Rona X: Lilac
Datang ke kota besar tidak pernah menjadi impian Wilis sebelumnya, apalagi untuk melanjutkan pendidikan. Namun, semenjak mendengar suara Lilac, dan bahwa ternyata perempuan itu tinggal di ibukota, Wilis belajar mati-matian supaya dapat diterima di perguruan tinggi di sana. Di sekolah, dia tanyakan sebanyak-banyaknya materi pelajaran yang belum dia pahami pada guru-guru. Pada jam istirahat, dia mintai catatan-catatan dari rekan-rekan sekelasnya yang mengikuti lembaga bimbingan belajar. Pulang sekolah, Wilis senantiasa langsung mengurung diri di kamar untuk berkutat dengan latihan soal ujian. Ayah dan ibu angkatnya kentara tak senang dengan inisasi Wilis tersebut, terlebih karena tinggal di ibukota akan menghabiskan banyak biaya, dan mereka tak sudi dibuat susah oleh kebutuhan Wilis berdasarkan yang dia curi dengar selama ini.
Namun, semenjak mendengar suara Lilac, hanya perempuan itu yang Wilis tuju. Selama beberapa bulan belakangan, bisikan-bisikan Lilac selalu menemaninya tatkala Wilis kesepian dan membutuhkan dampingan. Atau sekadar menyemangatinya untuk memahami rumus-rumus fisika dan matematika yang rumit. Kendati demikian, perempuan itu, Lilac, hanya muncul sepanjang malam. Pagi hingga siang hari, janggalnya dia membisu, dan inisiasi koneksi di antara mereka berdua hanya bisa dilakukan oleh Lilac.
Lalu, ketika akhirnya kabar penerimaan Wilis di perguruan tinggi ibukota keluar, laki-laki itu langsung mengangkat koper dan mengambil langkah seribu tanpa ragu. Membeli tiket kereta terpagi. Pamit pada ayah dan ibu angkatnya tanpa elegi. Membisiki Lilac pada malam sebelum keberangkatannya—yang disambut perempuan itu dengan bisikan antusias nan setara—bahwa mereka akan berjumpa segera.
"Sebentar lagi," bisik Lilac. "Akhirnya kita bisa bertemu."
Hanya melalui rentetan kata tersebut, Wilis sudah dibuat gugup. Baginya, bertemu Lilac berarti menjemput angan dan hasrat, bukan sekadar mengantarnya pada jawaban tentang indera pendengarannya yang luar biasa sensitif.
Nahas, kota besar bukanlah tempat bersahabat bagi Wilis yang lahir dan tinggal di kota-kota kecil selama delapan belas tahun hidupnya. Begitu sampai di ibukota, keluar dari stasiun sambil mengangkut tas gembolan yang memuat seluruh pakaiannya, laki-laki itu harus mencari tempat singgah terlebih dahulu, yakni kos-kosan murah yang menurut sumber-sumber daring terletak tak jauh dari kampus. Pengalaman gonta-ganti orangtua angkat membuat Wilis cukup mandiri, sehingga keharusan tersebut bukanlah perkara mengerikan.
Namun, yang tak diantisipasi Wilis terjadi tatkala dia menaiki bus kota untuk menuju destinasi pertamanya tersebut.
Suasana bis kota sore itu sangat padat, bertepatan dengan jam pulang kerja. Wilis, tidak kebagian bangku, menyimpan gembolan besarnya di atas lantai bus. Sambil berdesakan dengan mayoritas pegawai kantoran, dia harus tahan menghirup bau keringat dari ketiak-ketiak yang terangkat. Harus tahan mendengar keluhan dan celotehan dari puluhan mulut di sekitarnya. Saking padat dan berisiknya, Wilis sampai tidak sadar ada yang merogoh saku celananya diam-diam dari belakang. Barulah ketika bis berhenti di suatu halte, Wilis menyadari saku celananya terasa lebih longgar. Dengan panik dia menepuk-nepuk sakunya, tidak menemukan dompetnya yang semula tersimpan di sana.
Cepat-cepat Wilis menengok ke arah jendela untuk mengamati para penumpang yang baru turun di halte. Di luar bis, dia melihat seorang remaja laki-laki cepak dan perempuan berambut keriting—keduanya berpakaian lusuh serta tampak seperti pengamen—berjalan tergesa-gesa menjauhi trotoar begitu keluar bus. Tangan laki-laki cepak itu terlihat memegang dompet cokelat milik Wilis—mudah dikenali berdasarkan corak kelupas besar pada benda tersebut.
Refleks Wilis berseru, "Dompetku!"
Laki-laki itu segera berlari menuju bagian depan bus, meminta si supir berhenti padahal kendaraan baru mulai melaju. Sambil menggerutu, supir bus pun mengerem lagi, serta-merta mengeluarkan umpatan isi kebun binatang ketika Wilis langsung turun sambil minta maaf tak bisa membayar ongkos sebab dompetnya baru dicopet.
Sialnya, bahkan setelah Wilis berlari terpontang-panting menuju arah si laki-laki cepak dan perempuan berambut keriting berlalu, dia tidak dapat menemukan mereka berdua. Lutut Wilis langsung lemas, gembolan tasnya dia jatuhkan ke trotoar begitu saja. Seluruh uangnya—bekal setara biaya hidup sebulan yang kelak harus dia ganti ke orangtua angkatnya—disimpan di dalam dompet tersebut dan kini lenyap tak bersisa.
Tatkala petang menjelang, Wilis terpaksa menepi di sebuah pos ronda terdekat yang kosong. Di sana, sambil mempertimbangkan tempat itu sebagai lokasi menginapnya malam ini, dia kebingungan mencari jalan keluar. Bila lapor ke polisi, pastilah dia akan disuruh merelakan dompetnya saja. Di sisi lain, Wilis tidak bisa menghubungi orangtuanya—ponselnya sudah dijual demi membeli tiket kereta api. Jangankan sanak saudara, dia tidak punya kenalan atau pun kerabat di ibukota.
Kecuali Lilac.
Maka dari itu, Wilis menunggu. Dengan perut lapar, kerongkongan kering, kedinginan di balik jaket tipis, dan duduk di alas kantor pos ronda sendirian, dia menanti malam turun.
Ketika langit sepenuhnya gelap, akhirnya, terdengar suara Lilac memanggilnya.
"Bagaimana perjalananmu?"
Wilis tertegun, nyaris ingin menangis mendengar suara perempuan itu. Untungnya, hubungan telepati di antara mereka tidak memerlukan suara, sebab pasti dirinya sudah akan berbicara dengan gemetaran. "Aku dicopet di bus menuju kampus."
"Wilis..." Meskipun tak terdengar intonasi, Wilis bisa mendeteksi lirihan prihatin dalam balasan Lilac tersebut.
"Besok aku mungkin tak bisa langsung menemuimu," balas Wilis muram. "Harus menghubungi orangtuaku dulu dan pinjam uang lagi." Mudah diucapkan, meskipun laki-laki itu tak yakin bagaimana mewujudkan rencananya tersebut.
"Datanglah ke tempatku," balas Lilac segera.
"Eh?" Balasan Lilac kontan mengejutkan Wilis. Kendati demikian, laki-laki itu diam-diam berharap. "Apa ... boleh?"
"Tak apa," ujar Lilac lembut. "Dengan begini kita bisa lebih cepat berjumpa, bukan?"
Dada Wilis menghangat, membayangkan perempuan itu tersenyum seraya membisiki ajakan tersebut. Lilac pun lanjut meminta Wilis untuk menjelaskan posisinya sekarang, kemudian memberi panduan bagi laki-laki itu untuk bertolak. Usai berjalan kaki kurang lebih tiga puluh menit, menyusuri jalan perkotaan yang ramai tetapi abai terhadapnya, sampailah Wilis di lokasi yang dimaksud Lilac. Namun, begitu melihat sebuah rumah mewah bertingkat tiga menyambutnya, selaras dengan rumah-rumah mewah lain di komplek perumahan yang dia masuki, Wilis sempat mengira dia salah arah. Rumah di hadapannya tersebut terbagi menjadi dua bangunan. Bangunan di sebelah kiri tampak mewujud rumah biasa, sedangkan pada bangunan kanan yang lebih besar, Wilis melihat ada papan besi bertuliskan 'Panti Asuhan' tertancap di halaman depan.
Seakan memahami keraguan laki-laki itu, suara Lilac kembali memenuhi kepala Wilis. "Masuklah, aku bisa melihatmu dari jendela."
Wilis mendongak, mendapati siluet perempuan berambut panjang di balik salah satu jendela pada lantai dua bangunan kiri. Dia langsung meneguk ludah, tak sabar sekaligus gugup untuk menemui Lilac. Apakah ini berarti Wilis akan bertemu orangtua perempuan itu juga? Seketika keringat dingin membubuh pada dahinya, sadar bahwa dirinya tak membawa martabak, kue, atau pun bingkisan lainnya sebagai suguhan.
Lalu, begitu Wilis mendekat, seorang satpam berpakaian hitam membukakan pagar, tersenyum, kemudian mengantarnya menyeberangi halaman luas sampai ke pintu depan rumah. Satpam itu pun memencet bel pintu sebelum pamit kembali ke pagar, meninggalkan Wilis yang masih gugup oleh sambutan mendadak tersebut.
Terlebih, begitu pintu depan akhirnya dibuka dan menampilkan sosok seorang remaja perempuan.
"Wilis," ucap perempuan itu seraya tersenyum, mempersilakan Wilis masuk ke ruang depan rumah besar tersebut.
Jantung Wilis mencelus seraya dia menyaksikan pemandangan paling sani. Bukan kemegahan interior rumah yang membuatnya ternganga, melainkan sosok perempuan yang menyambutnya. Suara Lilac persis seperti yang Wilis bayangkan, sementara penampilan perempuan itu jauh melebihi ekspektasinya. Rambut lurus panjang, hitam kecokelatan, membingkai wajah halus Lilac. Bibirnya merah muda merekah, matanya bundar berbinar, dan pipinya berhiaskan lesung yang memikat. Gaun tidur berwarna putih membungkus lekuk tubuh ramping perempuan itu. Bagi Wilis, cantik saja tidak cukup untuk melambangkan Lilac yang berdiri di hadapannya. Sebutan bidadari takkan berlebihan, dia yakin siapa pun akan sependapat.
Untuk memastikan dia tak keliru, sambil terbata saking gugupnya, Wilis bertanya, "K-kamu ... benar Lilac?"
Lilac kembali tersenyum lalu mengangguk, kian meriuhkan degup jantung Wilis yang sudah tak keruan. Sebelum perempuan itu hendak berkata lagi, kedatangan seseorang lain mengalihkan perhatian keduanya.
"Temanmu sudah datang?"
Wilis menoleh ke sumber suara, persisnya ke arah tangga lebar yang menghubungkan ruang depan dengan lantai dua. Di sana, seorang wanita sedang berjalan turun, mengenakan setelan jas dan rok selutut yang berkelas. Parasnya jelita, kendati Wilis tetap bersikukuh Lilac juaranya. Wilis menerka usia wanita itu paling tidak sudah mencapai kepala tiga. Yang jelas, senyum percaya diri dan tatapan tegasnya mangkus membuat Wilis semakin gugup.
"Dia kakakku," terang Lilac pada Wilis di sebelahnya. "Magenta."
Pada kesempatan lain yang lebih rileks daripada ini, Wilis ingin sekali bertanya mengapa adik-kakak tersebut—meskipun tidak tampak mempunyai kemiripan fisik—sama-sama memiliki nama serupa warna. Untuk sekarang, Wilis hanya bisa termangu, menyaksikan wanita bernama Magenta kian mendekatinya.
"Lilac sudah cerita banyak tentangmu," ucap Magenta kemudian. Dari dekat, Wilis merasa ditelanjangi oleh tatapan intens dari Magenta, pun dicekik oleh aroma mawar menyengat yang menguar dari rambut kecokelatan wanita itu.
"Oh, aku—" jawab Wilis tergugup.
Belum sempat Wilis menuntaskan balasannya, Magenta lekas memotong, "Apa artinya hidup, Wilis?"
"Eh?" balas Wilis bingung. Alih-alih pertanyaan umum seperti nama lengkap atau dari mana asalnya, dia malah mendapat pertanyaan tak biasa seperti itu.
Lilac lantas melirik Magenta penuh arti, sewajarnya seorang adik yang malu karena kakaknya bertanya macam-macam pada teman yang mampir ke rumah. Menanggapi itu, Magenta tersenyum simpul. "Tak perlu dijawab sekarang. Pikirkan saja dulu. Kamu pasti lelah setelah perjalanan panjang dan butuh istirahat."
Dengan demikian, Magenta pun berlalu ke ruangan sebelah, meninggalkan Wilis dan Lilac berdua di ruang depan. Usai jeda hening yang cukup canggung, Lilac berkata, "Aku akan mengantarmu ke kamar kosong di atas."
Sekali lagi, Wilis merasa tolol karena hanya bisa terbengong. Ini adalah momentum yang dia nanti-nantikan, ketika akhirnya dia bisa bertemu perempuan impiannya selama berminggu-minggu belakangan, yang bahkan penampilan dan gesturnya ternyata melebihi ekspektasi. Lutut Wilis terasa kebas dan keringat dingin masih membasahi tubuh gugupnya selagi dia mengikuti perempuan jelita yang kini membawanya ke sebuah kamar besar di lantai dua.
Di sana, selain kasur dan perabotan lain, tersaji piring berisi nasi serta lauk pauk di atas meja—lengkap dengan buah-buahan dan air putih—seakan khusus disiapkan untuk kedatangan Wilis. Lilac pun mempersilakan Wilis untuk menyantap hidangan tersebut, lalu berkata bahwa dia hendak berbincang dengan kakaknya di lantai bawah.
Sebelum Lilac meninggalkan kamar tanpa menjelaskan barang sepatah-dua patah kata tambahan, Wilis beranikan diri untuk mencegat. "T-tunggu," ujarnya tergugu, semata masih ingin bersama Lilac lebih lama.
"Besok saja," ujar Lilac, seolah bisa membaca pikiran Wilis. Bibir lembut dan mata cerahnya membentuk lekukan padu. "Sekarang kita punya selamanya."
Seperti refleks, Wilis mengangguk patuh. Dibiarkannya perempuan itu pergi sementara dia terduduk lemas di atas kasur. Begitu melenakan. Begitu memanjakan, semua ini, meskipun terlampau tiba-tiba. Suasana hatinya yang semula runyam serta-merta menentram dan mendorong laki-laki itu untuk merebah pada kasur empuk tersebut.
"Makan dulu, jangan langsung tidur."
Bisikan Lilac menerjang benak Wilis. Ternyata, koneksi di antara mereka belumlah putus walaupun di bawah satu atap. Wilis semringah, membalasnya dengan bisikan, "Ya,"yang canggung. Terlupa akan kemalangan di bus kota sore tadi, usai makan, tidurnya pun pulas tanpa mimpi malam itu.
***
Hari-hari Wilis berikutnya seperti mimpi mewujud nyata. Dari yang semula dia kira hanya menumpang semalam di rumah Lilac, Wilis justru menetap lebih lama di sana. Usulan tersebut datang dari Magenta, persis pada pagi pertama ketika dia diajak sarapan bersama.
"Kamu sedang kesulitan uang, kan? Menetap saja di sini sampai kamu bisa mandiri," ucap perempuan itu dengan lugas, disambut oleh senyuman penuh harap dari Lilac yang tak bisa Willis tolak.
"T-terima kasih tawarannya, tapi ... bagaimana dengan orangtua kalian? Atau penghuni lain di rumah ini? Apa tidak keberatan menampungku?" respons Wilis saat itu.
Senyum singkat Magenta tampak sendu sebelum dia berkata, "Aku dan Lilac sudah tidak punya siapa-siapa lagi, Wilis, selain panti asuhan yang kudirikan di sebelah rumah ini. Kehadiran laki-laki dewasa di sini, selain satpam di luar, akan membuat kami merasa lebih aman."
Wilis menyanggupi, mulanya dengan bersit curiga, tetapi memang tidak ada orang lain di rumah tersebut dan dia merasa tak sopan untuk bertanya macam-macam perihal orangtua Magenta dan Lilac. Setelah itu, seperti kelak hari-hari menjelang, Magenta meninggalkan rumah sepanjang pagi hingga malam, yang diterangkan Lilac sebagai 'bekerja'. Wilis pun belum berani bertanya banyak perihal itu.
Lagi pula, dengan demikian, Wilis bisa mengenal Lilac lebih dekat melalui interaksi langsung alih-alih bisikan tanggung. Perlahan, kecanggungannya pun memupus. Setiap hari, usai menghadiri rangkaian orientasi kampus, laki-laki itu selalu disambut Lilac di rumah besar tersebut. Mereka akan berbincang, bertukar kabar seputar apa yang disukai dan tidak disukai masing-masing, atau Wilis sekadar mendengar senandung merdu dari perempuan itu.
Lilac suka bernyanyi, dan Wilis tidak masalah mendengarkannya setiap hari.
Selain itu, sesekali Lilac mengajak Wilis ke panti asuhan di bangunan sebelah. Di sana terdapat sekitar tiga lusin anak-anak dengan rentang usia bayi hingga sekolah menengah pertama. Mereka diasuh oleh para perawat yang datang setiap pagi dan pulang setiap sore, kecuali dua atau tiga perawat yang bergantian menginap untuk mengurus para bayi dan balita.
Salah satu yang paling akrab dengan Lilac adalah anak laki-laki bernama Pirus, yang Wilis temui pada hari ketiga dia menetap di sana. Anak itu berumur kisaran dua belas tahun dengan badan kurus nan ramping. Penampilannya wajar, kecuali—yang membuat Wilis cukup terkesiap—adalah satu mata anak laki-laki itu selalu tertutup.
"Mata kirinya buta," jelas Lilac kala itu, sementara Pirus malu-malu bersembunyi di baliknya.
Wilis menyapa Pirus dengan ramah, tetapi si anak laki-laki enggan membalas dan malah mengajak Lilac untuk bermain monopoli di ruang tengah panti. Rutinitas tersebut seterusnya berlangsung, setiap hari selama berminggu-minggu, hingga membuat Wilis berprasangka anak tersebut memang tidak menyukainya.
Tetap saja, itu hanya satu dari sekian hal yang membuat Wilis merasa janggal, tetapi dia pendam dalam-dalam sebab kehadiran Lilac sudah cukup.
Namun, pada minggu ketiga, selagi Wilis sedang makan malam bersama Magenta dan Lilac, tiba-tiba pertanyaan itu menyasarnya lagi.
"Apa artinya hidup, Wilis?" tanya Magenta.
"Eh?" balas Wilis terkejut.
Magenta melirik Wilis seraya menyesap anggur merah secara singkat. "Kukira kamu sudah memikirkan jawabannya?"
Lilac menghela napas tertahan, sedangkan Wilis cepat-cepat memutar otak untuk menjawab pertanyaan dadakan tersebut. Dengan gugup bercampur bingung, Wilis membalas, "Arti hidup.... Menjalani hari-hari sebaik mungkin?"
"Begitukah?"
Kendati Magenta tersenyum, Wilis merasa wanita itu tidak puas sama sekali. Seakan-akan Magenta berharap lebih, berekspektasi sesuatu darinya, tetapi Wilis tidak dapat memberikan yang wanita itu kehendaki. Lekas Wilis berpikir keras lagi, memikirkan jawaban-jawaban yang sekiranya dapat memberi impresi.
"Bila, sekiranya, kamu tidak seperti manusia biasa; bila kamu berbeda, masihkah kamu akan menjawab demikian?" tanya Magenta lagi.
Wilis tertegun, teringat pada kemampuan pendengaran khususnya yang akhir-akhir ini dia abaikan kejelasannya. Belum sempat Wilis menjawab, tiba-tiba seorang perawat panti asuhan memasuki ruang makan dengan tergopoh-gopoh. Tanpa basa-basi, wanita itu berseru panik, "Anak itu, Bu! Bertingkah aneh lagi!"
Sebelah alis Magenta terangkat, tetapi tubuhnya sigap beranjak. Dengan segera, sambil diikuti oleh si perawat, dia berjalan cepat menuju panti asuhan di bangunan sebelah. Lilac juga turut menyusul dengan raut cemas, membuat Wilis melayangkan beribu tanya. Kebingungan Wilis meningkat berkali-kali lipat begitu mereka tiba di depan salah satu kamar yang pintunya kini ditutup rapat di bangunan panti asuhan.
Kamar Pirus.
Di baliknya, terdengar jeritan anak laki-laki yang menyiarkan kesakitan dan ketakutan.
"Kamu kembali ke kamar bayi saja, Mbak," ucap Magenta pada si perawat, yang langsung mengangguk dan bergegas ke sana seolah tak mau ikut campur dengan apa pun yang terjadi di balik pintu.
Lilac cepat-cepat membuka pintu usai si perawat pergi. Di dalam kamar, Pirus sedang meringkuk di atas kasur sambil mencengkeram kepalanya sendiri. Lilac pun menghampiri Pirus, merangkul pundak si anak laki-laki yang sedang gemetaran hebat sementara Magenta hanya mengamati dengan tenang dari ambang pintu. Wilis turut mendekati Pirus, berharap bisa turut menenangkan anak laki-laki itu dengan mengusap kepalanya, tetapi Pirus justru memberontak sambil berteriak, "Argh!"
Detik itu juga, kepala Pirus mendongak. Satu matanya yang selama ini tertutup kini membuka. Namun, alih-alih organ serupa bola putih, yang Wilis lihat pada rongga mata tersebut adalah kekosongan. Bukan kekosongan yang terhubung dengan daging merah, melainkan kekosongan hampa yang gelap. Seperti ada ruang kosong di balik mata tersebut. Seperti langit malam yang legam. Hanya saja, ruang hitam itu tidak benar-benar gulita. Ada titik-titik putih di sana, serupa bintang-bintang yang menghiasi angkasa. Serupa konstelasi. Serupa semesta.
Wilis langsung menjengit, tubuhnya terjengkang ke belakang saking terkejutnya. Sementara itu, Pirus kian meronta-ronta dan menjerit kesakitan, "ARGH!!!"
Lilac lekas merangkul Pirus dari belakang, berbisik, "Tenanglah, Pirus, tenanglah..."
Dalam sekejap, Pirus sedikit menenang. Jeritahannya berubah menjadi rintihan parau. Namun, seiring tubuh anak laki-laki itu melemas, setitik air mata berwarna semerah darah berlinang dari kekelaman hampa pada rongga mata kirinya.
"Pirus!" seru Lilac, sementara anak laki-laki dalam pelukannya kini tak sadarkan diri. Anak itu masih bernapas, mata kanannya memejam, tetapi mata kirinya terbuka dan lanjut melinangkan tetes darah berikutnya.
Barulah Magenta bereaksi. Cuping hidung wanita itu mengembang seiring dia menarik napas dalam-dalam. Detik selanjutnya, nyaris membuat Wilis jantungan, dering ponsel terdengar dari saku celana Magenta. Wanita itu lantas keluar kamar sebentar untuk mengangkat telepon, sempat menyisakan samar-samar suara seorang laki-laki dewasa dari pelantang ponsel. Di sisi kasur, Wilis hanya bisa ternganga selagi menyaksikan Lilac menimang-nimang tubuh Pirus dengan khawatir.
"A-apa yang terjadi?" tanya Wilis heran.
Lilac tidak menjawab, hanya meratapi tubuh semaput Pirus dengan sendu. Keheningan itu pun lekang begitu Magenta kembali ke kamar, berkata, "Mereka sudah bergerak."
Lagi, Lilac membisu, hanya merespons dengan membelai rambut lembap Pirus yang terbubuhi keringat dingin. Wilis pun memberanikan diri bertanya, "Mereka?"
Magenta memasukkan ponselnya ke dalam saku, melirik Wilis lekat-lekat. "Bersiaplah," ujarnya kemudian. "Besok kita kedatangan tamu."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top