikan, saya beruntung ketemu toko ini.”

“Terima kasih, semoga nanti kita bertemu kembali.”

Pelanggan tersebut baru saja berbalik punggung ketika Rama kembali memanggilnya.

“Ada apa, Mas? Uangnya kurang?” 

“Bukan,” jawab Rama. “emm … saya hanya ingin tahu, ada keperluan apa untuk bertemu Bapak Tarmudji?”

Pelanggan tersebut tersenyum tipis, tampak tidak menolak pertanyaan tersebut. “Saya ingin mengantarkan surat … dari almarhumah anaknya.”

“Oh.” Rama manggut-manggut paham.

Setelah itu, pelanggan itu benar-benar keluar dan toko kembali sepi untuk 10 menit kemudian. Beruntung bagi Rama karena ibunya segera kembali ke meja kasir dan mengatakan kalau Rama harus mencicil tugas sekolah atau belajar.

“Kameranya nggak ada,” jawab Rama, enteng.

“Bukan belajar kamera, belajar pelajaran sekolahmu itu.” 

Rama terkekeh karena berhasil menggoda Ibunya. Namun, tentu saja lagi-lagi ia patuh sebelum kena marah betulan, apalagi memang ada PR Kimia yang akan bikin kepalanya pusing tujuh keliling nanti.

Ponselnya menyala tepat saat Rama duduk di meja belajar, menampakkan pesan dari Rana.

Rana: Maaf.

Rama: tadi udah minta maaf

Rana: Aku yg ga enak.

Rama: gpp, kita liat aja besok, yg penting kamu udah berusaha tanggung jwb

Rana: Oke, kabarin
brp ongkosnya ya.

Rama: iya.

Kemudian, satu pesan lagi masuk, tetapi bukan dari Rana.

Servis Kamera Ko Kris: “kameranya udah jadi, diambil besok ya.”

Seketika itu pula, pupil mata Rama melebar.

📸

WOLAHOOOOO SEMUANYAAAA!!

AKU BARU SADAR KALAU AKU PUNYA BAB INI SEJAK BULAN MARET 2024!!

Iya, dia mengendap di draft selama 4 bulan lamanya.

Sedikit pengumuman, dengan dirilisnya bab ini, aku mengumumkan kalau Rona Rana dan Bingkai Rama resmi diikutkan di MWM 2024 yang diselenggarakan oleh @NPC2301!! Yang artinya, jika lancar harusnya cerita ini akan update minimal 1 bab setiap harinya, jadi mohon doanya saja.

Sampai jumpa lagi esok dan hari-hari berikutnya!

Salam hangat dan kecup basah,
Aku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top