📸 1-Camera ... Roll ... Action!

"Tunjukkan padaku, keajaiban itu!"

Cekrek!

Segumpal awan tipis dengan langit biru telah terambil di sebuah klise foto, lengkap dengan kabel-kabel yang saling tumpang tindih kusut di bagian bawah frame.

Lelaki itu tentu saja tidak bisa melihat bagaimana hasil fotonya setelah tombol rana ditekan, karena ia memotret menggunakan kamera lawas yang tidak memiliki layar digital. Gambar yang ia abadikan masih diproses menggunakan sebuah pita film berwarna cokelat yang dipasang di dalam kamera-klise. Lensanya yang muncul keluar tidak bisa diputar manual seperti kamera modern jaman kiwari. Kamera itu bahkan masih terasa berat di tangan, dibanding kamera-kamera sejenis yang lazim ditemui di jaman ponsel pintar di mana-mana. Namun, tidak apa-apa, justru ini kamera yang paling ia suka.

Ia sebetulnya tidak masalah mau memotret menggunakan alat apapun, tetapi memotret dengan kamera lawas menurutnya menyimpan kecantikan tersendiri. Ia tidak masalah mengubah sebuah ruang di rumahnya menjadi ruang kedap cahaya, lalu berjibaku dengan tangan yang basah karena cairan-cairan yang digunakan untuk mencuci klise foto miliknya. Ia tidak merasa lelah harus berlama-lama di ruang yang hanya diterangi lampu berwarna merah. Lelaki itu sungguh menikmati setiap proses yang akan ia lalui demi melihat foto yang telah ia hasilkan dengan kamera lawas.

Terutama kamera yang sedang ia gunakan sekarang, yang sesungguhnya merupakan kamera miliknya-satu-satunya-yang selamat dari maut, menggantikan ayah kandungnya.

Kamera yang ia gunakan adalah kamera peninggalan mendiang ayahnya yang sudah delapan tahun lalu meninggal dunia, tanpa jasad dan tanpa abu yang bisa dibawa ke dalam pusara. Kamera yang selalu ia ingat karena ayahnya pernah berkata bahwa kamera tersebut membawa keajaiban.

Saat kecil ia tidak tahu keajaiban apa yang dimaksud ayahnya, tetapi seiring berjalannya waktu dan ketertarikannya untuk memotret, sepertinya ia paham bahwa keajaiban yang dimaksud adalah keindahan hasil kamera tersebut, keindahan yang selalu ia kagumi jika ia melihat album foto milik mendiang ayahnya di rumah.

"Aku mau jalan agak jauh, ya." Lelaki itu pamit ke seseorang yang ada di belakangnya-seorang gadis.

"Boleh, nanti aku samperin, deh," jawab gadis itu sambil berkerut-kerut memandangi layar laptopnya.

Melihat kerutan yang begitu dalam itu, lelaki tersebut lantas berceletuk. "Jangan dipikir terlalu keras, kecuali kamu mau jadi nenek-nenek di usia dini."

Gadis itu memutar bola mata sambil mendesah. "Ngomong doang, mah, gampang."

"Idenya pasti bakalan dateng, kok," ujar lelaki itu sambil berlalu pergi dan mengangkat tangannya, memberikan lambaian tangan sementara gadis yang ia tinggal di gazebo taman tadi hanya bisa memangku dagunya sambil memandang kosong ke depan, ke arah punggung yang selama ini selalu ia lihat sejak kecil.

Lelaki itu sedikit menoleh ke belakang, memastikan sahabat yang selalu bersamanya sejak kecil itu baik-baik saja di taman. Kemudian berpikir apa ia perlu khawatir misal temannya itu kesurupan karena pikirannya kosong, dan duduk sendirian di gazebo taman.

Ia berjalan pelan, menjauhi bayangan pohon-pohon dan bergerak menuju kolam dangkal di bagian depan taman. Sinar matahari saat pukul 10 siang begini terasa panas di wajahnya, untungnya sekarang ia sedang menggunakan kaos oversize tipis dan decker lengan, ia tentu saja tidak mau merasa kepanasan, tetapi ia lebih tidak mau lagi kalau harus kelewatan momen untuk memotret, mumpung ia dan temannya itu sedang ada di luar rumah, tetapi sekarang rasanya ia menyesal karena tidak membawa topi seperti Rana, temannya yang tadi.

Nama lelaki itu adalah Rama Jauzan Dewananta-biasa dipanggil dengan nama depannya, Rama. Memotret baginya bukan sekadar hobi, tapi sepertinya ia tidak bisa membayangkan jika dirinya tidak memotret, tidak memegang kamera. Memotret seperti hal yang secara alami harus ia lakukan seperti makan, minum, dan tidur.

Terlebih, hanya dengan memotret dan membawa kamera ini ia merasa bahwa ia berjalan-jalan dengan mendiang ayahnya di sampingnya.

Di luar taman ramai sekali kendaraan berlalu lalang, saat matanya memandang antara kolam dangkal yang segaris lurus dengan tugu dan bundaran di tengah jalan raya, ia merasa insting memotretnya bergerak-atau sepertinya, ayahnya sedang berbisik padanya.

Rama segera berjongkok di depan kolam tersebut, kemudian mengarahkan kameranya mendekat ke bibir kolam. Dengan cara ini sebetulnya Rama tidak bisa melihat ke lubang intip yang ada di bagian atas kamera, tempat dia biasa mengecek bagaimana posisi obyek dan komposisi foto terlihat, tetapi, sesekali memotret liar begini justru unik baginya, dan ia tahu ada komunitas fotografer di luar sana yang memotret setinggi pinggang dan tanpa melihat obyek apa yang difoto oleh mereka.

Rama membayangkan pemandangan tugu dan mobil terpantul separuh di kolam dangkal, setidaknya begitu, tapi entah bagaimana nanti hasilnya. Ia juga memutuskan untuk sengaja membuka tutup tempat klise film yang harusnya tidak boleh dibuka. Klise film sangat sensitif terhadap cahaya, dengan sengaja memaparkannya seperti ini akan menciptakan noda "terbakar" pada foto yang akan dihasilkan. Kalau Rama hidup di jaman dulu, klise dengan noda seperti itu akan dianggap sebagai foto yang gagal. Tetapi, seni fotografi terus berubah, seiring berjalannya waktu, noda terbakar ini malah menjadi efek foto yang dicari-cari, bahkan di kamera ponsel sekalipun.

Dirasa cukup untuk memaparkan klise fotonya ke cahaya matahari, Rama menutup kembali tempat klise dengan rapat, lalu, tanpa mengatur fokus dan zoom, ia menaruh telunjuknya tepat di atas tombol rana.

Kemudian, ia merasakan pundaknya hangat, seperti disentuh oleh seseorang-mungkin mendiang ayahnya. Matanya mengarah ke depan, membayangkan ayahnya juga sedang berjongkok di sampingnya sambil mengarahkan tangannya ke depan, ke pemandangan yang akan dipotret oleh Rama.

Lalu, kata-kata yang sudah dianggapnya sebagai mantra itu pun terucap.

"Tunjukkan padaku, keajaiban itu!"

Cekrek!

Tombol rana pun ditekan, klise film di dalamnya berputar setelah menangkap gambar.

Rama pun mengulas senyum. Merasa puas, ia memutuskan untuk berdiri, tetapi baru saja hendak berbalik badan, dia mendengar suara seseorang yang tak asing baginya.

"Awas!"

Lelaki itu tentu saja tak sempat mengatakan apapun saat tiba-tiba saja seekor kucing melompat ke arahnya. Antara meleset atau si kucing memang terlalu pintar, ia melompat ke sebelah pinggang Rama. Yang jadi masalah adalah, temannya Rana tidak dapat mengendalikan tubuhnya, mau tak mau ia menabrak punggung Rama.

Gawatnya lagi, untuk jatuh ke depan, posisinya sangat tidak bagus. Namun, mau bagaimana lagi, seluruh tubuh Rama terayun ke depan, lalu ia merasakan tubuhnya basah dan dahinya sangat pening, air memasuki hidung dan tenggorokannya. Rama buru-buru mengangkat setengah tubuhnya, melihat si kucing yang juga kebasahan sedang berlari secepat kilat ke luar taman, menyusuri trotoar lalu hilang dari pandangan.

Dalam sepersekian detik itu juga, matanya menangkap sebuah benda yang juga terapung di permukaan air kolam dangkal.

"Rama! Kameranya!" Teriakan Rana itu mengonfirmasi bahwa ini bukanlah sekadar mimpi buruk baginya.

Mulut Rama membuka dan menutup, tidak tahu harus berbicara apa. Tubuhnya mendadak terasa kaku meski otaknya menyuruhnya untuk lari dan bangkit. Tiba-tiba saja terdengar suara cipakan air dari belakangnya, sepasang kaki pemilik suara itu bergegas ke arah kamera miliknya yang mengapung di permukaan kolam.

"Ayo!" ujar Rana sambil mengangkat kamera dan mengulurkan tangannya.

Saling bergandengan tangan, mereka pun pergi meninggalkan taman.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top