Rona IX: Marun

Hampir seperti mimpi yang terlampau indah, selama dua minggu tinggal bersama laki-laki bernama Crimson, Indigo tidak mengalami apa-apa yang mengganggu. Mimpi-mimpi aneh berhenti muncul di dalam tidurnya. Berita kebakaran misterius tidak lagi diungkit-ungkit dalam tayangan televisi, seperti halnya berita-berita lain yang mudah tergantikan oleh liputan kampanye politik yang sedang marak atau gosip-gosip selebritis yang selalu dibuat merebak. Bagi Indigo, berita-berita itu tidaklah baru, sebab sewaktu masih tinggal bersama Tuan Tanah dan keempat istrinya, ihwal-ihwal itulah yang sering ditayangkan oleh televisi mungil yang layarnya sering kali buram akibat susah sinyal. Yang membuat Indigo sedih, peristiwa-peristiwa mengerikan yang dia saksikan di dalam mimpinya amat jarang diungkit di televisi. Andaikan muncul, hanya sekali dua kali. Setelah itu, terlupakan. Bahkan nasib anak-anak jalanan, pengemis, dan pengamen yang sempat menjadi kawan sehari-dua hari Indigo tak pernah disorot sama sekali. Hanya remah-remah yang dianggap remeh.

Kendati demikian, koleksi buku Crimson cukup menyita perhatian Indigo. Belum menguning dan lapuk seperti koleksi Pak Petuah, bahkan cerita-ceritanya pun cenderung lebih segar daripada buku-buku konservatif nan klasik milik mendiang pria renta itu. Selain buku fiksi, Crimson kerap memberinya buku-buku pelajaran. Matematika, Bahasa, Sains, Ilmu Sosial, dan lain sebagainya. Beberapa adalah buku umum yang ditujukan untuk sekolah-sekolah menengah, sedangkan beberapa lainnya memuat tulisan 'Ujian Persamaan' dan 'Ujian Paket' pada bagian depan sampul. Indigo tidak mengerti maksud Crimson menawari buku-buku itu padanya, tetapi dia tetap melahap mereka dengan saksama sekaligus mengerjakan soal-soal yang termuat di sana dengan bantuan laki-laki itu. Sering kali mereka berdua membaca dan mendiskusikan soal-soal di sofa, meja makan, atau di kasur kamar.

Namun, setelah dua minggu dan koleksi buku Crimson nyaris terbaca habis, Indigo mulai tidak betah. Sesekali Crimson pergi selama beberapa jam—katanya untuk membeli bahan makanan—tetapi tidak pernah mengajaknya serta. Laki-laki itu bahkan mengunci pintu apartemen dari luar. Saat itu, Indigo tidak mempermasalahkannya sebab dia masih sungkan bepergian. Namun, akhirnya bosan hanya mengamati pemandangan kota melalui jendela, di penghujung minggu itu Indigo pun mengutarakan keinginannya pada Crimson sewaktu mereka berdua sedang makan sarapan.

"Aku ingin mampir keluar," ujar perempuan itu yang, daripada permohonan, lebih menyerupai penegasan. Seolah-olah dia akan tetap menerobos ke luar meskipun Crimson tidak mengizinkan.

Dan memang, laki-laki itu tampak kurang berkenan. "Kurasa jangan dulu, Indigo. Aku akan membawakanmu lebih banyak buku. Atau kamu mau kubelikan lebih banyak baju?"

Benar bahwa, karena Indigo hanya mempunyai satu pakaian yang selama ini dia kenakan dari desa, Crimson telah membelikannya baju-baju baru berpotongan sederhana berupa kaos dan celana panjang sebagaimana yang disukai perempuan itu. Tetap, Indigo mengernyit protes. "Buku-buku itu hanya membuatku sedih dan pusing. Aku juga tidak butuh banyak baju. Aku hanya ingin pergi ke luar sebentar!"

Dengan nada lembut dan menenangkan, Crimson membujuk, "Kuyakin beberapa buku berhasil menghiburmu?"

"Tapi selalu sepi setiap kamu pergi," ucap Indigo. Setelah sempat terheran mengapa dia bisa begitu lunak di hadapan laki-laki itu, dia cepat-cepat melanjutkan, "Bawa aku bersamamu."

Crimson tercenung oleh ucapan tersebut. Matanya menatap Indigo dalam-dalam. Mata yang seolah mengetahui segalanya, seperti Pak Petuah, tetapi tidak membiarkan maksudnya tertebak secara gamblang.

"Baiklah," balas Crimson akhirnya, "nanti siang aku akan pergi kalau kamu mau ikut."

Indigo tersenyum amat lebar, terlebih ketika—sesuai ucapan laki-laki itu—mereka berdua meninggalkan apartemen pada siang hari. Berbelanja buah dan sayuran ke swalayan, berjalan-jalan sebentar ke taman seraya mengamati pohon-pohon yang terbilang kian langka di kota, hingga mengamati etalase-etalase toko di pinggir jalan. Di depan suatu toko kecil yang lebih menyerupai rumah, Indigo memergoki etalase kacanya dipenuhi oleh foto-foto berisi gambar beragam motif. Gambar-gambar tersebut tertera di atas kulit manusia, baik pada kulit lengan, kaki, punggung, dan bagian tubuh lainnya. Sebagian besar gambar berwarna hitam, tetapi ada pula yang berwarna-warni.

Lekas Indigo bertanya pada Crimson di sebelahnya, "Apa itu?"

"Tato," ujar Crimson, tanpa bertanya mengapa Indigo sampai tidak tahu-menahu soal aksesori tubuh yang lazimnya diketahui banyak orang tersebut.

Indigo lantas mengamati foto-foto tato yang dipajang di etalase dengan penuh minat. Sebelumnya, dia sempat melihat lengan berotot Bang Mondo pun dipenuhi oleh gambar-gambar tersebut. Gambar monster bertanduk dan perempuan seksi, kalau Indigo tidak salah ingat. Namun, melihatnya dari balik etalase toko yang dibuat sedemikian persuasif, Indigo serta-merta tertarik sekaligus penasaran.

"Mengapa orang-orang mau mencoreti kulit mereka?" tanya perempuan itu.

"Banyak alasan. Entah sekadar apresiasi seni, untuk merasa keren, terlihat gagah, ungkapan perasaan terhadap orang terkasih, atau ... menyimpan kenangan," jelas Crimson.

"Kenangan?"

"Supaya tidak melupakan memori tertentu, karena tato itu permanen," jawab Crimson seraya tersenyum. Kemudian, laki-laki itu menyisingkan lengan jaket untuk memperlihatkan gambar kecil yang terpatri pada kulit di dekat persendian siku kanannya. Gambar siluet dua burung berwarna hitam dalam posisi terbang bersisian. Satu burung berukuran lebih besar daripada yang lain.

Entah apa arti perlambangan tato tersebut, Crimson tidak menjelaskannya, justru berkata, "Kamu mau juga? Biar kubayarkan untukmu."

"Hah? Boleh?"

"Akan sakit ketika tukang tato menggambar kulitmu," ungkap Crimson. "Tapi setimpal. Gambar itu akan membekas pada kulitmu selamanya, mengingatkanmu pada hal-hal yang kamu sukai."

Indigo terdiam beberapa lama. Mendadak, dia teringat Pak Petuah. Indigo serta-merta merasa bersalah sebab dia sempat melupakan alasannya datang ke kota besar, yakni untuk mencari tersangka pembunuh pria tua itu. Semakin dipikir, semakin Indigo menyadari kebodohannya: dia tidak pernah punya petunjuk apa pun. Justru tersesat dan bernasib nahas sebelum diselamatkan oleh Crimson.

Kini, dengan kesempatan yang ada, Indigo menatap Crimson sekilas sebelum membuka pintu toko. Entah bagaimana, laki-laki itu selalu berhasil meyakinkannya. Bahkan tidak gentar terhadap 'sakit' yang katanya akan dirasakan, begitu pemilik toko menyambutnya, Indigo langsung menyampaikan keinginan agar kulitnya digambar seperti pada foto-foto yang terpajang. Kurang lebih satu jam kemudian, usai lelah meringis akibat menahan sakit dan ngilu, Indigo menghampiri Crimson yang berdiam di ruang tunggu.

"Bagaimana?" tanya laki-laki itu, tampak penasaran dengan hasil tato yang dikehendaki Indigo.

Indigo pun menjulurkan betis kirinya pada Crimson sambil tersenyum puas. Kendati masih berbekas kemerahan, pola gambar biru pada pergelangan kaki perempuan itu terlihat cukup jelas, mengundang Crimson untuk bertanya, "Ubur-ubur? Dan kenapa di kaki?"

Indigo memandangi gambar ubur-ubur di kakinya dengan bangga sekaligus berduka. "Supaya aku ingat ayahku terus. Dan anjingku. Dan sensasi ketika air pantai mengelus kakiku. Aku tak mau melupakan semuanya."

Sejenak, Indigo mengira setidaknya Crimson akan bertanya tentang salah satu dari tiga hal yang disebutkannya. Namun, laki-laki itu hanya menjawab sambil tersenyum, "Mereka akan senang melihatnya."

Dan hanya dengan demikian, hati Indigo terasa hangat. Dia tidak perlu capai-capai menjelaskan tentang masa lalunya yang berantakan sebab laki-laki itu tampak tidak mempersoalkannya. Crimson menerima dirinya apa adanya, memperlakukannya secara wajar ibarat kawan. Tersirat dari betapa laki-laki itu bersedia menampungnya dan bersikap begitu baik padahal Indigo tidak memberi pamrih apa-apa. Kendati baru dua minggu, Indigo yakin bahwa laki-laki itu tidak bermaksud buruk padanya, bahkan tidak pernah menyentuh kulitnya seujung jari pun. Setidaknya, untuk saat ini Indigo ingin berpikir demikian, setelah sekian lama dia tidak punya celah untuk berbahagia.

Walaupun Pak Petuah kerap menyuruhnya pulang dalam beberapa mimpi silam, Indigo putuskan untuk tidak menggubris perintah semu tersebut. Lagi pula itu hanya mimpi, barangkali bukan pertanda apa-apa.

Sebab kini, dengan Crimson, dia sudah merasa pulang.

***

Memasuki minggu keempat, keraguan Indigo terhadap laki-laki misterius yang menampungnya telah sirna sepenuhnya. Benar bahwa dia masih merasa bersalah soal si preman yang tak sengaja dibunuhnya, juga karena dia mau-mau saja tinggal bersama laki-laki asing yang tak dikenalnya, tetapi keegoisan manusia selalu menemukan cara untuk menyingkirkan norma-norma tersebut asalkan bisa berbahagia. Bahkan latar belakang, pekerjaan, hingga informasi pribadi Crimson yang menjadi tanda tanya pun tak dihiraukan Indigo.

Sebab Indigo sudah merasa bahagia. Kendati masih sesak acap kali melihat tato ubur-uburnya, duka itu segera teratasi begitu tatapannya tertuju pada Crimson. Laki-laki itu selalu membalas tatapannya dengan senyuman, penaka penawar racun dan antidot yang Indigo dambakan selama ini. Terkadang, ada sensasi berdebar yang dia rasakan acap kali pandangan mereka berdua bertemu. Semakin dia mengenal lelaki itu, semakin Indigo terkesima.

Lebih sering kini, seiring sungkan yang memudar, Indigo menghampiri kamar Crimson selagi laki-laki itu pergi keluar. Sekadar membaca di sana, mengamati barang-barang miliknya, atau sekali waktu mengambil jaket yang tergantung di punggung kursi karena wangi laki-laki itu tertinggal di sana. Diam-diam, Indigo merasa seperti tokoh utama wanita di buku-buku romansa yang pernah dia baca, bahwa kehadiran seorang laki-laki latif akan membebaskannya dari segala lara. Bahwa jatuh cinta adalah jawaban dari semua problema. Bila Pak Petuah mengetahuinya, pria tua itu pasti sudah mencerca pemikiran Indigo habis-habisan dan mengatainya konyol. Namun, pria tua itu sudah pergi, yang justru Indigo jadikan justifikasi bahwa perasaannya terhadap Crimson adalah beralasan. Yang mengantarnya pada harapan supaya hari-hari yang dijalaninya kini tidak usah berakhir.

Hingga kemudian, pada suatu Sabtu, Crimson memasuki kamarnya sambil bertanya, "Kamu lihat jaketku?"

Kala itu, Indigo sedang membaca buku di atas kasur, kebetulan mengenakan jaket yang dicari laki-laki itu. Crimson hanya tercengir melihatnya, merespons, "Ternyata kamu pakai, ya."

"Aku suka jaket ini," ujar Indigo tanpa segan. "Buatku boleh?"

"Masalahnya, aku juga suka. Bagaimana kalau kubelikan yang sama, yang sesuai ukuranmu?" tawar Crimson. "Mau temani aku beli sekarang lalu setelah itu kita belanja makanan?"

Kesempatan ini tentu tak mau Indigo lewatkan, meskipun berarti dia harus merelakan jaket Crimson diambil kembali oleh si empunya. Sejak pertama kali keluar dan pulang dengan tato, terhitung baru dua kali lagi Indigo pergi bersama Crimson, itu pun hanya untuk berbelanja makanan di sekitar apartemen. Selain momen-momen itu, Indigo tidak pernah keluar sendirian. Untuk kali keempat ini, dengan jarak yang masih bisa dijangkau cukup dekat melalui jalan kaki, mereka berdua pun mengunjungi toko baju tempat Crimson membeli jaketnya. Setelah menemukan model yang sama dengan ukuran berbeda, Crimson membawa jaket itu ke meja kasir sementara Indigo menunggu di dekat pintu toko.

Lalu, selagi menunggu laki-laki itu membayar, tiba-tiba Indigo melihat suatu penampakan familier melalui kaca jendela. Saking pernah akrabnya dengan penampakan tersebut, Indigo sampai membelalakkan mata.

Di luar, di seberang jalan, Indigo mendapati seekor anjing kampung berbulu kelabu sedang menatapnya. Anjing itu hanya terdiam di sana sementara orang-orang berlalu-lalang di sekeliling.

Iloa?

Tanpa pikir panjang, Indigo langsung menerobos ke luar toko, mengabaikan panggilan Crimson dari belakangnya. Perempuan itu cepat-cepat berlari, hampir tak percaya bahwa anjingnya yang mati telah kembali, tetapi bersikeras mengejar si anjing kelabu yang masih terdiam di seberang jalan. Saking tak sabar, dia menabrak beberapa orang yang menghalanginya sepanjang trotoar sementara air matanya mulai rebak. Bila itu benar Iloa, bila itu benar anjingnya dan bukan kebetulan mirip, barangkali Indigo akan turut menemukan Pak Petuah. Jika, dan hanya jika, semua ini adalah mimpi buruknya dan dia akan segera terbangun.

Namun, ketika langkahnya hanya tinggal beberapa meter dari si anjing kelabu, mendadak ada lengan-lengan yang mencengkeram Indigo dari belakang. Langkah perempuan itu terhenti seketika, terlebih begitu tangan-tangan tersebut serempak membekap kedua lengannya. Belum sempat Indigo menoleh, satu lengan lain kepalang melingkari lehernya dari belakang, membatasi pergerakan kepala perempuan itu. Semua tangan tersebut mengenakan sarung, sehingga kulit mereka tak bersentuhan langsung dengan Indigo.

"Lepaskan!" teriak Indigo seraya memberontak, tetapi tangan-tangan itu mengekangnya terlalu kuat. Indigo lantas melirik ke belakang, ingin melihat si pemilik tangan-tangan tetapi ...

... ternyata tangan-tangan itu tak bertuan. Hanya tangan, tanpa tubuh, tanpa kepala, dan tanpa apa pun yang menyertainya.

Indigo segera menjerit lagi. Anehnya, orang-orang di sekitar Indigo masih berlintasan secara wajar, tak tergubris oleh pemandangan dirinya yang tiba-tiba disekap tangan-tangan tak bertuan atau pun mendengar teriakannya.

Lebih membuat Indigo tersentak, orang-orang itu bahkan tak memandangnya. Suara kasak-kusuk jalanan yang ramai bahkan turut melenyap dari pendengaran perempuan itu. Seolah-olah Indigo sedang tidak berada di antara mereka, melainkan di dimensi yang berbeda.

Sementara itu, si anjing kelabu masih bergeming di depan sana, menatap Indigo secara gamang.

Sekumpulan orang lantas melintas di depan anjing tersebut. Detik berikutnya, si anjing kelabu telah lenyap, tergantikan oleh sosok laki-laki asing bermantel hitam panjang. Perawakannya jangkung, ramping, berambut ikal nyaris sebahu.

Indigo tidak dapat melihat muka laki-laki itu, apalagi menaksir usianya, terlebih karena dia mengenakan topi yang nyaris menutupi separuh atas wajah. Namun, laki-laki itu mulai berjalan mendekat. Semula perlahan, kemudian semakin cepat seiring seringai terulas pada bibir pucat si laki-laki.

Indigo tak sanggup mengelak tatkala laki-laki asing itu berhenti tepat di depannya. Tak mampu menghindar pula begitu telapak tangan kanan si laki-laki terentang di depan wajahnya dan memperlihatkan sebentuk mata yang bersarang di sana.

Mata itu hidup, beriris biru, dan berkedip sekilas sebelum tangan si laki-laki menyentuh lalu menutupi muka Indigo.

Indigo menjerit. Sekencang-kencangnya, separau-paraunya, terlebih ketika tangan laki-laki itu mencengkeram wajahnya erat-erat hingga membatasi seluruh penglihatannya. Alih-alih dapat melihat kematian laki-laki itu seiring kulit mereka bersentuhan, Indigo hanya merasakan nelangsa. Jantungnya nyaris meledak karena ngeri, napasnya terhisap sampai sesak, seakan semua penderitaan yang dirasakan manusia tiba-tiba tertanam dalam dirinya, tetapi dia tidak sanggup meloloskan diri akibat tangan-tangan yang masih menjeratnya dari berbagai arah.

Lekang setelah beberapa detik, tangan bermata biru itu masih gigih memerangkap wajah Indigo. Mata Indigo pun memejam sambil menangis, enggan balas menatap mata tunggal mengerikan yang disodorkan persis di depannya. Perlahan tapi pasti, lambat tapi pekat, Indigo merasa jiwanya dihisap serta emosinya dikuras. Tubuhnya pun melemas, nyaris limbung, nyaris tidak yakin bisa menanggung seluruh nelangsa yang serta-merta dilimpahkan padanya.

Kemudian, di saat Indigo merasa jiwanya sudah nyaris kosong, tangan laki-laki itu tiba-tiba terlepas. Tidak hanya itu, tubuh si laki-laki turut terempas menjauh seiring kobaran api merah bersarang pada dadanya sebelum akhirnya lenyap terserap tubuh. Dia tampak meringis kesakitan, biarpun hanya sejurus. Saat bersamaan, tangan-tangan tak bertuan yang membekap Indigo seketika terlepas, juga akibat api merah yang mendadak membungkus mereka.

Ketika Indigo menoleh ke belakang, Crimson sudah berdiri di sana. Gumpalan api merah nan pekat menyelubungi tangan kanan laki-laki itu, sebelum dia lemparkan untuk kedua kali pada laki-laki bertopi di hadapan Indigo.

Kali ini, laki-laki asing itu berhasil menghindar. Tubuhnya menukik ke samping sehingga api lemparan Crimson hanya menembus udara di belakangnya. Kemudian, usai tersenyum singkat, bersamaan dengan kerumunan manusia yang masih tampak tak tergubris oleh peristiwa barusan, laki-laki itu menghilang secepat dia muncul.

Detik berikutnya, tubuh Indigo rubuh ke atas trotoar. Kesadarannya nyaris luput sebelum kemudian bahunya diguncang-guncang oleh Crimson yang telah bergegas menghampirinya. Samar-samar, suara kasak-kusuk khas keramaian menyusup kembali ke telinga Indigo, termasuk suara yang sudah amat dikenalinya beberapa hari belakangan.

"Indigo!"

Suara Crimson.

Dengan susah payah, Indigo berupaya membuka mata. Kesadarannya berangsur kembali dan tatkala tangan Crimson hampir menyentuh wajahnya, Indigo refleks beringsut mundur.

"J-jangan sentuh aku," lirih Indigo, tidak mau mendapat Penglihatan kematian lainnya, terutama kematian Crimson. Namun, perempuan itu lanjut menyuarakan keterkejutannya. "A-ada yang membekapku, tangan-tangan itu.... Laki-laki itu.... Siapa mereka?! Dan tanganmu..." Meskipun sudah tidak terbalut gumpalan api, Indigo yakin benar api-api barusan berasal dari tangan Crimson.

"Tenanglah," ujar Crimson, menerbitkan ketenangan dalam dada Indigo yang semula bergemuruh riuh. "Sekarang, kita pulang dulu. Akan kujelaskan semua nanti."

"T-tapi ... "" Indigo ingin bertanya lebih banyak, tetapi ucapannya terhenti. Pemandangan di tengah jalan raya kontan mengalihkan perhatiannya, membuatnya terperangah sekaligus ketakutan. Ada wanita bersimbah darah di sana, terdiam sementara mobil-mobil dan motor-motor tetap melaju tanpa memedulikan keberadaannya. "Mengapa wanita itu diam saja di sana?"

Crimson turut menengok ke arah yang dituju Indigo, heran sebab tidak menemukan apa-apa yang tak biasa. "Siapa? Yang mana?"

Sementara itu, sebuah mobil tengah melaju kencang ke arah wanita tersebut. Detik berikutnya, mobil itu menembus tubuh si wanita tanpa efek apa-apa.

Indigo langsung menutup mulutnya yang ternganga.

Kemudian, baru dia sadari, tidak hanya wanita di tengah jalan itu yang bersimbah darah. Ada orang-orang lainnya juga, tersebar di trotoar, pinggir toko, atap rumah, menumpang di atap kendaraan, hingga menempel di punggung para manusia biasa. Ada yang menangis, ada pula yang tertawa. Satu kesamaan mereka ialah keberadaannya tidak disadari oleh manusia-manusia lain di sekeliling.

Bulu kuduk Indigo seketika merinding. Dari buku-buku, Indigo pernah membaca sekilas tentang mereka. Dari mulut-mulut para penduduk desa, Indigo sempat mendengar kisah-kisahnya. Mereka bukan orang. Mereka tidak benar-benar hidup.

Mereka adalah makhluk halus.

"Ayo pulang," ucap Crimson, nyaris terdengar mendesak, sambil memapah tubuh Indigo agar beranjak.

Karena laki-laki itu tidak menyentuh langsung kulitnya, Indigo pun menurut. Kini, manusia-manusia di trotoar turut memandangi Indigo yang tampak linglung dengan heran. Namun, makhluk-makhluk halus yang berlumuran darah dan beberapa berwujud tak lazim—kepala nyaris putus, lengan buntung, hingga punggung bolong—justru menertawakannya dengan sirat cemooh. Indigo serta-merta menutup mata karena ngeri, membiarkan Crimson merangkul bahunya seraya mereka berjalan cepat menuju apartemen laki-laki itu.

Sepulangnya mereka, Crimson langsung membawa Indigo ke kamar dan membaringkan perempuan itu di atas kasur. Sementara laki-laki itu mampir ke dapur untuk mengambilkan air hangat, sekujur tubuh Indigo gemetaran, matanya masih berlinang tangis, sementara makhluk-makhluk berwujud mengerikan masih dapat dia saksikan. Bahkan, di dalam kamar apartemen itu, terhitung ada beberapa makhluk yang tidak pernah Indigo pergoki sebelumnya: anak laki-laki gundul di atas lemari, perempuan berambut panjang di sudut dinding, hingga laki-laki bongsor berkulit hijau yang mengintip dari balik jendela—padahal kamarnya terletak di lantai tiga.

Ketika anak laki-laki gundul di atas lemari menertawakan kondisinya yang sedemikian payah, Indigo langsung menutup telinga dan menggeleng-geleng panik. "Diam!" jeritnya.

Crimson kembali memasuki kamar Indigo, menaruh gelas di atas nakas, kemudian berupaya menenangkan perempuan itu. "Tenang, Indigo, jangan hiraukan makhluk-makhluk itu."

Dengan suara parau dan ngeri, Indigo berkata lirih, "Mengapa ... mengapa aku jadi bisa melihatnya?"

Crimson menghela napas. Jelas-jelas perempuan di hadapannya tengah panik dan dia harus mencari cara untuk menenangkannya. Tangan laki-laki itu pun menyasar saku jaket, mengambil sarung tangan dari dalam sana. Usai mengenakan sepasang sarung tangan tersebut, tangan Crimson perlahan meraih wajah Indigo lalu menangkup kedua pipinya dengan lembut.

Menanggapi perlakuan Crimson, Indigo pun sejenak membiarkan tawa si makhluk halus lalu bertanya, "Kamu ... tahu tentang kemampuanku?"

"Bagaimana mungkin tidak? Bukan kamu saja yang berbeda, Indigo," ujar Crimson, tersenyum menenangkan. "Seperti tadi, api di gudang itu tidak mungkin muncul begitu saja, bukan?"

Lantas Indigo teringat peristiwa ketika Bang Mondo terbakar di gudang. Api itu. Api yang membakar Bang Mondo ... Alih-alih berwarna sewajarnya jingga, api itu justru merah pekat. Seperti darah. Seperti warna Crimson. Seperti api yang sempat membalut tangan laki-laki itu.

Masih dengan berupaya mengabaikan tawa si anak kecil gundul, Indigo bertanya lagi, "M-maksudmu?"

"Dunia ini terdiri dari banyak lapisan," mulai Crimson, masih dengan merengkuh wajah Indigo demi memusatkan perhatiannya agar tidak teralihkan oleh para makhluk lain di sekitar mereka. "Setiap lapisan memuat makhluk-makhluk yang berbeda, tidak hanya manusia, hewan, dan tumbuhan. Makhluk-makhluk yang kaulihat ini, mereka berasal dari lapisan yang berbeda. Seharusnya manusia tidak bisa melihatnya, sebab setiap lapisan tidak semestinya saling bertumbukan. Karena itu, harus ada yang menjaga keseimbangannya."

"Aku ... masih tidak mengerti," ujar Indigo, kebingungan bukan main. "Api itu.... Kamu ... kamu itu apa?"

"Bukan hanya aku, tapi kamu juga, Indigo. Kita serupa, kamu dan aku. Kita adalah Rona, warna-warna yang menjaga keseimbangan dunia," ungkap Crimson.

Untuk sejenak, keheningan menyambangi mereka. Indigo tidak tahu harus bereaksi apa. Masih belum sirna ketakutannya, dia sudah disuguhkan oleh keanehan lain. Sementara di hadapannya, berlutut di samping kasur, raut wajah Crimson tampak tidak sedang bermain-main. Yang memecahkan keheningan hanya tawa susulan dari si anak laki-laki gundul yang kini merangkak di atas lemari, membuat Indigo kian merinding dan merajuk, "Singkirkan mereka dulu, kumohon."

"Sayangnya, itu bukan kapasitasku," ucap Crimson dengan penuh penyesalan. Laki-laki itu pun mengeluskan jemari tangannya pada pipi Indigo demi menghapus limpahan air mata di sana, kemudian meneruskan, "Tidak ada pilihan lain, aku harus membawamu ke Magenta."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top