Rona III: Wilis

Wilis menutup telinga dengan telunjuknya. Sekali saja, dia berharap tuli. Tidak sejurus, tetapi terus-menerus, dia ingin merengkuh keheningan. Kendati pintu dan jendela sudah ditutup rapat-rapat, bisikan-bisikan itu tidak sabaran menjejali kuping—seolah-olah menyusup masuk melalui celah-celah kecil pada lubang kunci, sekat-sekat mungil di ventilasi, pula merembesi dinding bata—lalu semena-mena merasuki kepala Wilis.

Wilis tidak tahan. Didengarnya dari arah pukul tujuh pada jam tujuh malam, kedua orang itu masih keranjingan bergunjing. Ayah dan ibunya, masing-masing yang keenam, tiada beda dengan orangtua-orangtua angkat Wilis sebelumnya. Suara-suara tersebut merambatkan ketamakan yang tidak tersaring bata-bata kokoh sekali pun.

"Apa perlu dia dimasukkan ke perguruan tinggi?" ucap suara serak milik seorang perempuan yang biasa Wilis panggil dengan sebutan 'Ibu'.

"Otaknya tidak terlalu cemerlang, kita tahu itu," balas laki-laki berjulukan 'Ayah'. "Suruh saja jadi kuli."

"Juga tidak terlalu tolol. Bisalah masuk salah satu kampus ternama. Bayangkan timbal balik yang kita dapat. Gaji-gaji yang mengucur, kita berhak dapat setengahnya, bukan?" sanggah si Ibu palsu.

"Benar juga, tapi bagaimana kalau dia kabur?" timpal si Ayah gadungan.

"Tidak akan. Kita pantau dia terus."

Si Ayah membalas enggan, "Bagaimana kalau dia minta uang jajan melulu? Aku tidak mau menyisihkan lebih banyak uangku untuknya." 

Kendati tidak menyaksikan secara langsung, bisa Wilis bayangkan raut muka sang ibu yang tak habis akal tatkala wanita itu berucap, "Bilang saja kita sedang kesulitan finansial. Dia bisa cari cara. Kerja sambilan, berhutang, mengemis, melac—"

Enggan mendengar lebih banyak, Wilis cepat-cepat menyalakan radio. Percuma dia menutup telinga, suara-suara itu tetap mampu menembus kupingnya. Pada malam hari begini, suasana sekitar pun tidak kalah menyerukan sepi dan memberi ruang bagi percakapan ayah dan ibunya di kamar seberang. Lantas Wilis fokuskan pendengarannya pada lagu-lagu berlirik gombalan risi nan basi yang diraungkan melalui pengeras suara. Begini lebih baik. Begini lebih menenangkan, kendati hanya sementara. Paling tidak, Wilis tidak perlu lagi mendengar racauan dua pemuja harta yang enggan dia akui sebagai orangtua.

Seakan lagu-lagu sumbang itu belum cukup, Wilis sengaja memberatkan gemuruh napasnya untuk menumpuki kebisingan. Sulit sekali, tetapi dia terpaksa melakukannya. Dalam delapan belas tahun hidupnya, memiliki kemampuan pendengaran yang terlampau sensitif, Wilis dapati ucapan orang-orang tidak selalu sesuai dengan maksud mereka. Bisa bertolak belakang, bisa melenceng sedikit, juga—dalam segelintir kasus yang amat jarang—bisa selaras. Dia sudah bertemu dengan orang-orang bermuka satu, dua, seratus, bahkan seribu sekaligus. Muka seribu rupanya bukan sekadar pepatah kosong yang sembarang didengungkan orang-orang, meskipun tafsirannya sekadar figuratif. Demi menghadapi orang-orang seperti itu, kendati menyesakkan, Wilis tidak punya pilihan selain menyesuaikan diri. Kepercayaannya terhadap orang-orang sudah hilang, terganti oleh muka berpura-pura—ibarat patung berpahatkan tulisan 'semuanya baik-baik saja'—yang senantiasa dia pasang.

Seharusnya, menguping isi pembicaraan orangtua angkatnya barusan, Wilis tidak perlu terkejut. Akan tetapi, senyum mulus yang tampak tulus dari kedua orang tersebut kepalang melenakan Wilis. Padahal, baru beberapa menit sebelumnya, mereka bercakap-cakap akrab dengan Wilis di meja makan sebelum bertolak ke kamar masing-masing. Wilis masih ingin percaya, dari sekian kerabat-kerabat yang bersedia mengasuhnya, ada yang benar-benar berbelas kasih. Untuk kesekian kali pula, terpaksa dia menelan kekecewaan. Demi tempat bernaung dan mengisi perut, Wilis patuhi orangtua-orangtua gadungan tersebut sepatutnya.

Alhasil, sampai tengah malam, Wilis menenggelamkan pendengarannya dalam lagu-lagu di radio sembari mengerjakan soal-soal latihan ujian masuk perguruan tinggi. Lirik-lirik yang itu-itu saja sampai membuat dia penat, sebenarnya. Resah gelisah manusia yang pura-pura tidak bahagia padahal sudah memiliki segalanya, pikir Wilis. Para musisi dan penyanyi itu mendadak bijak seolah sudah menyicipi dunia dengan segala isinya, bukankah itu menjijikan? Muak dengan hipokrisi yang disiarkan, Wilis pun mengganti saluran secara acak, berharap menemukan lagu yang lebih patut didengar. Saluran-saluran lain terdengar tiada berbeda, tetapi—tatkala dia menggeser frekuensi sekenanya—suara merdu tiba-tiba menembus telinganya.

"Wilis," panggil suara itu.

Wilis tercekat sejenak. Namun, sedetik kemudian, musik kembali berdengung di telinga laki-laki itu. Merasa panggilan barusan hanya suara imajiner di dalam kepala atau distorsi dari rekaman lagu di radio, Wilis putuskan untuk mengabaikannya. Dia pun kembali meraih buku-buku lain berisi soal-soal latihan di atas meja.

Kemudian, seakan bersuar dari lirik lagu yang sedang diputar di radio, suatu panggilan anomali kembali memasuki telinga Wilis.

"Wilis," panggilnya lagi. Merdu. Halus. Lembut. Suara seorang perempuan muda.

Hampir Wilis kira dia kembali berhalusinasi. Hanya saja, suara tersebut terlampau nyata untuk dia abaikan. Kali ini, Wilis sadari, suara tersebut bukan berasal dari pemancar suara radio. Untuk memastikannya, Wilis mematikan benda tersebut. Cuap-cuap ayah dan ibunya di kamar seberang sudah tidak lagi terdengar, barangkali mereka berdua telah pulas di atas ranjang usai kenyang bergunjing.

"Wilis?" panggil perempuan itu untuk ketiga kali, seolah tidak ingin menyerah sampai mendapat jawaban dari sosok yang dituju. Lekas Wilis amati sekeliling, tetapi tidak menemukan adanya manusia lain di dalam kamar sempitnya. Terpaksa dia akui, suara si perempuan lebih seperti berasal dari dalam kepalanya sendiri.

Sekali ini, Wilis ladeni rasa penasarannya. Dalam benak, diiringi bisikan pelan tanpa suara, Wilis berucap, "Kamu ... siapa?"

"Temanmu," jawab si perempuan, menambah keterkejutan Wilis sebab suara tersebut mampu berinteraksi dengannya.

"Temanku? Siapa?" tanya Wilis lagi. Hampir dia merasa sinting gara-gara berlaku seperti berbicara pada diri sendiri. Apa dia sudah gila? Apa dia sudah terlalu tertekan akibat menguping pembicaraan orang-orang selama ini? Namun, suara tersebut bukan imajinya semata, melainkan kenyataan yang kian terpadatkan tatkala suara misterius itu menjawab lagi.

"Lilac," ucapnya. "Namaku Lilac, Wilis."

"Siapa kamu, Lilac? Mengapa kamu bicara di dalam kepalaku?" balas Wilis.

Terdengar suara tawa lembut. Sekilas saja, tetapi mampu memompa jantung Wilis lebih cepat selama detik-detik berikutnya. "Maaf, aku tak bermaksud membuatmu takut. Aku hanya ingin ... mengenalmu."

"Mengenalku?"

"Iya," tekan suara lembut tersebut. "Kita akan bertemu. Nanti."

"Kapan?" sergah Wilis. Kendati tidak ingin lekas percaya, sensasi debaran jantung tersebut mendorong Wilis untuk mencari tahu lebih jauh tentang si pemilik suara misterius.

"Suatu saat, tapi pasti," balas suara bernama Lilac, lebih lembut daripada sebelumnya. "Untuk sekarang, cara begini lebih baik."

Seiring jawaban tersebut, kehangatan meresapi dada Wilis. Dia baru menyadari suara perempuan bisa begitu melenakan. Gadis-gadis yang dia temui di sekolahnya pun demikian, apalagi bila mereka sedang menggoda murid-murid lelaki. Namun, ada yang berbeda dari suara Lilac. Intensitas kelembutan dalam suaranya menimbulkan suatu dambaan asing bagi Wilis—hal yang tidak pernah dia rasakan akibat kesinisan yang acap kali dia tujukan kepada orang-orang di sekelilingnya.

"Apa aku mengganggumu?" tanya Lilac kemudian, menyadarkan Wilis dari lamunan melankolisnya.

"T-tidak," jawab Wilis, heran sendiri dengan cara benaknya bisa dibuat sedemikian gugup. "Tapi aku perlu belajar sekarang biar tidak didepak dari sini."

"Aku bisa menemanimu," timpal Lilac. Kemudian, seakan tidak bisa mau menakuti laki-laki itu, dia menambahkan, "Hanya bila kamu mau."

Wilis, dalam kesempatan langka di mana dia tidak mau ditinggalkan sendirian, menyetujui dengan sepenggal kata 'Iya'. Senyap pun berangsur mengimbangi, sesekali diselingi dengkuran ayah angkat Wilis dari kamar seberang. Wilis dan Lilac terbungkam, baik batin maupun suara, seakan masih memilah-milah kata untuk diutarakan. Sadar bahwa dia masih diawasi oleh suara empunya perempuan bernama Lilac, alih-alih ketakutan, Wilis justru merasa malu. Penaka seorang gadis tak kasat mata tengah memandanginya—dengan luapan perhatian serta kasih—kendati Wilis tidak bisa balas mengamati wujud Lilac.

Maka, Wilis putuskan untuk kembali berkonsentrasi pada latihan soal di hadapannya. Ketika dengkuran ayahnya kian mengeras, hampir Wilis nyalakan radio kembali. Namun, seolah bisa mengetahui terganggunya laki-laki itu, tiba-tiba suara Lilac menggema lagi di dalam benak Wilis. Kali ini bukan kata-kata, melainkan senandung pelan yang melantunkan lagu-lagu syahdu tanpa lirik.

Alih-alih mengganggu, senandung tersebut malah menenteramkan Wilis. Tertegun, laki-laki itu dapati dirinya tertunduk di atas barisan soal yang tidak lagi berarti baginya. Mendadak terpikir olehnya suatu kata: terenyuh. Walaupun kata tersebut asing baginya, tetapi Wilis menduga itulah yang dia rasakan sekarang. Mungkin saja, di luar sana, akhirnya ada seseorang lain yang memiliki kemampuan di luar kewajaran seperti dirinya. Indra yang luar biasa, dengan benak yang tidak biasa pula, dan tidak bisa dijelaskan secara logika. Memikirkan hal tersebut saja sudah membuat Wilis kegirangan oleh penantian yang selama ini hanya bisa dia pendam sendirian.

Semenjak itu, yang Wilis ingin dengar hanyalah suara Lilac.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top