Rona XI: Dawala

Sewaktu masih tinggal di kampung, Indigo pernah mendengar kisah-kisah tentang beberapa warga yang sanggup melihat makhlus halus. Tentang betapa mereka menyaksikan penampakan-penampakan mengerikan hingga lari terbirit-birit, mengompol di celana, atau memanggil dukun serta pemuka agama untuk mengusirnya. Setiap orang terkadang mendapati penampakan berbeda berdasarkan kesaksian masing-masing: manusia tanpa kepala, pria berkepala harimau, wanita berpunggung bolong, monster bertaring panjang dan bermata besar, hingga makhluk putih yang berbentuk seperti guling ikat. Ada juga desas-desus seputar makhluk halus yang membantu segelintir warung serta lapak di pasar supaya paling laris di antara yang lain. Indigo tidak pernah benar-benar percaya. Selain karena tidak berpengalaman bertemu yang semacam itu sepanjang hidupnya, dia juga beranggapan kegiatan-kegiatan lain seperti membaca dan bermain dengan Iloa lebih penting daripada memusingkan segelintir makhluk-makhluk anomali yang tidak dapat dia lihat.

Namun kini, Indigo mendapati dirinya tidak berhenti bergidik sejak mampu melihat makhluk-makhluk tersebut dengan mata kepala sendiri.

Crimson sedang berada di ruang tengah, berbicara dengan barangkali-seseorang-bernama-Magenta melalui telepon. Indigo tidak begitu dapat mendengarnya, sebab si anak laki-laki gundul yang hanya bercelana pendek itu terus berlari bolak-balik mengitari kasur sambil tertawa mencemooh. Sesekali Indigo melotot padanya, tetapi si anak kecil justru tertawa makin lantang dan perempuan di sudut kamar menangis kian kencang.

Sekembalinya Crimson ke kamar, Indigo langsung menanyai laki-laki itu dengan frustrasi. "Tidak bisakah kita menemui Mentega-atau-siapa-pun-itu-namanya sekarang?"

"Magenta," ralat Crimson, tercengir. "Lebih baik besok. Sekarang dia agak repot, salah satu anak asuhnya baru 'diganggu' juga."

"Anak asuh? Diganggu juga?" tanya Indigo penasaran. "Diganggu oleh ... laki-laki yang kutemui di jalan tadi?"

Crimson mengangguk samar, mengundang pertanyaan berikutnya dari Indigo. "Siapa sebenarnya laki-laki bertopi itu? Apa dia yang menyebabkanku bisa melihat 'mereka'?"

"Tidak semua Rona sepaham, Indigo. Dia salah satu yang berbeda paham dengan kita. Dan tentunya ... tidak hanya dia," ucap Crimson, tampak segan melanjutkan.

"Lalu?" tagih Indigo.

"Lalu ... kemampuanmu ini bukanlah pemberian dia. Kamu memang sudah memilikinya, tapi selama ini terkunci sehingga kamu terkejut begitu mengetahuinya seperti sekarang."

Indigo, sempat teralihkan oleh si anak kecil gundul yang turut mengamati Crimson lekat-lekat dari kaki kasur, lanjut bertanya, "Sejak ... sejak kapan?"

"Entah. Kukira seharusnya kamu lebih tahu?" balas Crimson. Sambil mengucapkannya, laki-laki itu perlahan menarik selimut hingga menutupi separuh atas tubuh Indigo yang terbaring.

Indigo lekas teringat tatkala Pak Petuah menceburkannya ke laut pada suatu waktu. Bukan kenangan yang menyenangkan, tetapi dia yakin keanehan-keanehan mulai menimpanya usai peristiwa tersebut. Tetap, kejanggalan menetapi benaknya. "Bagaimana kamu tahu tentang aku? Bagaimana kamu menemukanku?"

"Kalau sudah terbiasa, kamu akan bisa mengenal sesama 'Rona' hanya dengan sekali lihat. Seperti saat aku memergokimu di bus kota tempo hari," ungkap Crimson, mengingatkan Indigo pada pertemuan pertama mereka, yakni sewaktu perempuan itu hendak mencopet untuk pertama kali namun dicegah oleh Crimson. "Tapi bila menurutmu itu terlalu aneh untuk jadi kebetulan, aku sebenarnya mengetahui tentangmu dari Magenta. Besok kamu bisa bertanya langsung padanya."

Indigo mengangguk lagi, terpaksa menyimpan stok pertanyaannya untuk esok. Namun, mendadak dia teringat penjelasan soal api yang terpotong sebelum Crimson menelepon. "Mengapa kamu bisa mengeluarkan api seperti itu sedangkan aku tidak?"

"Tidak semua Rona punya kemampuan serupa. Pernah dengar pyrokinesis?" tanya Crimson. Indigo menggeleng, setengah jengkel sebab tuyul di sudut kasurnya kini mengejek dengan putaran bola mata.

"Kemampuan membuat atau mengontrol api dengan pikiran. Bisa dibilang aku punya kemampuan itu, tapi jenisnya sedikit berbeda. Kubilang dunia mempunyai banyak lapisan, bukan? Setiap lapisan mempunyai elemennya masing-masing, termasuk api. Aku hanya memindahkannya dari lapisan lain," jelas Crimson. "Dari lapisan yang tidak memiliki apa-apa selain api."

Indigo langsung meneguk ludah. Dia pernah mendengar soal nirwana, surga, utopia, tetapi tidak benar-benar percaya terhadap 'neraka'. "K-kamu ... mengeluarkannya dari sana?"

"Kurasa bagian itu juga bisa disimpan untuk besok," ucap Crimson, tersenyum seraya menepuk puncak kepala Indigo. "Sekarang jangan pikir yang macam-macam dulu. Tunggu aku membuatkanmu makan malam, oke?"

Crimson nyaris beranjak, tetapi tercegat oleh Indigo yang tiba-tiba meraih tangannya. "Jangan pergi," ujar perempuan itu sambil menunduk sungkan. Biarlah dianggap lemah, biarlah dianggap memalukan, Indigo tidak mau ditinggalkan lagi. Dia sudah muak sendirian dengan segala ketakutannya, apalagi ditambah oleh keanehan berupa makhluk-makhluk seram di sekitarnya seperti sekarang. "Aku tak mau makan. Aku ... takut."

Tatapan Crimson serta-merta melunak seiring laki-laki itu kembali duduk di samping kasur Indigo. "Kutemani sampai kamu tertidur, bagaimana?"

Kepala Indigo kian merunduk, sipu mulai merambati wajahnya. Mencari pengalih perhatian sekaligus kambing hitam, dia cepat-cepat berucap, "Kurasa makhluk perempuan di sudut itu menyukaimu."

Alis Crimson terangkat. "Benarkah?"

"Seringnya dia menangis, tapi ketika kamu bicara, dia tertawa cekikikan."

"Bisa kubayangkan," ujar laki-laki itu seraya tercengir.

Indigo turut terkikik, ketakutannya memupus drastis. "Apa kamu sempat bisa melihat mereka juga?"

"Ya," aku Crimson. "Tapi sekarang tidak lagi. Magenta yang melakukannya untukku, menutup penglihatanku dari mereka."

"Karena?"

"Mengganggu konsentrasiku. Perlu fokus tinggi untuk mengeluarkan api-api itu."

Indigo terperangah. Semakin banyak hal yang baru diketahui, semakin dia dibuat takjub dan penasaran. Dia pun mengemukakan dugaannya. "Crimson bukan nama aslimu, kan?" tanya perempuan itu.

"Tentu saja. Seperti namamu, Indigo, namaku hanya julukan," papar Crimson. "Soal julukan-julukan ini, kelak kamu akan tahu alasan di baliknya."

"Siapa nama aslimu?" sergah Indigo kemudian. "Namaku Nila. Nila saja. Orangtuaku terlalu malas memberi nama tambahan."

Crimson tersenyum, tetapi Indigo bisa memergoki sirat sedih yang mendadak muncul pada tatapan laki-laki itu. Serta-merta dia menyesal. "Maaf, omonganku asal-asalan dan tak sopan. Pak Petu—ayah angkatku bahkan sering bilang ingin menyumpal mulutku dengan kertas-kertas dari bukunya."

Laki-laki di samping Indigo menggeleng. "Suatu hari kamu akan mengetahui segalanya, Indigo. Tapi sekarang," ucap Crimson, perlahan meraih tangan Indigo dan menggamitnya erat-erat, "tak perlu tergesa-gesa. Tidurlah."

Seketika panas menjalari pipi Indigo, membuatnya berharap semoga mukanya tidak merona merah seperti ungkapan di buku-buku romansa yang pernah dia baca. Memahami bahwa memang tidak ada perlunya terburu-buru, bahwa sekarang dia sudah aman bersama Crimson kendati diawasi makhluk-makhluk halus, bahwa mereka berdua punya banyak waktu untuk diluangkan bersama, Indigo akhirnya bisa merasa tenang.

Indigo pun balas menatap laki-laki yang mampu memupus segala risaunya tersebut, menikmati penyatuan tangan mereka walau terhalang oleh lapisan sarung tangan Crimson, sampai dia berserah diri untuk disambut rengkuhan alam bawah sadar.

***

Indigo yakin dirinya sudah tertidur. Seharusnya. Namun, kini dia dapati dirinya justru berjalan di tepi pantai. Pantai yang sama, dengan warna pasir serupa, pun pemandangan matahari terbenam yang persis. Di depan sana, tak jauh, Indigo melihat puncak kepala seeekor ubur-ubur biru tengah melayang di permukaan ombak.

Seperti firasat, Indigo lantas menengok ke belakang, menemukan rumah mungil yang dulu sempat dia huni bersama Pak Petuah dan Iloa di kejauhan. Alih-alih berupa puing hitam, rumah itu masih berdiri utuh.

Kemudian, tatkala dia menengok ke kanan, Indigo melihat sosok seorang pria tua sedang duduk bersila di atas batu karang.

Pak Petuah.

Pria tua itu hidup. Utuh. Tanpa luka bakar. Menatap Indigo dengan sepasang mata kecilnya yang tegas.

Jangan lagi, batin Indigo. Dia tidak mau mengulang mimpi sebelumnya, yakni bertemu Pak Petuah hanya untuk kehilangan pria tua itu lagi.

Namun, kali ini, dari puncak batu tersebut, Pak Petuah memanggilnya, "Indigo, kemari!"

Indigo tertegun. Sempat dia ragu, sebelum akhirnya cepat-cepat berlari menuju batu karang tersebut.

Begitu jarak di antara mereka terpangkas hingga sejauh dua meter, pria tua itu lantas bergumam, "Indigo...."

"A-yah..?" balas Indigo. "Ap—"

"Anak sialan! Sudah kubilang jangan pergi! Mengapa kamu tidak bisa, sekali saja, menurut?!" Belum selesai Indigo berbicara, Pak Petuah sudah menyemburnya dengan raut ketus yang biasa terulas pada wajah keriput tersebut.

"AYAH!" seru Indigo.

Bahkan dalam mimpi, Indigo bisa merasa lututnya kebas dan gemetaran. Dia hendak berlari menuju Pak Petuah sebelum pria tua itu menyahut, "Jangan mendekat!"

Langkah Indigo terhenti seiring dia memelas sebal, "Ini hanya mimpi. Tak bisakah aku menyentuhmu?"

Pak Petuah menggeleng. "Bukan mimpi. Ini alam bawah sadarmu. Aku sengaja datang padamu lewat alam ini."

"Eh?" sergah Indigo.

"Mata batinmu sudah makin terbuka, bukan? Kamu sudah bisa melihat makhluk-makhluk gentayangan itu, yang berarti kamu kini bisa berkomunikasi denganku juga," ungkap Pak Petuah.

Terlalu nyata untuk menjadi mimpi, Indigo merasa emosinya kini meriak-riak. Sensasi jantung mencelus membelesaki sukmanya. Sebab kesadarannya penuh. Sebab dia mampu mengatur pikiran dan gerakan sesuai keinginannya. "T-tunggu, apa benar aku sedang berbincang denganmu? Bukan khayalanku? Tapi kamu kan ... sudah mati?"

"Tak semua yang mati benar-benar pergi, Indigo. Apalagi bila kita disertai kemampuan tak biasa. Kini kamu menyadarinya, bukan?" balas Pak Petuah.

Kendati kebingungan, Indigo coba menerka, "J-jadi, akibat kejadian hari ini, tak hanya aku bisa melihat makhluk halus, aku dapat berbincang dengan mereka juga? Dengan arwahmu? Kalau begitu, mengapa kamu tak muncul langsung di hadapanku saja alih-alih di 'mimpi' ini?"

"Tak bisa," jawab Pak Petuah seraya mendengkus. "Aku terperangkap di sini."

"Terperangkap?"

Alih-alih menjelaskan lebih rinci, Pak Petuah justru menajamkan tatapannya. "Dengar Indigo, aku tak bisa leluasa di sini, jadi biar langsung kusampaikan saja. Pulanglah ke desamu, Indigo."

"Apa?" tanya Indigo tak terima. "Akhirnya kita bisa bertemu lagi dan Ayah malah menyuruhku pulang begitu saja? Bagaimana kalau kamu jelaskan dulu apa yang terjadi sampai kamu bisa tewas terbakar? Jelaskan apa yang terjadi waktu kamu menenggelamkanku ke laut dan hubungannya dengan mimpi-mimpi ini?!"

Pak Petuah mendecih. "Seperti yang kubilang, pulanglah! Tak usah banyak tanya!"

Indigo membantah, "Tak mau!"

Si pria tua lekas beranjak sambil berseru marah, "Kamu kira aku tak tahu apa yang terjadi padamu setelah kutinggalkan? Mencuri uang Tuan Tanah? Mengamen di jalanan? Menyebabkan seseorang terbakar? Dan sekarang tinggal seatap bersama seorang laki-laki yang baru kamu kenal? Demi apa pun, aku belum pergi lama, Indigo!"

Saking telaknya ucapan tersebut, Indigo sampai tak berkutik, terlebih saat Pak Petuah meneruskan, "Kamu berbeda, Indigo. Selalu berbeda. Karena itulah selama ini aku menyembunyikanmu. Tapi sekarang, aku sudah tak bisa melindungimu lagi."

Bila fisiknya turut terbawa, mata Indigo pasti sudah basah oleh air mata sekarang. Namun kini, wujudnya yang semu hanya bisa berkata, "Aku tak mengerti.... M-masih banyak yang belum kuketahui. Mengapa kamu tak memberitahuku sebelum kamu pergi?"

"Kalau pun aku masih hidup, apa yang bisa kulakukan? Pria tua reyot nan peyot sepertiku bisa apa selain banyak omong kosong? Aku ini hanya tengik karatan yang sudah tidak berguna," ujar Pak Petuah, murka pada wajahnya tergantikan pedih dan sesal. "Seharusnya aku memberitahumu dari dulu, tapi ... "

"Tapi apa?"

"Aku terlalu menyayangimu."

Indigo merasakan dirinya runtuh menjadi seribu kepingan saat itu juga. Sebab satu-satunya orang yang memedulikannya, yang tulus menyayanginya, kini telah pergi dan Indigo hanya bisa berbincang dengan arwah Pak Petuah semata—yang bahkan Indigo cukup ragukan keabsahannya.

Pak Petuah berkata lagi untuk lebih meyakinkan Indigo. "Semua yang kukatakan adalah benar, Indigo. Ini bukan khayalanmu. Bukan manifestasi harapanmu. Aku benar-benar datang padamu untuk menyampaikan ini sekali lagi: pulanglah, Indigo."

"Ke mana?" lirih Indigo. "Aku sudah tak punya rumah..."

"Ke orangtuamu."

"Kamu orangtuaku." Lalu, meskipun telah lama Indigo pendam pemikiran ini, terlebih setelah anomali-anomali yang dialaminya, dia pun berucap, "Ayah ibuku di desa itu, mereka ... bukan orangtua asliku kan?"

Pak Petuah terbungkam, tetapi Indigo sudah dapat menerka jawabannya, sudah dapat menduga musabab rendahnya ikatan emosional serta perlakuan tak menyenangkan dari orang-orang yang selama ini dia kira adalah keluarganya.

Alih-alih menjelaskan, Pak Petuah justru mengulang, "Pulanglah, Indigo. Pulang. Demi hidupmu. Demi keselamatanmu. Meski kamu tak menyukainya, di sana kamu aman. Ada alasan kamu dibesarkan di desa itu."

Tetap, jawaban Indigo sama. "Tidak."

Pak Petuah menghela napas semu. "Dasar batu! Hah.... Kalau begitu, hanya satu pesanku. Jangan percayai siapa pun."

"Bahkan dirimu?" tanya Indigo.

Pria tua itu termenung sebelum menjawab, "Bahkan diriku. Percayai dirimu sendiri semata."

Indigo meragu. "Bagaimana bila aku salah?"

"Manusia pasti membuat kesalahan," balas Pak Petuah. "Asal jangan sampai kamu kehilangan dirimu. Aku benar-benar harus pergi sekarang, Indigo, sebelum mereka tahu aku mencapaimu."

"Mereka? Siapa?" gugat Indigo, sementara sosok Pak Petuah mulai memudar di hadapannya. Indigo segera menerjang maju, berupaya menyentuh si pria tua, tetapi tangannya justru menembus sosok buyar tersebut. Samar-samar, Indigo pun mendengar sisa-sisa wujud Pak Petuah berbisik sebelum tidurnya tuntas, "Seharusnya aku tak membiarkanmu pergi dari desa itu."

***

Indigo terbangun dengan mata basah. Sayup-sayup dia melihat cahaya matahari terbias masuk melalui tirai jendela. Crimson sudah tak ada di sampingnya, barangkali berada di kamar sendiri. Pemandangan lain yang Indigo saksikan adalah beberapa makhluk halus yang masih setia mengerubunginya, meskipun kini sosok mereka cenderung buyar akibat raupan sinar surya.

Namun, Indigo tak lagi peduli. Cepat-cepat dia mengusap air matanya, mengintip cermin untuk memastikan tak ada sembab di sana, lalu mengendap-endap keluar kamar menuju kamar mandi untuk mencuci muka.

Niatnya demikian, tetapi Crimson rupanya sedang berada di dapur, memanggang roti serta menggoreng telur sambil bersiul. Begitu mendengar suara pintu dibuka, laki-laki itu langsung menoleh dan memanggil Indigo, "Ayo sarapan."

Indigo tertunduk, diam-diam menyeka matanya untuk memastikan tak ada sisa air di sana selagi Crimson tak melihat. Dia pun duduk di samping meja makan, menunggu Crimson menyiapkan porsi sarapan untuknya.

Tak banyak yang mereka berdua bicarakan—selain Crimson menanyakan apakah tidurnya nyenyak—sebab Indigo lebih banyak diam dan melamun. Usai sarapan dan mandi, Indigo menurut saja terhadap ajakan Crimson untuk turun ke bawah, di mana sebuah mobil bagus bersama seorang supir sudah menyambut mereka di luar bangunan apartemen.

Kata Crimson, mobil itu kiriman Magenta.

Indigo mulanya tak terlalu penasaran dengan sosok Magenta ini sebab pikirannya masih terpusat pada Pak Petuah yang dia temui di dalam mimpi. Juga pada makhluk-makhlus halus yang sembarangan menyeberang jalan atau bergelantungan di dinding-dinding bangunan. Sesampainya mobil di sebuah rumah megah di kawasan pusat ibukota, barulah dia tercengang. Itu adalah rumah terbesar yang Indigo masuki, dengan perabot-perabot paling mahal yang pernah dia temui, dan keterpukauannya belum berhenti sampai sana. Tatkala asisten rumah tangga mengantar dia dan Crimson masuk ke ruang tengah, empat orang lain sudah menunggu di dalam.

Mereka berempat—seorang wanita dewasa, seorang remaja perempuan dan laki-laki sebaya Indigo, serta seorang anak laki-laki dengan sebelah mata tertutup—tampak sedang tidak berbincang ketika dia masuk bersama Crimson, seolah memang sengaja menunggu kedatangan Indigo. Selain manusia-manusia, Indigo pun melihat beberapa makhluk halus berada di dalam ruangan tersebut. Hanya saja, makhluk-makhluk itu tampak amat menjaga jarak dari para manusia, entah menempel di langit-langit ruangan atau duduk meringkuk di atas perabot terjauh.

Tidak ada cemoohan maupun ejekan, semua makhlus halus itu hanya menatap Indigo nanar.

Kemudian, si  wanita dewasa beranjak perlahan, berjalan menghampiri Indigo yang tiba-tiba merasa gugup. "Indigo," ucap wanita itu. "Aku Magenta."

Indigo ingin menjawab, "Aku tahu," tetapi menahan keinginan tersebut dan hanya mengangguk selaku respons. Tatapannya lekas menyapu pada ketiga orang lain secara sekilas, lalu terhenti pada laki-laki sebayanya yang balas menatap Indigo dengan pandangan sinis dan curiga. Namun, sebelum sempat menerjemahkan arti pandangan tersebut, Magenta berkata cepat, "Lilac, Wilis, dan Pirus," sambil menunjuk satu per satu orang yang dimaksud. "Kita bisa berkenalan nanti. Sini, duduklah di sampingku."

Indigo lantas melirik Crimson, yang hanya tersenyum padanya dengan tatapan bersirat, 'Ikuti kata-katanya.' Kendati ragu, Indigo pun duduk di sofa yang ditunjuk Magenta, sementara wanita itu turut duduk di samping seraya menghadapnya.

"Tidak akan sakit," terang Magenta. "Kamu hanya perlu memejamkan mata dan tak memikirkan apa-apa. Tenggelamkan benakmu dalam kekosongan. Bernapaslah dengan teratur."

Indigo pun menurut, membiarkan Magenta melakukan apa-apa padanya dan tak terlalu khawatir sebab Crimson berada di dekatnya pula. Perlahan, Indigo merasa pipinya diraba. Tidak seperti laki-laki misterius yang mencengkeram wajahnya, tangan Magenta hanya merengkuh pipi Indigo dalam tangkupan halus. Namun, tangan itu dingin, seakan-akan pipi Indigo baru saja ditempeli es batu. Lalu, yang lebih membuat Indigo terkejut, dia tidak memperoleh Penglihatan kematian tatkala kulit wanita itu bersentuhan dengan kulitnya.

Yang Indigo kira, dia akan dihujani mantera-mantera seperti yang dilakukan dukun di kampungnya dulu acap kali terjadi ritual pengusiran setan. Atau disembur dengan air kumur-kumur dari mulut sebagai iming-iming 'pemurnian'. Alis Indigo sampai mengernyit sebagai antisipasi, tetapi yang dia rasakan ialah sebuah bibir mendarat lembut pada keningnya.  Memberinya kecupan. Hanya sedetik dua detik, sebelum kemudian terlepas begitu saja.

"Selesai," ujar Magenta. "Buka matamu. Kini kamu bisa tenang kembali."

Indigo membuka mata. Benar kata Magenta, Indigo tidak lagi melihat penampakan-penampakan menjengkelkan yang sejak kemarin menghantuinya. Dia tidak lagi melihat makhluk-makhluk yang semula berada di langit-langit serta perabotan ruangan tersebut. Penglihatannya kini bersih, hanya menampilkan apa-apa yang sewajarnya dilihat oleh mata manusia.

Crimson lantas berlutut di hadapannya, bertanya penuh perhatian, "Bagaimana?"

Sambil menahan sipu, Indigo mengangguk selaku isyarat bahwa apa-apa yang dilakukan Magenta telah berhasil. Crimson tersenyum lega, yang Indigo harap bisa dia nikmati lebih lama, tetapi wanita di sampingnya kepalang beranjak.

"Crimson," panggil Magenta, tanpa melirik laki-laki itu.

Kemudian, tanpa berkata apa-apa lagi, Magenta pergi meninggalkan ruangan. Crimson merapatkan bibir sejenak, kemudian menepuk lutut Indigo seraya berkata, "Aku pergi dulu, sampai ketemu nanti, ya?"

Laki-laki itu pun bertolak menyusul Magenta. Indigo sempat mengerjap bingung, sebelum sadar bahwa tiga orang di hadapannya masih di sana, menatapnya lekat-lekat. Perempuan sebayanya, yang Indigo ingat diperkenalkan dengan sebutan Lilac, menyapanya ramah, "Indigo? Bagaimana kalau kami bawa keliling rumah ini? Ada panti juga di sebelah."

Kendati segan, sebab tak tahu harus berbuat apa di rumah asing tersebut selagi menunggu Crimson, Indigo menuruti ajakan tersebut. Dia pun dibawa oleh Lilac, Wilis, dan Pirus menyusuri satu per satu lantai dan ruangan di rumah besar tersebut. Terkecuali satu kamar di lantai dua, yang Lilac sebut sebagai kamar Magenta, yang mana kemungkinan wanita itu dan Crimson tengah berbincang di sana.

Selama tur tersebut, sambil pura-pura menyimak penjelasan dan celotehan Lilac, Indigo merasa Wilis memperhatikannya lekat-lekat. Anak bernama Pirus pun demikian, tetapi jenis pandangan mereka berdua berbeda. Bila Pirus lebih seperti penasaran, Wilis memandanginya dengan sengit seumpama curiga.

Ketika akhirnya mereka tiba di panti, tatkala Lilac dan Pirus menghampiri anak-anak yang sedang bermain di lobi, Indigo yang risi langsung menanyai Wilis, "Ada yang salah denganku?"

Wilis, tampak ketir sejurus, menjawab, "Tidak."

"Kalau begitu jangan menatapku seperti itu!" sentak Indigo.

Mendengar jawaban ketus nan kasar tersebut, Wilis langsung terpicu. "Aku mau tanya, kuharap aku salah, apa kamu pernah mencopet di bus kota bersama seorang temanmu?"

Teringat hari-hari pemberontakannya bersama Ipan, Indigo nyaris terkesiap. Cepat-cepat dia berdalih, "Aku tak mengerti."

"Berarti hanya mirip," ucap Wilis, kendati masih curiga. "Aku dicopet beberapa minggu lalu. Kehilangan seluruh uangku."

"Oh," respons Indigo, berupaya terdengar simpatik. Diam-diam, Indigo teringat Ipan pernah mencopet duit yang cukup banyak--yang pengamen itu sebut sebagai 'tangkapan bagus'--lalu menyimpan uang itu untuk dirinya sendiri sampai Ipan kabur meninggalkan Indigo pada kebakaran silam.

Betapa pun seharusnya Indigo penasaran terhadap Magenta dan orang-orang lain di rumah tersebut, pada kenyataannya dia tak begitu peduli. Barangkali karena peringatan Pak Petuah di dalam mimpinya, Indigo merasa tak betah. Dia hanya ingin meninggalkan rumah besar itu segera--menolak ajakan Lilac untuk bermain bersama anak-anak panti dan hanya diam di sisi dinding seraya memerhatikan mereka semua. Terkadang, Wilis masih mencuri pandang padanya dengan curiga, sampai-sampai Indigo harus membuang muka acap kali tatapan mereka bertemu.

Ketika akhirnya Lilac mengajaknya kembali ke rumah utama untuk makan siang, Indigo bisa bernapas lega. Pirus tidak ikut, menetap di panti. Setibanya Indigo, Lilac, dan Wilis di sana, Magenta dan Crimson sudah menunggu di meja makan, lengkap dengan beragam hidangan yang persis seperti sajian restoran mewah. Pada kondisi normal, Indigo sudah akan menyantap semuanya dengan lahap, sebab selama ini makanan-makanan demikian hanya bisa dia idamkan dari luar jendela restoran. Namun kini, seleranya tak tergugah sama sekali, terlebih karena menyaksikan Crimson berada di samping Magenta alih-alih di dekatnya. Di sebelah Indigo, Lilac dan Wilis sedang bercakap tentang sesuatu sambil bertukar tawa, kentara memancarkan hubungan khusus di antara keduanya--membuat Indigo menyadari kehadirannya sama sekali asing bagi orang-orang ini.

Kendati demikian, Indigo sampaikan pertanyaan yang sudah disimpannya sejak kemarin pada Magenta, "Bagaimana kamu tahu tentangku?"

Magenta, yang sedang khidmat menyesap minuman merahnya, tersenyum pendek. "Kita, para Rona, akan saling tertarik. Memanggil satu sama lain. Seperti takdir, bila kamu percaya dengan yang demikian."

Sambil mendengar jawaban itu, Indigo memerhatikan tampilan Magenta yang--terpaksa dia akui--memesona. Bila Indigo menaksir usia Crimson tak lebih dari dua puluh lima tahun, dia mengira barangkali Magenta berusia nyaris tiga puluh. Biarpun begitu, kecantikannya tak lekang, memikat sekaligus asing, antik pula eksotik, seperti tidak berasal dari dunia ini.

Serta-merta, Indigo merasa iri karena Magenta begitu cantik. Lilac begitu jelita. Dia bisa mendeteksi sorot puja Wilis terhadap Lilac, dan takut kalau-kalau Crimson pun merasa demikian terhadap Magenta atau pun Lilac meski tidak ditunjukkan secara gamblang. Hanya dirinya yang berbeda, lebih cocok diibaratkan seperti kain lap kumal bila dibandingkan dengan kedua perempuan itu. Memikirkan itu, Indigo kian merasa terasing dan terpojokkan.

"Itu saja?" tanya Magenta, menanggapi diamnya Indigo. "Yang kudengar dari Crimson, kamu selalu penuh rasa ingin tahu."

Karena Indigo masih diam, Magenta pun meneruskan, "Mungkin kamu masih syok sekarang, tentu saja kamu bisa bertanya lain waktu. Kapan pun. Bahkan kamu bisa menetap di sini, Indigo. Kurasa lebih baik begitu, di luar sana bukan lagi tempat yang aman untukmu...."

"Tidak," tolak Indigo singkat, datar, tanpa menyertakan terima kasih atas tawaran tersebut.

"Rumah ini akan selalu terbuka untukmu," ujar Magenta lagi.

Sudut mata Indigo langsung menyasar Magenta dengan siaga, membuatnya berucap pada Crimson, "Aku mau pulang."

Crimson, di tengah kunyahannya, membalas, "Nanti, Indigo."

"Aku mau pulang sekarang!" sentak Indigo. Di sampingnya, Lilac dan Wilis langsung berhenti makan, menatap Indigo dengan terkejut sekaligus tegang. Detik berikutnya, Indigo segera berdiri lalu berjalan cepat meninggalkan ruang makan. Crimson lekas menyusulnya sambil memanggil, "Indigo!"

"Biarkan," ujar Magenta kemudian, memberhentikan langkah Indigo dan Crimson untuk sejenak. Seraya tersenyum, wanita itu berkata lembut, "Kelak kamu akan datang lagi kemari, Indigo, mencariku. Sampai jumpa untuk waktu yang takkan lama."

Indigo hanya mendecih, tanpa pernah menengok ke belakang lagi.

***

Sepanjang perjalanan pulang, Indigo dan Crimson tidak saling berbicara. Keduanya hanya memandang ke luar jendela mobil, menyimpan emosi masing-masing. Sesampainya di apartemen, Indigo langsung berjalan cepat menuju kamarnya, tetapi Crimson cepat-cepat mencegat.

"Kita harus bicara soal tadi," ujarnya tegas.

Indigo enggan. Dia hanya mengabaikan laki-laki itu sambil lanjut berjalan. Direspons demikian, Crimson lekas berucap dingin, "Kuharap kamu bisa lebih menjaga sikapmu, Indigo."

Napas Indigo sontak menyesak. Crimson, yang selama nyaris tiga minggu dikenalnya sebagai sosok ramah yang tak pernah marah, kini mengatainya seumpama manusia kurang ajar. Indigo bertanya-tanya dalam benak, apa karena dia ketus terhadap Magenta sehingga Crimson tak terima? Apa orang-orang rupawan memang lebih dihargai dibanding orang berparas tak menarik seperti dirinya? Berasumsi demikian, Indigo justru kian merasa kesal. Cepat-cepat dia menuju kamarnya, lalu membanting pintu persis di hadapan Crimson.

"Indigo!" seru Crimson, tetapi laki-laki itu tak sampai hati membuka pintu. Hanya menepuk pintu sekali, lalu setelah tak ada jawaban, menjauh dan membiarkan Indigo menyendiri. Di dalam kamar, Indigo langsung telungkup di atas kasur, menutup kepalanya dengan bantal, lalu meredam jeritan tanpa suara pada kain seprai.

Sampai malam tiba, tanpa menyalakan lampu kamar, perempuan itu masih merebah di atas kasur, menduga barangkali si tuyul yang kini tak bisa dia lihat sedang terpingkal-pingkal menertawainya, atau sekadar melamun sambil mengangkat kaki demi mengamati tato ubur-ubur yang tertanam di sana.

Kemudian, terdengar suara pintu diketuk.

"Indigo," ucap Crimson dari balik pintu. Suara laki-laki itu kembali lembut, tanpa nada dingin seperti tadi siang. "Aku pergi dulu sebentar. Pintu depan kukunci, ya. Makanan ada di meja, jangan lupa makan."

Indigo tak menjawab, menunggu hingga terdengar suara pintu ditutup yang menandakan laki-laki itu benar-benar sudah pergi. Sontak napas Indigo menyesak lagi, matanya berkaca-kaca, diliputi penyesalan karena ulahnya siang tadi. Pak Petuah, Crimson--Indigo akhirnya menyadari dia selalu mengecewakan orang-orang yang tulus memedulikannya.

Indigo pun mengusap air matanya dengan kedua tangan. Sambil melakukan itu, sebab matanya terpejam, Indigo tak dapat melihat sekitarnya. Tiba-tiba saja, Indigo merasa ada benda halus nan berat merambati lalu menyelimuti tubuhnya, membuatnya tersentak kaget. Ketika membuka mata, Indigo langsung menjerit.

Selusin lengan sedang meliliti tubuhnya. Seperti peristiwa si laki-laki bertopi, lengan-lengan itu ... tak bertuan, melainkan berujung pada kekelaman di bawah kasur. Detik berikutnya, lengan-lengan dingin itu menyergap tubuh Indigo hingga terjerembab di atas kasur. Jari-jari putih pucat mereka mencengkeram baju Indigo kuat-kuat, memerangkap perempuan itu sehingga tanpa celah untuk lolos.

"Crimson!" panggil Indigo secara percuma.

Jantung Indigo berdebar kencang seiring lengan-lengan itu kian melilit tubuhnya layaknya ular yang sedang melilit mangsa. Sementara itu, permukaan kasur kini meluruh seperti pasir hisap, mulai menelan Indigo ke dalamnya entah menuju ke mana. Indigo lekas memanggil, "CRIMSON!" dengan lebih kencang, dengan lebih putus asa, sebab dia tak ada daya untuk melawan cengkeraman yang luar biasa kuat tersebut walaupun sudah meronta sekuat tenaga.

Namun, lengan-lengan itu menang telak seiring mereka menyergap Indigo, membungkusnya, lalu menelan perempuan itu ke dalam kegelapan absolut yang tak berdasar di bawah kasur.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top