Rona VII: Kelabu

Pantai itu tenang. Berombak, walaupun deburannya tidak menimbulkan riak suara. Kendati demikian, Indigo bisa membayangkan bagaimana ombak-ombak tersebut berbunyi. Bagaimana pun, sepertinya begitulah cara mimpi bekerja. Kamu tidak mendengar suara-suara secara harfiah, tetapi sanggup menghayati mereka melalui nalar. Dalam alam bawah sadarnya, nalar Indigo meyakini bahwa gulungan ombak sedang memanggilnya seumpama kawan lama yang mengajak bercengkerama.

Indigo paham dia sedang bermimpi. Tetap, dia ingin menetap. Seperti kebiasaannya dahulu, Indigo dapati dirinya berdiri di tepi pantai. Sendirian. Di sana, dia hanya tercenung, membayangkan semburat matahari seperti kuning telur yang tumpah sementara permukaan laut menangkupnya seumpama wajan. Memandang ke kejauhan, mengagumi cakrawala jingga yang mengambang di atas permukaan air nan nila, serta merasakan debur semu ombak sayup-sayup menggempur telinganya.

Nila. Dia nyaris tidak ingat, pula tidak ingin terngiang, bahwa dia pun sempat menjadi nila seperti air laut di hadapannya. Sebelum menjadi Indigo, biru baru yang terlahir kembali. Namun kini, dengan perginya Pak Petuah, masih pantaskah dia menyandang nama tersebut? Haruskah dia kembali menjadi Nila dan pulang ke kampung halamannya, meskipun dia tidak tahu di mana? Dia bahkan tidak ingat jalan pulang, hampir yakin seluruh perjalanannya adalah halusinasi kala itu. Mungkin, dan hanya mungkin, dia bisa terus mencari dengan berjalan dan terus berjalan, menggunakan arah berlawanan seperti ketika Pak Petuah menjemputnya, tetapi untuk apa? Kenangan akan kampung halamannya terasa seperti memori kabur yang tak Indigo rindukan sama sekali.

"Indigo!"

Lamunan Indigo lekas terbuyarkan oleh suara semu lain yang dia dengar. Panggilan yang tak asing. Refleks dia mendongak ke belakang sebelum tersengat oleh kehadiran seseorang. Kini, jauh di seberang hamparan pasir, di dekat sebuah rumah yang masih berdiri tegak alih-alih puing-puing hitam, Indigo melihat Pak Petuah sedang berdiri menatapnya. Pria tua itu utuh, tanpa luka bakar, dan—yang paling penting—hidup. Di samping Pak Petuah, Iloa menyalak girang seolah turut memanggil.

Indigo terbeliak. Ingin dia berlari menghampiri dua sosok yang teramat dirindukannya tersebut, tetapi kakinya tidak dapat digerakkan sedikit pun. Pasir di bawahnya seolah memerangkap kedua kaki perempuan itu. Kepanikan serta-merta menjalari Indigo, ditambah rasa tidak sabar untuk segera menghampiri Pak Petuah dan Iloa. Namun, tetap dia tak mampu bergerak, sementara di depan sana Pak Petuah memandanginya dengan raut cemas yang melebihi biasanya.

Kecemasan tersebut rupanya bukan tanpa alasan. Gemuruh semu pelan-pelan merambati pendengarannya. Seketika, didorong firasatnya, Indigo menoleh ke belakang. Tiba-tiba saja ombak mulai mengamuk, membentuk gulungan air tinggi yang berlomba-lomba menuju daratan. Permukaan air bergemuruh seakan-akan diterjang gempa lalu bersiap membentuk tsunami. Semburat jingga mentari pun tak kentara lagi, tertutupi oleh ombak yang terus meninggi. Laut tiba-tiba murka, sementara kaki Indigo masih tidak dapat digerakkan seujung jari pun.

Dalam kepanikan yang memuncak, Indigo kembali menatap ke depan. Pak Petuah sedang berlari ke arahnya dengan tangan menggapai-gapai, tetapi—di dalam mimpi pun—langkah pria tua itu masihlah lambat dan tertatih. Di belakang mereka, Iloa tidak turut mengejar, salakannya terhenti, dan justru terdiam memandangi tingkah dua manusia tersebut seperti menonton tayangan layar tancap yang sering digelar di lapangan desa.

Lengan Indigo pun balas menjulur ke depan, berharap Pak Petuah dapat segera meraihnya. Namun, pergerakan ombak jauh lebih cepat. Detik berikutnya, air sudah menerjang Indigo, melahap perempuan itu sebelum menariknya dengan arus yang semena-mena kembali ke lautan.

Kemudian, yang terakhir Indigo dengar sebelum laut menelannya, adalah teriakan lantang nan terengah dari Pak Petuah: "KEMBALI!"

Kedua mata Indigo sontak terbuka lebar-lebar. Laut yang melumatnya telah hilang, tergantikan oleh langit putih pucat yang dapat dia saksikan melalui kaca jendela.

Pagi sudah beranjak.

Indigo pun tersadar bahwa dia barusan tertidur sambil duduk di jok truk kecil yang sedang ditumpanginya. Di sebelahnya, si supir truk bersiul dengan tak peduli, sesekali bergoyang oleh alunan lagu yang terpancar keras-keras dari pengeras suara radio. Ketika Indigo menatapnya, si supir truk hanya melirik sekilas tanpa minat, sebelum pundaknya kembali naik turun sambil menikmati lagu penuh hentakan tersebut. Si supir barangkali hanya menganggapnya lelucon, terlebih Indigo tidak dapat memberikan alamat terperinci soal keberadaan siapa pun yang dia cari, tetapi pria berkumis itu tetap saja menyanggupi permintaan Indigo untuk mengantarnya ke kota—jelas akibat iming-iming segepok uang sebagai bayaran.

Indigo lantas mengusap kedua matanya demi menghilangkan kantuk. Juga menyeka air matanya yang sempat menggenang akibat mimpi barusan. Mimpi tersebut terasa sangat nyata. Terlalu nyata, malah, terlebih ketika manifestasi Pak Petuah dalam mimpinya berteriak agar perempuan itu kembali. Seketika itu pula, kegelisahan menyeruak di dalam diri Indigo. Dia merasa harus turun dari truk. Sekarang. Saat itu juga. Sebelum—entah bagaimana—terlambat.

"Aku mau turun di sini saja," ujar Indigo segera, menghentikan goyangan pundak si supir truk, tak peduli bahwa di sekitarnya adalah kawasan antah berantah yang tak Indigo kenali sama sekali.

"Jangan, aku akan mengantarmu ke seseorang yang mungkin tahu tentang orang yang kamu cari," balas si supir, enggan menepikan truknya.

"Bagaimana dia bisa tahu?" tanya Indigo, beranggapan jawaban itu terdengar lebih tidak masuk akal daripada permintaannya sendiri.

"Kamu bisa tanya macam-macam padanya," ucap si supir truk.

Diucapkan dengan intonasi meyakinkan, Indigo pun memutuskan untuk memercayai laki-laki itu terlebih dahulu. Seiring truk masih melaju, dia perhatikan pemandangan di luar jendela. Kontras dengan pedesaan, Indigo mendapati perkotaan menyajikan panorama yang amat berbeda. Alih-alih rumah kecil berbahan kayu atau bata, bangunan-bangunan tinggi berbahan beton serta kaca mengilap menjulang di pinggir jalan. Orang-orang berlalu lalang di antara gedung-gedung tersebut, tampak tak acuh satu sama lain, tak saling menyapa seperti orang-orang di desa tatkala mereka berpapasan.

Indigo pikir dia akan dibawa ke salah satu gedung mewah yang tampak menjanjikan tersebut, nyatanya si supir truk malah membawanya ke sebuah pasar kumuh. Truk kecil pun menelusuri jalanan becek hingga akhirnya menepi di pinggir suatu gudang kumuh di sudut pasar. Di sana, supir truk mengantar Indigo ke hadapan seorang pria bongsor bertampang sangar yang sedang duduk santai sambil merokok. Pria bongsor dengan muka penuh codet itu tercengir dari pinggir, membuat Indigo serta-merta ketakutan seiring firasat buruk menerjangnya.

"Kenapa kamu bawa aku ke sini?" desis Indigo, nyaris mundur sebelum si supir truk tiba-tiba mencengkeram lengannya. Melalui sentuhan tersebut, Indigo bisa melihat si supir truk kelak akan mati akibat kebanyakan menenggak miras oplosan, tetapi tidak digubrisnya sebab pria itu kini menariknya ke dekat si pria bongsor.

"Buatku?" tanya si pria bongsor, meloloskan asap rokok dari mulutnya ke wajah Indigo.

"Mau? Tak usah mahal-mahal, harga biasa saja," cetus supir truk, kini menarik Indigo tepat ke depan si pria bongsor yang mengamatinya lekat-lekat dari atas sampai bawah.

Indigo pun meronta percuma dalam cengkeraman si supir truk, menyentak, "Aku sudah membayarmu! Lepaskan!"

Si supir truk mengabaikannya, justru berkata pada si pria bongsor, "Perempuan ini agak sinting, tapi bisalah kamu perdayakan untuk cari uang."

"Buat apa? Kukirim ke rumah bordil sebelah?" kilah si pria bongsor, masih menilai penampilan fisik Indigo dan sesegera mungkin tampak tak yakin.

"Kurang laku buat jual diri," balas supir truk. "Jadikan pengamen saja selagi cari yang butuh pembantu. Kasih nama sesukamu."

Si pria bongsor pun beranjak, tampak setuju. Mengambil dompet dari saku jins belelnya, dia serahkan segepok uang pada supir truk—bertingkah seolah membeli Indigo jadi budaknya. Setelah itu, dia pun membuka pintu gudang di belakangnya dan membiarkan si supir truk menjebloskan Indigo ke dalam sana. Tanpa sempat kabur, pintu gudang itu lekas ditutup lalu dikunci dari luar, menyisakan kasak-kusuk tak terdengar antara si supir truk penipu dengan pria bongsor tersebut. Indigo menggedor-gedor pintu sambil berteriak minta tolong, tetapi pintu yang ditutup rapat itu meredam protesnya.

"Percuma, pintu baru akan dibuka kalau sudah waktunya ngamen," sahut seseorang di belakang Indigo.

Perempuan itu lantas menoleh, mendapati remaja laki-laki berpakaian lusuh nan compang-camping duduk di lantai tak berubin tak jauh darinya. Rambut laki-laki itu masai tak terurus, terselimuti debu jalanan. Pipinya tirus dan mukanya kusam. Tidak hanya dia, terdapat tujuh penghuni lain dengan penampilan tak kalah kumal di dalam gudang. Mereka semua sedang makan nasi bungkus sambil duduk terpencar. Semuanya berpakaian kurang layak. Semuanya anak-anak dan remaja. Semuanya berambut kemerahan akibat terlalu lama terpapar matahari, bersorot mata redup, dan tampak kekurangan gizi.

"Siapa kalian? Tempat apa ini?" desis Indigo, ngeri sekaligus iba pada saat bersamaan.

"Anak baru belagu! Kasih tahu dia supaya tak berisik, Pan!" sentak remaja ceking lain di sudut ruangan. Sisanya, kebanyakan anak-anak berusia enam sampai sepuluh tahun, duduk membisu sambil makan nasi beserta lauk tak menggugah selera dengan lahap.

"Aku Ipan," kata si remaja di dekat Indigo. "Kami semua dipekerjakan Bang Mondo, yang jaga gudang di depan itu. Ini tempat tinggal kami."

Tak ada yang menimpali Ipan, semua remaja dan anak-anak lain masih sibuk dengan makanan mereka seolah dikejar waktu. Satu remaja di sudut lain ruangan lebih memilih menghisap lem kalengan daripada menyicip nasi bungkusnya. Lalat-lalat bergerumul secara bergiliran di antara tubuh-tubuh berbau kurang sedap—yang entah kapan terakhir mandi—dan nasi bungkus. Melihat kondisi yang baginya mengenaskan tersebut, Indigo lekas menelusuri bagian dalam gudang tersebut, berharap ada jalur kabur. Namun, tak ada jendela yang terbuka. Tak ada celah untuk menyelinap keluar.

Ipan terkekeh, mengayunkan tangannya untuk menyuruh Indigo duduk. Masih berdiri siaga, Indigo mendengarkan celotehan si remaja laki-laki. "Dari mana? Ke kota karena diiming-imingi kerja? Ditawari berapa duit? Kalau sudah terjebak di sini, kamu hanya akan jadi anak jalanan. Seperti kami. Setiap hari harus setor duit ke Bang Mondo. Upahnya nasi bungkus ini."

"Kenapa," sergah Indigo, akhirnya memberanikan diri bicara, "kalian tidak kabur?"

"Kawan Bang Mondo banyak di sini. Kalau kabur, pasti ditangkap Bang Mondo lagi. Kalau Bang Mondo marah, kita bisa dikasih ke tangan lain. Minggu lalu, ada yang dioper ke germo."

Mendengar itu, Indigo langsung merinding. Meskipun tak pernah bertemu langsung, Indigo pernah membaca istilah tersebut dari suatu buku. Tidak semua buku-buku menyenangkan, beberapa malah sangat menyeramkan. Indigo sudah bisa menebak ke mana ujungnya, terlebih ketika dia teringat kilasan penglihatan yang dia alami tatkala tenggelam di laut.

"Aku mau pergi dari sini," geram Indigo.

"Tidak ada yang bisa kabur," ucap Ipan datar, dilatari ratapan anak-anak lain.

"Aku baru tiba," balas Indigo. "Orang-orang tidak akan hapal mukaku."

"Bang Mondo selalu punya cara," pungkas Ipan. Sebentar kemudian, laki-laki itu menawari Indigo nasi bungkusnya yang sudah dimakan setengah. Indigo tidak berselera, dia sudah kepalang mual membayangkan hari-hari nelangsa lain yang akan dia jalani.

Mungkin mimpinya benar, seperti yang Pak Petuah katakan, seharusnya Indigo tidak pernah pergi.

***

Siang itu juga, meskipun Indigo tidak bisa menerka jamnya, pintu gudang kembali dibuka. Pria bongsor bernama Bang Mondo muncul dari baliknya, menyebabkan delapan remaja dan anak-anak beranjak terkesiap. Sudah waktunya mereka bekerja di jalanan, tak terkecuali bagi Indigo.

"Kamu, Anak Baru!" lantang si pria bongsor seraya menunjuknya. "Ikuti mereka dan jangan pulang dengan tangan kosong! Jangan kabur kalau tak mau mampus!"

Semula, Indigo tak berkehendak menurut. Dia diam saja di tempat, melemparkan tatapan geram pada si pria bongsor yang telah berkomplot dengan supir truk penipu. Akibatnya, Bang Mondo segera berang. Pria itu pun menempeleng kepalanya keras-keras, tetapi Indigo tak berkutik. Detik berikut, Bang Mondo menjambak rambut Indigo, memaksanya beranjak. Refleks, Indigo mengerang sembari menarik tangan Bang Mondo supaya pria bongsor itu melepasnya.

Lagi-lagi, tatkala kulit mereka bersentuhan, Indigo mendapat bayang-bayang kematian lainnya. Dia melihat api. Besar. Berkobar. Lebih ganas daripada api yang melumat rumah Pak Petuah sampai kandas. Lekas Indigo melepas tangannya, lebih gara-gara ketakutan akan ingatan tentang kematian Pak Petuah daripada amarah si pria bongsor. Dia pun menurut bangkit, bersungut kesal, tetapi diam saja ketika Bang Mondo mendorongnya keras-keras ke luar gudang.

Di jalanan dekat pasar, anak buah Bang Mondo berpencaran. Dari pinggir jalan, Indigo perhatikan mereka menghampiri mobil-mobil yang terhenti oleh lampu merah. Anak-anak itu lantas bernyanyi di pinggir jendela mobil yang tertutup, tangan teracung di depan muka demi meminta belas kasih berupa uang. Sesekali mereka mendekati pengendara motor, tetapi hasil yang diperoleh jauh lebih sedikit. Sesekali mereka diusir bahkan sebelum sempat bernyanyi sumbang. Setelah beberapa lama Indigo hanya termangu, Ipan yang sudah dapat receh dari beberapa mobil menyikutnya. "Hei, kamu dengar kata Bang Mondo, 'kan? Kerja, gih!"

"Cara ini konyol," cetus Indigo. "Kalian takkan mengumpulkan banyak uang sampai kapan pun."

"Memang tidak. Tapi kami jadi punya tempat bernaung dan makan cukup."

Tidak bisa lebih benar lagi, Indigo terpaksa setuju. Anak-anak itu mungkin tidak punya rumah untuk pulang seperti dirinya. Amarahnya lantas berganti menjadi iba. Tidak seceroboh itu, Indigo tidak serta-merta menyerahkan seluruh uangnya pada si supir truk, melainkan menyisakan beberapa lembar di dalam saku celana. Dipikirnya mungkin kelak dia bisa menggunakan uang-uang itu untuk kembali ke desa Pak Petuah, atau desa kelahirannya, meskipun Indigo masih tidak sudi kembali ke sana. Yang dirasakannya saat ini, dia prihatin melihat anak-anak buah Bang Mondo berpanas-panasan serta diusir pengemudi kendaraan bermotor begitu saja seperti lalat pengganggu.

Alhasil, dia panggil anak-anak itu dari pinggir jalan. Mengajak mereka ke toko terdekat lalu menyuruh mereka pilih jajanan kesukaan masing-masing. Indigo bahkan membelikan lem baru untuk si pecandu, semata agar dia kembali tersenyum. Ipan tercengang, tetapi memanfaatkan kesempatan tersebut untuk membeli beberapa batang rokok. Ketika ditanya dapat uang dari mana, Indigo hanya mengaku uang itu adalah sisa tabungannya sebelum ditipu si supir truk.

Sepanjang sisa hari itu pun, Indigo tidak turut mengemis seperti yang lain. Dia hanya duduk entah di halte atau pinggir warung sambil mengamati suasana kota besar yang ternyata tak secemerlang kelihatannya. Pula dia membayangkan Pak Petuah dan Iloa, bisa menebak keduanya akan serupa tak bergairah dengan kondisi kota yang amat ramai tetapi tidak ramah.

Malamnya, usai Indigo dan anak-anak lain kembali ke gudang, Bang Mondo menagih uang dari tiap anak buahnya. Indigo serahkan sedikit sisa uang berupa keping-keping logam dari saku, berpura-pura bahwa itu adalah uang hasil dia mengamen. Bang Mondo tercengir, tampak puas, dan berkata akan menahan Indigo beberapa hari lagi sampai dia memutuskan akan mengoper perempuan itu pada siapa. Indigo hanya bungkam sembari menahan pitamnya. Dia sudah berencana kabur segera, hanya saja belum memutuskan kapan dan dengan cara apa.

Namun, malam itu, geramnya meningkat. Di atas alas tikar yang dipakainya untuk tidur di gudang, dia memergoki Bang Mondo sedang meraba-raba salah satu anak. Anak perempuan itu—berusia sekitar sembilan sampai sebelas tahun—tampak risi dan menggeliat ketakutan selagi si pria bongsor memeluk pinggangnya. Anak-anak lain sudah tidur di tikar-tikar terpisah, atau barangkali pura-pura tidak mendengar. Ingin Indigo beranjak, tetapi dia pun ngeri. Takut diapa-apakan. Takut ditempeleng lagi, sehingga Indigo hanya berpura-pura tidur seperti semula, abai terhadap ringisan si anak perempuan.

Namun, sebersit keberanian muncul tiba-tiba. Bila Pak Petuah masih hidup, pria tua itu pasti akan mengatainya pengecut karena diam saja. Takkan terima dianggap demikian, Indigo pun beranjak.

"Berisik," ucapnya ketus. "Lepaskan dia."

"Ha? Kamu bicara padaku?" sentak Bang Mondo, tangannya berhenti menggerayangi.

Si anak perempuan bergegas melarikan diri, mencari pojok sepi berupa keamanan yang tak berarti. Indigo lekas mencibir lagi sebelum keberaniannya menguap. "Ya, sana pergi."

Bang Mondo mendengkus. Dia pun beranjak, tanpa ragu-ragu menempeleng kepala Indigo lebih keras daripada sebelumnya. Namun, tanpa bertindak lebih jauh terhadap Indigo yang menahan ringisannya, pria bongsor itu berjalan gusar seraya berdesis, "Buatku tak nafsu saja, cih."

Entah Indigo harus lega atau tersinggung mendengar itu, dia hanya kembali meringkuk di atas tikar tipis—abai terhadap lirikan anak-anak jalanan lain yang kagum terhadap kelancangannya. Kendati demikian, sisa malam di dalam gudang berlangsung khidmat, hanya ada samar-samar suara tawa Bang Mondo yang sedang mabuk-mabukan bersama kawan-kawannya di luar sana. Tidak ada suara lain, selain napas berat Indigo yang dia tahan sekuat mungkin supaya tangisnya tidak tumpah.

***

Esok hari berlangsung serupa. Usai dilempari buntalan nasi bungkus yang berbau apak dan terpaksa melahapnya, Indigo bergabung dengan anak-anak lain untuk mencari peruntungan di jalanan. Namun, kali ini, Indigo mencari alternatif lain dibanding harus mengais belas kasih dari orang-orang asing yang tak acuh di kendaraan masing-masing. Selain itu, dia merasa perlu mencari banyak uang demi menebus kebebasannya dari Bang Mondo.

Dia ingin mencopet.

Ipan langsung paham begitu Indigo mengutarakan maksud tersebut. Remaja laki-laki itu sudah berpengalaman perihal menyelipkan tangan ke saku orang-orang, meskipun belakangan ini jarang dia lakukan seiring maraknya razia oleh para opas berseragam. Berlandaskan kekaguman atas perlawanan Indigo semalam, Ipan lantas mengiakan permintaan perempuan itu untuk dibawa ke sasaran paling prospektif.

Bus kota yang pertama mereka tumpangi tergolong cukup padat untuk ukuran siang bolong. Dengan modal beberapa lembar rupiah, Indigo dan Ipan berhasil menyusup ke dalam kepadatan tersebut—berdiri dengan gelagat normal di antara penumpang yang bersesakan di dalam bus, berpura-pura tidak mengenal satu sama lain. Sesuai instruksi Ipan sebelumnya, Indigo langsung mencari sasaran yang dinilainya paling mudah: seorang pria gendut dengan dompet tersimpan di saku celana bagian belakang.

Ini takkan sulit, batin Indigo demi meyakinkan dirinya sendiri. Dengan Ipan memantau situasi sekitar, perempuan itu pun mulai melancarkan aksinya. Perlahan, dia selipkan tangan kanannya ke mulut saku celana si pria gendut yang sedang asyik mendengarkan lagu melalui pelantang telinga. Masih dengan lamban, Indigo tempatkan jemarinya di sisi dompet hitam yang tampak tebal tersebut.

Tiba-tiba, tangan seseorang mencegat Indigo dari samping, mencengkeramnya tepat di pergelangan tangan. Indigo nyaris menjerit, tetapi dia tahan supaya tidak tercurigai oleh penumpang sekitar. Anehnya, alih-alih meneriakinya 'copet', pemilik tangan tersebut hanya bergeming menggamitnya. Sambil menelan ludah, Indigo lantas mengamati tangan yang telah menghentikan aksinya tersebut. Tangan itu tidak telanjang, tetapi berbalut sarung tangan kulit berwarna hitam. Sontak Indigo mendongak takut-takut, sebab si pemilik tangan masihlah tidak bereaksi. Dilihatnya si empunya adalah seorang laki-laki, berambut ikal sebatas telinga, berumur kira-kira hanya beberapa tahun lebih tua darinya, serta—yang paling mengherankan—tersenyum ramah alih-alih marah.

"Jangan," sebut laki-laki itu dalam bisikan, tersenyum lembut pada Indigo.

Indigo cepat-cepat menarik tangannya karena panik. Lekas dia menerobos kerumunan penumpang seiring bus menepi di pemberhentian berikutnya. Ipan turut turun di belakang, tampak tegang tetapi masih pura-pura tidak mengenal Indigo. Barulah ketika mereka sampai di persimpangan terdekat dan bus sudah kembali melaju, Ipan menghardiknya, "Gila! Kamu nyaris saja ketahuan!"

"Aku tahu!" sentak Indigo, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Masih terngiang jelas dalam benaknya wajah laki-laki itu: senyum lembut mencurigakan, mata cerah dengan kantung mata yang kentara, alis hitam tebal, hidung bangir dengan cuping melengkung, pipi agak tirus, dan rahang tegas serta rambut ikal yang membingkai keseluruhan paras tersebut. Namun, lebih dari itu, senyumnya ... senyum laki-laki itu ... seolah mengetahui segalanya.

"Sudah, kita kembali ngamen saja!" peringat Ipan, meninggalkan Indigo yang masih pucat tak keruan di samping lampu lalu lintas. Setelah degup jantungnya teratur, Indigo pun menyusul Ipan. Usai laju napasnya normal, kembali dia menelan harga diri demi mengumpulkan uang serta melupakan sosok laki-laki misterius yang sempat merenggut seluruh napasnya selama beberapa detik.

Malamnya, sementara Indigo mengharapkan ketenangan, Bang Mondo kembali berulah. Indigo masih sukar tidur, hanya untuk mendengar anak perempuan kemarin digerayangi lagi oleh si pria bongsor. Kali ini, ditambah dengan kejadian siang tadi yang mengganggunya, Indigo tidak bisa tinggal diam.

Sepengamatannya selama dua hari tinggal di sana, Indigo sadari Bang Mondo selalu menaruh pemantik api untuk rokok di meja reyot dekat pintu gudang. Kemarin, bila prediksi kematiannya benar, Indigo melihat pria bongsor itu akan mati terlalap api—persis seperti cara kematian Pak Petuah. Lantas Indigo terpikir: bagaimana bila dia percepat prosesnya? Akan sama saja, bukan? Atau, lebih dari itu, bagaimana bila ternyata dirinya adalah eksekutor kematian tersebut?

Tanpa pikir panjang, Indigo sudah tahu apa yang harus diperbuat.

Perempuan itu pun mulai berjalan mengendap-endap ke meja dekat pintu, posisinya membelakangi Bang Mondo sehingga tak teramati. Langkahnya mulus sampai akhirnya Indigo bisa meraih pemantik api tersebut. Tidak tahu menahu, bahkan tidak mempertimbangkan bagaimana nantinya, naluri Indigo hanya membawanya untuk menyalakan pemantik tersebut sambil berjalan cepat ke arah Bang Mondo yang masih menungging berlawanan arah. Dari sudut gudang, Ipan yang baru terjaga memperingatkan Indigo.

"Ssst! Bodoh, apa yang kamu lakukan?!" desisnya, tetapi Indigo urung berhenti.

Ipan lantas berlari, menarik kerah jaket Indigo dari belakang hingga akhirnya langkah perempuan itu tersendat. Bang Mondo—menyadari keributan di belakangnya—melepaskan cengkeramannya dari si anak perempuan sambil membentak, "Apa-apaan ini?!"

Namun, Indigo telanjur berang, apalagi mendapati pakaian si anak perempuan hampir terlucuti seluruhnya. Linangan air mata anak perempuan itu lekas menyulut Indigo untuk melemparkan pemantik api ke tubuh Bang Mondo.

Apa yang terjadi setelahnya, kendati begitu cepat dan sulit dipercaya, merupakan kekacauan instan.

Alih-alih padam, begitu pemantik api mengenai tubuh Bang Mondo, api langsung menjalar ke kaus, jaket, celana, lalu menembus kulitnya. Begitu cepat api itu menyebar, bahkan tidak memberi waktu bagi si pria bongsor untuk menghindar. Tahu-tahu tubuhnya sudah terbungkus api merah pekat, membuatnya berteriak kesakitan seiring panas yang luar biasa menjeratnya begitu cepat. Pria bongsor itu terlambat panik, dan begitu dia melakukannya, semua sudah terlambat lalu kepalang memburuk. Lengannya menggapai-gapai kursi, meja, tikar, dan segala yang bisa diraihnya. Namun, semua benda yang disentuh oleh Bang Mondo malah turut terbakar kendati tidak adanya bahan bakar untuk menghantarkan api.

"TOLONG! A--ARGH! PANAS, PAN—" Kata-kata Bang Mondo sontak mewujud racauan tak berarti seiring api menjilati lidah serta mulutnya. Di saat bersamaan, tikar-tikar yang diinjaknya turut terbakar, membangunkan semua penghuni gudang yang kini berseliweran dengan panik.

Ipan yang pertama tanggap. "Keluar!" jeritnya pada anak-anak yang ketakutan, mengibaskan lengannya ke arah pintu gudang yang sedang tak terkunci. Anak-anak serempak berhamburan keluar, termasuk si anak perempuan korban Bang Mondo dengan pakaian yang sudah tuntas dikenakannya kembali. Sementara itu, Indigo hanya berdiri di posisinya semula, memandangi tubuh terlalap api di depannya yang berlarian kesakitan serta membakar setiap perabot yang dia sentuh bahkan seujung jari saja.

Alih-alih ketakutan atau heran, Indigo lebih merasa takjub. Terpana. Batinnya ... puas.

Saking menikmati tubuh merah di hadapannya yang kini berguling-guling di lantai, Indigo tidak menyadari bahwa api sudah menjalar terlalu lebar. Atap kayu yang menaungi gudang tersebut bahkan mulai terlahap, menjatuhkan bongkahan demi bongkahan kayu ke atas lantai. Satu bongkahan mengenai pundak Indigo, mengakibatkan perempuan itu terjatuh sambil mengaduh. Barulah ketika itu, seakan terbangun dari lamunan, Indigo sadar dia harus keluar menyelamatkan diri. Namun, dilihatnya gudang sudah kosong melompong dari manusia lain. Yang tersisa hanya tubuh Bang Mondo yang kian gosong, dirinya yang tengkurap di atas lantai, dan Ipan di belakangnya yang baru saja mengeluarkan anak kecil terakhir melalui pintu yang terlalap api.

Indigo berusaha beranjak, tetapi bongkahan yang menimpa bahunya ternyata cukup berat. Dia lantas berteriak memanggil Ipan, "Tolong!"

Namun, Ipan hanya memandangi Indigo dengan ngeri, mengira bahwa kebakaran nahas ini merupakan kutukan, guna-guna, ilmu hitam, atau kekuatan aneh apa pun yang disebabkan oleh Indigo. Bahkan tanpa mendekat sedikit pun, remaja laki-laki itu langsung berlari kabur melalui pintu yang kini sepenuhnya merah membara.

"U-ugh," rintih Indigo tak percaya, mengumpulkan segenap tenaga untuk mengangkat si bongkahan kayu dari bahu kanannya.

Api sudah melahap seluruh gudang. Mata Indigo perih bukan kepalang, hidungnya kepanasan, dan napasnya terhalang oleh asap. Tangis perempuan itu pun mulai menggenang, pedih menerjang batinnya akibat ditinggalkan oleh orang pertama yang dia kira sudi menjadi temannya. Kekacauan merah di sekelilingnya lantas menghantarkan ketakutan laten bagi Indigo, lebih karena kini dia sebatang kara tanpa ada yang menolong. Sama seperti onggokan daging gosong di hadapannya yang kini tak lagi meronta-ronta.

Indigo pikir dirinya lebih baik turut mati sekarang. Tidak ada yang menginginkannya. Mungkin lebih baik dia menyusul Pak Petuah dan Iloa, di manapun mereka berada.

Kemudian, di saat Indigo memejam dan menunggu api merambatinya, mendadak bahunya terasa ringan. Tanpa sempat mendongak, tubuhnya sudah diangkat oleh sepasang lengan yang cepat-cepat mengangkutnya ke luar gudang. Di luar sana, napas Indigo perlahan melega seiring suara-suara riuh merambati kupingnya. Ada teriakan-teriakan yang menyeru, 'Kebakaran!', tetapi Indigo tak sempat memerhatikan lebih saksama sebab seseorang masih membopongnya menjauh dari gudang yang terbakar tersebut. Ketika penglihatannya benar-benar pulih, Indigo pun memberontak sekuat mungkin hingga akhirnya dia terlepas dari gendongan orang misterius tersebut.

"Menjauh dariku!" jerit Indigo, nyaris histeris, pun benci karena malah diselamatkan padahal Indigo sudah berencana memprotes Yang Kekal habis-habisan bila mereka akhirnya bertemu. Sambil terbatuk-batuk dan terjerembab di atas tanah becek sebab pijakannya masih limbung, di tengah kegelapan malam yang tidak terjangkau pengawasan manusia lain, Indigo menyipitkan mata untuk mengamati sosok penyelamatnya tersebut.

Kontan dia merasa tidak asing. Wajah serupa, rambut yang sama, dan pakaian yang identik—meskipun kini terbubuhi sedikit gosong akibat menerobos kebakaran barusan. Kendati gelap, dengan penerangan lampu jalan tak jauh dari sana, Indigo langsung dapat mengenali laki-laki yang baru ditemuinya di dalam bus kota tadi siang.

"Ikut aku," ajak laki-laki itu, masih mengenakan sarung tangan hitamnya.

Indigo menggeleng cepat. "Pergi!"

Namun, si laki-laki tak kunjung berpindah bahkan setelah beberapa detik berlalu dalam hening. Dia justru menjulurkan tangannya ke arah Indigo seraya meneruskan, "Kamu mengenalku, Indigo."

Terperangah, Indigo lantas membalas, "K-kamu ... siapa?"

Si laki-laki tak langsung menjawab, melainkan mengulurkan tangannya lebih rendah pada Indigo seolah menyiratkan bahwa dia enggan memberi tahu bila tidak dituruti. Indigo menangkap isyarat tersebut dan ragu sejurus. Namun, melihat sarung tangan hitam yang membungkus rapat tangan si laki-laki sehingga takdir kematiannya takkan bisa terbaca, akhirnya Indigo putuskan untuk menyambut uluran tersebut.

Seiring tangan Indigo bersatu dengannya, laki-laki itu menerbitkan senyum. "Panggil saja Crimson."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top