Prolog
Indigo yakin dirinya sudah gila. Bukan sekali waktu dia beranggapan demikian. Hanya saja, pada kesempatan lumrah ini kegilaan bersikukuh melumatnya secara utuh. Distorsi memporakporandakan benaknya seperti tornado raksasa yang mengacak-acak seantero kota.
Tidak, ini bahkan bukan keusilan benaknya seperti yang sudah-sudah. Bukan sekadar permainan, ini adalah peringatan.
Sementara kepalanya digempur vertigo dahsyat, seraya berupaya memusatkan fokus, Indigo perhatikan sekelilingnya. Penglihatan yang dia amati sekarang bahkan terlampau nyata untuk sembarangan dinamai delusi. Alih-alih distorsi minda, Indigo dapati dirinya terjebak di antara amukan tornado-tornado berarus kencang.
Langit sedang mengamuk, tetapi bukan itu saja yang membuat batin Indigo berkecamuk.
Perempuan itu lekas mendongak ke atas. Kakinya menginjak tanah, tetapi langkahnya limbung pun terhuyung selagi dia amati bentang langit yang menaunginya. Kendati tiupan angin teramat kuat, Indigo paksakan matanya menyipit supaya mampu mencermati dengan lebih saksama. Di atas sana, sebentuk mata tunggal yang membelah cakrawala sedang terbeliak lebar. Tiada putih dari awan. Tiada biru selaku pelataran. Tiada jingga senja. Tiada kuning mentari. Hanya merah pekat pada iris netra tersebut dengan tatapan bengis yang menarget Indigo semata.
Indigo sudah lebih dari sekadar mengenali Penglihatan tersebut: Mata Azura.
Barisan rambut halus pada pinggiran Mata Azura bergerak seiring kelopak megahnya mengedip. Kerjapan sepersekian detik tersebut kontan memuntahkan air mata berikutnya. Air mata itu, begitu berlinang dari Mata Azura, terpadatkan menjadi satu tornado semi raksasa yang mendarat di hadapan Indigo. Si bayi tornado lantas menyusul kakak-kakaknya, yakni kumpulan tornado lain yang lebih besar. Bersama mereka bersekongkol menerbangkan serta menghancurkan rumah-rumah berpenghuni hampa. Kian limbung, Indigo tidak punya pilihan selain mematung di tempatnya berdiri. Bukannya dia terlalu takut untuk bergerak, tetapi pesona mata tersebut—lagi-lagi—menambatnya seperti palu yang menghantam paku pada tembok batu di dalam jeruji.
Indigo berdecih. Tidak ada Cyan. Tidak ada Crimson, Turquoise, Khaki, juga Lilac. Tiada pula—meskipun dia hanya sesedikitnya berharap—Magenta.
Mata Azura akhirnya berhenti memuntahkan tornado. Indigo masih terpaku, sepintas menyadari bahwa kegilaan ini—Mata Azura—merupakan wujud lain sang algojo. Dewa kematian yang selalu Indigo nantikan saking lihainya dia bersembunyi dari Penglihatan perempuan itu. Satu-satunya malaikat yang dapat mengantarkan Indigo pada peristirahatan jenjam berupa habisnya napas—jalur yang tampak jauh lebih baik daripada bertekuk lutut lagi kepada Magenta.
Masih memonopoli langit, Mata Azura kian terbeliak. Terbius oleh tatapan tersebut, Indigo tidak terhenyak; justru memilih sekejap untuk menyimak. Untuk kesekian kali, mata itu mengerjap singkat seiring sisa-sisa angin yang mulai surut mengantar bisikan kepada Indigo: "Aku datang menjemputmu."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top